Stunting Sebagai Isu Strategis

Stunting Sebagai Isu Strategis

M. Sadli Umasangaji

(Founder Gizisme)




 

Stunting termasuk ke dalam isu strategis Kemenkes. Kelima isu utama yang telah diidentifikasi dalam Rakerkesnas (Rapat Kerja Kesehatan Nasional) 2019 yakni angka kematian ibu (AKI) dan angka kematian neonatal (AKN) yang masih tinggi, prevalensi stunting, tuberculosis (TBC), penyakit tidak menular (PTM) dan cakupan imunisasi dasar lengkap.

            Ketika stunting menjadi isu strategis maka perbincangan soal stunting mulai menggeliat dimana-mana dan bahkan semua profesi pun mulai menjadikannya sebagai bahan diskusi. Terutama akhir-akhir pula kita lihat berbagai webinar juga membincangkan soal stunting. Tapi bila kita coba melihat, data stunting di tingkat laporan rutin bulan di puskesmas misalkan pada tahun-tahun sebelumnya belum ada di dalam template laporan, baru muncul sekitar tahun 2018, atau bahkan 2019. Akan tetapi data stunting sendiri sudah ada dalam hasil-hasil survei seperti Pemantauan Status Gizi misalnya.

            Stunting sendiri dalam pembelajaran mahasiswa gizi sudah menjadi umum dilakukan karena ia menjadi bagian dari pembelajaran tentang status gizi serta indikator status gizi. Akan tetapi stunting dalam perbincangan menjadi banyak ragam pendefenisian. Misalkan ada yang mengatakan ada yang pendek tapi cerdas itu bukan stunting. Atau stunting diidentikkan dengan gizi buruk.

Stunting merupakan masalah gizi yang penyebabnya sangat kompleks dan multifaktorial. Pokok masalah diantaranya adalah masalah ekonomi dan politik yang mendasari timbulnya status sosial ekonomi. Sedangkan penyebab langsung adalah asupan makanan yang kurang dan penyakit infeksi. Asupan gizi yang tidak sesuai kebutuhan merupakan salah satu penyebab dari gangguan gizi pada balita. Balita dengan asupan nutrisi yang kurang akan memiliki masalah gizi diantaranya adalah stunting (pendek).

 

Ragam Pendefenisian

            Stunting (pendek) atau kurang gizi kronik adalah suatu bentuk lain dari kegagalan pertumbuhan. Kurang gizi kronik adalah keadaan yang sudah terjadi sejak lama, bukan seperti kurang gizi akut. Stunting merupakan proses kumulatif dan disebabkan oleh asupan zat-zat gizi yang tidak cukup atau penyakit infeksi yang berulang, atau kedua-duanya. Stunting dapat juga terjadi sebelum kelahiran dan disebabkan oleh asupan gizi yang sangat kurang saat masa kehamilan, pola asuh makan yang sangat kurang, rendahnya kualitas makanan sejalan dengan frekuensi infeksi sehingga dapat menghambat pertumbuhan.

            Bila kita melihat defenisi ini, maka terkadang stunting ditempatkan mirip dengan gizi kurang atau gizi sangat kurang ataupun gizi kurus dan sangat kurus. Kita menyakini bahwa masalah gizi memang sebagaimana kerangka penyebab masalah gizi secara umum. Dalam hal ini penulis ingin menegasikan bahwa masalah stunting tidak selalu menjadi masalah gizi sangat kurang ataupun sangat kurus, walaupun bisa jadi anak dengan status gizi sangat kurang, kurus ataupun sangat kurus bisa jadi juga memiliki status gizi pendek ataupun sangat pendek. Selain itu, karena realitas menunjukkan bahwa bisa jadi anak stunting tidak memilik status gizi yang sangat kurang, kurang, kurus ataupun sangat kurus. Atau misalkan pendefenisian umum pada kata kerdil, ditempatkan pada kepada orang yang memiliki tubuh cebol, sedangkan anak ataupun orang cebol bukanlah soal kasus stunting.

