Orang-Orang Sederhana - Dilema Tanah Coklat Gelap
Serial Orang-Orang Sederhana
M. Sadli Umasangaji
Dilema
Tanah Coklat Gelap
Ismu
adalah lelaki sederhana dan mungkin saja baik tapi dia juga lelaki dengan
dilema. Dan nasibnya kadang tergolong terseok-seok. Sebelum terlibat dalam
gerakan Ismu patah berkali-kali dalam urusan hati. Pernah sekali dia diminta
untuk menyatakan cinta di depan umum, di jalan raya, dalam keramaian. Tapi
pernyataan cinta yang ditantang itu sebenarnya kepura-puraan pernyataan.
Sebagai bentuk penolakan dengan tantangan oleh sang gadis. Ismu merasa
tertantang. Dan memberanikan diri, mengatakan cinta pada sang gadis itu di
depan umum, di tengah keramaian. Dia berkata aku mencintaimu. Namun, karena pernyataan
cinta itu tantangan kepura-puraan cinta. Sang gadis malu, membenci pada Ismu. Pergi
dengan perasaan menggelikan pada Ismu. Karena dari awal memang sang gadis tak
ada rasa pada Ismu. Ismu terseok-seok dalam urusan hati.
Ismu
adalah lelaki baik yang agak rela dalam kebodohan cinta. Ia selalu dengan mudah
membiarkan hatinya terjatuh dalam pesona perempuan yang baru pertama kali ia
bertemu. Entah perasaan apa yang dimiliki Ismu setelah melihat perempuan yang
baru datang beberapa waktu dalam pandangannya, ia langsung jatuh dan berlimpah
perasaan pada perempuan itu. Dia disuruh angkat air, dengan keras ia mengangkat
air ketika di tempat desanya, air memang tidak mengalir lancar. Ia disuruh
membeli makanan, ia pergi membelikannya. Kadang-kadang dia menggunakan uang
dari kantongnya sendiri. Padahal kehidupannya agak melarat tapi dia rela. Banyak
sekali hal yang ketika Ismu diminta bantu oleh berbagai perempuan itu, dia
lakukan dan rela karena rasa. Beberapa perempuan mengalami hempasan perasaan
Ismu itu. Mereka menghindar. Mereka menolak. Mereka menjauh. Ismu kadang marah.
Kadang malu. Kadang menjauh dengan membuang rasa. Dan berkali-kali membiarkan
rasa yang terjatuh itu, terbuang dalam cerita.
Tetapi
cerita yang paling tragis dari Ismu adalah urusan keluarganya yang sederhana.
Pernah Ismu dengan sangat kecewa pada keluarganya karena biaya kuliah yang
mandek dan kiriman uang yang tak lancar. Ismu merasa nasibnya yang melarat
adalah kesialan. Nasibnya yang melarat adalah nestapa yang tak berkesudahan.
Nasibnya yang melarat adalah ketidakadilan dunia pada dia. Dia marah. Dia
sedih. Dia kecewa. Dipandang butiran-butiran pengharum kamar mandi. Ditelan
satu per satu bagai permen. Satu per satu kamfer itu dia telan. Mulutnya keluar
busa. Tak sadar diri.
Gifar
dan beberapa teman mengangkat Ismu, sebagai teman sesama dari Kabupaten HT,
mereka membawa Ismu ke Rumah Sakit. Ismu dibawa menggunakan tempat tidur dorong
di Rumah Sakit. “Ini orang telah menelan
butiran kamfer”, kata Gifar pada salah seorang perawat. Ia dimasukkan ke
ruangan IGD. Berselang lama, butiran-butiran kamfer dikeluarkan, disedot untuk
dimuntahkan, keluar dari mulut kembali. Dengan segala keuntungan dan kehendak
Tuhan, Ismu selamat. Dan paska itu dia lebih gampang termenung tapi menyesali
semua perbuatannya itu. Belajar menerima nasibnya.
