Perspektif
Kerinduan Pada Masyarakat Islami
Kerinduan Pada
Masyarakat Islami
M. Sadli Umasangaji
(Founder Celoteh Ide)
“Kita akan
memerangi manusia dengan senjata cinta” (Hasan Al-Banna)
Fenomena Daulah Islamiyah yang
‘didirikan’ oleh Gerakan ISIS (Islamic
State Of Iraq and Syiria) menjadi pemberitaan diberbagai media di beberapa
waktu akhir ini. Daulah Islamiyah yang dibangun ISIS ‘dianggap’ identik dengan
kekerasan, yang ‘dinilai’ sebenarnya bukan keterwakilan dari nilai-nilai Islam.
Pro kontra pun terjadi bahkan di Indonesia ada penegasan bahwa ISIS yang di
Indonesia tidak melakukan kekerasan sama halnya dengan ISIS di Irak dan Suriah
karena beda medan dakwah dan jihad, wallahua’lam.
Mengutip beberapa tanggapan ulama terkait
hal ini, diantaranya pernyataan asy-Syaikh al-‘Alim Atha’ bin Khalil Abu ar-Rasytah,
Amir Hizbut Tahrir, beberapa hal yang penulis kutip pertama, sesungguhnya tanzhim (organisasi) apapun yang ingin
memproklamirkan al-Khilafah di suatu tempat, yang wajib baginya adalah
mengikuti thariqah Rasulullah Saw dalam hal itu. Diantaranya adalah,
organisasi itu memiliki kekuasaan yang menonjol di tempat tersebut, yang
menjaga keamanannya di dalam dan di luar negeri. Harus ada pilar-pilar negara
di daerah yang di situ diproklamirkan al-Khilafah. Kedua, sementara itu,
organisasi yang memproklamirkan al-Khilafah tersebut, tidak memiliki kekuasaan
atas Suriah dan tidak pula atas Irak. Organisasi itu juga tidak merealisasi
keamanan dan rasa aman di dalam negeri dan tidak pula di luar negeri, hingga
orang yang dibaiat sebagai khalifah saja tidak bisa muncul di sana secara
terbuka, akan tetapi keadaannya tetap tersembunyi seperti keadaannya sebelum
proklamasi daulah. Ketiga, proklamasi yang terjadi adalah ucapan yang sia-sia (laghwun),
tidak memajukan dan tidak memundurkan dalam hal realita organisasi ISIS. ISIS
adalah gerakan bersenjata, baik sebelum proklamasi dan setelah proklamasi.
Posisinya seperti gerakan-gerakan bersenjata lainnya yang saling memerangi satu
sama lain dan juga berperang melawan rezim, tanpa satu pun dari faksi-faksi itu
bisa meluaskan kekuasaan atas Suria atau Irak atau keduanya. Seandainya ada faksi
dari faksi-faksi itu, termasuk ISIS, yang mampu meluaskan kekuasaannya atas
wilayah yang memiliki pilar-pilar negara dan memproklamasikan al-Khilafah serta
menerapkan Islam, niscaya layak untuk dibahas guna dilihat jika al-Khilafah
yang didirikannya sesuai hukum-hukum syariah.
Persatuan Ulama
Muslim Se-Dunia (IUMS), yang dipimpin oleh Syaikh Yusuf Qaradhawi, menekankan
bahwa deklarasi khilafah yang dilakukan ISIS untuk wilayah cukup luas di Irak
dan Suriah tidak sah secara syariah Islam dan juga tidak membantu proyek
kejayaan Islam. Kami juga mengharapkan khilafah Islam bisa berdiri dengan
cepat. Hari ini, tidak menunggu esok hari. Tapi khilafah yang didasarkan pada manhaj
Nabi SAW, dan syura. Menurut
IUMS, deklarasi khilafah dan mengangkat seorang khalifah, dilanjutkan dengan
menuntut umat Islam seluruh dunia untuk tunduk dan taat kepadanya dilakukan
tanpa standar syariah dan realitas. Bahkan sisi bahayanya lebih besar daripada
sisi manfaatnya.
Hal lain yang perlu disikapi adalah
sikap kita (termasuk penulis) sebagai orang awam dalam hal ini. Hal ini
kemungkinan secara tidak langsung akan menanamkan paradigma yang negatif
terhadap dakwah Islam karena diidentikkan Islam sebagai bentuk gerakan
kekerasan padahal mungkin ISIS tidak bermaksud demikian. Tapi mungkin seperti
kata Felix Siauw, dalam Islam, segala sesuatu amalan tergantung pada niatnya,
selain tergantung pada niat, nilainya juga tergantung caranya maka walau niat
ikhlas karena Allah, bila salah dalam caranya maka amal itu hanya akan jadi
amal yang sia-sia. Apakah itu shalat, zakat, puasa, menolong orang, ataupun
belajar, semua amal baik harus dilakukan dengan niat dan cara yang benar.
