Pekan Kondom Nasional Bukan Solusi Konstruktif



Pekan Kondom Nasional Bukan Solusi Konstruktif
M. Sadli Umasangaji
(Founder Celoteh Ide)





“…Tidaklah tampak perzinaan pada suatu kaum sehingga mereka berani terang-terangan melakukannya, melainkan akan menyebar di tengah mereka penyakit tha’un dan penyakit-penyakit yang belum pernah menimpa umat-umat yang telah lalu…” (HR. Ibnu Majah)

Pekan Kondom Nasional (PKN) yang digelarkan dari tanggal 01-07 Desember 2013 dan mungkin merupakan bagian dari program pelaksanaan tahunan. Karena pada tahun 2012 pun program ini diselenggarakan. Bahkan program ini sebagaimana diketahui, telah dilaksanakan sejak tahun 2007 setiap tanggal 1 Desember sebagai memperingati Hari AIDS sedunia. Sebagaimana pula hal ini kembali diselenggarakan untuk memperingati hari AIDS Sedunia yang jatuh pada tanggal 1 Desember 2013 lalu, yang merupakan bentuk kerjasama antara produsen kondom DKT Indonesia bersama dengan Komisi Penanggulangan AIDS Nasional (KPAN) mencanangkan Pekan Kondom Nasional yang ketujuh kalinya. Program inipun disetujui oleh Kementerian Kesehatan Indonesia.
Tujuan dari kegiatan ini untuk mengurangi penularan kasus HIV/AIDS di Indonesia. Menurutnya, Kemenkes punya kewajiban untuk mengurangi penularan HIV. Pada perilaku seks berisiko, penularan HIV bisa dicegah dengan menggunakan kondom. Tentunya, menghindari perilaku seks berisiko jauh lebih dianjurkan. Kondomisasi ini sendiri dilakukan setelah mereka berkesimpulan bahwa fakta tentang penularan virus HIV AIDS naik menjadi 60%, sedangkan penularan melalui jarum suntik menurun.
Selain itu acara ini dimaksudkan untuk meningkatkan pengetahuan masyarakat mengenai manfaat penggunaan kondom dalam hubungan seks berisiko guna melindungi masyarakat Indonesia. Country Director DKT Indonesia menyatakan, Seperti tahun-tahun sebelumnya, tahun ini kami kembali akan menyelenggakaran “Pekan Kondom Nasional” bersama KPAN, karena kami ingin terus mengingatkan masyarakat untuk saling berbagi pengetahuan dan kepedulian mengenai pencegahan penularan virus HIV dan infeksi menular seksual lainnya (IMS).
Kegiatan inipun menuai kritikan dari berbagai pihak. Baik organisasi masyarakat, organisasi kepemudaan, dan berbagai tokoh Nasional. Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Wakil Sekretaris Jenderal PBNU Muhammad Sulton Fatoni menolak pembagian kondom gratis sebagai bagian dari kegiatan Pekan Kondom Nasional yang digagas Kementerian Kesehatan dan dilaksanakan oleh Komisi Penanggulangan AIDS Nasional (KPAN) serta salah satu produsen kondom. “Umat Islam jangan terlibat dalam kegiatan tersebut”. Menurut Sulton, upaya mencegah meluasnya pengidap AIDS merupakan upaya mulia, namun untuk mencegah agar penularan yang salah satunya melalui hubungan seksual itu bukan dengan membagi-bagikan kondom secara gratis yang sangat mungkin disalahgunakan untuk perzinaan. Karena alasan itulah, tambah Sulton, kegiatan bagi-bagi kondom gratis berpotensi bertentangan dengan ajaran agama.
Kecaman juga datang dari Hizbut Tahrir Indonesia dengan berasumsi bahwa kampanye penggunaan kondom untuk pelaku seks beresiko, seolah justru berkata “silahkan melakukan seks beresiko asal pakai kondom”. Seks beresiko adalah seks dengan yang bukan isteri/suami. Maka kampanye kondom sama artinya, “silahkan melakukan seks bebas termasuk zina asal pakai kondom.” Maka progam kondomisasi sama artinya kampanye dan mensponsori seks bebas. Kondomisasi merupakan program buruk, untungkan kapitalis dan musuh Islam, dan justru mensponsori seks bebas. Akar masalahnya adalah sekulerisme dan sistem kapitalisme yang diterapkan.