#
Ismu
berubah. Berubah setelah mengenal gerakan. Ia memang berkali-kali menyadari dan
sering berkata bahwa politik memang penting. Politik memang bisa merubah nasib
orang-orang banyak. Tapi isi dapur, isi dapur yang menyala tak selamanya
ditanggung oleh politik. Isi dapur harus diperjuangkan sendiri oleh orang itu
sendiri. Seperti kata-kata, sebut saja Tuan M dalam bukunya bersama Tuan E
dengan sampul berwarna merah dan bergambar dua pria berjenggot tebal, berambut
lebat, “Pembebasan kelas buruh haruslah
merupakan tindakan kelas buruh sendiri”.
Ismu
setelah mengenal gerakan. Mengabaikan cinta-cinta semu. Ia berjuang dan
mendalami pembelaan terhadap orang-orang sederhana. Ia berjuang juga untuk
nasibnya sendiri. Nasib sebagai orang-orang sederhana. Bahwa perubahan nasib
dari orang-orang sederhana, memang seharusnya diperjuangkan oleh orang-orang
sederhana itu sendiri.
Dalam
gerakan Ismu bersemangat. Ismu bergeliat. Ia mengulas dan membuat catatan dari
buku merah Tuan M dan Tuan E.
“Bahwa
dalam setiap zaman sejarah, cara produksi ekonomi dan cara pertukaran yang
sedang berlaku dan organisasi kemasyarakatan yang mesti timbul daripadanya
merupakan dasar yang diatasnya terbentuk dan hanya dari situ dapat diterangkan,
sejarah politik dan intelek zaman itu, bahwa oleh karena itu seluruh sejarah
umat manusia (sejak lenyapnya masyarakat kesukuan primitif, yang memiliki tanah
dengan kepemilikan bersama) adalah sejarah perjuangan kelas ini merupakan
serangkaian perkembangan yang pada masa ini telah mencapai suatu tingkat ketika
kelas yang dihisap dan ditindas, orang-orang sederhana, tidak dapat mencapai
kebebasannya dari penindasan kelas yang menghisap dan berkuasa, borjuasi, tanpa
sekaligus dan untuk selama-lamanya membebaskan seluruh masyarakat dari segala
penghisapan, penindasan, pembedaan kelas, dan perjuangan kelas”.
Tuan
M-lah yang menuangkan bahwa sejarah dari semua masyarakat yang ada hingga
sekarang ini adalah sejarah perjuangan kelas. Orang merdeka dan budak,
patrisian dan plebeian, tuan bangsawan dan tani hamba, pendeknya: penindas dan
yang tertindas, senantiasa ada dalam pertentangan satu dengan yang lain,
melakukan perjuangan yang tiada putus-putusnya, kadang-kadang tersembunyi,
kadang-kadang terbuka, perjuangan yang setiap kali berakhir dengan perombakan
revolusioner seluruh masyarakat atau dengan sama-sama binasanya kelas-kelas
yang bermusuhan.
Sejarah
yang lampau, hampir di mana saja kita dapati masyarakat tersusun lengkap dalam berbagai
macam golongan, dalam berbagai macam tingkatan kedudukan sosial. Hampir dalam
semua kelas terdapat tingkatan-tingkatan yang khusus. Zaman kita, zaman
borjuasi, mempunyai ciri bahwa ia telah menyederhanakan
pertentangan-pertentangan kelas. Seluruh masyarakat semakin lama semakin
terpecah menjadi dua kubu besar yang langsung berhadapan satu dengan yang lain:
borjuasi dan proletariat.
Orang-orang
terinspirasi dan bergerak dengan gagasan Tuan M dan pengembangan dari Tuan M.
Jadilah Tuan M-isme.
Bahwa
masyarakat kapitalis Barat sekarang ini, yang didasarkan pada struktur yang
menindas dan eksploitatif, hidup makmur dengan merampas sumber-sumber ekonomi
dunia ketiga untuk mencukupi kebutuhan hidup mereka yang sangat banyak dan
dengan standar hidup yang tidak masuk akal serta sangat tinggi dengan
mengorbankan penderitaan masyarakat Afrika, Asia dan Amerika Latin. Budaya
konsumtif dan suka pamer ala Barat merupakan bencana besar bagi kemiskinan
dunia. Sebaliknya, ekonomi sosialis yang dapat menjamin kebutuhan pokok
masyarakat, menghambat konsumerisme dan suka pamer. Ekonomi sosialis menekankan
pada produksi barang-barang untuk mencukupi kebutuhan pokok, bukannya produksi
barang-barang mewah. Ekonomi dunia akan mencapai keseimbangannya, hanya jika
ekonomi Barat menghapuskan pemborosan dan mengeruk kekayaan dunia ketika yang
menyebabkan kemiskinan yang abadi. Melihat masalah ekonomi dunia yang kompleks
sekarang ini, keadilan ekonomi untuk mengentaskan kemiskinan hanya akan
tercipta, bila konsep keadilan tidak hanya dipahami dalam bidang ekonomi, namun
juga bidang sosial, politik, hukum.
