Kerinduan Pada Masyarakat Islami


Kerinduan Pada Masyarakat Islami
M. Sadli Umasangaji
(Founder Celoteh Ide)



(pexels dot com)





“Kita akan memerangi manusia dengan senjata cinta” (Hasan Al-Banna)

Fenomena Daulah Islamiyah yang ‘didirikan’ oleh Gerakan ISIS (Islamic State Of Iraq and Syiria) menjadi pemberitaan diberbagai media di beberapa waktu akhir ini. Daulah Islamiyah yang dibangun ISIS ‘dianggap’ identik dengan kekerasan, yang ‘dinilai’ sebenarnya bukan keterwakilan dari nilai-nilai Islam. Pro kontra pun terjadi bahkan di Indonesia ada penegasan bahwa ISIS yang di Indonesia tidak melakukan kekerasan sama halnya dengan ISIS di Irak dan Suriah karena beda medan dakwah dan jihad, wallahua’lam.
Mengutip beberapa tanggapan ulama terkait hal ini, diantaranya pernyataan asy-Syaikh al-‘Alim Atha’ bin Khalil Abu ar-Rasytah, Amir Hizbut Tahrir, beberapa hal yang penulis kutip pertama, sesungguhnya tanzhim (organisasi) apapun yang ingin memproklamirkan al-Khilafah di suatu tempat, yang wajib baginya adalah mengikuti thariqah Rasulullah Saw dalam hal itu. Diantaranya adalah, organisasi itu memiliki kekuasaan yang menonjol di tempat tersebut, yang menjaga keamanannya di dalam dan di luar negeri. Harus ada pilar-pilar negara di daerah yang di situ diproklamirkan al-Khilafah. Kedua, sementara itu, organisasi yang memproklamirkan al-Khilafah tersebut, tidak memiliki kekuasaan atas Suriah dan tidak pula atas Irak. Organisasi itu juga tidak merealisasi keamanan dan rasa aman di dalam negeri dan tidak pula di luar negeri, hingga orang yang dibaiat sebagai khalifah saja tidak bisa muncul di sana secara terbuka, akan tetapi keadaannya tetap tersembunyi seperti keadaannya sebelum proklamasi daulah. Ketiga, proklamasi yang terjadi adalah ucapan yang sia-sia (laghwun), tidak memajukan dan tidak memundurkan dalam hal realita organisasi ISIS. ISIS adalah gerakan bersenjata, baik sebelum proklamasi dan setelah proklamasi. Posisinya seperti gerakan-gerakan bersenjata lainnya yang saling memerangi satu sama lain dan juga berperang melawan rezim, tanpa satu pun dari faksi-faksi itu bisa meluaskan kekuasaan atas Suria atau Irak atau keduanya. Seandainya ada faksi dari faksi-faksi itu, termasuk ISIS, yang mampu meluaskan kekuasaannya atas wilayah yang memiliki pilar-pilar negara dan memproklamasikan al-Khilafah serta menerapkan Islam, niscaya layak untuk dibahas guna dilihat jika al-Khilafah yang didirikannya sesuai hukum-hukum syariah.
            Persatuan Ulama Muslim Se-Dunia (IUMS), yang dipimpin oleh Syaikh Yusuf Qaradhawi, menekankan bahwa deklarasi khilafah yang dilakukan ISIS untuk wilayah cukup luas di Irak dan Suriah tidak sah secara syariah Islam dan juga tidak membantu proyek kejayaan Islam. Kami juga mengharapkan khilafah Islam bisa berdiri dengan cepat. Hari ini, tidak menunggu esok hari. Tapi khilafah yang didasarkan pada manhaj Nabi SAW, dan syura.            Menurut IUMS, deklarasi khilafah dan mengangkat seorang khalifah, dilanjutkan dengan menuntut umat Islam seluruh dunia untuk tunduk dan taat kepadanya dilakukan tanpa standar syariah dan realitas. Bahkan sisi bahayanya lebih besar daripada sisi manfaatnya.
            Hal lain yang perlu disikapi adalah sikap kita (termasuk penulis) sebagai orang awam dalam hal ini. Hal ini kemungkinan secara tidak langsung akan menanamkan paradigma yang negatif terhadap dakwah Islam karena diidentikkan Islam sebagai bentuk gerakan kekerasan padahal mungkin ISIS tidak bermaksud demikian. Tapi mungkin seperti kata Felix Siauw, dalam Islam, segala sesuatu amalan tergantung pada niatnya, selain tergantung pada niat, nilainya juga tergantung caranya maka walau niat ikhlas karena Allah, bila salah dalam caranya maka amal itu hanya akan jadi amal yang sia-sia. Apakah itu shalat, zakat, puasa, menolong orang, ataupun belajar, semua amal baik harus dilakukan dengan niat dan cara yang benar. Karena amalan ikhlas namun tidak sesuai cara Rasulullah pasti akan menghasilkan kerusakan dan juga musibah. Maka pejuang-pejuang Islam ini senantiasa harus bijak dan sabar karena mereka duta Islam yang akan selalu disorot untuk belajar.