Partai keadilan Sejahtera juga menegaskan tak sepakat dengan kebijakan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) yang membagikan kondom kepada masyarakat dalam pekan kondom nasional untuk menangani masalah HIV/AIDS. Mencegah HIV/AIDS tak mesti membagikan kondom kepada masyarakat.
Ketua Fraksi PKS , Hidayat Nur Wahid , menilai, mencegah HIV tak harus lewat kondom. Hal ini justru, berdampak pada masyarakat yang tak mengenal seks menjadi melakukan seks bebas. "Kalau mau, bukan kondominasi, tapi diobati orang yang berpenyakit HIV/AIDS, diberikan pelatihan menyehatkan diri. Bukan orang yang tidak kena HIV/AIDS diberikan, nanti malah mereka lakukan seks bebas itu kan bisa jadi awalannya. Sebenarnya kondom belum tentu bisa mencegah HIV/AIDS, ada cara lain," ujar Hidayat.
Guru Besar Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) Universitas Indonesia (UI) Hasbullah Thabrany mengatakan, pembagian kondom dalam rangka pencegahan HIV/AIDS hanya akan efektif bagi mereka yang bisa menggunakan. Dalam pencegahan HIV/AIDS, penggunaan kondom memang efektif  tetapi hal ini menjadi keharusan bagi mereka yang beresiko tinggi. “Apa manfaatnya jika dibagi-bagi tetapi tidak benar-benar digunakanya. Boleh dibagi-bagi tetapi hanya untuk yang bisa menggunakan itu,” tandansnya. Menurut dia, seseorang yang beresiko tinggi memang harus dipaksakan untuk menggunakan kondom. Untuk itu kondom hanya baik digunakan oleh mereka yang beresiko tinggi HIV/AIDS dan yang biasa menggunakan.
Selain itu, Ketua PP Muhammadiyah Yunahar Ilyas mengatakan, mengecam keras upaya Menkes membagikan kondom secara gratis ke khalayak umum. Menurut dia, walaupun pekan kondom nasional ini tujuannya baik, namun penyalahgunaannya lebih besar dan berbahaya. "Ini sama saja memudahkan orang untuk berzina”. Dia menilai, saat ini tidak ada yang dapat memberikan sanksi orang berzina selain penyakit HIV/AIDS tersebut. Sekarang berzina sudah sangat bebas, untuk itu sanksi sosial di masyarakat sudah mulai luntur hukum KUHP pun tidak bisa memberi sanksi karena alasan suka sama suka. Hal ini menjadi parah ketika pemerintah malah membagi-bagikan kondom. "Ini seperti melegalkan, mengajak orang berzina. Jadi tinggal hukum Allah dengan penyakit itu."
Penolakan terhadap Pekan Kondom Nasional juga masif dilakukan oleh Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia di berbagai daerah, misalkan KAMMI Manado, KAMMI NTB, KAMMI Tanggerang Selatan, KAMMI Megapolitan, KAMMI daerah lainnya dengan berasumsi bahwa kampanye pembagian kondom sebagai bentuk mencegah HIV/AIDS adalah tindakan irasional. Sebab pembagian dan penyuluhan terkait kondom bukanlah solusi utama dalam pencegahan HIV/AIDS. Tidak sepantasnya lembaga besar seperti KPAN menyelenggarakan kampanye, dan menolak dengan keras kegiatan Pekan Kondom Nasional dan pembagian kondom, karena hal itu bukan merupakan solusi tepat untuk memutus penyebaran HIV-AIDS. Kegiatan tersebut akan lebih membuka ruang terjadinya perilaku seks bebas, yang merupakan awal terjadinya HIV-AIDS.
Pekan Kondom Nasional bahkan tergolong cukup miris menurut Transparansi Anggaran (FITRA), melalui Uchok Sky Khadafi menyatakan bahwa lelang pengadaan Kondom Tahun 2012 Anggaran 2012 sudah selesai dan menghabiskan dana mencapai Rp 25 Milyar dengan tender pengadaan Kondm dimenangkan oleh PT Kima Farma Trading & Distribution. Ini menunjukkan bahwa Pekan Kondom Nasional bukanlah solusi konstruktif tapi lebih indetik dengan komersialisasi.