Ismu
terbayang pada perdebatan-perdebatan mereka tentang kemiskinan struktural.
Bahwa modernisasi bukan hanya menjadikan masyarakat pedesaan dan urban yang
miskin semakin miskin dan kumuh. Masyarakat pedesaan yang miskin, sebagai
korban dari reformasi tanah, yang hanya memfasilitasi penetrasi
perusahaan-perusahaan, terpaksa berimigrasi ke daerah-daerah urban dan semakin
parahlah kemiskinan mereka. Di daerah urban, mereka tidak mendapatkan apapun
kecuali kemiskinan, pengangguran, menyaksikan inflasi yang membumbung tinggi
dan juga tingkat korupsi yang meningkat. Sehingga lengkaplah penderitaan
alienasi mereka.
#
Semua seperti bermula sebagaimana
ada seorang pria dalam tampilan di sebuah media sosial menjelaskan, “Ini adalah
mobil T, mobil listrik. Tahukah kalian sebagian besar mobil T akan diproduksi
di sebuah negara dan kalian tidak bisa menebak. Jadi setiap mobil listrik
memiliki baterai. Dan setiap baterai terbuat dari bahan baku. Nikel. Ini bahan
yang sangat sulit didapatkan. Dan hampir 25% nikel di seluruh dunia terbanyak
terdapat di Indonesia. Dahulu banyak perusahaan membeli nikel di Indonesia dan
membuat baterainya di Eropa. Tapi kini produksi baterai akan dibuat di
Indonesia. Membuat pabrik di sini sehingga harga nikel tidak dibeli dengan
harga murah. Dan mobil yang dibeli nanti akan membuat negaramu kaya. Dan
kekayaannya diberikan kepada semua rakyat Indonesia”. Pria itu bercakap-cakap
seperti mengiklankan dalam akun officialnya.
Provinsi MU tidak hanya
sebagai provinsi paling bahagia. Karena segala sumber dayanya, dia juga
merupakan provinsi dengan berbagai daerah penambangan. Provinsi MU menyimpan
kekayaan sumber daya mineral yang menarik bagi investasi, khususya industri
tambang untuk berbondong-bondong datang dan mengeruk keuntungan. Bahkan karena
industri pertambangan ini, provinsi MU menjadi provinsi dengan perputaran uang
tertinggi di Indonesia. Perputaran uang yang hanya berkisar pada urusan makro
dan jangan ditanya untuk masalah-masalah keuangan di tingkat mikro. Ia adalah
provinsi dengan pendapatan penduduk per kapita tak terlalu tinggi dari 33
provinsi. Ia merupakan golongan provinsi dengan penduduk miskin normatif dengan
persentase terbanyak.
Pulau
H sebenarnya atau umumnya orang-orang di provinsi MU adalah mereka yang
berprofesi sebagai petani kebun dan nelayan dengan memanfaatkan hutan, tanah,
dan laut sebagai sumber mata pencaharian. Datangnya investor tambang membuat
konflik sumber daya alam pun semakin meningkat di beberapa wilayah konsesi.
Berkali-kali
di Kota T, di berbagai Pulau H, anak-anak muda pergerakan membentangkan poster,
bertuliskan “Selamatkan hutan kami. Selamatkan alam kami”.
Berkali-kali
mereka berteriak “Laut kita bukan tempat sampah tambang”.
Di
sini orang bisa berpikir bahwa penambangan sebagai ekstraksi mineral serta
bahan geologis lainnya yang bernilai hemat dari permukaan atau di bawah
permukaan bumi. Industri pertambangan dapat berdampak buruk terhadap daerah
karena memicu hilangnya keanekaragaman hayati, terjadinya erosi tanah,
kontaminasi air permukaan serta air tanah, serta pencemaran terhadap tanah
serta udara. Penambangan juga dapat memicu pembentukan lubang pembuangan.
