Cinta AGK


Cinta AGK
M. Sadli Umasangaji
(Founder Celoteh Ide)


(png tree)



            Tulisan ini hanya sekedar anggapan penulis atau bisa disebut wacana lanjutan terhadap tanggapan tulisan Herman Oesman “Sepotong Cinta dalam Visi Misi” (Dimuat di Malut Post Edisi 25 Agustus 2014) dan mungkin menanti kerinduan ‘Cinta’ kepada Sang Ustad, Gubernur kita, ‘guru kita’ tentunya.
            Pertama penulis ingin mengutip taujih Ustad Hilmi yang mungkin bisa penulis katakan sebagai pemaknaan ‘cinta’. Kita tidak akan lahir ke dunia tanpa adanya cinta, kita lahir karena adanya cinta dan kasih sayang dari orang tua. Kita lahir melalui kasih sayang kedua orang tua kita dan kelahiran kita disambut oleh kasih sayang kerabat, saudara kita. Olehnya itu kata Ustad Hilmi, pertama kelahiran kita adalah untuk menebarkan kasih sayang kepada seluruh lapisan ummat, seluruh lapisan bangsa, bahkan seluruh lapisan kemanusiaan. Kita lahir untuk membawa misi rahmatan lil alamin.
            Kedua, selain dilahirkan dengan penuh cinta dan kasih sayang, kita pun lahir dengan kehormatan dan kemuliaan. Karena kita lahir dengan kehormatan dan kemuliaan setelah diberi kehormatan dan kemuliaan oleh Allah, insya Allah kelahiran kita juga adalah untuk membangun kehormatan dan kemuliaan umat, bangsa dan negara serta kemanusiaan. Ketiga, kita pun lahir ke dunia dengan mengemban amanah dan memikul tanggung jawab. Kita lahir dengan membawa misi ibadah dan tugas kekhilafahan di dunia ini.
            Kata ‘cinta’ dalam sepotong visi misi, mungkin tidak lepas dari kata “Cinta, Kerja, dan Harmoni” yang menjadi jargon Partai Keadilan Sejahtera dalam Pemilu 2014 kemarin. Dalam sebuah orasi Anis Matta (Presiden Partai Keadilan Sejahtera), beliau mengatakan “Cinta, Kerja, dan Harmoni” merupakan nilai-nilai inti masyarakat Indonesia. Kata ‘cinta’ interalasi dari dimana setiap orang memimpikan suatu saat untuk bisa menjalani hidupnya di negeri ini karena di negeri inilah mereka menemukan bagaimana orang-orang menggunakan kebebasan secara bertanggung jawab, sebab mereka mempunyai cinta.
Kata ‘kerja’ aplikasi dari mereka memilih hidup di negeri ini karena disini mereka punya harapan terhadap kesejahteraan. Semata-mata karena mereka punya semangat kerja. Siapa pun yang ingin bekerja seharusnya punya tempat di negeri ini. Serta kata ‘harmoni’, dimana di negeri ini pula, mereka menyaksikan bagaimana keberagaman itu menyatu padu sehingga tidak menjadi sumber konfilk yang berkepanjangan.
Nilai-nilai inti masyarakat negeri ini (cinta, kerja, harmoni) yang telah membentuk budaya dan kepribadian masyarakat ini, hanya karena nilai-nilai ini hilang maka kita akan menyaksikan betapa gaduhnya, betapa berantakannya negeri ini.
Dan ketika nilai-nilai inti masyarakat negeri ini dihidupkan maka yang ingin kita bangun adalah ‘Negara Manusia’, manusia yang punya hati dan manusia yang punya pikiran. Karena itu kita ingin negeri ini mengelola rakyatnya sebagai manusia dengan semua mimpi-mimpinya, semua harapan-harapannya dan memberikan mereka apa yang mereka perlukan sebagai manusia. Dan kita ingin angka-angka statistik, dalam politik, dalam ekonomi, dalam budaya, itu semuanya pada akhirnya bermuara pada suatu cita-cita kemanusiaan yang besar.
