Lelucon Kerajaan Golojo

M. Sadli Umasangaji



Lelucon Kerajaan Golojo












Konon dari masa kejayaan di masa kerajaan dulu beratus-ratus tahun lalu, kemudian menjadi Negara formal dan belum berjaya kemudian tiba-tiba dalam seratus tahun kemudian berubah kembali menjadi kerajaan yang berharap kejayaan.

Ini kisah yang ditulis oleh seorang rakyat jelata dalam kerajaan itu, Nursi namanya. Rakyat jelata yang menikmati menulis sebagai jalur perubahan. Menulis saat ini mungkin tak punya arti bagi kerajaan sekarang, tapi dengan menulis memberikan catatan pada masa depan kerajaan, pendam Nursi dalam batinnya. “Catatan kelam atau kenikmatan dalam kenangan”, Nursi dalam lamunannya.

Dalam kisah ini, Nursi sebagai rakyat jelata menyaksikan suksesi kepemimpinan dalam memperebutkan tahta kerajaan, Tuan Kido dan Tuan Bargi masih bersaing kembali untuk mempertegas diri siapa yang layak memimpin kerajaan. Ini memang kerajaan tapi dalam memimpin kerajaan bukan dengan keturunan.

Selain itu, dalam kerajaan ini terdapat sebuah pulau kecil, dalam setiap pulau-pulau yang dihuni itu dipimpin oleh kepala pulau sebagai perpanjangan tangan dalam kerajaan. Nun jauh dari pusat kerajaan, dalam sebuah pulau kecil, muncullah sebuah kata golojo sebagai awal muasal nama kerajaan. Ini sebagai serpihan dalam cerita kerajaan.

Dalam setiap pulau kecil dalam kerajaan itu terjadi pula pertempuran untuk menduduki tahta yang layak memimpin pulau dan akan berada dalam naungan langsung di bawah raja. Di sebuah pulau kecil bertarung Tuan Abdul dan Tuan Muso untuk menjadi kepala pulau kecil ini.

“Yang lain sudah pernah memimpin dua periode, maka biarkan saya lanjutkan saja periode berikut. Yang lain jangan dulu sudah, jangan terlalu golojo lagi”, kata Tuan Abdul. Dari sinilah kata golojo menjadi terngiang dimana-mana. Sampai-sampai nama kerajaan di pusat menjadi Kerajaan Golojo.

Pernah dalam sebuah forum perdebatan kerajaan di Pulau Kecil, terjadi perdebatan Tuan Abdul dan Tuan Muso.

“Tuan Abdul yang saya muliakan, maaf Tuan Abdul, saya mau bertanya ini yang pertama tentang tata kelola pekerja kerajaan di Pulau Kecil yang sangat buruk menurut saya, dimana utang Kerajaan Pulau Kecil saat ini sangat banyak belum terbayarkan, kemudian pekerja-pekerja yang tidak maksimal kerja dan masuk kerja”, begitulah pertanyaan Tuan Muso pada Tuan Abdul.

Tuan Abdul mengangkat suara, “Kami pernah menjadi kepala, sebagai kepala Pulau Kecil, kami juga melihat ketika dimana Tuan Muso pernah memimpin dusun dalam Pulau Kecil sebagai Kepala lain dalam Pulau Kecil ini, segala transportasi terhenti, penerbangan terhenti. Dan kami telah membangun dusun pulau kecil itu jalan-jalan, air minum dan tower, segala infrastruktur sudah kami bangun, bahkan di depan rumah Tuan Muso, kami sudah bikin bagus jalannya”.

Terjadi sebuah lelucon karena jawaban Tuan Abdul atas pertanyaan Tuan Muso tidak saling nyambung. Karena memang persaingan Tuan Abdul dan Tuan Muso sudah berlangsung lama, yang ada hanya saling sindir kinerja sebagai kepala Pulau Kecil dalam Kerajaan Golojo. Rakyat-rakyat jelata yang menyaksikan tertawa. Rakyat-rakyat jelata yang menonton di rumah, tertawa. Dua orang yang berdebat malah jawaban dan pertanyaan pada jalur yang berbeda. Semua tertawa mungkin karena sebagai Kepala Pulau Kecil sudah terlampau tua.

