Ideasi Gerakan
Muslim Negarawan: Konsepsi dan Perspektif
Muslim Negarawan:
Konsepsi dan Perspektif
M.
Sadli Umasangaji
(Founder Celoteh Ide, Anggota
Biasa III KAMMI
Ideasi Gerakan KAMMI
Sebagaimana umumnya organisasi
pergerakan atau organisasi kepemudaan selalu memiliki yang namanya profil
kadernya. Dan Muslim Negarawan adalah frasa yang dipilih sebagai profil, cita-cita,
bahkan konsepsi dalam berKAMMI. Frasa inipun menjadi identik bagi KAMMI. Bahkan
menjadi semacam grand design dari proses pengkaderan KAMMI.
Memulai ini saya
mencoba mencari beberapa literatur terkait ini dari internal KAMMI sendiri. Maksudnya
disini adalah menempatkan makna frasa Muslim Negarawan ini dalam internal
KAMMI. Dengan itu saya tidak mendefenisikan misalnya apa itu Muslim atau apa
itu negarawan secara detail dari referensi yang umum. Saya mencoba memandang
secara lugas atau mungkin ringkas dalam pandangan literatur KAMMI secara
internal. Kalau coba kita lihat misalnya masih sedikit literatur dalam bentuk
buku soal KAMMI atapun tentang konsepsi Muslim Negarawan dalam perspektif KAMMI
ini. Buku-buku tentang KAMMI yang fenomenal semisal KAMMI dan Pergulatan
Reformasi, Gerakan Perlawanan dari Masjid Kampus. Atau yang agak terkini
semisal Menyiapkan Momentum, Ijtihad Membangun Basis Gerakan, Kapita Selekta
KAMMI. Lebih terbaru misalnya KAMMI, Beyond Politics, Mencintai KAMMI dengan Kritik,
Dalam Sebuah Pencarian, Jalan Buntu Independensi KAMMI, ataupun misalnya buku
Untukmu Muslim Negarawan, Impactivis dan buku lainnya. Dulupun ada buku dengan
frasa Muslim Negarawan, judulnya KAMMI, Menuju Muslim Negarawan, Meretas
Kebangkitan Indonesia. Mungkin ini segelintir buku soal keKAMMIan. Beberapa
diantaranya coba saya gunakan dalam menuliskan soal tema ini.
Mula-mula saya mencoba melihat
semisal sinomin makna dalam memaknai frasa Muslim Negarawan ini. Terdapat dalam
pengantar buku KAMMI dan Pergulatan Reformasi, tertulis dalam sub pengantar,
Masa Depan KAMMI. Beberapa hal yang dikehendaki pada KAMMI, pertama, KAMMI
harus membaca kembali sejarah kita secara tuntas, pembacaan itu nanti
memberikan kita semacam kearifan untuk menentukan arah ke depan. KAMMI harus
menyadarkan umat bahwa kita adalah penghuni terbesar bangsa ini dan karenanya
tidak saja memiliki hak sejarah untuk berkuasa di semua bidang tetapi juga
kewajiban yang tak dapat dihindari.
Kedua, KAMMI harus membaca Islam dan
ilmu pengetahuan secara mendalam dan berkelanjutan. Hal ini karena KAMMI adalah
cadangan masa depan umat yang suka atau tidak, cepat atau lambat akan menjadi
pemimpin di negeri ini. Ketiga, KAMMI tentu harus menyiapkan diri bagi
laboratorium amal yang luas. Hal ni tidak saja karena bangsa dan umat
memerlukan para pemimpin di semua bidang, tetapi juga karena adanya kenyataan
internal sebagai kurikulum-kurikulum amal yang nyata untuk melahirkan pemimpin.
Sebagai Konsepsi: Input, Ouput, dan Outcome
Sebagaimana kita ketahui profil
Muslim Negarawan ini mulai digagas dan ditetapkan pada Lokakarya Departemen
Kaderisasi KAMMI Pusat pada akhir Desember 2005. Profil Muslim Negarawan ini
menjadi tantangan untuk menjawab visi KAMMI itu sendiri. Kemudian kita dapat
lihat soal konsepsi ini dalam Manhaj KAMMI dan file Lokakarya mengenai
penjelasan Muslim Negarawan ini dalam proses pengkaderan KAMMI. Dalam sebuah
diskusi online, Ketua BPK PP KAMMI periode ini (2019-2021) menyebutkan bahwa
konsepsi KAMMI ini sudah sangat utuh dan komprehensif mengenai konsepsi
kualitas seorang kader. Ia juga menyebutkan bahwa Kredo Gerakan KAMMI dapatlah
menjadi semacam input seorang kader dalam berKAMMI. Sedangkan Konsepsi Muslim
Negarawan semacam menjadi output dari proses pengkaderan KAMMI. Kemudian untuk
menilai konsepsi ini pada diri kader tertuanglah konsepsi Muslim Negarawan
dalam Indeks Jati Diri Kader. Maka ia adalah proses menjadi.