Apabila kita merenungi cita-cita ini, bahwa ini bukan sekedar target politik, ini lebih dari sekedar politik, ini adalah misi kemanusiaan, ini adalah misi peradaban. Dan misi kemanusiaan itu kata Anis Matta mengubah negeri ini menjadi ‘sepenggal firdaus’.
Tentunya kita memahami bahwa dalam misi kemanusiaan ini, tentunya ada badai yang menerpa, fitnah bertebaran, gonjang-ganjing politik, pandangan negatif dan lainnya. Tapi Hasan Al-Banna juga katakan dengan ‘cinta’, “kami ingin agar umat mengetahui bahwa mereka lebih kami cintai daripada diri kami sendiri. Sungguh, jiwa-jiwa kami ini senang gugur sebagai penebus bagi kehormatan mereka, jika memang tebusan itu yang diperlukan. Atau melayang untuk membayar kejayaan, kemuliaan, agama, dan cita-cita mereka, jika memang mencukupi. Tiada yang membawa kami pada sikap seperti ini kepada mereka, kecuali karena rasa kasih sayang yang telah mencengkeram hati kami, menguasai perasaan kami, menghilangkan kantuk kami, dan mengalir air mata kami. Sungguh, kami benar-benar sedih melihat apa yang menimpa umat ini, sementara kita hanya sanggup menyerah pada kehinaan, ridha pada kerendahan, dan pasrah pada keputusasaan. Sungguh, kami berbuat di jalan Allah untuk kemaslahatan seluruh manusia, lebih banyak dari apa yang kami lakukan untuk kepentingan diri kami. Kami adalah milik kalian wahai saudara-saudara tercinta, bukan untuk orang lain. Sesaat pun kami tak akan pernah menjadi musuh kalian”.
Kalau Anis Matta mengatakan Indonesia akan menjadi sebagai ‘sepenggal firdaus’ karena cinta, maka tentunya Maluku Utara sebagai bagian dari negeri ini merupakan ‘titik dari sepenggal firdaus’. Maluku Utara, negeri yang indah ini, penuh keberagaman budaya, ‘banyak’ sumber daya alam, ‘mumpuni’ sumber daya manusia. Maka tentunya kita percaya dengan ‘cinta’ AGK (Citra, Integritas, Nilai, Tanggungjawab/Terbuka, dan Amanah/Adil, dalam tulisan Herman Oesman). Dan kita menanti kerinduan ‘cinta’ AGK untuk perbaikan Maluku Utara.
Karena ‘cinta’ adalah momentum, sehingga Anis Matta menegaskan, “seseorang tidak menjadi pahlawan karena ia melakukan pekerjaan-pekerjaan kepahlawanan sepanjang hidupnya. Kepahlawanan seseorang biasanya mempunyai momentumnya. Ada potongan waktu tertentu dalam hidup seseorang dimana anasir kepahlawanan menyatu padu. Saat itulah ia tersejarahkan”. Tentunya kita juga rindu untuk menanti ‘momentum cinta’ AGK dalam kepemimpinan beliau.
Dan tentunya Anis Matta juga mengatakan “partai politik adalah mesin ideologi bukan kendaraan pribadi menuju kekuasaan”. Beliau (Ustad Anis Matta) juga mengatakan “Pada akhirnya bukan Negara (kekuasaan) yang kita tuju, pada akhirnya Negara hanya jembatan menuju akhirat, insya Allah”. Itulah cinta.
Dan ‘cinta’ itulah yang membuat ‘mereka’ mungkin lapar tetapi ‘mereka’ lebih banyak merenungkan kemiskinan sebagai fenomena sosial yang harus diubah. ‘Mereka’ mungkin dari keluarga tidak terdidik, tetapi ‘mereka’ kemudian berpikir menjadi otodidak dan bagaimana mengembangkan pendidikan. Dan tentunya ‘kita’ semua sebagai ‘mereka’ merindukan ‘momentum cinta’ bersama ‘cinta’ AGK menuju Maluku Utara sebagai ‘Negeri Manusia’ karena pendekatan nilai bukan pendekatan jabatan atau kekuasaan, ‘cinta’.

Posting Komentar

0 Komentar