            Maka pendefenisian yang umum dipakai oleh ahli gizi, cenderung dispesifikkan kepada indikator status gizi tinggi badan atau panjang badan menurut umur. Balita pendek diidentifikasi berdasarkan tinggi badan atau panjang badan anak dibandingkan dengan standar tinggi badan atau panjang badan anak pada populasi yang normal sesuai dengan umur dan jenis kelamin. Penentuan balita pendek bila tinggi badan atau panjang badan dengan nilai z-score berada dibawah -2 SD dari standar WHO (Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2015). Dalam konteks Indonesia, balita pendek ditentukan Standar Antropometri Penilaian Status Gizi Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2020. Klasifikasi status gizi berdasarkan indikator TB/U: Sangat pendek dengan nilai z-skor <-3,0, dan Pendek dengan nilai z-skor ≥- 3,0 s/d < -2,0 (Kemenkes, 2020). Z-score adalah nilai simpangan BB atau TB dari nilai BB atau TB normal menurut baku pertumbuhan WHO atau berdasarkan peraturan Kemenkes tentang Standar Antropometri Penilaian Status Gizi Anak. (Kemenkes, 2018). Dalam Buku Saku Hasil PSG Tahun 2017 menempatkan stunting merupakan gabungan sangat pendek dan pendek

Selain itu, ketidaksetujuan penulis terhadap konotasi dampak stunting. Misalkan dampak stunting umumnya dikaitkan dengan kecerdasan yang rendah. Dan memang beberapa penelitian menunjukkan hal demikian. Hal ini juga bisa saja terjadi pada indikator status gizi yang lain, misalkan gizi kurus ataupun sangat kurang dan kurang. Sebagaimana skema umum dalam kerangka penyebab masalah gizi, terutama terkait penyebab langsung. Dimana penjelasan penyebab langsung ini adalah masalah asupan gizi dan penyakit infeksi atau penyakit penyerta.

Antara stunting dengan dampak kecerdasan dalam konotasi ini ditempatkan dalam perbincangan maka kecenderungannya menjadi konotasi negatif, bahwa orang pendek memiliki kecerdasan yang rendah. Akan tetapi misalkan realitas ada orang pendek tapi produktif. Atau misalkan bagaimana realitas yang menggambarkan seberapa banyak anak pendek atau remaja pendek di usia dewasa menjadi tidak produktif. Maka mungkin kita perlu mengubah untuk menggunakan konotasi positif misalkan bahwa kejadian stunting perlu ditangani karena suatu waktu kita berharap memiliki masyarakat Indonesia yang memiliki postur tubuh ideal dan juga produktif. Dengan demikian kita menempatkan bahwa kejadian stunting memiliki dampak pada kecerdasan akan tetapi proses hidup memiliki ketentuan lain dalam kecerdasan dan produktivitas seseorang misalkan daya belajar, kemauan belajar serta capaian pendidikan akan menentukan kapasitas intelektual seseorang. Untuk itu konotasi positif dari penurunan angka prevalensi stunting adalah mewujudkan masyarakat Indonesia pada masa-masa mendatang dengan postur ideal dan juga produktif.

 

 

Dalam Realitas Kecil

            Data stunting sebagaimana yang penulis ungkapkan di atas pada beberapa tahun sebelumnya umumnya didapatkan dari hasil survei seperti Pemantauan Status Gizi (PSG), SSGBI, ataupun Riskesdas. Akan tetapi untuk tahun 2018, stunting mulai masuk dalam pengambilan data dalam surveilans gizi di puskesmas. Target capaian stunting dalam surveilans gizi dengan target 2015-2019, baru terdapat pada target di tahun 2019 yakni 28%. Dan di tahun ini, tahun 2020 dari Direktorat Gizi Masyarakat menetapkan target capaian 2020-2024 untuk indikator kinerja gizi. Prevalensi stunting memiliki target capaian 2020 : 24,1%, 2021 : 21,1%, 2022 : 18,4%, 2023 : 16%, dan 2024 : 14%.