Tentu pula tak terlepas bahwa Muslim
Negarawan merupakan nilai-nilai internalisasi dari GBHO KAMMI. GBHO (Garis-garis Besar Haluan Organisasi) adalah
rumusan yang disusun secara sistematis,
terarah, dan terpadu
yang meliputi filosofi
gerakan, pemosisian gerakan,
dan haluan gerakan untuk
memberikan arah bagi perjuangan KAMMI dalam mewujudkan visi dan misinya yang
ditetapkan dalam Anggaran Dasar KAMMI. Sebagaimana kita tahu dalam filosofi
gerakan terdiri dari visi, misi, kredo gerakan, prinsip gerakan, karakter
organisasi, paradigma gerakan, dan unsur-unsur perjuangan.
Selanjutnya
dapat kita kerucutkan Konsepsi Muslim Negarawan ini sebagaimana penjelasan
dalam Formulasi Manhaj. Dimana ada alur pemahaman dituliskan input, proses,
output dan outcome. Inputnya adalah kader, prosesnya manhaj, outputnya adalah
jati diri kader sesuai jenjang kaderisasi yaitu Syakhsiyah Islamiyah al-Harakiyah (AB 1), Syakhsiyah Da’iyah al-Fikriyah
(AB 2), dan Syakhsiyah Qiyadiyah as-Siyasiyah (AB 3), serta outcomenya adalah
Muslim Negarawan. Ada semacam formulasi dengan alur Gerakan KAMMI memiliki
manhaj kaderisasi dan instruktur, melalui proses pengkaderan dan faktor sumber
daya pendukung. Gerakan KAMMI memiliki tujuan Masyarakat Islami. Dengan alur
kaderisasi dalam pembentukan jati diri kader. Dari ini memiliki relevansi
Muslim Negarawan dan Masyarakat Islami.
Dalam konteks ini maka dijabarkanlah lima elemen kunci dan enam
kompetensi kritis. Dalam buku Menyiapkan Momentum, Rijalul Imam mencoba
membahas terlebih dahulu soal beberapa dimensi dari kata Muslim Negarawan,
diantaranya dimensi gerakan, dimensi normatif, dimensi realitas sosial politik,
dimensi konstitusi, dan dimensi historis.
Sebagaimana disebutkan dalam Manhaj Kaderisasi KAMMI 1427
H, Muslim Negarawan adalah kader KAMMI yang memiliki basis ideologi Islam yang
mengakar, basis pengetahuan dan pemikiran yang mapan, idealis dan konsisten,
berkontribusi pada pemecahan problematika umat dan bangsa, serta mampu menjadi
perekat komponen bangsa pada upaya perbaikan. Inilah yang menjadi lima elemen
kunci.
Pertama,
memiliki basis ideologi Islam yang mengakar. Dimana KAMMI menggunakan Islam
sebagai landasan dalam membangun bangsa dan merekonstruksi umat. Oleh karena
itu, KAMMI menempatkan kadernya untuk mempelajari dan
menempatkan nilai-nilai keislaman dengan
nilai-nilai yang menyeluruh sesuai dengan kehendak-kehendak dalam berislam. Kedua, memiliki basis pengetahuan dan pemikiran yang
mapan. Hal ini menuntut kader KAMMI untuk giat mempelajari konsep-konsep
pengetahuan dan pemikiran yang mapan agar tidak mudah didekonstruksi argumen
pergerakannya.
Bahkan semacam rekonstruksi gagasan keilmuan dengan asas-asas pergerakan
termasuk menginternalisasi islam dengan keilmuan kader. Bahwa kader KAMMI mapan
dalam ilmu basic yang dipelajari, memperkuat gagasan dalam realitas sosial dan
mengolaborasi dengan pemikiran dalam gerakan. Ketiga, idealis dan konsisten.
Hal ini adalah landasan berniat, berpikir, bergerak dan sekaligus bertindak
termasuk juga didalamnya adalah beramal. Bahwa kader KAMMI berpikir, berniat, dan bertindak berangkat dari
nilai-nilai ideal bukan dari keuntungan sesaat dan tidak mudah menjual diri
pada kepentingan pragmatis. Hal ini bukan berarti KAMMI tidak realistis, justru
dengan mematok ‘nilai tertinggi’ ini dengan ragam dialektis dengan realitas.
Keempat, berkontribusi pada pemecahan problematika umat dan bangsa. Hal ini adalah
soal kontribusi kader baik dalam berproses di KAMMI termasuk dalam
internalisasi nilai pengkaderan di KAMMI dalam jati diri individu kader ataupun
proses keseharian sebagai gerakan kritik yang solutif terhadap permasalahan
bangsa. Termasuk didalamnya internalisasi nilai-nilai ini terhadap kader dan terus
bertumbuh paska ber-KAMMI. Ini merupakan ekspresi
kader KAMMI dalam pikiran, niatan, dan tindakan dalam rangka memberi solusi memecahkan
problematika umat dan bangsa. Kelima, mampu menjadi perekat komponen bangsa pada upaya perbaikan. Hal ini menuntut kader-kader KAMMI untuk bergaul secara
luas, memiliki jaringan luas dalam proses perbaikan dan pembangunan dengan
berbagai pihak, dan meletakkan ukhuwah secara proporsional.
