Ideasi Gerakan
Memaknai Keberagaman Karakter Kader Sebagai Alur Gerakan
Memaknai
Keberagaman Karakter Kader Sebagai Alur Gerakan
(M. Sadli Umasangaji)
(Anggota Biasa KAMMI)
Dimuat di Radar
Halmahera dan Posko Malut Edisi 10 Septermber 2014
KAMMI dalam Garis Besar Haluan
Organisasi, menuliskan dalam Karakter Organisasi, KAMMI adalah organisasi pengkaderan (harokatut tajnid) dan organisasi pergerakan (harokatul amal). Bahkan mungkin KAMMI dengan segala karakter
kadernya, ‘segelintir kader’ lebih menempatkan sebagai harokatut tajnid yang berbaur ke dalam harokatul amal. Atau organisasi pengkaderan yang harusnya tertampak
sebagai organisasi pergerakan.
Umumnya organisasi mahasiswa atau
organisasi kepemudaan identik dengan gerakan mahasiswa. Dan ini pula yang
paling diminati oleh mahasiswa, bentuk gerakan mahasiswa seperti aksi-aksi
demonstrasi atau yang sejenisnya (defenisi secara sempit). Pertanyaan
mendasarnya adalah bolehkah ada mahasiswa yang tidak tertarik dengan aksi-aksi
demonstrasi terlibat dalam KAMMI? Atau sebaliknya bagaimana KAMMI menampung
orang-orang yang tidak terlalu tertarik dengan aksi-aksi demonstrasi?
Ustad
Hilmi Aminudin dalam salah satu taujihnya mengatakan kehidupan senantiasa
berbasiskan gerak (defenisi secara luas) dan itu adalah sunatullah. Kehidupan didasari oleh adanya gerak. Ketiadaan gerak
sering kali diindikasikan sebagai tidak adanya kehidupan dan sunatullah gerak dalam kehidupan ini
adalah sunatullah kauniyah, yakni
mencakup seluruh semesta alam dan semesta makhluk. Seluruh makhluk bergerak,
termasuk galaksi-galaksi, matahari, bintang-bintang, dan bulan. Seluruhnya
bergerak tetapi tetap dalam porosnya. Ada keseimbangan antara keharusan
bergerak dan keharusan untuk tetap terikat pada porosnya.
Dalam
hal ini akan berimplikasi dalam beberapa hal yakni, karakter kader,
kepemimpinan, dan tata kelola organisasi. Pertama, karakter kader, menjadi
jawaban agar KAMMI yang cenderung ditempatkan sebagai organisasi pergerakan
yang hanya identik dengan ‘aksi demonstrasi’ dapat menampung segala karakter
pemuda. Dalam sebuah dialog antara Yusuf Qardhawi dengan beberapa aktivis
Harakah Islam, “mereka menyampaikan kritikan kepada Ikhwan, menurut mereka
Ikhwan terlalu disibukkan melakukan aktivitas yang sesungguhnya merupakan tugas
sebuah negara Islam, seperti pekerjaan sosial dan kemasyrakatan di antaranya
mendirikan klinik kesehatan dan rumah sakit serta rumah-rumah panti asuhan,
membantu masyarakat banyak serta menebar amal sosial lainnya. Menurut mereka
pekerjaan seperti ini dapat melenakan kaum muslimin dari kewajiban mendirikan
sebuah negara dan menegakkan khilafah, karena ia akan terlalu banyak menyita
waktu masyarakat untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan sosial daripada tugas
berdakwah”.
Mengenai ini ada sebuah jawaban menarik dari Yusuf Qardhawi yang penulis kutip
sebagai mengenai karakter kader, “dalam
setiap kelompok, kemampuan dan sumber daya yang dimiliki biasanya sangat
beragam dan berbeda-beda. Ada yang pakar dalam bidang pemikiran, yang lainnya
mahir dalam berdakwah, yang lain tidak ahli dalam keduanya tapi sukses dalam
berinteraksi sosial. Oleh sebab itu, mengapa potensi yang sangat beragam ini
tidak diikat agar semuanya dapat dimanfaatkan untuk membantu masyarakat dan
meringankan beban mereka. Sedang Allah akan menolong seseorang, selama ia
mau menolong saudaranya”. Jadi apapun bentuk karakter kadernya ia tetap
otentik dengan karakternya, tapi akarnya tetap tarbiyah, seperti kata Ustad
Hilmi, “Saya hanya ingin mengingatkan bahwa titik tekan perjalanan kita
memasuki tatanan dakwah ini adalah melalui pintu tarbiyah dan itu adalah
satu-satunya pintu masuk ke dalam dakwah ini. Tidak ada pintu ekonomi, pintu
politik, atau pintu budaya, yang ada hanya pintu tarbiyah. Walaupun setelah
masuk, bisa saja menjadi aktivis politik, pengusaha, budayawan, seniman,
ekonom, pendidik, atau apapun profesi lainnya”.
