Orang-Orang Sederhana
Orang-Orang Sederhana - 2 - Pemecah Batu
Orang-Orang Sederhana
M. Sadli Umasangaji
(Founder Celoteh Ide)
(Founder Celoteh Ide)
2
Pemecah Batu
Beberapa
tahun yang lalu…
Disini jalan banyak yang mulai
diperbaiki. Disana pemandangan pagi hari terlihat indah. Pohon-pohon rindang.
Hijau. Terlihat memikat mata. Mobil-mobil lintas lalu lalang. Dari truk untuk
angkutan pasir sampai mobil lintas untuk penumpang antar kecamatan bahkan antar
kabupaten.
“Hari ini kita kerja lagi bung”,
kata seorang bapak.
“Io, kalau tra kerja, kitorang ini
mau makan apa?”, kata bapak disampingnya.
“Kita mesti kumpul banyak batu”
Batu sebagai salah satu sumber alam.
Alam telah menjadikan saksi dengan sebuah ketersediaan berbagai macam jenis
sumber daya alam. Orang-orang disini dengan terpaksa memecahkan batu dengan
alat-alat sederhana. Pemecahan batu memang bisa dengan mesin canggih, sayangnya
itu tidak berlaku bagi mereka yang sederhana, bagi mereka yang melarat, bagi
mereka yang terpaksa merenggut susahnya hidup.
Ya, pemukul batu mengumpulkan
batu-batu. Batu-batu yang agak besar itu kadang dipukul untuk menjadi beberapa
bongkahan yang lebih kecil. Bahkan pemukul batu bukan hanya bapak-bapak tapi
juga ibu-ibu. Ibu-ibu lebih ke pengumpul batu.
Mereka melakukannya di
pinggir-pinggir jalan. Dan terik matahari dari pagi hingga siang akan terus
menemani. Kerasnya hidup mesti terus dijalani.
Bongkahan batu itu kadang akan
dijual untuk pekerjaan proyek jalan. Kadang dijual untuk orang yang perlu untuk
timbunan. Atau kadang dijual bagi orang untuk membangun rumah.
Pekerjaan para pemecah batu ini
memang biasanya di pinggir jalan raya, ya untuk sekedar mempermudah dalam pengambilan
batu yang sudah dipecahkan oleh orang yang membeli atau truk yang akan
mengangkut. Selain dekat dengan jalan raya, biasanya lokasi terbaik juga ada di
pinggir sungai atau kali, supaya banyak batu yang mudah diambil kemudian
dipecahkan. Mereka pula biasanya membuat sendiri tempat sekedar untuk
melindungi diri dari teriknya matahari.
Disamping sana, suara besi beradu
dengan batu terdengar semakin keras, bahkan perempuan patut pula bekerja
sebagai pemecah batu, pemukul batu.
Semua terlihat lelah memang. Dengan
keringat yang mengurai di wajah yang turut membasahi beberapa bagian dari
baju. Kadang ketika terik matahari tiba pada titik panasnya, kian membakar
dengan cahayanya, namun begitu pemukul terus saja akan diayunkan agar bisa
memecah batu yang besar, kerasnya batu tak membuat semangat para ibu-ibu yang
disamping itu luntur. Tidak sama sekali. Kerasnya hidup, menjadi keharusan bagi
yang melarat, bagi orang-orang sederhana ini. Kadang kita akan terharu karena
kerasnya batu telah menjadi pigura bagi hantaman hidup yang mereka rasakan. Peralatan utama yang dimiliki mereka
sebagai pemecah batu hanya dengan palu, dipadu dengan pengayak, dan sebuah alat
yang terbuat dari ban bekas. Alat itu biasanya yang bisa dibuat sendiri, mereka
akan membuatnya sendiri.
Para pemecah batu, memulai pekerjaan
saat matahari terbit, dan akan menyelesaikan pekerjaan sebelum matahari
terbenam. Kadang ada yang menyediakan waktu untuk sholat dan makan. Dan ada
yang mengabaikannya. Ada yang menganggap tuntutan hidup lebih penting dari
segala-galanya. Mereka dengan terpaksa mengabaikan keharusan beribadah pada
Tuhan-nya. Ada yang berpikir bahwa sebagai seorang muslim mau melarat sekalipun
ibadah, bertemu dan berteduh hati pada yang Maha Pencipta adalah kewajiban yang
harus ditunaikan. Di sela-sela makan, di gubuk sederhana, akan ada yang
bersujud. Indah. Dan mereka ini adalah orang-orang yang beruntung, yang memilih
jalan kebaikan. Memilih jalan kebaikan dalam kemelaratan. Dalam kesederhanaan.
Tak akan kita sangka bahwa pemukul
batu, sebagian adalah wanita, ibu-ibu tua. Ada yang memang luangnya waktu
karena tak ada pekerjaan lain, memecahkan batu menjadi tambahan bagi ekonomi
keluarga. Namun tak jarang ada yang karena kondisi keluarga yang memilih
berpisah, harus dengan keras mencukupi hidupnya. Memecahkan batu menjadi
pilihan.
Pemecah batu kadang akan
berpindah-pindah tempat seperti orang-orang dari desa K, datang ke desa W. Kala
kita lewat di jalan utama itu, akan dilihatlah bapak-bapak di pinggir jalan itu
mengumpulkan batu menjadi tumpukan-tumpukan, dijejer-jejer. Ibu-ibu juga turut
didalamnya. Tak sungkan akan kita lihat anak-anak kecil, bahkan di rumah-rumah
yang dibuat sederhana itu. Disini biasa disebut Rumah Kabong. Di rumah itu,
akan ada ayunan untuk bayi. Keluarga terpaksa dilibat-sertakan dalam memukul
batu. Seperti orang-orang desa K yang berpindah-pindah tempat, ini telah harus
ditunaikan. Bayi-bayi tidur, ibu-ibu bekerja. Atau bayi mereka bawa serta dalam
pekerjaan mereka. Janganlah harap-harap orang-orang ini datang dalam program
pemerintah seperti posyandu. Mencari penghidupan yang melarat itu saja mereka
sudah pusing. Apa peduli pada timbangan anaknya. Apa daya orang-orang sederhana
ini.
Posting Komentar
0 Komentar