Dari uraian lima
elemen ini, memiliki kompetensi kritis. Kompetensi kritis ini diantaranya,
Pertama, Pengetahuan Ke-Islam-an. Kader harus memiliki ilmu pengetahuan dasar keislaman,
ilmu alat Islam, dan wawasan sejarah dan wacana keislaman. Pengetahuan ini
harus dimiliki agar kader memiliki sistem berpikir Islami dan mampu mengkritisi
serta memberikan solusi dalam cara pandang Islam. Kedua, Kredibilitas Moral. Kader memiliki
basis pengetahuan ideologis, kekokohan akhlak, dan konsistensi dakwah Islam.
Kredibilitas moral ini merupakan hasil dari interaksi yang intensif dengan
manhaj tarbiyah Islamiyah serta implementasinya dalam gerakan (tarbiyah
Islamiyah harakiyah).
Ketiga, Wawasan
ke-Indonesia-an. Kader memiliki pengetahuan yang berkorelasi kuat dengan
solusi atas problematika umat dan bangsa, sehingga kader yang dihasilkan dalam
proses kaderisasi KAMMI selain memiliki daya kritis, ilmiah dan obyektif juga
mampu memberikan tawaran solusi dengan cara pandang makro kebangsaan agar
kemudian dapat memberikan solusi praktis dan komprehensif. Wawasan
ke-Indonesia-an yang dimaksud adalah penguasaan cakrawala ke-Indonesia-an,
realitas kebijakan publik, yang terintegrasi oleh pengetahuan interdisipliner.
Keempat, Kepakaran dan profesionalisme.
Kader wajib menguasai studi yang dibidanginya agar memiliki keahlian
spesialis dalam upaya pemecahan problematika umat dan bangsa. Profesionalisme
dan kepakaran adalah syarat mutlak yang kelak menjadikan kader dan gerakan
menjadi referensi yang ikut diperhitungkan publik.
Kelima, Kepemimpinan.
Kompetensi kepemimpinan yang dibangun kader KAMMI adalah kemampuan
memimpin gerakan dan perubahan yang lebih luas. Hal mendasar dari kompetensi
ini adalah kemampuan kader beroganisasi dan beramal jama’i. Sosok kader KAMMI
tidak sekedar ahli di wilayah spesialisasinya, lebih dari itu ia adalah seorang
intelektual yang mampu memimpin perubahan. Di samping mampu memimpin gerakan
dan gagasan, kader pun memiliki pergaulan luas dan jaringan kerja efektif yang
memungkinkan terjadi akselerasi perubahan. Keenam, Diplomasi dan Jaringan. Kader KAMMI adalah mereka yang terlibat
dalam upaya perbaikan nyata di tengah masyarakat. Oleh karena itu ia harus
memiliki kemampuan jaringan, menawarkan dan mengkomunikasikan fikrah atau
gagasannya sesuai bahasa dan logika yang digunakan berbagai lapis masyarakat.
Penguasaan skill diplomasi, komunikasi massa, dan jaringan ini adalah syarat
sebagai pemimpin perubahan.
Kemudian lima elemen dan kompetensi kritis ini
ditempatkan relevansinya. Pertama, elemen ideologi islam yang mengakar dengan
kompetensi pengetahuan keislaman. Kedua, elemen idealis dan konsisten dengan
kompetensi kredebilitas moral. Ketiga, elemen basis pengetahuan dan pemikiran
yang mapan dengan kompetensi wawasan ke-Indonesia-an serta kepakaran dan
profesionalisme. Keempat, elemen berkontribusi
pada pemecahan problematika umat dan bangsa dengan kompetensi kepemimpinan. Kelima,
elemen mampu menjadi perekat komponen bangsa pada upaya perbaikan dengan
kompetensi diplomasi dan jaringan.
Dari titik
inilah kita akan menyadari bahwa Muslim Negarawan adalah proses akumulasi dari
input, output sekaligus outcome. Kita menyadari bahwa Muslim Negarawan dalam
prosesnya menempatkan soal pemikiran dan pemahaman, soal karakter, dan juga
soal kontribusi. Dengan demikian bahwa Muslim Negarawan tidak akan terlepasan
dari filosofi gerakan KAMMI. Dan termaknai dari Unsur-Unsur Perjuangan dan juga
Paradigma Gerakan.
Sekadar dalam Ulasan
Dalam hal ini mungkin yang paling
awal, kita mencoba melihat definisi dari frasa Muslim Negarawan ini. Frasa ini
memiliki dua kata, yakni Muslim dan Negarawan. Kata muslim, merujuk pada
manusia yang beragama Islam. Dalam hal ini kata Muslim juga dapat dipahami
sebagaimana makna dalam Tahapan-tahapan Amal, kita menginginkan seorang yang
muslim dalam pola pikir dan akidahnya, dalam moralitas dan perasaannya, serta
dalam amal dan perilakunya. Individu muslim yang kita inginkan adalah individu
yang memiliki fisik kuat, mulia akhlaknya, berwawasan luas, giat berusaha,
lurus aqidahnya, benar ibadahnya, pejuang sejati, menjaga waktunya, tertib
urusannya, bermanfaat bagi orang lain. Atau semacam konsturksi makna dari
perkataan Yusuf Qardhawi, pertama, hendaknya
kita selalu bangga dengan keislaman kita. Kita harus merasa bahwa segala yang
membuat kita bangga, yang membuat kita percaya diri, yang membuat kita berani
menghadapi orang lain adalah Islam. Kedua, selain bangga, Islam harus menjadi
cara berpikir, menjadi perilaku, menjadi cara bermuamalah kita. Harus
menjadikan diri kita sebagai Al-Qur’an yang berjalan dan Sunah yang berjalan.