Solusi Alternatif
            Kita seharusnya mencoba memandang bahwa HIV Aids bukan hanyalah penyakit medis belaka. Akan tetapi bila kita mengubah paradigma terhadap akar masalahnya maka HIV Aids adalah bagian dari yang disebabkan oleh penyakit masyarakat. Maka perlu dipandang dari berbagai aspek, berupa aspek kesehatan, aspek sosial, aspek budaya, aspek teknologi, aspek pendidikan dan aspek hukum. Maka dalam hal ini penulis mencoba mengurai solusi alternatif dari sisi preventif, promotif, dan kuratif.
            Tindakan preventif dan promotif. Tindakan ini perlu benar-benar ditopang oleh pemerintah dalam bentuk apapun. Tindakan ini pula harusnya berlangsung dalam rentan waktu yang lama dengan bentuk kesadaran apapun. Pertama, mencoba membentuk sebuah gerakan sosial yang memberikan sosialisasi kepada tatanan masyarakat, dan dimulai pada tatatan masyarakat yang paling kecil yaitu keluarga. Gerakan sosial ini dapat dinamakan Keluarga Sadar HIV Aids. Keluarga diposisikan sebagai pelopor dalam mencegah HIV Aids.
            Kedua, karena pemuda cenderung dapat menjadi salah satu paparan dari penyakit ini. Maka perlu dilibatkan peran pemuda dalam hal ini. Dengan membentuk sebuah gerakan sosial yang bernama Pemuda Peduli HIV Aids. Dalam hal ini pula dapat melibatkan berbagai peran Organisasi Kepemudaan untuk menjadi salah satu pelopor dalam mencegah HIV Aids dengan segala pembinaannya.
            Ketiga, dari sisi aspek teknologi informasi yang menjadi sarana yang mempergerus terjadi akar masalah penyakit ini maka perlu gerakan sosialisasi secara masif untuk Penggunaan Internet Sehat. Perlu ada iklan sebagai bentuk sosialisasi dan adanya  keterbukaan penderita terhadap keadaannya serta memberanikan diri untuk melaporkan terhadap dinas terkait, komisi terkait, dan ataupun kepada Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang menaungi masalah ini. Iklan juga harus dioptimalkan sebagai bentuk antidiskriminasi terhadap penderita HIV Aids.
            Keempat, dari aspek budaya, perlu adanya pengembalian kearifan lokal. Penamanan kembali nilai-nilai budaya yang melahirkan rasa malu terhadap perbuatan penyakit masyarakat. Era kekinian yang terjadi adalah degradasi budaya malu sehingga penyakit masyarakat ini menjadi hal yang biasa bagi pelaku bukan lagi hal yang tabu. Kebudayaan seharusnya menciptakan orang-orang yang lebih berbudaya.
            Kelima, aspek sosial, perlu adanya sebuah penanaman sanksi sosial terhadap pelakunya sebagai bentuk efek jera dan penguatan peningkatan nilai-nilai kebudayaan yang lebih berbudaya.
            Keenam, penguatan serta pengevaluasian terhadap peraturan daerah (perda) terkait ini. Pemerintah berperan penting dalam hal ini sebagai penguatan terhadap aspek-aspek lainnya.
            Tindakan kuratif. Tindakan ini harus bersifat masif, sistematis, dan memerlukan rentan waktu yang cukup lama. Kita pahami dan menyadari bahwa HIV Aids sulit untuk didata dan bersifat seperti gunung es. Olehnya itu perlu adanya penguatan pendataan terhadap penderita HIV Aids. Dengan membuat surveilans yang lebih masif. Setelahnya perlu adanya jaminan yang menjamin keterbukaan penderita baik melalui iklan atau sosialisasi yang bersifat grass root (akar rumput) sehingga tidak ada perasaan diskriminasi dari penderita.
            Kemudian berlanjut ke tindakan penanganan penyakitnya perlu adanya jaminan pengobatan terhadap kesehatan penderita baik dari sisi obatnya, dietnya, dan segalanya terkait pengobatan. Penulis mendapat info bahwa sudah ada jaminan pengobatan terhadap penderita dari kementerian kesehatan. Tapi pertanyaannya adalah apakah ini bisa masif hingga ke daerah-daerah dan dinas kesehatan di daerah. Penulis juga mendengar telah ada jaminan pekerjaan (untuk tidak diskriminasi) terhadap penderita dari Kementerian Ketenagakerjaan dan Transmigrasi. Penguatan jaminan dari pemerintah terhadap penderita yang akan menjadi salah satu solusi kuratifnya.
            Hal ini menunjukkan bahwa Pekan Kondom Nasional memang bukanlah solusi konstruktif. Akhirnya kalaupun semua hal di atas ini telah dicanangkan oleh pemerintah baik pusat maupun daerah maka langkah berikutnya adalah tetap penguatan surveilans, pengevaluasian terhadap semua yang dicanangkan, dan pengevaluasian terhadap keoptimalan kerja-kerjanya. Terakhir mengutip apa yang disampaikan oleh Anis Byarawati, “Tidak ada hal yang instan untuk mengatasi sebuah persoalan besar, perlu proses dan kerja keras. Ayo keluarga Indonesia, bentengi diri dari narkoba dan HIV/AIDS, sayangi keluarga Anda, berikan segenap cinta untuk mereka”.

Posting Komentar

0 Komentar