Karena amalan ikhlas namun tidak sesuai cara Rasulullah pasti akan menghasilkan
kerusakan dan juga musibah. Maka pejuang-pejuang Islam ini senantiasa harus
bijak dan sabar karena mereka duta Islam yang akan selalu disorot untuk
belajar.
Di
satu sisi lain, pandangan terhadap harakah Islam yang ada pun disama-ratakan
sehingga orang awam akan takut masuk dalam sebuah gerakan jamaah Islam.
Kemungkinan semangat untuk keber-Islaman akan menurun karena paradigma takut
mempelajari Islam.
Padahal untuk bisa mencapai
kebangkitan Islam, menurut Yusuf Qardhawi, diperlukan beberapa persyaratan.
Pertama, hendaknya kita selalu bangga dengan ke-Islaman kita. Kita harus merasa
bahwa segala yang membuat kita bangga, yang membuat kita percaya diri, yang
membuat kita berani menghadapi orang lain adalah Islam. Kedua, selain bangga,
Islam harus menjadi cara berpikir, menjadi perilaku, menjadi cara bermuamalah
kita. Ketiga, hendaknya bersatu melakukan berbagai kebaikan yang harus kita
lakukan, jangan sampai ada perpecahan. Keempat, hendaknya negeri ini pandai
memilih pemimpin mereka.
Sayyid Qutbh menuliskan “Islam
membangun umat Islam berlandaskan prinsip yang sesuai dengan manhaj.
Eksistensinya mengokohkan fundamen masyarakat organik yang dinamis, dan
menjadikan akidah sebagai tali pengikat masyarakat ini. Islam bertujuan
menampilkan “kemanusiaan manusia”, mengokohkannya, dan menegakkannya dalam
semua dimensi dari dunia manusia.
Hendaknya persoalan akidah menjadi
fundamen dakwah Islam kepada manusia, karena akidah sedari awal memang menjadi
fundamen dakwah Islam kepada manusia. Akidah Islam haruslah tercermin dalam
jiwa yang dinamis, dalam tatanan nyata, dalam masyarakat organik, dan dalam
harakah. Umat Islam juga harus memahami bahwasanya Islam sebagaimana hadir
untuk mereformasi konsepsi teologis sekaligus dinamis, hadir dengan misi
mereformasi manhaj yang dibangun oleh konsepsi teologis tersebut, dilanjutkan
dengan mereformasi realitas dinamis. Islam hadir untuk membangun akidah
sekaligus membangun umat. (Quthb, 2012).
Ketika sisi kemanusiaan manusia
menjadi nilai tertinggi dalam suatu masyarakat dan ciri-ciri khas kemanusiaan
didalamnya menjadi hal yang dimuliakan dan dipertimbangkan, maka masyarakat
tersebut menjadi masyarakat yang berperadaban. Islam memasukkan perikemanusiaan
ke dalam tatanan nilai dan moralitasnya. Perikemanusiaan inilah yang
mengembangkan dalam diri manusia aspek-aspek yang mengunggulkan. Akidahlah yang
menyusun konsideran dan menetapkan nilai-nilai moralitas. Peradaban Islami
adalah peradaban yang mengakomodasi implementasi nilai-nilai kemanusiaan, bukan
kemajuan teknologi, ekonomi, ataupun ilmu pengetahuan yang diiringi
keterbelakangan nilai-nilai kemanusiaan. (Quthb, 2012).
Sayyid Quthb menuliskan peradaban
Islami bisa mengambil format yang beraneka ragam berkenaan dengan komposisi
materi dan desainnya. Hanya saja, asas-asas yang melandasinya bersifat permanen,
karena hal inilah yang menopang peradaban tersebut. Diantara asas dan nilai itu
adalah pertama beribadah kepada Allah semata, kedua, berhimpun atas dasar
ikatan akidah, ketiga, meninggikan sisi kemanusiaan manusia di atas kepentingan
materi, keempat, membumikan nilai-nilai humanis yang mengembangkan sisi
kemanusiaan manusia, bukan sisi kebinatangannya, kelima, menghormati ikatan
keluarga, keenam, menjalankan peran khalifah di bumi sesuai dengan perintah dan
ketentuan Allah, ketujuh, hanya berpedoman pada manhaj dan syariat Allah
berkaitan dengan tugas-tugas khalifah.
Dimuat di Malut Post Edisi 15 Agustus 2014
Posting Komentar
0 Komentar