Sedangkan
negarawan merujuk pada kualitas pemimpin puncak sebuah Negara. Dalam KBBI,
negarawan adalah orang yang ahli dalam kenegaraan (pemerintah), pemimpin
politik yang secara taat asas menyusun kebijakan negara dengan suatu pandangan
ke depan atau mengelola masalah negara dengan kebijaksanaan dan kewibawaan.
Dari titik ini,
maka frasa Muslim Negarawan ini memiliki relevansi diksi pada Muslim,
Negarawan, dan juga Pemimpin. Muslim Negarawan juga masih pada elaborasi
pertanyaan, misalnya apakah ia berbentuk semacam dukungan pada sosok yang
memiliki nilai-nilai Muslim Negarawan, atau memang masih sebatas pada
internalisasi nilai-nilai ini pada jati diri kader sebagai cita-cita dan juga
harapan nanti. Bagaimana bentuk ril dari Muslim Negarawan ini pada sosok ril
yang ada?
Konteks dalam
pembahasan ini, saya mencoba melihat dari beragam pandangan terkait konsepsi
Muslim Negarawan ini. Dapat kita lihat ragam perspektif dari beberapa
pandangan, pertama, kontradiktif, kedua, normatif, dan ketiga, futuristik.
Pertama,
pandangan kontradiktif. Pandangan ini semacam menggugat konsepsi Muslim
Negarawan. Kritikannya adalah apa konsepsi ini sesuai pada tataran ril gerakan
mahasiswa, ada semacam ‘reduksi’ makna dari Muslim Negarawan yang memang
kecenderungan pada pandangan menjadi politisi, pada titik ini juga kita akan
bertanya bagaimana bentuk ril dari Muslim Negarawan. Atau bahkan semacam
konsepsi ‘melampaui’ Muslim Negarawan, semacam beyond politics.
Pandangan
kontradiktif ini, ada dalam tulisan Kritik Muslim Negarawan oleh Zulfikar,
Ketua PD KAMMI Bantul dan juga dulu pernah menjadi Pengurus Wilayah KAMMI
Maluku Utara menyebutkan muslim negarawan secara terminologis
adalah orang-orang Islam -yang sekaligus- politisi yang peduli dengan masa
depan bangsanya. Sebagai figur manusia terbaik yang unggul dalam akhlaq dan
moral serta dengan penuh kesadaran mentransformasikannya dalam kehidupan
praksis di tengah-tengah masyarakat.
Dalam tulisan itu menyebutkan bahwa muslim negarawan
cenderung bertendensi politik praktis. Di bagian lain dituliskan alur gerakan
dalam desain tersebut membagi lima sektor kehidupan yang nantinya akan dimasuki
oleh kader pasca aktif di KAMMI. Seperti eksekutif, legislatif, yudikatif,
swasta dan profesional. Bila hanya negarawan saja yang dipakai sebagai profil
dan spirit gerakan, rasa-rasanya bukankah kader sengaja diarahkan untuk
berkarir di bidang politik (eksekutif dan legislatif)? Padahal masalah bangsa
ini sistemik menjamur di segala sektor. Lantas kalau hanya politik saja yang
digarap, bagaimana perbaikan menuju masyarakat Indonesia yang islami itu dapat
terwujud? Disisi lain, Zulfikar menuliskan meskipun ikhtiar gerakan mahasiswa
sejak dulu sangat besar, tetapi manifestasi di masa depan yaitu kondisi
sekarang, belum membuahkan hasil yang memuaskan. Jangankan berhasrat menjadi
muslim yang negarawan atau negarawan, menjadi politisi yang baik saja sudah
sulit hari ini.
Dalam tulisan lain misalnya, Titik Rawan Muslim Negarawan,
yang dituliskan Gading EA, mempertanyakan apakah Muslim Negarawan akan
selamanya menjadi orientasi pengkaderan KAMMI? Gading menuliskan yang menjadi
titik rawan adalah ketika diskursus Muslim Negarawan berhenti pada istilah
Muslim Negarawan. Karena bukan hanya jargon atas kata-katanya yang perlu kita
banggakan sebagai sebuah identitas, namun juga bagaimana pergulatan pemikiran
sampai ia lahir dan tumbuh menjadi seperti sekarang. Ini bukan soal apakah
Muslim Negarawan atau yang lain, tapi tentang kekosongan narasi dan wacana yang
ada di tubuh KAMMI itu sendiri. Pro dan kontra seharusnya disikapi biasa.
Karena dialektika, tesis-antitesis yang melahirkan sintesis, melahirkan sesuatu
yang baru akan lebih menguatkan KAMMI di saat-saat krisis.
Ada juga misalkan gagasan dalam buku KAMMI, Beyond Politics,
dengan judul tulisan Muslim Negarawan dalam Gugatan. Memang dalam tulisan ini
terjadi semacam reduksi pandangan terhadap Muslim Negarawan atau melihat
realitas bahwa Muslim Negarawan kecenderungan pada ranah politik semata.