Kebocoran bahan kimia dari lokasi penambangan juga dapat berdampak buruk pada
kesehatan penduduk yang tinggal di sekitar lokasi penambangan.
Tapi
di seberang lain orang merasa industri penambangan memajukan daerah, membuka
lapangan kerja, masyarakat-masyarakat sekitar mendapatkan imbas perekonomian,
dibangun kos-kosan sebagai hunian, dibangun swalayan atau kios-kios untuk
berjualan. Berbagai aktivitas ekonomi tumbuh. Dibangun rumah warga sekitar
tambang. Para pekerja mendapat gaji besar dan tentu menggiurkan. Para orang tua
mendorong anak-anaknya untuk pergi merantau ke daerah pertambangan. Orang tua
di sekitar tambang, meminta anaknya menjadi pekerja tambang.
Kalau
dulu berpuluh-puluh tahun masyarakat berkata “Dari pertanian, anak kami bisa
sekolah”. Sekarang orang-orang tua berkata, “Pergi sana bekerja di tambang
supaya doi (uang) banyak”. Anak-anak muda berbondong masuk tambang bahkan paska
selesai sekolah menengah atas, tambang telah menjadi cita-cita. Impian-impian
melanjutkan studi telah hilang berganti dengan impian-impian tembus kerja di
pertambangan. Dilema-dilema ini tumbuh subur. Bahkan para anak-anak kuliah yang
telah menjadi sarjana baru wisuda, yang telah lama menganggur,
berbondong-bondong menjadi antrian pekerja tambang. Kadang juga antrian untuk
masuk menjadi pekerja tambang memang panjang tergantung keberpihakan orang
dalam. Kejadian paska kampus karena realitas-realitas hidup, Ismu termasuk yang
memilih dengan kondisional menjadi pekerja tambang. Dengan segala kondisi Ismu
memilih menerima realitas.
Dulu Gifar membuat puisi
tentang dilema-dilema ini, dan Ismu terkenang.
Dilema
Tanah Coklat Gelap
Disini
ada yang melawan
Ku
lihat mereka membentangkan spanduk
Selamatkan
hutan kami
Selamatkan
alam kami
Laut
kita bukan tempat sampah
Halmahera
bukan tempat tambang
Spanduk
mereka juga terpampang
Tambang
menjamur
Rakyat
terbaring
Rakyat
terlintang dan patah
Pengkeruk
Tanah Coklat Gelap membuat rusak lingkungan
Pengkeruk
Tanah Coklat Gelap memberi warna laut keruh
Bahkan
ada yang berkata "karena masyarakat tidak tahu"
Tiba-tiba
tambang masuk
Ada
indikasi dibaliknya ada suap
Padahal
laut menjadi kabur kecoklatan
Bagi
orang suku
Hutan
bukan hanya tempat tinggal
Tapi
sumber kehidupan
Lebih
bersahajakah mereka?
