Proletariat Gizi
Proletariat
Gizi
M. Sadli
Umasangaji
(Founder
Gizisme)
Secara global diketahui bahwa status kesehatan
merupakan salah satu tolok ukur keberhasilan program pembangunan dan
kesejahteraan nasional suatu masyarakat, bangsa dan negara. Sedangkan
kesejahteraan masyarakat dapat dilihat dari status gizi masyarakat.
Status gizi masyarakat sangat menentukan kualitas sumberdaya manusia, prestasi
akademik dan daya saing bangsa. Kasus gizi buruk, angka kematian ibu dan bayi,
dan angka kurang gizi pada ibu dan anak diyakini akan menurunkan kualitas
sumberdaya dan daya saing bangsa, sehingga dapat menghambat laju pembangunan
bangsa dan Negara (Savyamira, 2012).
Adakah relevansi ini dengan sebuah
kata proletariat? Kata proletar sendiri identik dengan kaum kiri. Dalam
Manifesto Komunis, Kaum Proletar ditempatkan dengan arti, proletariat
dimaksudkan kelas buruh upahan modern yang terpaksa menjual tenaga kerja untuk
dapat hidup, karena tidak mempunyai alat-alat produksi sendiri. Tapi ada juga
sebuah kalimat, “Proletariat gelandangan, bagian pasif yang membusuk dari
lapisan-lapisan terendah masyarakat lama, di sana-sini terseret ke dalam
gerakan oleh revolusi proletar, namun karena keadaan seluruh kehidupannya,
mereka lebih suka menjual diri untuk melakukan komplotan reaksioner”. Walaupun
kalimat ini mengandung makna peyorasi. Dalam tulisan ini, saya menempatkan
proletar sebagai kaum miskin tidak terbatas sebagai kaum buruh. Rakyat miskin,
terutama mereka yang tidak menjadi bagian dari kelas pekerja merupakan salah
satu objek diskusi yang mungkin masih penuh dengan ketidakjelasan dalam tradisi
Marxisme (Draper, 1972 dalam Mudhoffir, 2018).
Proletar dalam KBBI berarti orang
dari golongan proletariat. Proletariat dalam KBBI berarti (1) lapisan sosial
yang paling rendah, (2) golongan buruh, khususnya golongan buruh industri yang
tidak mempunyai alat produksi dan hidup dari menjual tenaga. Dalam (Mudhoffir,
2018), proletariat adalah kategori subjektivitas yang progresif, revolusioner,
dan diperlukan dalam perjuangan kelas. Kategori ini tidak selalu melekat pada
kelas pekerja, seperti halnya lumpen-proletariat yang tidak melekat sebagai
bentuk subjektivitas rakyat miskin. Lumpen-proletariat kemudian diartikan
sebagai kategori keagenan yang menjadi anti-tesis dari proletariat.
Sampai bahasan ini, apa korelasi yang
dapat kita akan selaraskan antara proletariat dan masalah gizi, mungkin
beberapa kata yang dapat melengkapi itu adalah “Gizi Buruk, Gizi Kurang, Gizi
Sangat Kurus, dan isu strategis Kemenkes; Stunting,
yang semuanya dilekatkan pada fenomena kemiskinan pada kaum proletariat,
lapisan sosial terbawah. Kemudian kata itu menempatkan makna pada sebuah frasa;
Proletariat Gizi.