Kedua, kepemimpinan. Kesadaran akan
keberagaman karakter kader sebagai alur gerakan akan berkaitan dengan
kepemimpinan. Secara mendasar Ustad Hilmi membagi kepemimpinan dalam dua hal,
yakni, pertama, kepemimpinan mauhuubah,
ada proses pertumbuhan kepemimpinan yang bersifat pemberian dari Allah SWT.
Dicontohkan seperti versi Thalut dan versi Nabi Musa, keduanya memiliki
kekuatan dari segi ilmu dan fisik serta mentalitas dan integritas pribadinya.
Atau mungkin dapat disebut sebagai kepemimpinan lahiriah. Kedua, kepemimpinan muktasabah, jenis kepemimpinan yang
dibentuk dan diusahakan. Kepemimpinan juga bisa ditumbuhkan melalui jalur
pengkaderan dan pelatihan serta pembinaan.
Dua jenis kemunculan pemimpin yakni
lahiriah dan melalui pengkaderan mempunyai karakternya masing-masing. Pada
umumnya tipe pemimpin lahiriah sejak awal telah memiliki kharisma sehingga
sosoknya merupakan pemimpin kharismatik yang memiliki aura kepemimpinan.
Sementara jenis atau tipe pemimpin (melalui pengkaderan), biasanya kharismanya
baru akan tumbuh seiring bertambahnya pengalaman dan kebijaksanaannya. Ia akan
diakui integritas kepemimpinannya karena pengalamannya selama ini. Tapi
keduanya juga memiliki kelemahan masing-masing, yakni biasanya jenis
kepemimpinan lahiriah bila tidak terus digali, dilatih, dan ditingkatkan
kemampuannya boleh jadi memiliki kelemahan dalam hal manajemen atau tata kelola
organisasi. Dan kepemimpinan (melalui pengkaderan) biasanya memiliki kelemahan
dalam keberanian moral sehingga tidak cepat dalam mengambil keputusan dan
kurang berani mengambil resiko.
Tentu saja hal yang terbaik adalah bila
tipe pemimpin lahiriah dan pemimpin (melalui pengkaderan) bisa dipadukan yakni
pemimpin lahiriah yang terlatih sehingga didapatkan kepemimpinan pengkaderannya
dalam tata kelola. Atau sebaliknya pemimpin (melalui pengkaderan) yang
meningkatkan integritasnya yang terus ditempa oleh pengalaman dan juga
pembinaan.
Hal ini agar dalam konteks kepemimpinan
KAMMI, bukan penegasan bahwa KAMMI harus dipimpin oleh ‘tipekal karakter kader
pergerakan’ tapi atas dasar kesadaran mengenai tipekal kepemimpinan yang
disesuaikan dengan keberagaman kader agar semua tetap otentik. Dan kepemimpinan
di dalam KAMMI sesuai dengan kompetensi inti atau pusat keunggulan ketuanya dan
pengurusnya. Anis Matta menuliskan “Para pahlawan mengajarkan sebuah kaidah
kepada kita, seseorang hanya akan menjadi besar dan meledak sebagai pahlawan,
jika ia bekerja secara optimal pada kompetensi intinya”. Kompetensi inti atau
pusat keunggulan itu menurut Anis Matta biasanya dicirikan oleh beberapa hal.
Misalnya, adanya minat yang tinggi terhadap suatu bidang, kemampuan penguasaan
yang cepat dalam bidang itu, kegembiraan natural saat menjalaninya, optimisme
pada kemampuan pengembangan lebih jauh.
Dengan begini peran-peran terdistribusi
dalam banyak bentuk. Dan begitulah Rasulullah mendistribusi peran-peran para
pahlawan (sahabat). Inilah yang menggambarkan antara Khalid bin Walid dan Umar
bin Khatab. Mereka sama-sama berasal dari klan Bani Makhzum, memiliki postur
tubuh yang tinggi dan besar, wajah yang sangat mirip, dan bangunan karakter
yang sama. Tapi keduanya memiliki perbedaan yang tipis pada tipologi
keprajuritan. Keprajuritan Khalid bersifat agresif sementara keprajuritan Umar
bersifat pembelaan. Sehingga Khalid bin Walid selalu mendapat peran sebagai
panglima perang. Dan Umar bin Khatab walaupun memenuhi semua kualifikasi
sebagai panglima perang tapi ia tidak pernah ditunjuk menjadi komandan perang.