Orang
maju lebih mengganggap
Tanah
Coklat Gelap adalah indikasi kemajuan
Dulu
tempat ikan bertelur
Dulu
lahan untuk pohon kelapa
Dulu
lahan untuk cengkeh pala
Dulu
lahan untuk tanaman sayuran
Dulu
lahan untuk kasbi, batata, umbi
Sekarang
nelayan menjadi pekerja
Sekarang
petani menjadi pekerja
Tanah
Coklat Gelap memang dilema
Pemuda-pemuda
bahkan yang tua bergembira
Bergembira
menjadi buruh di Tanah Coklat Gelap
Gajinya
menebalkan kantong
Gaji
orang berseragam tak sebanding
Orang-orang
tua meminta anaknya
Pergi
sana ke Tanah Coklat Gelap
Mereka
bahagia lihat anaknya diterima
Anak
muda tak lagi merasa penting kuliah
Anak
muda selesai sekolah
Tanah
Coklat Gelap jadi tujuan
Dilema
Tanah Coklat Gelap
Disana
harga-harga menjadi menjanjikan
Orang
di sekitaran bisa terpenuhi secara ekonomi
Dibangun
tempat kos
Dibangun
warung makan
Kios-kios
pun mendapat hempasan dari gaji buruh
Tanah
Coklat Gelap memang menjanjikan
Para
Tuan Daerah berebut tanahnya dikeruk
Kesini
Tuan beri kami uang, keruk tanah kami
Para
Tuan Daerah mengisi akomodasi politiknya
Tanah
kami boleh diteliti
Ada
nikel, ada emas
Tanah
Coklat Gelap
Di
Pulau Sunyi itu
Orang
sudah suka dan terlena
Orang-orang
lain masih tetap memandang kebun
Orang-orang
lain masih tetap memandang laut
Orang-orang
lain masih tetap memakai seragam
Orang-orang
lain masih tetap memandang pohon
Berbahagialah
memandang orang bahagia
#
Seperti
pada Desa TBB, sebuah perkampungan yang terletak di wilayah lingkar konsesi
petambangan PT N. Karena pembangunganisme yang tumbuh subur. Sebagai buah dari
impianisasi pembangunan. Menciptakan standar hidup yang baik. Ideologi dominan
ini menganggap kehidupan berbasis ekonomi subsistem sebagai sebuah tatatan
kemiskinan. Orang-orang desa dianggap miskin jika mereka makan sagu, makan
popeda, makan kasbi. Karena mereka tidak makan beras yang merupakan hasil
produk komersial atau makanan instan yang dijual oleh pengusaha global. Mereka
kelihatan miskin jika tinggal di rumah yang dibangun sendiri dengan menggunakan
bahan-bahan dari alam seperti atap rumbia dengan dinding bambu dan bukan
menggunakan beton atau semen.
Kenyataannya,
kemiskinan haruslah sebuah akibat langsung dari praktek perampasan ruang hidup
oleh negara dan korporasi, sementara kehidupan subsistem yang mampu memenuhi
kebutuhan pokok dengan hasil sendiri bukanlah kemiskinan. Realitasnya subsistem
yang sederhana oleh orang-orang sederhana adalah realitas kemiskinan.
Seperti
cerita-cerita Aba J di Desa TBB. Dulu desa TBB banyak sekali hasil laut di
Teluk. Bahwa jejeran bagan mengitari kawasan Teluk K. Dulu kalau musim bagus,
ikan seperti ikan ngafi itu ponong
(penuh) di bagan. Saat itu nelayan yang melaut dengan jarak sekitar tiga puluh
meter sudah bisa mendapatkan ikan dan hasil laut lainnya.
Sekarang
tidak lagi demikian. Sekarang kalau dapat ikan ngafi setengah saja sudah
syukur. Ya, bisa jadi ikan dan hasil laut di Desa TBB berkurang bukan hanya
akibat limbah tapi juga karena jumlah populasi manusia di sekitar desa yang
juga semakin banyak.
“Posisi Teluk K itu
seperti danau, di sisinya dangkal dan menyatu dengan pesisir, sementara di
tengahnya dalam. Ikan dan hasil laut hanya ada di sekiling situ, sementara
populasi manusia mencapai ribuan dan terus saja bertambah”, cerita dan asumsi
Aba J.
Aba J melanjutkan,
“Selain itu beda dengan Kota Manado atau beberapa daerah lain, nelayan memiliki
pasar yang cukup baik untuk keberlangsungan hidup. Tapi di provinsi MU, nelayan
tidak bisa hidup sejahtera. Lihat nelayan Desa AKL sekarang penghasilannya
anjlok atau lihat Desa T, wilayah Tidore. Dulu kapal fiber nelayan sangat
banyak, sekarang sudah berkurang”.
Beberapa yang lain
memberikan asumsi produksi ikan seperti ikan ngafi, suntung (cumi), udang kecil
di sekitar desa TBB menurun karena akibat dugaan pencemaran laut oleh aktivitas
penambangan dan pengelolaan limbah pertambangan. Dulu ikan ngafi oleh nelayan
Teluk K dikirim lewat kapal ke Surabaya.