Tuan Muso turut tertawa terhadap jawaban Tuan Abdul, kemudian Tuan Muso berkata, “Yang saya maksudkan tata kelola kerajaan Tuan Abdul. Sebenarnya bapak harus tegas dan menerapkan disiplin pekerja kerajaan. Bapak Ustad kan? Harusnya bapak beri mereka ceramah dong. Itu kira-kira yang bisa saya sampaikan”, tutur Tuan Muso dengan muka ambisinya.

Rakyat jelata kembali tertawa, apa hubungannya dengan Ustad? Memang Tuan Abdul menempuh pendidikan jauh di negeri Arab sana. Beberapa puluh tahun yang lalu.

Dalam segmen yang lain, Tuan Abdul dan Tuan Muso kembali bikin riuh tawa bagi rakyat jelata di Pulau Kecil. Tuan Abdul berkata, ”Kami telah melakukan berbagai program kerajaan diantaranya program pertanian, menyiapkan truk-truk untuk mengangkut di central-central ekonomi, kami juga membangun gudang-gudang untuk memudahkan rakyat jelata dalam meningkat penyimpanan hasil pertanian untuk kerajaan”.

Tuan Muso kemudian membantah, “Tuan Abdul yang saya hormati, apa yang disampaikan Tuan Abdul tadi bagaikan hal yang mengkhayal bagi saya, karena saya telah mengelilingi Pulau Kecil, semua dusun saya terjun, hasil pertanian busuk, hasil perikanan rusak, dan semua tidak terjual, dan apa yang Tuan sampaikan tadi hal yang mungkin Tuan masih lupa”. Kemudian Tuan Muso melanjutkan, “Untuk itu ketika saya memimpin Pulau Kecil sebagai bagian kerajaan semuanya pasti terjamin”.

Tawa riuh menyertai setelah penyampaian Tuan Muso. Rakyat jelata diberikan rayuan indah, angan-angan kerajaan oleh Tuan Muso.

“Ah, tanggapan saya adalah apa yang disampaikan merupakan khayal dari Tuan Muso karena beliau tidak menyeluruh melihat Pulau Kecil. Saya empat puluh tahun mengelilingi Pulau Kecil dan tentang pertanian dan perikanan, kami telah memberikan bantuan kepada rakyat jelata, kami telah menghadirkan central produksi terutama gudang dan mengadakan truk untuk mengangkut semua yang ada. Dan saya kira kalau itu dikatakan khayal maka yang lebih menghayal adalah Tuan Muso. Karena Tuan Muso belum pernah melaksanakan itu. Kalau bisa saya katakan kalau saya mimpi dan menghayal maka bisa dipastikan Tuan Muso lebih menghayal dan mimpi”, Tuan Abdul dengan muka serius menanggapi Tuan Muso, dalam suasana yang bagi rakyat jelata bagai sebuah lelucon.

Dan rakyat jelata kembali tertawa menyaksikan serpihan lelucon. Kerajaan Golojo dalam Pulau Kecil hanyalah serpihan dari golojo menjadi khayal dan mimpi kemudian semua menjadi lelucon.

Tapi ini hanyalah serpihan kecil. Karena kisah utama adalah Pusat Kerajaan Golojo, pertarungan Tuan Kido dan Tuan Bargi. Dalam Pulau Kecil itu Tuan Abdul dan Tuan Muso walau bertentangan dalam perebutan tahta kepala Pulau Kecil tapi mereka berdua mendukung Tuan Bargi untuk menduduki kembali tahta kerajaan pusat dalam Kerajaan Golojo.

#



Tak kalah hebat dari Pulau Kecil dan tentu memang jauh lebih hebat karena ini adalah Pusat Kerajaan. Terjadi balas pantun antara Tuan Kido dan Tuan Bargi. “Sekarang isunya ganti lagi isu kaos, tagar #GantiRaja, masa kaos bisa ganti raja?”, kata Tuan Bargi dengan ekspresi cemberut dalam sebuah forum kerajaan.