Reduksi makna karena pandangan realitas ini, dalam tulisan Dharma itu mengajak
untuk memperluas makna dalam konsepsi berKAMMI. Sebelum itu, frasa Muslim
Negarawan diartikan bahwa kumpulan orang-orang Muslim yang selalu mewakafkan
dirinya untuk memperbaiki negaranya dan selalu optimis terhadap masa depan negarannya.
Jadi, Dharma menempatkan bahwa Negarawan mengandung bentuk perjuangan jalur
politik dengan kekuasaan negara. Maka Dharma menawarkan konsepsi Homo Islamicus.
Homo Islamicus adalah bentuk konsistensi manusia sebagai makhluk
ber-Tuhan. Dia meramu segala bentuk kebaikan-kebaikan yang hadir pada nalar dan
wahyu untuk menciptakan maslahah (manfaat). Menurut Seyyed Hossein Nasr, selama
“ratusan ribu tahun” hidup di muka bumi manusia mempertahankan tanpa_putus pandangannya
mengenai hubungannya dengan Tuhan dan alam dilihat sebagai ciptaan dan ayat
Tuhan. Pandangan tradisional yang sudah berumur “ratusan ribu tahun ini’ oleh
manusia modern “diputus” sejak sekitar abad ke-16 dengan menetapkan manusia
sebagai satu-satunya kriteria kepastian kebenaran. Para Homo Islamicus memiliki
daya nalar, rasio yang membagi dan menganalisa, tetapi fakultas mentalnya tidak
terbatas pada alasan. Homo Islamicus yang merupakan kesadaran manusia
untuk memberi kesadaran penuh terhadap fokus ruang antara manusia, Islam dan
peradaban. Homo Islamicus adalah intelektual profetik dalam
arti yang lebih makro.
Dalam penjelasan lanjutan Dharma kemudian menawarkan bahwa
KAMMI lebih perlu Muslim Moderat. Dalam bentuk Muslim Moderat sebagaimana
Kuntowijoyo sebut Islam Moderat. Muslim Moderat dapat dirumuskan definisi yang
diantaranya menyangkut sikap KAMMI yang menampilkan Islam tengah tanpa
menampilkan gerakan kiri atau kanan. Gerakan KAMMI Moderat adalah bentuk
penghargaan terhadap pilihan kader KAMMI yang perlu mengisi ruang gerak lain
tidak hanya “Negarawan An Sich”. Muslim Moderat adalah sosok kader-kader Islam
yang menempatkan diri pada posisi gerakan tengah tanpa ektrim kiri maupun
ektrim kanan serta bergerak dan berjuang menuju Indonesia yang madani.
Kedua, pandangan normatif. Pandangan ini tentu pandangan
umum yang mengandung kewajaran pandangan terhadap konsepsi. Misalnya pandangan
dalam Rijalul Imam dalam tulisannya “Muslim Negarawan Sebagai Orientasi
Kaderisasi KAMMI” yang mengatakan permasalahan utama yang dihadapi bangsa
ini adalah hilangnya rasa kepemilikan pada bangsa itu sendiri oleh mayoritas
komponen bangsa. Hal inilah yang kemudian melahirkan krisis kepemimpinan. Dalam
pandangan KAMMI, krisis kepemimpinan di tingkat nasional adalah minimnya sosok
manusia (pemimpin) Indonesia yang memiliki mentalitas dan sikap sebagai
negarawan. Dalam pandangan ini termaktub semacam kewajaran bahwa konsepsi
Muslim Negarawan memang soal kepemimpinan dan juga ruang politik. Rijalul Imam,
menuliskan, “Pembangunan posisi sebagai gerakan
intelektual profetik, namun strategi yang digunakan bukan berarti meninggalkan
peran-peran politik, justru sebaliknya dengan membangun tradisi berpolitik
KAMMI pada prinsip politik moral
berbasis nalar intelektual.”
Selain itu, pandangan dalam Buku Ijtihad Membangun Basis
Gerakan, dengan term sub bab bahwa Politik itu tak selalu kotor. Amin Sudarsono
juga mengutip perkataan Hasan al-Banna yang dengan gamblang mengaitkan antara
akidah dan aktivitas politik. Ia berkata, “Sesungguhnya seorang muslim belum
sempurna keislamannya kecuali jika dia menjadi seorang politikus, mempunyai
pandangan jauh ke depan dan memberikan perhatian penuh kepada persoalan
bangsanya.” Selanjutnya ia mengatakan, “Sesungguhnya kami adalah politikus dalam
arti bahwa kami memberikan perhatian kepada persoalan-persoalan bangsa kami,
dan kami bekerja dalam rangka mewujudkan kebebasan seutuhnya”. Di bagian
Karaktek Muslim Negarawan, Amin Sudarsono menyebutkan, “Selain itu, muncul tiga
hal yang merupakan syarat utama munculnya sosok Muslim Negarawan yang memiliki
keberpihakan pada kebenaran dan terlatih dalam proses perjuangannya. Tiga hal
itu adalah (1) mereka yang terlahir dari gerakan Islam yang tertata rapi
(quwwah al-munashomat), (2) semangat keimanan yang kuat (ghirah qawiyah) dan
(3) kompetensi yang tajam.