Dan ternyata Umar bin Khatab ditempatkan sebagai negarawan besar, khalifah.
Begitulah akhirnya kedua pahlawan itu
menjadi ulung pada perannya masing-masing. Khalid dikenal karena keberanian dan
kehebatan strategi perangnya sementara Umar dikenal karena kasih sayang dan
keadilannya kepada rakyatnya. Dua legenda Islam menjadi abadi dalam sejarah
karena keduanya meniti jalan kepahlawanan pada jalur kompetensi intinya
masing-masing (Matta, 2013).
Ketiga, tata kelola organisasi. Untuk
mengelola keberagaman perlu ada tata kelola organisasi. Dalam salah satu taujih
Ustad Hilmi, beliau mengkonsepkan, pertama, istiqamah,
konsisten. Konsistensi ini tentu saja bukan sesuatu yang statis karena
konsisten tidak identik dengan statis melainkan dinamis. Konsisten ini
berhubungan dengan keaktifan kader dalam mensukseskan program kerja organisasi.
Kedua, memiliki orientasi yang jelas. Adanya konsep-konsep organisasi yang
memperjelas arah gerak organisasi selama kepengurusan. Dan konsep-konsep ini
harusnya dapat diukur. Dianalogikan dalam sebuah lomba lari atau perjalanan.
Kader tidak seperti orang yang berlomba lari namun tidak tahu startnya dimana
dan tidak tahu pula akan berakhir di garis finish yang mana. Atau seperti dalam
rute perjalanan misalkan Sabia hingga Kalumata, ada kader yang merasa startnya
di Koloncucu dan tiba-tiba merasa finishnya di Santiong misalkan, ada kader
lain pula yang merasa finishnya di Bastiong sudah cukup, dan seterusnya, kader
kehilangan alur orientasi organisasi yang terukur. Ataupun dalam konteks
bahasa, kader cenderung mengatakan “alhamdulillah, kita sudah melakukan capaian
sejauh ini, lumayan”. Padahal kata lumayan tidak dapat diukur dan akan relatif.
Selanjutnya konsepsi ketiga adalah tawazun (keseimbangan). Keseimbangan
merupakan titik penghubung antara konsistensi dan orientasi yang jelas. Agar
kader tidak mengatakan KAMMI itu berhasil kalau cenderung sebagai organisasi
pergerakan atau KAMMI itu baik kalau pengkaderannya berjalan lancar. Atau
secara pemikiran, KAMMI itu dinilai berhasil kalau KAMMI menjadi kanan, atau
KAMMI menjadi kiri, atau KAMMI menjadi kanannya kanan, atau kirinya kanan, atau
kanannya kiri, atau kirinya kiri. Tipekal karakter kader KAMMI. Tapi adanya
titik tengah yang memperjelas mengenai itu. Dan Rasulullah katakan “Sebaik-baik
urusan adalah yang pertengahan”.
Konsepsi keempat, istimrariyah, kontinuitas. Kontinuitas harus menjadi efek dari
konsistensi, orientasi yang jelas dan keseimbangan. Konsepsi berkelanjutan ini
adalah bagian dari bentuk kedinamisan dalam mengelola organisasi. Sesuatu yang
belum dikonsepkan, dikonsepkan tapi konsepsinya tidak menjadi baku sehingga
dapat menjadi dinamis sesuai dengan kondisi. Sehingga KAMMI tidak terkesan
sebagai organisasi yang mengkritisi aturan-aturan pemerintah (perda,
undang-undang, dan regulasi-regulasi lain) tapi tidak tuntas menyelesaikan
konsep-konsep dasar organisasinya. Disorientasi. Kontinuitas adalah bagian dari
perasaan berdaya untuk terus mewujudkan konsep-konsep organisasi dan program
kerja yang dicanangkan secara berkelanjutan.
Konsepsi kelima, taurits, pewarisan. Langkah ini dari satu generasi ke generasi
berikut dapat terwariskan alur gerakannya (konsep organisasinya) dan dapat
bersifat pewarisan yang berkelanjutan. Karena peradaban itu lahir karena
akumulasi antar generasi.
Dengan demikian memaknai keberagaman
karakter kader sebagai alur gerakan merupakan gerak yang memiliki porosnya
sehingga ia menjadi amal jama’i. Dan semua itu ia memiliki orientasi dimana
dapat terukur, teratur, dan terstruktur sebagai sunatullah pergerakan. Wallahu’alam.
Posting Komentar
0 Komentar