Di satu sisi lain, pandangan terhadap harakah Islam yang ada pun disama-ratakan sehingga orang awam akan takut masuk dalam sebuah gerakan jamaah Islam. Kemungkinan semangat untuk keber-Islaman akan menurun karena paradigma takut mempelajari Islam.
            Padahal untuk bisa mencapai kebangkitan Islam, menurut Yusuf Qardhawi, diperlukan beberapa persyaratan. Pertama, hendaknya kita selalu bangga dengan ke-Islaman kita. Kita harus merasa bahwa segala yang membuat kita bangga, yang membuat kita percaya diri, yang membuat kita berani menghadapi orang lain adalah Islam. Kedua, selain bangga, Islam harus menjadi cara berpikir, menjadi perilaku, menjadi cara bermuamalah kita. Ketiga, hendaknya bersatu melakukan berbagai kebaikan yang harus kita lakukan, jangan sampai ada perpecahan. Keempat, hendaknya negeri ini pandai memilih pemimpin mereka.
            Sayyid Qutbh menuliskan “Islam membangun umat Islam berlandaskan prinsip yang sesuai dengan manhaj. Eksistensinya mengokohkan fundamen masyarakat organik yang dinamis, dan menjadikan akidah sebagai tali pengikat masyarakat ini. Islam bertujuan menampilkan “kemanusiaan manusia”, mengokohkannya, dan menegakkannya dalam semua dimensi dari dunia manusia.
            Hendaknya persoalan akidah menjadi fundamen dakwah Islam kepada manusia, karena akidah sedari awal memang menjadi fundamen dakwah Islam kepada manusia. Akidah Islam haruslah tercermin dalam jiwa yang dinamis, dalam tatanan nyata, dalam masyarakat organik, dan dalam harakah. Umat Islam juga harus memahami bahwasanya Islam sebagaimana hadir untuk mereformasi konsepsi teologis sekaligus dinamis, hadir dengan misi mereformasi manhaj yang dibangun oleh konsepsi teologis tersebut, dilanjutkan dengan mereformasi realitas dinamis. Islam hadir untuk membangun akidah sekaligus membangun umat. (Quthb, 2012).
            Ketika sisi kemanusiaan manusia menjadi nilai tertinggi dalam suatu masyarakat dan ciri-ciri khas kemanusiaan didalamnya menjadi hal yang dimuliakan dan dipertimbangkan, maka masyarakat tersebut menjadi masyarakat yang berperadaban. Islam memasukkan perikemanusiaan ke dalam tatanan nilai dan moralitasnya. Perikemanusiaan inilah yang mengembangkan dalam diri manusia aspek-aspek yang mengunggulkan. Akidahlah yang menyusun konsideran dan menetapkan nilai-nilai moralitas. Peradaban Islami adalah peradaban yang mengakomodasi implementasi nilai-nilai kemanusiaan, bukan kemajuan teknologi, ekonomi, ataupun ilmu pengetahuan yang diiringi keterbelakangan nilai-nilai kemanusiaan. (Quthb, 2012).
            Sayyid Quthb menuliskan peradaban Islami bisa mengambil format yang beraneka ragam berkenaan dengan komposisi materi dan desainnya. Hanya saja, asas-asas yang melandasinya bersifat permanen, karena hal inilah yang menopang peradaban tersebut. Diantara asas dan nilai itu adalah pertama beribadah kepada Allah semata, kedua, berhimpun atas dasar ikatan akidah, ketiga, meninggikan sisi kemanusiaan manusia di atas kepentingan materi, keempat, membumikan nilai-nilai humanis yang mengembangkan sisi kemanusiaan manusia, bukan sisi kebinatangannya, kelima, menghormati ikatan keluarga, keenam, menjalankan peran khalifah di bumi sesuai dengan perintah dan ketentuan Allah, ketujuh, hanya berpedoman pada manhaj dan syariat Allah berkaitan dengan tugas-tugas khalifah.

Dimuat di Malut Post Edisi 15 Agustus 2014

Posting Komentar

0 Komentar