Data stunting sendiri berdasarkan hasil Pemantauan Status Gizi (PSG) menunjukkan tahun 2015 balita usia 0-59 Bulan Gizi Pendek sebesar 18.9%, sangat pendek sebesar 10.1%, jumlah pendek + sangat pendek sebesar 29.0%. Tahun 2016 menunjukkan balita usia 0-59 Bulan Gizi Pendek sebesar 19.0%, sangat pendek sebesar 8.5%, jumlah pendek + sangat pendek sebesar 27.5% (Kemenkes, 2017). Tahun 2017 menunjukkan balita usia 0-59 Bulan Gizi Pendek sebesar 19.8%, sangat pendek sebesar 9.8%, jumlah pendek + sangat pendek sebesar 29.6% (Kemenkes, 2018).

Di satu sisi bila kita sadari feel terhadap pengambilan data untuk tinggi badan atau panjang badan sebagai petugas umumnya kita belum memiliki feeling soal ini. Maksudnya misalkan untuk berat badan yang sudah lama menjadi rutinitas petugas sebagai pemantauan pertumbuhan, petugas sudah terbiasa soal ini dan memiliki feeling soal ini. Petugas dengan mudah bisa menempatkan anak ini kelihatan memiliki berat badan yang kurang, tetapi untuk tinggi badan atau panjang badan misalnya petugas tidak serta dapat dengan melihat untuk menempatkan perkiraan bahwa anak ini pendek. Butuh waktu lama untuk feeling soal ini menjadi naluri dasar petugas. Di satu sisi juga tinggi badan anak akan terlihat pendek bila ia berdiri bersama dengan anak lain yang seusia. Bahkan di usia mulai dua tahun baru seorang balita mulai terlihat tanda-tanda bahwa tinggi badannya kurang bila ia mengalami status gizi pendek. Memang soal penentuan stunting harus spesifik disesuaikan pada nilai z-score anak untuk indikator status gizi tinggi badan atau panjang badan menurut umur. Apalagi misalkan ini ditempatkan pada kader posyandu yang turut membantu dalam kegiatan posyandu. Soal penimbangan dapat dikatakan kader posyandu sangat membantu untuk petugas gizi tapi soal pengukuran mungkin perlu banyak dilakukan penyegaran kader.

 

Sekedar Soal Program Intervensi

            Kalau dilihat program penanggulangan stunting umumnya adalah program terkait dengan sasaran yang bersifat pencegahan atau sasaran untuk masalah dengan indikator lain. Sebagaimana penjelasan Stranas Stunting mengadopsi kerangka penyebab masalah gizi, yaitu “The Conceptual Framework of the Determinants of Child Undernutrition”, “The Underlying Drivers of Malnutrition”, dan “Faktor Penyebab Masalah Gizi Konteks Indonesia”. Pencegahan stunting menitikberatkan pada penanganan penyebab masalah gizi, yaitu faktor yang berhubungan dengan ketahanan pangan khususnya  akses  terhadap  pangan  bergizi  (makanan),  lingkungan  sosial  yang  terkait  dengan praktik pemberian makanan bayi dan anak (pengasuhan), akses terhadap pelayanan kesehatan untuk  pencegahan  dan  pengobatan  (kesehatan),  serta  kesehatan  lingkungan  yang  meliputi tersedianya  sarana  air  bersih  dan  sanitasi  (lingkungan).  Keempat  faktor  tersebut  secara  tidak langsung  mempengaruhi  asupan  gizi  dan  status  kesehatan  ibu  dan  anak.  Intervensi  terhadap keempat  faktor  tersebut  diharapkan  dapat  mencegah  malnutrisi,  baik  kekurangan  maupun kelebihan gizi.

Berdasarkan kerangka penyebab masalah stunting, Stranas Stunting mengembangkan kerangka hasil percepatan  pencegahan  stunting. Di dalam  kerangka  tersebut, pencegahan stunting diawali dengan penyiapan faktor pendukung, yang dituangkan dalam lima pilar. Implementasi dari lima pilar diharapkan dapat meningkatkan cakupan layanan gizi spesifik dan sensitif pada sasaran prioritas, yang pada akhirnya diharapkan dapat menurunkan prevalensi stunting.

