Tantangan dan Tradisi Intelektual KAMMI


Tantangan dan Tradisi Intelektual KAMMI
M. Sadli Umasangaji
(Founder Celoteh Ide)

Dimuat di Malut Post Edisi  08 April 2015


Ideasi Gerakan KAMMI





“Kekanglah luapan perasaan dengan pandangan akal dan terangilah kecemerlangan akal dengan gelora perasaan” (Syekh Hasan Al-Banna)

            Jika melihat rentang sejarah, kita akan mempelajari bahwa dinamika perubahan sosial merupakan interaksi dari empat elemen utama: manusia, ide, ruang dan waktu. Manusia adalah pusat dari perubahan karena ia adalah pelaku atau aktor dimana ruang dan waktu merupakan panggung pertunjukkannya. Ide menjadi penggerak manusia dalam seluruh ruang dan waktu. Setiap kali ada perubahan yang penting dalam ide-ide manusia, maka kita akan menyaksikan perubahan besar dalam masyarakat mengikutinya. Manusia bergerak dalam ruang dan waktu secara dialektis, antara tantangan dan respon terhadap tantangan tersebut. Ide atau gagasan yang memenuhi benak manusia merupakan manifestasi dari dinamika dialektis itu. Hidup manusia bergerak dan terus bertumbuh karena ia merespon tantangan di sekelilingnya. Hasil respon baru itu selanjutnya melahirkan tantangan-tantangan baru yang menuntut respon-respon baru. (Matta, 2014).
            Tentunya yang penulis sadari bahwa yang membuat daya hidup KAMMI dan terus berkembang adalah ranah Dakwah Tauhidnya. Disisi lain KAMMI dalam usianya yang berjalan 17 tahun, maka KAMMI perlu reposisi sebagai tambahan daya hidupnya. Karena jika kecemasan merupakan kekuatan utama yang menggerakkan para pahlawan kebangkitan, maka kekuatan apakah yang paling agresif menggerakkan para pahlawan di jaman kejayaan? Jawabannya adalah obsesi kesempurnaan (Matta, 2013).