Warga desa TBB dulunya
juga adalah penghasil balacang (terasi). Warga desa TBB membuat terasi udang
secara tradisional dengan membungkus dari daun woka. Nelayan memang sudah akrab
dengan aroma amis hasil laut. Selain itu, seperti umumnya di Provinsi MU,
mereka adalah petani dan pekebun. Mereka bakabong (berkebun) pala, cengkeh,
kelapa. Atau hasil tanaman bulanan seperti sayuran, pisang, rica (cabe), tomat.
Atau bahan makanan kobong (kebun) lainnya seperti kasbi (singkong), batata (ubi
jalar) dan ubi lain seperti bete. Tapi umumnya masyarakat MU menanam kasbi dan
batata. Kasbi kadang akan dijadikan bahan popeda.
Perilaku warga berubah.
Berubah semenjak perusahaan pertambangan mulai melakukan akses ke desa TBB.
Mereka berubah menjadi konsumtif. Kepentingan besar di balik konsepsi mengejar
pembangunan, mulai tampak menyelimuti desa. Walaupun masyarakat desa sedikit
tahu bahwa desas-desus kepentingan besar itu adalah menukar tanah, air, hutan,
laut serta sumberdaya masyarakat lokal mereka dengan konsepsi pertambangan.
Orang melawan menyebutnya teknologi perusak lingkungan.
Kehidupan desa telah
terjebak dalam impianisasi kehidupan kota. Kehidupan kota yang modern, maju,
terasa indah bagi orang desa yang mengimpikan itu. Seperti di kota yang terimajinasikan
gedung-gedung tinggi, hotel-hotel, mobil, kemewahan, pusat perbelanjaan, tempat
hiburan, handphone mewah, bioskop, internet. Orang desa termasuk desa TBB ingin
menggapai kemajuan itu, dengan dalih mengejar ketertinggalan, modernisasi.
Mula-mula mereka
menukar tanah, air, kebun, hutan, laut, padahal itu semua sebagai gambaran
milik bersama sepanjang generasi. Terkhusus mereka memilih menjual tanah untuk
korporasi tambang. Harga tanah disini memang lumayan menjanjikan. Dapatlah
mereka sedikit kemewahan, motor, mobil dan juga membangun rumah.
Berikutnya mereka
melepas profesi-profesi awal, petani, nelayan, pembuat balacang, semua memilih
karena realitas hidup bahwa menjadi pekerja tambang memiliki penghasilan lebih
menjamin. Cara kerja baru ini dengan penghasilan dan tunjangan yang lebih
banyak dihasilkan ketimbang profesi awal sebagai petani atau nelayan atau
pembuat balacang. Telah memenuhi kapitalisasi baru. Mendorong mereka menjadi pembeli
kebutuhan domestik mereka. Dalam hal ini, mereka sudah seperti orang di kota.
Mereka kadang sadar
bahwa masyarakat desa kini telah menjelma menjadi masyarakat yang bergantung
hidup pada hegemoni kapital di atas tanah sendiri. Eksploitasi atas alam dan
manusia untuk kepentingan komodifikasi hasil produksi, akumulasi keuntungan dan
ekonomi pasar. Telah menjadi prasyarat dalam mewujudkan kekayaan global yang
bertumpuk pada segelintir orang.
Di lain sisi, ketika
penghasilan suami sebagai petani atau nelayan atau penghasilan keluarga yang
tak dapat terpenuhi karena kebutuhan. Maka orang-orang sederhana ini, terdesak
dan ternganga oleh realitas. Realitas mengalahkan kondisi mereka. Maka realitas
adanya perusahaan di desa adalah angin segar, juru selamat, bahkan dewa
penghasilan baru.
Kebudayaan produktif
yang menurun akibat hilangnya sumber-sumber penghidupan dan meningkatnya
konsumsi. Maka warga lingkar konsesi tambang, lebih memilih menjadi karyawan,
atau dengan segala kesanggupan memilih menjadi penambang liar. Tuntutan
kebutuhan hidup, dan kebutuhan hidup yang makin bertambah, atau keinginan
kebutuhan hidup yang bertambah karena kebutuhan-kebutuhan baru yang tercipta
dan tersedia dengan standarisasi orang-orang terhadap kebutuhan dan kemewahan,
maka realitas kapitalisasi menjalar.