Amin juga menyebutkan, “Terakhir, semua kader KAMMI idealnya
memiliki kepribadian politik Islam. Kepribadian politik adalah sejumlah
orientasi yang terbentuk pada individu untuk menghadapi dunia politik. Hal itu
mencakup berbagai dimensi, di antaranya informasi dan persepsi yang berkaitan
dengan dunia politik, berbagai pandangan—baik positif maupun negatif—yang
merumuskan hubungan indvidu dengan simbol-simbol politik, berbagai contoh
loyalitas, orientasi ideologis, dan penilaian terhadap masalah politik serta
sikap seorang individu terhadap dunia politik. Aspek-aspek ini diperoleh
indvidu melalui proses sosialisasi politik”. Amin kemudian menempatkan muatan
kepribadian politik meliputi anasir kultural yang memiliki kandungan politis,
yang bekerja untuk membentuk dan menumbuhkan kepribadian politik di tengah
masyarakat. Nilai dan keyakinan dasar ini meliputi prinsip; pertama, agama
adalah syarat bagi kebangkitan masyarakat, kedua, pembebasan akal dari belenggu
kejumudan dan warisan keterbelakangan, ketiga, permusyawaratan (syura),
keempat, komitmen terhadap moralitas politik.
Sementara gagasan Viki Adi Nugroho, menempatkan Muslim Negarawan
merupakan akumulasi dari nilai perjuangan seorang da'i untuk mengantarkan umat
ini, bangsa ini, negeri ini, agama ini, ke dalam kemenangan abadi dan hakiki.
Merupakan karakter perpaduan dari berbagai akhlaq Islam dalam konteks ril
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Muslim Negarawan akan
melihat apapun di depanya dengan rasa optimis, ia berusaha berprestasi di
tengah keterbatasan yang dimiliki.
Ketiga,
pandangan futuristik. Ini hanya sekedar pandangan pribadi saya terhadap
beberapa gagasan kader yang menurut saya soal pandangan terkait KAMMI ke depan.
Atau sekedar konsepsi pengembangan dari Muslim Negarawan. Beberapa pandangan
itu, pertama gagasan Kartika Nur Rakhman tentang Lapis Intelegensia Baru dan
gagasan Arief Susanto tentang Impactivist.
Gagasan Kartika
Nur Rakman ini ada dalam buku Kapita Selekta KAMMI. Kartika menuliskan, maka
mencipta harapan adalah membangun lapis intelegensia baru yang membawa harapan
tersebut. Suatu lapis intelegensia yang memiliki essential attributes
(sifat-sifat utama) yang dapat dijadikan modal dalam mengatasi masalah bangsa ini.
Proyek membangun lapis intelegensia baru bukanlah sebuah hal yang mudah. Akan
tetapi lapis ini harus memiliki zeithgeist (semangat zaman) baru pula.
Intelegensia adalah sebuah kelompok kolektif yang disatukan dengan kesadaran
yang sama. Lapis intelegensia ini memiliki beberapa kapasitas diantaranya,
pertama, kapasitas ketakwaan, yang difungsikan sebagai dasar. Dimana ketakwaan
ini harus mampu menghasilkan suatu gerakan kolektif yang berhasil. Sifat
internalisasi ketakwaan inilah yang akan membentuk kepribadiaan seseorang.
Kedua, kapasitas
intelektualitas. Kapasitas intelektual yang mumpuni akan mengubah arah
kepemimpinan baru dengan gagasan yang segar. Lapis ini juga harus mampu menjadi
intelektual organik. Kartika mengembangkan dari pemikiran Gramsci, menjadi
orang yang mampu mengartikulasikan kepentingan masyarakat tertindas dan
teralienasikan. Persis seperti Paradigma Intelektual Profetik, menganasirkan
ketakwaan terhadap nilai-nilai intelektual.
Ketiga,
kapasitas jaringan yang dapat diandalkan. Jaringan yang kuat akan menentukan
seberapa besar sumber daya yang dapat digunakan dalam meraih suatu tujuan.
Jaringan inilah juga yang akan menentukan seberapa besar pengaruh dari lapis
intelengensia baru ini.
Selain itu, ada
gagasan Arief Susanto tentang Impactivist. Dalam gagasan ini membincang soal
cita-cita KAMMI menjadi cita-cita kemerdekaan Indonesia dengan membincang dua
tagline KAMMI Untuk Indonesia dan Jayakan Indonesia 2045. Dalam hal ini semacam
menggambarkan pentingnya diaspora dalam pemberdayaan kader. Impactivist ini
memfokuskan daya dampak yang perlu dimiliki kader.
Pertama,
penekanan bahwa KAMMI lahir bukan untuk jadi politisi. Akan tetapi sebagai
penerus perjuangan menyelamatkan Indonesia. Sebagai penggerak cita-cita
kemerdekaan dan kejayaan Indonesia.
Kedua,
menempatkan kembali bahwa KAMMI selalu menjadi gelora diri pada mihwar Mihani.