Sebuah Korelasi
Mengutip Wakil Presiden
Bolivia Alvaro Garcia Linera, yang menggunakan kata-kata sangat sederhana, pada
8 Februari 2010, dia mengatakan: “Kita berbicara mengenai
pokok soal ini hanya karena satu alasan, dan ini karena masyarakat yang saat
ini ada di dunia, masyarakat yang hari ini kita miliki di seluruh dunia adalah
masyarakat dengan terlalu banyak ketidakadilan, masyarakat dengan terlalu
banyak ketimpangan. Hari ini, di dunia kapitalis dalam mana kita hidup ini,
sebelas juta anak-anak meninggal dunia setiap tahun karena kekurangan gizi,
karena pelayanan kesehatan yang buruk, karena tidak ada dukungan untuk
mengobati penyakit-penyakit yang bisa disembuhkan. Sebanyak seluruh penduduk
Bolivia mati setiap tahun dan setiap tahun lagi. Masyarakat kapitalis ini, yang
mendominasi dunia, yang memberi kita penerbangan ke angkasa luar, yang memberi
kita internet, memungkinkan delapan ratus juta manusia tidur setiap malam dalam
keadaan lapar. Sekitar dua milyar orang di bumi ini tidak mendapatkan pelayanan
dasar. Kita punya mobil-mobil, kita punya kapal-kapal terbang, sekarang kita
berpikir untuk pergi ke planet Mars, betapa indahnya! Tetapi disini di atas
bumi ada orang-orang yang tidak mendapatkan pelayanan dasar, ada orang-orang
yang tidak mendapatkan pendidikan, dan kalau ini tidak cukup, ini adalah
masyarakat yang secara permanen dan berulang-ulang menimbulkan krisis, dan
krisis menimbulkan pengangguran, memaksa perusahaan-perusahaan untuk tutup. Ada
begitu banyak kekayaan, tetapi terpusat di tangan sedikit orang. Dan ada banyak
orang yang tidak punya kekayaan dan tidak bisa menikmati apa yang ada. Sekarang
ini ada dua ratus juta orang menganggur di dunia ini”.
Secara data berdasarkan hasil PSG (2017), gizi sangat
kurang sebesar 3.8%, gizi kurang 14.0%, Sangat Pendek sebesar 9.8%, Pendek
sebesar 19.8%, Sangat Kurus 2.8%, Kurus 6.7%. Selain itu, BPS mengukur kemiskinan pada bulan
Maret dan September. Kondisi September 016 jumlah penduduk miskin di Indonesia
sebesar 27,76 juta orang (10,70%) berkurang 0,24 juta orang dibandingkan kondisi
Maret 2016 yang sebesar 28 juta orang (10,86%). Beberapa faktor yang mempengaruhi
kondisi Maret-September 2016 yaitu laju
inflasi umum cenderung
rendah, perbaikan penghasilan
petani, dan harga eceran beberapa komoditas bahan pokok mengalami
penurunan.
Sedangkan dalam Buku Pendek (Stunting) di Indonesia, tingkat kesejahteraan keluarga
dikelompokkan menjadi 5 kuintil, dimana kuintil 1 adalah kelompok termiskin
sedangkan kuintil 5 adalah kelompok terkaya. Untuk melihat pengaruh faktor
tingkat kesejahteraan keluarga pada status gizi pendek, digambarkan
perbandingan prevalensi pendek pada kuintil 1 (termiskin) dibandingkan kuintil
5 (terkaya). Disini juga terlihat jelas prevalensi pendek pada kuintil 1 secara
konsisten dan signifikan selalu lebih tinggi dibandingkan kuintil 5.
Kesenjangan pada usia sekolah (5-12 tahun) dan (13-18 tahun) bahkan sampai hampir
2 kali lipat. Pengaruh kemiskinan terhadap status gizi pendek memang tidak
terbantahkan.
Dalam gagasan Mengapa Indonesia Belum Sejahtera?
(Hamzah, 2018), kekurangan gizi dan gizi buruk yang terjadi di Indonesia
merupakan bagian tidak terpisahkan dari masalah kemiskinan sekaligus menjadi
indikator penting dalam menilai kesejahteraan warga negara. Kemiskinan dalam
statistik hanya menangkap nilai moneter dari bahan makan yang distandarisasi
dengan satuan kalori. Sehingga prestasi pemerintah menurunkan angka kemiskinan
dipaparkan ke publik, tidak berarti persoalan kemiskinan secara tuntas telah
teratasi. Dimensi kemiskinan sangat luas dan mendalam. Kecukupan akan gizi
dalam rumah tangga miskin, faktanya masih menjadi tantangan tersendiri.
Kesadaran
Kelas
Dengan
sedikit uraian sebagai sebuah korelasi diatas adalah harapannya tentu adanya
sebuah kesadaran kelas. Kesadaran kelas sebagai kepercayaan yang dimilik
seseorang tentang kelas sosial atau tingkatan ekonominya di masyarakat,
struktur kelas, dan kepentingan kelas mereka. Dalam kesadaran kelas ini ada
pelaksana (petugas gizi) dan kelompok kasus (kaum miskin yang menderita masalah
gizi).
