Personal Literatur
Masa Depan Demokrasi Maluku Utara
Masa Depan
Demokrasi Maluku Utara
(Sepenggal
Gagasan Menjelang Pemilihan Legislatif 2014)
Pembicaraan terkait Demokrasi mulai
marak dibicarakan menjelang momen-momen politik ini. Hal ini pula yang
dilakukan oleh Jaringan Muda Maluku Utara (JMMU) dengan tema terkait “Masa
Depan Demokrasi Maluku Utara (Sepenggal Gagasan Menjelang Pemilihan Legislatif
2014)”. Agenda inipun tak terlepas dari kehadiran berbagai organisasi
kepemudaan meliputi beberapa Pengurus Daerah Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim
Indonesia (KAMMI) Kota Ternate. Maka ini sepenggal catatan dari dialog ini.
Pemateri dalam di dialog ini
diantaranya; Samsul Rijal (DPP KNPI), Sofyan Daud (DPRD Tikep), Boki Nita
(Keterwakilan Perempuan, Caleg Demokrat), Aziz Hasyim (Akademisi). Pemateri
pertama yang memaparkan gagasannya adalah Samsul Rijal (DPP KNPI). Dalam
pemaparan materinya, ia mengatakan implementasi dari demokrasi cenderung
seperti langit dan bumi. Demokrasi berasal dari kata demos dan cratos.
Demokrasi bukan semata pada demokrasi politik tapi juga dalam demokrasi
pemerintahan. Bahkan demokrasi yang diusung Plato, sudah dilakukan oleh
Rasulullah yaitu “Culture Madani”, tandas Samsul. Ia melanjutkan dalam konteks
kepemimpinan Maluku Utara, maka dalam 2 periode ini, kepemimpinan itu illegal.
Maluku Utara, daerah dengan inflasi yang tinggi dengan perputaran uang yang
rendah. Maka dimana peran pemerintah dalam men-drive ini. Maluku Utara harus
punya grand design, role mode untuk men-drive bentuk pemerintahan.
Maluku Utara cenderung politisasi hukum.
Secara historital, mengenai tata kota kemarin. Anak daerah harus bangga dengan
kearifan lokal. Contoh Jepang walaupun endosentris tapi punya kaisar, Belanda
yang maju tapi memiliki raja. Begitu juga Inggris, Malaysia, dan lainnya.
Mereka membangun character building, lanjut beliau.
NKRI lahir dari kesepakatan
raja-raja. NKRI buka hanya peran-peran Soekarno tapi juga ada Natsir yang ingin
membentuk Negara-Agamis, kata beliau. Pemda perlu melihat secara objektivitas
terhadap permasalahan sosial dan hukum dalam membentuk konstitusional, lanjut
Samsul. Dalam konteks politik demokrasi, rakyat Malut, bagaimana anak sekolah
ketika bangun berpikir langsung ke sekolah, begitu juga nelayan, petani, ketika
bangun berpikir ke laut dan ke kebun. Ini sekarang kan semua membicarakan
politik, lanjut Samsul.
Materi kedua yang dipaparkan dalam
dialog ini adalah Sofyan Daud. Peristiwa demokrasi terakhir Malut adalah hasil
Mahkamah Konstitusi beberapa hari yang lalu (pilkada). Ini menunjukkan bahwa
masyarakat Maluku Utara lebih cerdas dari periode-periode pemilihan sebelumnya,
beliau mengawali materinya. Tema ini juga membuat kita menjadi manusia yang
memiliki komitmen terhadap demokrasi. Institusi pendidikan, organisasi
kepemudaan, organisasi masyarakat hingga partai politik adalah penguji
demokrasi. Menghasilkan kader-kader politik yang baik, lanjut Sofyan.
Orang-orang cerdas itu harus
mencerdaskan masyarakat. Rakyat itu sebenarnya bisa memiliki tapi mereka tidak
memilih. Demokrasi memberikan kesempatan hingga orang brengsek pun harus
memilih. Bahkan dalam konteks, bagaimana kalau orang brengsek memilih orang
brengsek, kata beliau.
Pemateri ketiga dalam dialog ini
adalah Boki Nita. Membicarakan demokrasi itu sangat luas. Bisa saja tatanan
pemerintahan, ekonomi, dan politik, tandas Boki Nita. Boki Nita yang menjadi
pemateri sebagai keterwakilan perempuan mengatakan MDG’s sebagai isu-isu
perempuan. Keterwakilan perempuan dalam pemilu. Bahkan ini aturan KPU terkait
30% keterwakilan perempuan. Kalau perempuan-perempuan memilih perempuan maka
perempuan bisa menjadi perwakilan rakyat, gagas Nita.
Jumlah yang berbeda dalam legislatif
antara Manado dengan Maluku Utara. Manado, perempuan cukup banyak dalam
legislatif. Perempuanlah yang paling mengerti perempuan, lanjut Nita.
