Nilai-Nilai Bawah Tanah dalam Birokrasi


Nilai-Nilai Bawah Tanah dalam Birokrasi
M. Sadli Umasangaji
(Founder Celoteh Ide)
Dimuat di Radar Halmahera Edisi 09 Januari 2015

(pngtree)



Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, Yuddy Chrisnandi akan menghadirkan budaya baru, era birokrat yang priyayi, berganti menjadi birokrat pelayan rakyat. Ditambah dengan slogan Presiden kita yang ketujuh, Joko Widodo dalam kepemimpinannya kini, Revolusi Mental. Reformasi birokrasi melalui konsep Revolusi Mental. Hal ini karena birokrasi di Indonesia terkenal dengan kerumitan dan ketidakefisiensiannya.
Beberapa konsepsi implementasi revolusi mental dalam reformasi birokrasi diantaranya yang dikatakan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, revolusi mental di instansi pemerintahan akan dimulai dari audit organisasi. Audit tersebut bertujuan memangkas peta-peta birokrasi yang selama ini mempersulit publik dalam mendapatkan pelayanan. Selain itu, mengurangi jumlah pegawai yang tidak memberikan nilai tambah, mengurangi meja-meja perizinan, mempercepat pengambilan keputusan, dan mengubah mindset aparatur negara yang selama ini kurang aktif dalam menyelesaikan persoalan.
            Revolusi mental dalam konteks reformasi birokrasi kita memiliki 3 sasaran yang dipaparkan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, pertama, cara berpikir (mindset). Masuk ke dalam era birokrat yang melayani rakyat, jadi implementasinya dalam public service (pelayanan publik), dan mengakhiri era birokrat yang priyayi. Kedua, perampingan struktur. Struktur organisasi harus ramping, harus efisien, tidak boleh gemuk, tidak boleh ada organisasi-organisasi dalam pemerintahan yang duplikasi fungsi. Ketiga, merombak kultur budaya kerja PNS. Meminta para aparatur sipil negara meninggalkan ego sektoral. Para PNS harus bekerja secara lintas sektoral.
Berdasarkan situs Kemenpan, ukuran keberhasilan Reformasi Birokrasi diantaranya, tidak ada korupsi, tidak ada pelanggaran atau sanksi, APBN dan APBD baik, semua program selesai dengan baik, semua perizinan selesai dengan cepat dan tepat, komunikasi dengan publik baik, penggunaan waktu (jam kerja) efektif dan produktif, penerapan reward dan punishment secara konsisten dan berkelanjutan, hasil pembangunan nyata (pro pertumbuhan, pro lapangan kerja, dan pro pengurangan kemiskinan artinya, menciptakan lapangan pekerjaan, mengurangi kemiskinan, dan memperbaiki kesejahteraan rakyat).
Perlu kita ketahui dahulu nilai-nilai yang dominan di dalam masyarakat industrial, sebab dehumanisasi adalah suatu proses yang menyangkut masalah nilai-nilai. Masyarakat industrial menutut dan melahirkan nilai-nilainya sendiri yang tidak dapat dihindarkan. Untuk menjadi industrial, masyarakat harus disiapkan untuk menerima nilai-nilai yang menunjang proses industrialisasi itu. Tetapi lebih penting lagi ialah bahwa setiap industrialisasi itu, dikehendaki ataupun tidak, pasti melahirkan tata nilai yang kebanyakan tidak dikenal oleh suatu masyarakat non-industrialisasi. Keharusan-keharusan itu, betapapun buruknya, menjelma menjadi tata nilai resmi. Pelanggaran atas nilai-nilai itu akan mengakibatkan sanksi-sanksi yang langsung dirasakan oleh pelakunya menurut ukuran-ukuran masyarakat industrial itu sendiri. Jock Young menyimpulkan tujuh nilai formal yang mendasari masyarakat industrial; pertama, kesenangan yang tertunda, kedua, perencanaan kerja atau tindakan masa datang, ketiga, tunduk kepada aturan-aturan birokratis, keempat, kepastian, pengawasan yang banyak kepada detail, sedikit kepada pengarahan, kelima, rutin, dapat diramalkan, keenam, sikap instrumental kepada kerja, dan ketujuh, kerja keras yang produktif dinilai sebagai kebaikan (Madjid, Nurcholis, 2013).