Secara Intervensi Gizi Spesifik pun terlihat terkait dengan program pencegahan. Dimana dibagi menjadi beberapa intervensi utama yang dimulai dari masa kehamilan ibu hingga melahirkan balita. Pertama, Intervensi Gizi Spesifik dengan sasaran Ibu Hamil. Intervensi ini meliputi kegiatan memberikan makanan tambahan (PMT) pada ibu hamil untuk mengatasi kekurangan energi dan protein kronis, mengatasi kekurangan zat besi dan asam folat, mengatasi kekurangan iodium, menanggulangi kecacingan pada ibu hamil serta melindungi ibu hamil dari Malaria. Kedua, Intervensi Gizi Spesifik dengan sasaran Ibu Menyusui dan Anak Usia 0-6 Bulan. Intervensi ini dilakukan melalui beberapa kegiatan yang mendorong inisiasi menyusui dini (IMD) terutama melalui pemberian ASI kolostrum serta mendorong pemberian ASI Eksklusif. Ketiga, Intervensi Gizi Spesifik dengan sasaran Ibu Menyusui dan Anak Usia 7-23 bulan. Intervensi ini meliputi kegiatan untuk mendorong penerusan pemberian ASI hingga anak atau bayi berusia 23 bulan. Kemudian, setelah bayi berusia diatas 6 bulan didampingi oleh pemberian MP-ASI, menyediakan obat cacing, menyediakan suplementasi zink, melakukan fortifikasi zat besi ke dalam makanan, memberikan perlindungan terhadap malaria, memberikan imunisasi lengkap, serta melakukan pencegahan dan pengobatan diare.

Akan tetapi yang penulis pikirkan adalah adakah nanti intervensi stunting diafiliasikan pada penyebab langsung untuk penanganan di tingkat puskesmas sebagaimana pada gizi buruk dan ataupun gizi kurus. Dimana pada gizi buruk kita dapat melihat juknis tentang Tatalaksana Anak Gizi Buruk jilid I dan II. Atau Gizi Kurus memiliki Petunjuk Teknis Pemberian Makanan Tambahan atau Panduan Penyelenggaraan PMT Pemulihan Bagi Balita Gizi Kurang (BOK). Mungkin perlu ada semisal gambaran tentang bagaimana intervensi langsung pada Balita Stunting, bagaimana pemberian PMT Lokal-nya. Pemberian PMT Pabrikan yang untuk gizi kurus mungkin dapat diberikan pada balita stunting, akan tetapi perlu ditelaah status gizi BB/U dan BB/TB, jangan sampai ternyata BB/U malah baik. Intervensi stunting ini, apakah akan diberikan susu tinggi kalsium, suplementasi zink, atau misalkan PMT Lokal dengan nilai protein dan kalsium disesuaikan memenuhi persen kebutuhan untuk makanan selingan. Mungkin penulis mengharapkan penanganan stunting ditempatkan sebagaimana intervensi langsung pada gizi buruk.

 

Referensi:

 

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2015. Pendek (Stunting) di Indonesia, Masalah dan Solusinya.

Kementerian Kesehatan, 2017. Buku Saku Pemantauan Status Gizi Tahun 2016.

Kementerian Kesehatan, 2018. Buku Saku Pemantauan Status Gizi Tahun 2017.

Kementerian Kesehatan, 2020. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2020 Tentang Standar Antropometri Anak.

Sekretariat Wakil Presiden, 2018. Strategi Nasional Percepatan Pencegahan Stunting Periode 2018-2024.

Syah, Nurul Farhanah, 2019. Faktor-Faktor yang Berhubungan Dengan Kejadian Stunting Pada Anak Usia 6-23 Bulan di Wilayah Kerja Puskesmas Pisangan Kota Tangerang Selatan Tahun 2018. Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah.

 

Posting Komentar

0 Komentar