Ideasi Gerakan
Sumpah Pemuda; Refleksi Multikultural Gerakan
Sumpah Pemuda;
Refleksi Multikultural Gerakan
M. Sadli Umasangaji
(Founder Celoteh Ide)
Dimuat di Malut Post Edisi 27 Oktober 2015
Indonesia adalah negara multikultural
dengan beragam suku, agama, adat istiadat, tradisi, dan ras. Indonesia adalah
komunitas politis yang sendi-sendinya terbangun melalui proses komunikasi. Ia
lahir dari kehendak bebas individu-individu yang membangun relasi bebas dan
setara satu sama lain. Dengan kata lain, terbentuknya Indonesia merupakan
bentuk pelepasan masing-masing individu dari perspektif kesukuannya untuk
mencapai kebebasan melalui proses komunikasi intersubjektif yang bebas dan
setara.
Individu-individu, pada awalnya mulai
“meninggalkan” keluarganya dan memasuki arena publik untuk berkomunikasi dengan
individu lainnya. Dalam komunikasi dengan individu lain tersebut, harapan dan
tujuan bersama pun akhirnya terbentuk. Setelah itu, individu-individu yang
saling berkomunikasi secara jujur, bebas, dan setara itu, akan berjuang bersama
untuk mencapai cita-cita dan harapan bersama pula. Komunikasi pun akan
melebarkan ruang-ruangnya. Ia tidak lagi membatasi diri pada pembangunan
jaringan di dalam suatu organisasi, tetapi meluas menjadi antar organisasi.
Puncak kulminasi komunikasi tersebut adalah peristiwa Sumpah Pemuda, 28 Oktober
1928. (Hamzah, 2010).
Pada dasarnya setiap pemuda memiliki
masa yang berbeda, kondisi yang berbeda, maka tantangan yang juga berbeda. Tapi
kita (pemuda) tetap penting mengambil pelajaran dari pemuda-pemuda sebelumnya.
Termasuk sejarah sumpah pemuda, yang terjadi selang 87 tahun lalu. Dan
menjelang memperingati Hari Sumpah Pemuda, 28 Oktober 2015. Pada dasarnya kita
tahu bahwa pemuda-pemuda (sejarah sumpah pemuda) itu tergabung dalam
simpul-simpulnya masing-masing (organisasi kepemudaan) kemudian menggabungkan
diri dalam simpul yang besar (Kongres Pemuda). Mereka mensejarahkan momentum
mereka. Dan momentum Sumpah Pemuda adalah salah satu refleksi terhadap
multikultural gerakan.
Maka pelajaran pertama yang kita petik,
adalah menemukan momentum, mengenal momentum, menyiapkan momentum, kalau tidak
ya menciptakan momentum. Anis Matta, menuliskan “seseorang tidak menjadi
pahlawan karena ia melakukan pekerjaan-pekerjaan kepahlawanan sepanjang
hidupnya. Kepahlawanan seseorang biasanya mempunyai momentumnya. Ada potongan
waktu tertentu dalam hidup seseorang dimana anasir kepahlawanan menyatu padu.
Saat itulah ia tersejarahkan”. Dan Imam Hasan Al-Banna menegaskan “Setiap masa ada pemudanya, setiap pemuda ada masanya dan
yang terbaik adalah mereka yang mengetahui masanya”.
Kedua, menyatu dalam simpul besar dari
simpul-simpul kecil. Imam Hasan Al-Banna, menuliskan “Wahai para pemuda,
perbaruilah iman dan tentukan tujuan serta sasaran kalian. Sebab kekuatan
pertama adalah iman, buah dari iman ini adalah kesatuan, dan konsekuensi logis
kesatuan adalah kemenangan yang gilang gemilang. Oleh karenanya, berimanlah
kalian, eratkanlah ukhuwah, dan bekerjalah”.
Dan bila kita telaah periodisasi gerakan
kepemudaan di Indonesia, dari tahun 1908 (Budi Utomo), 1928 (Sumpah Pemuda),
1945 (Kemerdekaan), 1966 (Peruntuhan Orde Lama), 1998 (Peruntuhan Orde Baru),
dan kini Era Reformasi. 1908 dan 1928 terjadi pergulatan pemikiran dengan
pembentukan organisasi kepemudaan serta kongres sebagai momentum. Dan 1966 dan
1998 adalah gerakan massa dan aksi demonstrasi sebagai momentum.
Pada konteks itu maka kita dapat
merumuskan sama halnya untuk trend gerakan kepemudaan era Reformasi yang
momentumnya bukan lagi aksi demonstrasi dan gerakan massa untuk meruntuhkan
rezim. Tapi trend gerakan kepemudaan kini adalah berafiliasi dalam pengkaderan
yang berbasis moralitas (moral force),
sosial kemasyarakatan, dan sinergi pergulatan pemikiran tanpa mengabaikan
gerakan ekstraparlementernya, yang semua itu implikasinya adalah ledakan karya.