Seperti Nyong W,
dulunya pernah menjadi tenaga sukarela di Puskesmas, karena kondisi ekonomi dan
kehidupan paska-paska pernikahan. Ia memilih meninggalkan pekerjaan di
puskesmas sebagai sukarela atau bahkan sebagai honorer dan memilih menjadi
pekerja tambang. Pekerja tambang dapat membeli rumah, membeli kendaraan. Hidup
lebih terjamin. Dilema.
Tidak hanya negara maju
dengan negara berkembang atau negara dunia ketiga, antara kota dan desa, atau
kampung satu dengan kampung lain tapi penghuni orang-orang desa dalam satu desa
pun mulai mengidap rasa kemajuan. Rasa kemajuan yang menciptakan lebarnya
jurang kesenjangan. Tuan-tuan baru sebagai pekerja tambang atau pemilik alat
yang disewakan di sekitar desa konsesi pertambangan. Menjadi borjuasi kecil
atau bahkan borjuasi besar baru. Sementara proletariat kecil masih tetap sama,
orang-orang sederhana yang menopang hidup dengan bergantung pada kebun, laut
atau menjadi penambang liar, pemecah batu dan berbagai jenis pekerjaan
serabutan.
Kondisi desa konsensi
tambang bukan hanya kehilangan ruang hidup, alam, hutan, tanah, air, laut. Atau
terciptanya kesenjangan baru, borjuasi baru. Tapi juga menghadirkan konflik
desa. Bahkan di sekitar Teluk K, muncul konflik tapal batas desa. Desas desus mulai
dari keinginan pemekaran kabupaten baru hingga karena akses bantuan atau ganti
rugi atau bahasa kerennya CSR lingkar tambang menciptakan konflik pada
desa-desa itu dan terjadilah perebutan antar masuk kecamatan KT atau kecamatan
JT.
Memang desa konsesi
tambang terkena imbas ekonomi yang memberikan impianisasi pembangunan. Kata Aba
J, mereka seperti kepala desa, berbagai tokoh desa dan tokoh adat serta
termasuk perangkat desa kalau diajak rapat oleh perusahaan berkaitan dengan
pengembangan desa bukan dilakukan di sekitar desa, di kantor desa, atau mungkin
duduk bersama diskusi di aula desa, atau tempat ibadah. Bukan. Mereka diajak ke
kota seperti ibu kota kabupaten, Kota T bahkan hingga ke Manado. Dan rapatnya
dilakukan di hotel-hotel mewah.
Bahkan untuk sekedar
mengurangi desas-desus perlawanan dari desa, pihak perusahaan memang pintar.
Atau memang kondisional dalam memanfaatkan kondisi. Diberikan bantuan renovasi
rumah, memberikan bantuan membangun rumah, memberikan ganti rugi lahan dengan
uang menjanjikan, memberikan bantuan CSR, bahkan menghadirkan rumah ibadah yang
mewah di desa. Alih-alih menyebutkan itu sebagai ganti rugi, lebih banyak
menyebutkan itu sebagai sumbangan dan ungkapan kepedulian.
Atau semisal desa yang
belum terjamah listrik, karena masuknya pertambangan, desa jadi cerah dengan
cahaya lampu, pembebasan lahan dengan pembangunan infrastruktur sebagai bagian
dari pemudahan dan pemenuhan kebutuhan masyarakat desa. Akses jalan utama,
akses jalan tani. Namun ini menjadi pertanyaan yang menganga, “Benarkah itu semua hadir untuk memudahkan
mereka? Sarana listrik dan pembangunan jalan itu ada untuk mereka karena tuntutan
negara pada rakyat? Atau karena semua itu hadir semata-mata sebagai bagian
pemenuhan prasyarat produksi kapital dari pertambangan? Sebagai bagian dari
kemudahan laju arus keluar masuk barang dan jasa dalam pertambangan”.
Pertanyaan-pertanyaan itu tertutupi dengan cerita-cerita pembangunan.
Masyarakat desa dengan segala realitas menerima dilema tanah subur mereka.
Cerita-cerita
tentang kondisi kebersamaan dan barter barang (kadang disebut primitif) pun telah
hilang. Semisal dulu Aba J pernah bercerita bahwa ia pernah menggunakan perahu
untuk pergi ke desa lain mengambil bibit kasbi. Dari desanya ia membawa kelapa.