“Yang bisa ganti raja itu rakyat jelata. Kalau rakyat jelata memiliki kehendak, bisa, kalau rakyat jelata tidak mau, ya gak bisa. Yang berikut adalah kehendak dari Tuhan yang Maha Kuasa”, ekspresi Tuan Bargi kembali terlihat cemberut. “Masa kaos bisa ganti raja, gak bisa!”, Tuan Bargi sambil angkat tangan ke atas dengan gaya menolak ke kiri ke kanan.

“Kita harus memang tahan uji, harus tahan banting, harus kerja keras, harus berusaha”, Tuan Bargi seolah terusik atas penyampaian Tuan Kido dalam kesempatan forum kerajaan lain.

“Bung! Kerajaan lain sudah bikin kajian-kajian dimana Kerajaan Golojo akan bubar 30 tahun lagi”, kata Tuan Kido. Tuan Kido mengutip sebuah kisah fiksi dari ulasan kerajaan kapitalis lain.

Balasan lagi dari Tuan Bargi, “Jangan membicarakan pesimis, 30 tahun lagi kerajaan bubar. Raja itu harus memberikan optimisme pada rakyat jelata. Raja itu harus memberikan semangat pada rakyat jelata, Meskipun tantangannya berat. Meskipun tantangannya tidak gampang. Memang mungkin ada yang berbicara kita pahit, mungkin ada yang berbicara kita susah. Tapi kita lihat ada titik yang terang yang kita tuju”.

Tuan Kido dengan gaya menyindir seolah-olah seperti gaya Tuan Bargi, “Nanti bilang Tuan Kido ngarang, Tuan Kido pesimis, pesimis”, masih sambil meniru gaya Tuan Bargi.

“Elit kita ini merasa bahwa delapan puluh persen, tanah seluruh kerajaan dikuasai satu persen orang-orang kapitalis kerajaan, tidak apa-apa. Bahwa hampir seluruh aset dikuasai satu persen, tidak apa-apa. Bahwa sebagian besar kekayaan kerajaan diambil ke luar kerajaan, tidak apa-apa. Ini yang merusak kerajaan! Semakin pintar, semakin tinggi kedudukan, semakin curang, semakin culas, semakin maling!”, kata Tuan Kido.

Semakin Golojo!

“Banyak dari kita ini ingin melemahkan kerajaan ini dengan cara-cara tidak beradab. Ngomongin isu antek asing, tuding-tuding ke saya, gagal, hilang. Ganti lagi antek aseng. Gagal, hilang lagi. Ganti lagi isu komunis. Saya jawab saat itu saya masih balita 4 tahun, masa ada komunis balita?”, Tuan Bargi kembali berkata.

Masa kerajaan di tangan raja Tuan Bargi, besar-besaran membangun infrastruktur disinyalir penyebab utang kerajaan kian subur. Bau korupsi yang mewarnai disebut sebagai biang serangkaian kecelakaan yang terjadi. Infrastruktur ambruk.

Itu namanya Golojo!

#



Tuan Kido seperti Kaido bertubuh besar, berwajah garang, menjadi salah satu dari Yonkou. Yonkou adalah bajak laut terkuat yang memerintah dan memiliki daerah kekuasaannya sendiri di Dunia Baru. Atau seperti Aikanu seorang admiral dalam serial anime, berwajah garang, berwatak keras, punya naluri membunuh dan terlihat pemarah memiliki kekuatan yang kuat, magma. Sedangkan Tuan Bargi seperti Buggy, penuh tawa, dan menjadi seorang Shichibukai dengan tiba-tiba dan diduga bukan karena kekuatannya tapi orang-orang di balik admiral. Shichibukai adalah perkumpulan tujuh bajak laut yang sangat kuat dan menyatakan kesepakatannya pada pemerintah angkatan laut demi keuntungan tertentu.

Ini hanya sekedar lelucon.

Kembali pada dinamika Kerajaan Golojo, para pengikut Tuan Kido dan Tuan Bargi saling menyerang dan adu argumen. Dan hari-hari kini para rakyat jelata kembali melihat Tuan Kido dan Tuan Bargi, siapa yang akan menjadi raja?

Tuan Bargi bukanlah komunis. Dia dan orang-orang dalam memimpin kerajaan tidak melakukan kepemilikan bersama terhadap aset-aset kerajaan. Yang adalah melakukan swatanisasi. Ini bertentangan dengan gerakan kiri.