KAMMI memfokuskan pada gerakan basis kompetensi menciptakan produk yang
memiliki impactfull. Basis untuk pengisi pos-pos dengan diaspora yang luas,
baik partai, ilmuwan, NGO, filantropi dan seterusnya. Konsepsinya adalah untuk
Menjayakan Indonesia.
Maka dari itu
ada yang disebut sebagai Project Learning sebagai portofolio. Ini dijadikan
sebagai pembelajaran aktif bagi kader. Langkahnya workshop (pembekalan), grouping,
give fasilitator, merumuskan produk, dan workshop serta evaluasi rutin. Poinnya
diantaranya, pertama, latihan terus menerus (untuk menjadi founder
berkualitas), kedua, menjadi founder sejak dini, ketiga, focus pada kuantitas
produk dan action, gerak dulu, jangan kebanyakan pertimbangan.
Ini semacam
perluasan makna, dengan menyandarkan bahwa kader sudah memiliki beberapa modal
seperti keshalehan, intelektualitas, dan daya gerak yang cukup memadai. Dari
ini, penyandaran akan modal existing itu, memicu adanya Student Impact
Activation, kader membuat produk-produk impacfull atas masalah-masalah kecil
disekitar mereka. Transformasi Impacfull ini menjadi pertama, impactivist,
aktivis dengan produk yang impactfull (menjawab permasalahan masyarakat dengan solusi
dan eksekusi terbaik). Kedua, impactpreneur, pengusaha dimana yang diusahakan
adalah produk yang impactfull. Jadi selain membantu masyarakat, juga bisa jadi
lading usaha kita. Ketiga, pemimpin, produk impactfull dengan segala sepak
terjang kita akan menjadi hal yang patut dipertimbangkan untuk menjadi seorang
pemimpin.
Ada gambaran
antara konsepsi impactivist ini dengan posisi alumni terhadap produk kader,
diantara, pertama alumni sebagai penghubung, kedua, alumni sebagai akselerator,
ketiga, alumni sebagai penyokong atau supporter, dan keempat, alumni sebagai
penghimpun.
Memandang Kembali: Insersi dan Kolaborasi Gagasan
Bila kita pandang beberapa ulasan itu diantara
pandangan-pandangan itu, baik kontradiktif, normatif dan futuristik sebenarnya
saling berkelindan atau saling menempatkan relevansi. Yakni bahwa Muslim
Negarawan memang ditempatkan dengan pemaknaan yang luas, sebagaimana konsepsi
dasarnya yang terdiri dari elemen kunci dan kompetensi kritis. Ini berarti
Muslim Negarawan memang seharusnya mencakup perluasaan makna dari Homo
Islamicus, Muslim Moderat, Fundamentalis Rasional, Lapis Intelegensia Baru, Impactivist
dan tentu juga Founder Gerakan Pemberdayaan.
Rijalul Imam sendiri dalam
tulisannya, menuliskan, perlu diingat, bahwa menjadi negarawan tidak harus
menjadi birokrat. Lapangan perbaikan bangsa ini terlalu sempit untuk dikerjakan
para birokrat. Namun ‘tidak harus’ bukan berarti tidak boleh. Sah-sah saja
kader aktif mengaplikasikan prinsip gerakannya ‘perbaikan adalah tradisi perjuangan
KAMMI’ di mana pun ia berada.
Maka Muslim Negarawan adalah
elaborasi dari Muslim Pembelajar dan Muslim Profesional. Muslim Pembelajar
adalah proses dari internalisasi nilai-nilai Muslim Negarawan, sedangkan Muslim
Profesional adalah ruang kontribusi dari nilai-nilai Muslim Negarawan.
Internalisasi kontribusi Muslim Negarawan ini sesuai dengan langkah-langkah
dalam Unsur-Unsur Perjuangan KAMMI, pertama, bina al-qo’idah al-ijtima’iyah
(membangun basis sosial), yaitu membangun lapisan masyarakat yang simpati dan
mendukung perjuangan KAMMI yang meliputi masyarakat umum, mahasiswa, organisasi
dan lembaga swadaya masyarakat, pers, tokoh, dan lain sebagainya. Kedua, bina
al-qo’idah al-harokiyah (membangun basis operasional), yaitu membangun lapisan
kader KAMMI yang bergerak di tengah-tengah masyarakat untuk merealisasikan dan
mengeksekusi tugas-tugas da’wah yang telah digariskan KAMMI. Ketiga, bina
al-qo’idah al- fikriyah (membangun basis konsep), yaitu membangun kader
pemimpin yang mampu menjadi teladan masyarakat, memiliki kualifikasi keilmuan
yang tinggi sesuai bidangnya, yang menjadi guru bagi gerakan, mengislamisasikan
ilmu pengetahuan pada bidangnya, dan memelopori penerapan solusi Islam terhadap
berbagai segi kehidupan manusia. Keempat, bina’ al-qo’idah al-siyasiyah
(membangun basis kebijakan), yaitu membangun kader ideolog, pemimpin gerakan
yang menentukan arah gerak dakwah KAMMI, berdasarkan situasi dan kondisi yang
berkembang.
Atau sesuai dengan gagasan dalam
Model Manusia Muslim Abad 21. Dengan tahapan afiliasi, partisipasi, dan juga
kontribusi. Konteks Muslim Pembelajar dalam tahapan Afiliasi dan Partisipasi.