Perubahan nilai-nilai waktu senggang kepada nilai-nilai waktu kerja itu secara sederhana diringkaskan oleh Herbert Marcuse sebagai berikut; dari (nilai waktu senggang) diantaranya, kepuasaan yang segera didapat, kenikmatan, kesenangan dan main, sikap reseptif, dan tidak ada tekanan. Ke (nilai waktu kerja) diantaranya; kepuasaan yang tertunda, pengekangan kenikmatan, garapan atau kerja, sikap produktif, keamanan dan ketertiban.
Nilai-nilai resmi yang diterangkan adalah nilai-nilai di atas tanah. Nilai-nilai itu diakui sah oleh masyarakat, dan setiap orang diharuskan untuk bertindak dengan mengikuti ketentuang-ketentuannya. Tetapi nilai-nilai itu mengakibatkan dehumanisasi. Dan dehumanisasi adalah penderitaan sekalipun bersifat immaterial. Maka dalam masyarakat selalu ada kecenderungan laten untuk membebaskan diri dari nilai-nilai tersebut. Penyaluran keluar kecenderungan itu secara resmi ialah melalui hari-hari libur, cuti, atau waktu senggang. (Madjid, Nurcholis, 2013).
Ataupun argumen semisal, kerja-kerja kepegawaian seharusnya bersifat substansi, seperti apabila laporan atau kerja-kerja manajemen atau kerja-kerja kantor telah selesai maka dapat menikmati waktu-waktu senggang, terutama dalam dinas-dinas yang tidak terkait dengan pelayanan publik secara langsung yang kerja-kerjanya sebatas pelaporan. Dalam konteks ini maka kedisplinan menjadi nomor dua.
Jadi, proses pemasyarakatan termasuk yang dialami oleh orang dari masa kanak-kanak sampai masa dewasa, menyangkut perpindahan dari prinsip kesenangan kepada prinsip kenyataan, dari dunia kebebasan dan kenikmatan kepada dunia yang diliputi keharusan-keharusan. Setiap orang yang telah mengecap surga permainan pada masa kanak-kanak menyimpan dalam hati kecilnya suatu utopia tentang dunia yang didalamnya keharusan-keharusan ekonomi tidak menjadi beban dan yang didalamnya dia dapat menyatakan keinginan-keinginannya secara bebas.
Itulah dasar psikologis nilai-nilai waktu senggang atau bawah tanah. Karena aspirasi-aspirasi itu melekat pada manusia sebagai manusia, sering ia tidak merasa puas dengan penyaluran-penyaluran formal yang disahkan seperti hari libur tersebut. Maka muncullah perseorangan atau kelompok yang ingin mengabaikan norma-norma formal tadi secara total. Karena aspirasi-aspirasinya tidak dapat dinyatakan dalam aturan kultural yang resmi dan dapat diterima masyarakat, orang itu membentuk masyarakatnya sendiri, yaitu masyarakat bohemian. (Madjid, Nurcholis, 2013).
Sedangkan konsepsi Revolusi Mental (secara umum) terdiri dari enam nilai modern versi Indonesia, (1) citizenship (sebagai warga negara sadar akan hak dan kewajibannya dan aktif berpartisipasi untuk masyarakat), (2) jujur (dapat dipercaya), (3) mandiri (dapat menyelesaikan persoalan sendiri, tidak hanya bergantung kepada pemerintah atau pihak lain), (4) kreatif (mampu berpikir alternative, mampu menemukan terebosan, berpikiran fleksibel), (5) gotong-royong, dan (6) saling menghargai (yang kuat menghargai yang lemah, yang mayoritas menghargai menghargai yang minoritas, yang laki-laki menghargai perempuan, yang generasi senior menghargai yang muda, dan seterusnya, dan tentu saja sebaliknya). (Sarwono, 2014).
Akhirnya, pemerintah perlu mempadukan Nilai-Nilai Bawah Tanah, konsepsi Revolusi Mental secara umum, dan Konsepsi Revolusi Mental melalui Reformasi Birokrasi, dan Kesejahteraan Pegawai. Disatu sisi kesejahteraan pegawai menjadi penting untuk peningkatan pelayanan publik. Semisal Umar bin Khatab memberikan gaji guru sebesar 15 dinar setiap bulan (Rp. 31.875.000). Secara otomatis peningkatan pendidikan relevansi dengan gaji guru. Atau kata Marcuse, ialah bahwa produktivitas harus dikekang untuk memberikan dasar material bagi pelaksanaan nilai-nilai bawah tanah. Wallahu’alam.

Posting Komentar

0 Komentar