Maka Tuan Bargi tidaklah kiri.

“Saya sudah perintah kepada perusahaan kerajaan. Kalau sudah bangun tol, sudah jadi. Segera itu dijual. Nanti jadi lagi, jual lagi. Konsep lama kan kalau sudah jadi harus memiliki. Setiap bulan dapat pemasukan kerajaan dari itu. Itu sudah kuno”, kata Tuan Bargi.

Jelas Tuan Bargi tidaklah kiri. Tidak melakukan revitalisasi kepemilikan kerajaan.

Melalui pengusahaan pasar dunia, borjuasi telah menjadikan produksi dan konsumsi semua negeri bersifat kosmopolitan. Betapapun kaum reaksioner merasa sedih sekali, borjuasi telah menarik landasan nasional dari bawah kaki industri. Seperti kata Marx dalam Manifesto Komunis.

Nursi terbayang dengan buku merah itu, Manifesto Komunis, Marx juga menuliskan, “Kalian merasa ngeri, bahwa kami akan menghapus kepemilikan perseorangan. Tetapi di dalam masyarakat kalian yang berlaku sekarang, kepemilikan perseorangan bagi Sembilan persepuluh anggota-anggotanya sudah dihapuskan. Jadi kalian menuduh kami, bahwa kami akan menghapus suatu kepemilikan, yang untuk adanya tidak bisa tidak memerlukan syarat ketiadaan-milik bagi sejumlah terbesar dari masyarakat”.

Salah satu poin dalam tindakan-tindakan dalam Manifesto Komunis, poin 6. “Pemusatan semua alat-alat pengangkutan ke dalam tangan Negara”.

Nursi sebagai pencatat kisah ini, membatin, “Kerajaan ini lebih banyak komunis biologis yang nalurinya adalah balas dendam. Ketimbang sebuah naluri untuk teori-teori sosialisme”

“Apalagi sosialisme baru, kiri baru”

“Pemilikan sosial alat-alat produksi. Jika kita Marxis, kita tahu bahwa cara produk sosial didistribusikan itu tergantung pada cara alat-alat produksi di suatu Negara tertentu didistribusikan. Oleh karena itu, jika tujuan kita adalah menciptakan satu model ekonomi dalam mana kekayaan sosial didistribusikan lebih merata, memenuhi kebutuhan semua penduduk negeri, mutlak perlu bahwa alat-alat produksi atau setidak-tidaknya yang paling penting tidak dikuasai oleh sedikit orang dan digunakan untuk manfaat mereka sendiri tetapi merupakan barang milik kolektif, yang dimiliki oleh semua orang”.

“Dulu di Kerajaan Golojo ini. Dalam pemilihan berdasaran kelompok-kelompok pekerja kerajaan. Yang di kantor berumbuk sebagai bagian kecil, naik lagi pada satu tingkat, beberapa kelompok pekerja, dan naik lagi tingkat berikut hingga ditentukan raja untuk kerajaan. Tapi inipun masih terjadi perilaku curang, karena sikap otoritarianisme mulai timbul mengakar.”

“Sekarang semua berbeda terbentuklah partisipasi semua rakyat jelata secara bebas. Hanya saja sarana untuk menjadi raja telah bertransformasi dalam kelompok-kelompok atau gerakan-gerakan berideologi bukan lagi kelompok pekerja semata.”

Akhir-akhir ini para rakyat jelata juga menyaksikan sebuah lelucon terbaik dalam kerajaan. Ya, ketika perseteruan Tuan Kido dan Tuan Bargi dalam memperebutkan tahta raja. Seorang perempuan tua menyebutkan sebuah hoax terbaik. Lelucon memang, karena apa pentingnya ini bagi rakyat jelata. Perempuan tua itu turut pula mengundang para rekan media dalam mengklarifikasi kemudian menyebutkan ini sebagai hoax terbaik dalam isu kerajaan.

Perempuan tua ini pergi kepada Tabib kecantikan, kemudian berobat dengan daun-daun, karena kesalahan ramuan itu, wajahnya bonyok. Perempuan tua ini turut ikut suksesi kepemimpinan kerajaan pada tim Tuan Kido. Tapi kemungkinan perempuan tua ini terjebak dalam politisasi kerajaan. Perempuan ini awal cerita mengaku dipukuli pengawal-pengawal kerajaan. Tapi dalam suatu pertemuan media, perempuan tua ini mengaku berbohong.