Yang namanya politisi itu do
something for partai politik, tandas Nita. Di Ubekistan itu seluruh pembiayaan
politik dibiayai negara. Di Australia itu 50%-50%. Dan di Indonesia hampir
hanya sedikit pembiayaan politik. Hal ini membuat menjadi sulit untuk pendidikan
politik. Debat politik harus mengatasi masalah golput, lanjut Boki Nita.
Pemateri keempat dalam dialog ini
adalah Aziz Hasyim. Aziz lebih mengerucut dalam mengupas tentang “Potret Pemuda
dalam Pileg 2014”. Teman-teman kalau di kampus disebut civitas akademika maka
malam ini teman-teman disebut civitas pergerakan, ungkap Aziz dalam memulai
pemaparan materinya.
Pembicaraan tentang demokrasi atau
apapun bahasanya. Maka demokrasi cenderung membicarakan visi dan gagasan.
Pertama, pemilih dan memilih, kedua, eleksetrend, keitga karakter pemilih.
Inilah ikhtiar demokrasi. 1995-1999 adalah trend demokrasi karena transisi.
Ikhtiar demokrasi. Rumusannya cenderung membuat ketidak keyakinan karena kuat
ditambah kekuasaan sama dengan menang, tandas Aziz.
Hampir kita lihat tidak visi dan
gagasan. Misalkan slogan pemilih cerdas pemilu berkualitas. Hal ini harusnya
menyentuh kesadaran. Bagaimana pemilu berkualitas kalau penyelenggara tidak
berkualitas, tandas Aziz. Prancis mendorong demokrasi, bukan tanpa darah. Dan
itu merupakan desain kekaisaran. Begitu juga halnya dengan Amerika. Grand
design untuk membalikkan citra Amerika untuk menyatakan mereka adalah demokrasi.
Dengan terpilihnya Presiden Obama, lanjut Aziz.
Apakah jalan menuju demokrasi harus
berdarah-darah? Demokrasi harusnya bisa dicapai dengan martabat. Syaratnya
adalah penyelenggara yang lebih baik. Parpol melakukan deal politik dan money
politik, lanjut Aziz. Demokrasi memang identik dengan visi. Maka perlu melihat
perjalanan sejarah-sejarah demokrasi. Kalau kita sepakat demokrasi itu terkait
visi maka kita perlu melihat demokrasi di Maluku Utara dalam potret yang lalu,
tandas Aziz.
Maka penyelenggara yang cerdas harus
menghasilkan pemilih yang cerdas. Jangan lagi berharap demokrasi kalau rakyat
menangis. Demokrasi pada akhirnya akan melahirkan pemimpin yang dungu. Pemilih
cerdas, penyelenggara bobrok maka pemilu bobrok. Jadinya money politik tambah
kekuasaan sama dengan beli suara di KPU, lanjut Aziz.
Setelahnya berlangsung diskusi yang
alot, banyak penanya yang bertanya tentang kondisi demokrasi kini hingga
kinerja (Boki Nita dan Sofyan Daud) selaku perwakilan DPR-RI Maluku Utara dan
Anggota DPRD Tikep serta sedang mencalonkan diri lagi.
Sayangnya diskusi ini tidak
berorientasi dan tidak menentukan indikator untuk kemajuan demokrasi secara
umum yang mampu dipertanggungjawabkan pemateri yang sebagian sebagai anggota
DPRD dan DPR-RI dan sedang mencalonkan diri lagi, begitu juga dengan akademisi,
dan kaum muda. Semisal kita menyadari bahwa demokrasi itu membutuhkan
rasionalitas, moralitas, dan etika yang kuat. Maka yang diperlukan adalah
perbaikan kualitas manusia bukan semata pembangunan infrastruktur. Demokrasi
sebagai instrumen dalam misi yang ideal untuk membentuk masyarakat madani
dengan indikator yang mirip dengan masyarakat madani di masa Rasulullah, syura
(musyawarah), al-adalah (keadilan), al-amanah (kepercayaan), al-masuliyah
(bertanggung jawab), al-hurriyah (kebebasan), dan al-musawah (kesejajaran).
Kalau dalam sistem Islam pastinya suara ulama berbeda dengan suara seorang
pemabuk. Tapi bagaimana kita kedepankan kedemokrasian islam bukan islam
demokrasi. Demokrasi memang akan terpaut pada orang brengsek memilih orang
brengsek, orang baik memilih orang brengsek, orang brengsek memilih orang baik
dan orang baik memilih orang baik. Maka bagaimana kita mengatur demokrasi agar
hanya terpaut pada orang brengsek memilih orang baik dan orang baik memilih
orang baik. Maka perlu kaderisasi partai politik yang menciptakan orang baik.
Posting Komentar
0 Komentar