Harusnya
ada kesadaran kelas dari proletariat gizi, dimana pelaksana (petugas gizi)
menjadi orang yang paling mengiba atas kejadian-kejadian kasus gizi buruk,
stunting, gizi kurus. Dengan demikian kesadaran kelas menjadi sebuah bentuk
peminimalisiran terhadap kasus gizi. Dan kadang para kelompok kasus adalah
mereka yang tidak mempunyai ‘suara’. Antara pelaksana (petugas gizi) dan
kelompok kasus bukan sebagai pertentangan kelas, tapi penyatuan kelas untuk
menumbuhkan kesadaran kelas.
Gagasan dari Ekologi Masalah Gizi, Pangan, dan
Kemiskinan (Khomsan, 2012), malnutrisi perlu menjadi indikator kemiskinan. Di
lembaran lain, Ali Khomsan (2012) menuliskan, “Rakyat Indonesia memang tidak
mengalami kelaparan kronis sebagaimana menimpa rakyat di
benua Afrika. Namun, dianalogikan bagaikan the phenomena of
iceberg or snowball, kita menderita kelaparan tersembunyi yang menyebabkan
persoalan kurang gizi tak kunjung teratasi”.
Terakhir mengutip gagasan Kanisius (2019) dalam
Indoprogress, dalam tulisannya “Relasi Tidak Searah Antara Pertumbuhan Ekonomi
dan Dana Desa Terhadap Kasus Stunting di Nusa Tenggara Timur”; “Stunting atau dapat kita sebut masalah
gizi bukanlah problem individu semata tetapi sekaligus menjadi ancaman bagi
populasi. Akibat stunting, Negara
akan mengalami kerugian Rp 300 triliun per tahun.
Kompleksitas masalah gizi (yang tersebut; stunting), semacam ini jelas membutuhkan
perhatian yang lebih. Perbaikan yang menyeluruh dan komprehensif perlu
dilakukan. Pertumbuhan ekonomi mestinya bisa menjadi data riil untuk
mendekatkan kita pada problem masalah gizi. Kesadaran kelas proletariat gizi
disini menempatkan; pertama-tama harus berpihak pada masyarakat miskin yang
memiliki masalah gizi. Apakah harus tersebut; proletariat gizi, bersatulah?
Dimuat di
Malut Post Edisi 21 Januari 2019
Bahan
Bacaan:
1. Khomsan,
Ali, 2012. Ekologi Masalah Gizi, Pangan dan Kemiskinan. Penerbit Alfabeta. Bandung.
2. Marx,
Karl, 2015. Manifesto Partai Komunis. Penerbit Ultimus. Bandung.
3. Harnecker,
Marta, 2015. Sosialisme; Pengalaman Venezuela Amerika Latin. Penerbit Resist
Book. Jogjakarta.
4. Hamzah,
Fahri, 2018. Mengapa Indonesia Belum Sejahtera? Sebuah Upaya Merekontruksi
Makna dan Indikator Kesejahteraan Indonesia. Bagian Penerbitan Biro Penerbitan
Parlemen Setjen DPR RI.
5. Trihono,
dkk, 2015. Pendek (Stunting) di
Indonesia, Masalah dan Solusinya. Lembaga Penerbit Balitbangkes
6. Kanisius, 2019. Relasi
Tidak Searah Antara Pertumbuhan Ekonomi dan Dana Desa Terhadap Kasus Stunting
di Nusa Tenggara Timur. (Online). Portal Indoprogress. https://indoprogress.com/2019/01/%EF%BB%BFrelasi-tidak-searah-antara-pertumbuhan-ekonomi-dan-dana-desa-terhadap-kasus-stunting-di-nusa-tenggara-timur/
7. Mudhoffir,
2018. Siapakah Lumpen Proletariat?. (Online). Portal Indoprogress. https://indoprogress.com/2018/02/siapakah-lumpen-proletariat-sebuah-diskusi-konseptual/
8. Kemenkes,
2018. Buku Saku Nasional Pemantauan Status Gizi Tahun 2017.
9. Savyamira,
2012. Gizi, Perempuan, dan Masa Depan Bangsa. (Online). https://www.savyamirawcc.com/publikasi/gizi-perempuan-dan-masa-depan-bangsa/
Posting Komentar
0 Komentar