“Saya kembali dengan cerita itu bahwa saya dipukuli”, kata Perempuan tua

“Bahkan di depan Tuan Kido, orang yang inginkan menjadi raja, mengorek apa yang terjadi pada saya, saya juga masih melakukan kebohongan itu”, lanjut perempuan tua ini.

Perempuan tua itu kemudian berkata, “Saya sebenarnya merasa ini salah, ini yang sebenarnya terjadi. Saya bukan dipukul pengawal kerajaan tapi karena kesalahan ramuan dari Tabib. Jadi tidak ada pemukulan dari pengawal kerajaan, itu hanya cerita khayal yang entah dibisikkan setan mana ke saya dan berkembang seperti ini, saya tidak sanggup melihat Tuan Kido dalam pembelaannya”. Perempuan tua ini menggunakan kata khayal seperti Tuan Muso di Pulau Kecil. Perempuan tua ini juga bisa ‘merasa’ dibisikkan setan. Entah lelucon apalagi ini.

Perempuan tua ini seakan-akan sedih, entah berpura-pura sedih, lanjut bertutur, “Bohong adalah itu sebuah perbuatan yang salah. Saya juga minta maaf ke semua pihak. Kali ini saya pencipta hoax terbaik”. Perempuan tua itu telah membuat heboh berita kerajaan dengan hoax terbaiknya.

Sekali lagi apa pentingnya bagi rakyat jelata? Di tengah-tengah semakin merosotnya nilai tukar Kerajaan Golojo dengan kerajaan kapitalis.

Tuan Kido dan Tuan Bargi bagai kehilangan akal sehat, mereka tak membicarakan program-program apa yang memberi arti bagi kemashalatan rakyat jelata.

Karena tentang kemashalatan itu, Nursi bertanya, “Apa perlu kerajaan membicarakan mengenai sosialisme?”, Nursi sebagai rakyat jelata mendekam dalam batinnya.

Nursi terkenang kejadian itu dan seperti kata Alvaro Garcia Linera, “Kita berbicara mengenai pokok soal ini hanya karena satu alasan, dan ini karena masyarakat yang saat ini ada di dunia, masyarakat yang hari ini kita miliki di seluruh dunia, adalah masyarakat dengan terlalu banyak ketidakadilan, masyarakat dengan terlalu banyak ketimpangan. Hari ini, di dunia kapitalis dalam mana kita hidup ini. Sebelas juta anak-anak meninggal dunia setiap tahun karena kekurangan gizi, karena pelayanan kesehatan yang buruk, karena tidak ada dukungan untuk mengobati penyakit-penyakit yang bisa disembuhkan.”

Nursi pun membatin, beginilah Kerajaan Golojo, semakin pintar, semakin tinggi kedudukan, semakin curang, semakin culas, semakin maling! Semakin golojo! Semakin rakus! Golojo adalah rakus.

Nursi kemudian merenung pada sebuah gagasan, “Cobalah gambarkan rupa kerajaan dan rakyat jelata jika ajaran seperti ini berlaku dalam kerajaan. Kesetaraan ekonomi berpadu dengan moral. Dilarang yang kaya menjadi kapitalis, berbuat suka hati dengan hartanya untuk pelesir, membeli semua serba mewah, menindas, memberlakukan secara kasar. Diperintahkan yang mampu mengeluarkan bagian hartanya untuk membantu yang miskin dan papa, yang dibantingkan oleh ombak rakyat jelata. Kalau ini terjadi, pastilah hilang pertentangan kelas seperti yang ada sekarang, pelepasan dendam yang tidak berkeputusan. Tidak ada lagi kaya terlalu kaya dan miskin terlalu miskin, tetapi di antara yang kaya dan yang miskin ada tali halus yang menghubungkan, tali bakti kepada Allah dalam masyarakat”. Nursi membatin kembali mengakhiri catatannya, “Bagaimana dengan kerajaan ini? Akankah terus menjadi rakus (Golojo)?”

Posting Komentar

0 Komentar