Homo Islamicus dan Intellectual Freedom
            KAMMI sendiri memiliki output pengkaderan yaitu Muslim Negarawan. Karakter Muslim Negarawan, yakni memiliki basis ideologi Islam yang mengakar, basis pengetahuan dan pemikiran yang mapan, idealis dan konsisten, berkontribusi pada pemecahan problematika umat dan bangsa, serta mampu menjadi perekat komponen bangsa pada upaya perbaikan. Selain Muslim Negarawan, ada sebuah frasa yang pernah didiskusikan dalam Jurnal KAMMI Kultural, yakni Homo Islamicus. Karena Muslim Negarawan yang terkesan mengandung makna bentuk perjuangan yang melalui ranah politik dan kekuasaan Negara. Maka Homo Islamicus, yang dituliskan Dharma Setyawan yang dikutipnya dari Seyyed Hossein Nasr, Homo Islamicus adalah bentuk konsistensi manusia sebagai makhluk ber-Tuhan. Dia meramu segala bentuk kebaikan-kebaikan yang hadir pada nalar dan wahyu untuk menciptakan maslahah (manfaat). Homo Islamicus membuat kader bisa berdiaspora dimana saja sesuai kompetensinya dengan bersandar pada nilai-nilai keislaman.
            Homo Islamicus adalah intelektual profetik dalam arti yang lebih makro (Setyawan, 2013). Intelektual Profetik sendiri dalam GBHO KAMMI, Gerakan Intelektual Profetik adalah gerakan yang meletakkan keimanan sebagai ruh atas penjelajahan nalar akal. Gerakan Intelektual Profetik merupakan gerakan yang mengembalikan secara tulus dialektika wacana pada prinsip-prinsip kemanusiaan yang universal.
            Sebagaimana Idea Of Progress dan Intellectual Freedom yang dituliskan Nurcholish Madjid (2013), Idea Of Progrees bertitik tolak dari konsepsi atau doktrin bahwa manusia pada dasarnya adalah baik, suci, dan cinta kepada kebenaran atau kemajuan (manusia diciptakan oleh Allah dalam fitrah dan berwatak hanif). Jadi, sejalan dengan Intellectual Freedom, harus bersedia mendengarkan perkembangan ide-ide kemanusiaan dengan spektrum seluas mungkin, kemudian memilih mana yang, menurut ukuran-ukuran objektif, mengandung kebenaran. Rasionalitas yakni dibenarkannya menggunakan akal pikiran oleh manusia dalam menemukan kebenaran-kebenaran, proses penemuan kebenaran-kebenaran yang relatif, menuju ke penemuan Kebenaran Yang Mutlak.
Intelektual Kolektif
            Untuk mengembalikan otonomi intelektual yang kian terancam oleh kekuatan ekonomi dan politik serta untuk memperbarui modus tindakan politik, Bourdieu mengajukan gagasan apa yang disebut dengan intelektual kolektif. Intelektual kolektif merupakan gerakan intelektual dari beragam bidang ilmu atau kompetensi sekaligus bersifat lintas negara dan budaya. Gerakan ini menjadikan kemandirian intelektual dan keterlibatan politik sebagai fondasi utamanya (Sugiarto, 2013). Intelektual kolektif berupa gerakan lintas budaya, bangsa, negara dan multidisipliner. Gerakan ini memiliki struktur bebas, jaringan informal, dan tidak terkonsenterasi di satu pusat. Beragam aliran pemikiran, perspektif dan cita-cita juga diakomodasi (Safitri, Alikta, 2014).
            Maka Intelektual Kolektif untuk memelihara opini umum yang akarnya adalah Dakwah Tauhid dan Intelektual Profetik. Dalam GBHO KAMMI, Gerakan Dakwah Tauhid merupakan gerakan yang menyerukan deklarasi tata peradaban kemanusiaan yang berdasar pada nilai-nilai universal wahyu ketuhanan (Ilahiyyah) yang mewujudkan Islam sebagai rahmat semesta (rahmatan lil ‘alamin). Dan Gerakan Intelektual Profetik adalah gerakan yang mempertemukan nalar akal dan nalar wahyu pada usaha perjuangan perlawanan, pembebasan, pencerahan, dan pemberdayaan manusia secara organik.
Hingga ujung dari Dakwah Tauhid adalah kita akan membina diri, sehingga setiap kita menjadi seorang muslim sejati. Kita akan membina rumah tangga, sehingga menjadi rumah tangga muslim. Kita akan membina bangsa kita, sehingga menjadi bangsa yang muslim. Kita akan berada di tengah-tengah bangsa Muslim ini dan akan berjalan dengan langkah pasti menuju akhir perjalanan, tujuan yang telah ditetapkan oleh Allah bagi kita, bukan tujuan yang kita tetapkan untuk diri kita. Dan, dengan izin dan pertolongan Allah, kita akan sampai ke tujuan. Karena Allah SWT, tidak menghendaki, kecuali menyempurnakan cahaya-Nya (al-Banna, 2012).
            Maka tantangan intelektual KAMMI adalah semakin menjamurnya pemikiran kader dan tokoh-tokoh KAMMI. Baik dalam ranah-ranah pemikiran maupun dalam bentuk karya dan lembaga-lembaga intelektual. Dengan tradisi kader, membaca, berdiskusi, dan menulis. Menghidupkan dialektika wacana dalam budaya literasi dan dalam perspektif Islami. Sebagaimana masa-masa kejayaan Islam. Kepahlawanan zaman kejayaan didominasi oleh semangat perfeksionisme dan inovasi. Ini menjelaskan tipikal kepahlawanan zaman kejayaan, biasanya terjadi paling banyak pada bidang pemikiran, kebudayaan, bahasa, seni, dan ilmu pengetahuan, dan pembangunan fisik, serta berorientasi pada spesialisasi yang rumit dan detail sebagai simbol kesempurnaan. Seperti kreativitas Imam Syafi saat beliau merumuskan kaidah-kaidah Ushul Fiqh, atau temuan dan inovasi Ibnu Sina dan Ibnu Rusyd dalam bidang kedokteran, atau kedalaman Imam Ghazali, Ibnu Jauzi, Ibnu Qayyim dalam bidang akhlak atau Al-Jahiz dalam bidang sastra, dan seterusnya (Matta, 2013).
            Atau sebagaimana ungkapan Syekh Said Hawa (2014), penelitian harus dihadapi dengan penelitian, institusi harus dihadapi dengan institusi, penerbitan harus dihadapi dengan penerbitan, dan slogan pun harus dihadapi dengan slogan. Semua harus dilihat dalam perspektif Islam. Prinsip dasar ini didapatkan dalam kehidupan Rasulullah, beliau menghadapi syair dengan syair, pidato dengan pidato, dan perang juga dengan perang. Maka tantangan dan tradisi intelektual KAMMI adalah ledakan karya sebagai reposisi dan daya hidup KAMMI yang baru. Selamat Milad KAMMI yang ke 17, (29 Maret 1998 - 29 Maret 2015).

Posting Komentar

0 Komentar