Dimana sesuai dengan elemen dasar dan kompetensi kritis dari Muslim Negarawan,
proses internalisasi nilai-nilai keislaman, pengkaderan kepemimpinan,
penyadaran gerakan pemberdayaan, penguatan lokus kompetensi, intelektual dan
basis keilmuan. Konteks Muslim Profesional dalam tahapan Partisipasi dan
Kontribusi. Yakni perluasan diri terhadap realitas dalam masyarakat, penempatan
expert diri, ruang kontributif, dan juga pemberdayaan jaringan dan diplomasi. Konsepsi
Muslim Negarawan ini sebagai lapis intelegensia baru akan membentuk lapisan
Muslim Pembelajar dan juga lapisan Muslim Profesional.
Dengan saat ini kita melihat
beberapa sarana pengkaderan melalui daurah dengan penjenjangannya, Madrasah
KAMMI, dan berbagai produk kaderisasi dari manhaj, lokus-lokus kompetensi,
kegiatan ekonomi kreatif, gerakan pemberdayaan sosial. Saat ini yang diperlukan
adalah pengembangan perangkat-perangkat ini agar Konsepsi Muslim Negarawan
terus berdaya sesuai dengan semangat zaman.
Saya selalu suka menempatkan
Konsepsi dalam Manifesto KAMMI Untuk Indonesia sebagai
gambaran output berdasarkan paradigma. Pertama, Sebagai gerakan dakwah tauhid,
KAMMI akan mencetak para pendakwah dan pengkaji-pengkaji agama yang mampu
mencerahkan dan membebaskan umat dari masalahnya saat ini. Kedua, Sebagai
gerakan intelektual profetik, KAMMI akan mencetak para pemikir, sastrawan,
novelis, penulis, dan ilmuwan yang ulung, yang memiliki semangat perubahan dan
dipandu oleh moralitas agama. Ketiga, Sebagai gerakan sosial independen, KAMMI
akan mencetak aktivis sosial, advokat, dan agen-agen pemberdayaan yang mampu
memecahkan persoalan riil rakyat serta memberdayakan mereka menjadi masyarakat
yang mandiri. Keempat, KAMMI akan mencetak politikus, demonstran, ahli-ahli
hukum serta ahli-ahli politik yang mampu memperjuangkan aspirasi masyarakat
tanpa harus terikat pada kepentingan politik apapun.
Atau
seperti gagasan Ikhwanul Muslimin dibawah Hasan al-Hudaibi, seperti yang
dituliskan Ahmad Rizky, dari tangan dingin merekalah, Ikhwan kemudian
bertransformasi menjadi sebuah kekuatan sipil yang diperhitungkan. Selain
mendapatkan keuntungan dari kebijakan infitah yang
dijalankan oleh Sadat, Ikhwan juga mendapatkan keuntungan dari usaha-usaha
kelompok profesional ini membangun Ikhwan dari bawah. Dengan demikian, Ikhwan
mampu kokoh sebagai kekuatan masyarakat yang secara sabar membangun masyarakat.
Maka Muslim Negarawan adalah harapan
futuristik pada orang-orang yang memilih berKAMMI kemudian mengimajinasikan
sekaligus menguatkan proses internalisasi nilai-nilai itu sebagai realitas
dalam menjawab tantangan umat. Muslim Negarawan adalah input, output sekaligus
outcome dari proses pengkaderan KAMMI. Muslim Negarawan adalah konsepsi,
imajinasi sekaligus realitas. Maka tentang Muslim Negarawan ini, harus perlu
ada literatur terutama dalam bentuk buku sebagai bentuk dialektika kader KAMMI,
baik tentang konsepsi itu maupun soal elaborasi dalam gagasan dan pemikiran dalam
berKAMMI, sekaligus menambah khazanah literatur tentang keKAMMIan. Jadi, Muslim
Negarawan perlu ada ruang dialektika kembali tentang gagasan dan pemikiran
sekaligus ia tetap menjadi internalisasi nilai-nilai kader dalam proses
pengkaderan.
Dari konsepsi Muslim Negarawan ini
dengan internalisasi nilai-nilai keislaman itu sebagai “Muslim” tentu kita
berharap dari rahim KAMMI lahir sastrawan dan novelis yang menggelegarkan
nilai-nilai keberpihakan pada umat yang bergerak dalam karya-karyanya, birokrat
baiknya di tingkat pusat hingga desa dengan menjaga idealisme dan konsisten,
politisi dengan gagasan untuk umat, filantopis atau relawan yang terus bergerak
untuk umat, akademisi, intelektual, cendekiawan, pemikir hingga birokrat kampus
dengan kepakaran yang mumpuni, profesionalitas dan memiliki kredibilitas moral,
pekerja-pekerja profesional ataupun founder-founder gerakan yang terus bergerak
untuk umat dan semua lini profesi dengan kontribusi untuk umat. Pada titik
akhirnya Muslim Negarawan haruslah akumulasi dari gerak semua orang yang pernah
berKAMMI. Menutup ini saya akan selalu bertanya; tapi apakah
akumulasi gerakan akan sekedar imajinasi?
Posting Komentar
0 Komentar