Kelapa itu kemudian ditukarnya dengan batang kasbi sebagai bibit. Setelah itu
kasbi dia tanam di kabong (kebun) untuk ketika panen dijadikan sebagai makan
sehari-hari.
Atau
cerita lain ketika nelayan mendapat banyak hasil tangkapan dan sedikit yang
membeli, maka barter bahan makanan menjadi jalan ‘ekonomi’ dalam memenuhi
kebutuhan sehari-hari. Orang di pinggir pantai menukarkan hasil ikan sedangkan
orang yang bakobong (berkebun) menukarkan dengan hasil taninya.
#
Ismu
terkenang pada catatan buku merah Tuan M. Masyarakat borjuis modern yang timbul
dari runtuhan masyarakat tidak akan menghapus pertentangan kelas. Ia hanya
menciptakan kelas-kelas baru, syarat-syarat penindasan baru, bentuk-bentuk
perjuangan baru sebagai ganti yang lampau.
“Apakah
hirarki dalam masyarakat tidak bisa hilang?”, Ismu mendekam dalam hati.
Memang tak selamanya
pertambangan tak diwajibkan hadir. Ia boleh hadir. Tapi harusnya di dalam
pertambangan, ada serikat pekerja, ada konsesus kesadaran pengkondisian alam.
Dengan penghasilan tambang yang mencapai triliunan. Idealnya tercipta tambang
rakyat. Bisa dibayangkan jika tambang diambil-alih dan diproduksi oleh warga
secara swakelola, bukankah triliunan hasilnya dapat dialokasikan secara lokal.
Itu sebenarnya yang terjadi pada sebagian negara-negara Timur Tengah dengan
penduduk yang kecil dan penghasil tambang minyak yang besar. Kalau lokalisasi
tambang menjadi konsesus atau korporasi bersama rakyat konsesi tambang maka
korporasi yang melilit pada segelintir orang bisa sedikit diminimalisir. Dan
kawasan industri keruk bisa tertata. Dampaknya pada provinsi MU secara
menyeluruh juga terasa. Bukan hanya desa-desa lingkar tambang.
Memang
tantangan terbesar adalah keahlian pekerja dalam tambang rakyat. Dan tentu
pertanyaannya adalah apakah tidak muncul borjuasi tengik baru, maka perasaan
borjuasi baru harus ditekan.
Setidak-tidaknya
kalau korporasi tambang rakyat terjadi, warga lingkar tambang akan lebih peka
terhadap lingkungan, sehingga setelah diambil-alih, mereka lebih memilih menjaga
tanah, alam dan hutannya, memberi mereka keberlanjutan kehidupan hingga
beberapa generasi, ketimbang memberikan pada korporasi borjuasi yang
memproduksi hingga triliunan rupiah dan habis sebelum selesai masa satu
generasi.
Ismu
memandang realitas dirinya. Dirinya yang menjadi orang-orang sederhana.
Mengenang rasa kecewanya hingga memakan kamfer, butiran pengharum kamar mandi.
Ia berkali-kali menyadari bahwa “Politik
memang bisa merubah nasib orang-orang banyak. Tapi isi dapur, isi dapur yang
menyala tak selamanya ditanggung oleh politik”.
Ia
juga menyadari, “Bahwa perubahan nasib
dari orang-orang sederhana, memang seharusnya diperjuangkan oleh orang-orang
sederhana itu sendiri”. Seperti kata Tuan M, “Pembebasan kelas buruh haruslah tindakan kelas buruh itu sendiri”.
Sekali lagi, Ismu memilih menerima realitas.
Dan di seberang sana
seorang menteri berkata, “Kalau saja
dunia pertambangan, kita bisa menghapus celah-celah korupsi maka setiap kepala
orang Indonesia itu setiap bulan akan mendapatkan uang dua puluh juta tanpa
kerja apapun. Setiap anak kecil, dua puluh juta setiap bulan, gratis dari
negara. Betapa besarnya korupsi dunia pertambangan itu”. Ingin rasanya kami
mengumpat.
Posting Komentar
0 Komentar