Sehingga ledakan karya itu menyatukan kekuatan pemuda dari simpul-simpul kecil
ke simpul besar dengan mengutamakan pusat keunggulannya.
Realitas
Masalah, Ilmuwan, Pemikir, dan Teknokrat; Sebuah Solusi
Pada kondisi kini Indonesia sedang
dirunut masalah seperti kabut asap, korupsi yang tak henti, pembakaran rumah
ibadah, perekonomian yang tidak stabil, nilai rupiah yang lemah, bahan bakar
minyak diliberalisasi pada pasar bebas, dan ditambah dengan momentum pilkada serentak, dan berbagai
masalah-masalah klasik diantaranya termasuk pemuda yang hedonis, di satu sisi
hal-hal positif dalam pembangunan juga berjalan. Apa peran pemuda dalam
membantu berbagai masalah negara. Apakah terbatas pada gerakan parlemen
jalanan, atau terlebih-lebih ditambah kepedulian yang terpatri dalam gerakan
sosial independen. Ataukah sebuah tranformasi yang bernafas panjang yang
terpatri dalam tiga bentuk; ilmuwan, pemikir, dan teknokrat.
Ahmad Wahib menuliskan “itu
tergantung juga sampai dimana kemampuan intelektualitas yang dimiliki
intelektual tadi. Kalau dia hanya kreatif, dedikatif, responsif, setia pada
kebenaran dan akal sehat, pokoknya berkepribadian baik tapi sama sekali kosong
dari kemampuan akademis maka dia hanya menjadi orang pencetak moral atau
kepribadian, sedang karya-karyanya hanya bermanfaat bagi tingkat desa atau
kecamatan. Kalau di samping memiliki kepribadian yang indah-indah tadi ditopang
oleh kemampuan akademis yang tinggi, maka dialah orang yang paling ideal,
bermoral dan berilmu tinggi”. Teknokrat didefenisikan sebagai mereka yang tidak
mempersoalkan siapa yang berkuasa. Mereka hanya bekerja membantu yang berkuasa
(Wahib, 2013).
Wahib (2013) menuliskan,
“Pendapat-pendapat yang saya lontarkan selama ini lebih banyak terdominir oleh
keinginan-keinginan sebagai idealis daripada suatu pendapat yang betul-betul
dipikirkan landasan ilmiahnya. Memang ada perbedaan antara pemikir dan ilmuwan.
Pemikir terutama memeras otaknya untuk menemukan apa yang baik untuk masa
depan. Ilmuwan memeras otaknya untuk mengerti kenyataan-kenyataan yang ada”.
Karena itu keterlibatan kita secara kreatif dalam pergolakan kultural zaman
adalah keharusan. Lari pada ketenangan dan ketenteraman dan meninggalkan arena
pergolakan yang selalu menggelisahkan adalah sikap yang tidak bertanggungjawab
kepada masa depan. Kita maju karena kita berani gelisah. Dan tantangan ini
adalah tantangan bagi para pemikir, ilmuwan, dan para calon pemikir dan
ilmuwan. (Wahib, 2013).
Freelance
inteligentia perlu mutlak untuk suatu masyarakat, walau tidak perlu banyak.
Orang-orang yang beginilah yang mampu menciptakan pikiran-pikiran yang
melampaui ruang dan zamannya. Inilah dasar pikiran mengapa bahwa seorang
sarjana yang hidup dalam menara gading itu baik, bahwa universitas itu untuk
sebagian harus merupakan ivory tower
(Wahib, 2013).
Transformasi
Manusia; Sebuah Harapan
Tentu harapannya dalam waktu-waktu
mendatang itu kita akan disajikan sebuah masyarakat dengan multikultural
gerakan tersebut. Karena di negeri ini nanti orang-orang menggunakan kebebasannya
secara bertanggung jawab, karena mereka telah memiliki rasa cinta. Di negeri
ini nanti orang-orang memiliki harapan untuk hidup sejahtera karena mereka
memiliki semangat kerja. Di negeri ini pula nanti orang-orang hidup dalam
keragaman yang bersatu padu dan tidak menjadi sumber konfilk berkepanjangan,
karena mereka memaknai rasa harmoni. (Matta, 2013).
Karena suatu nanti di negeri ini kita
akan menyaksikan suatu tatanan masyarakat yang menjaga adab, tatanan hidupnya
murni, dan tradisi yang kokoh, sebagaimana mereka membela tanah airnya dari
penjajahan, memelihara kehormatannya agar tidak dirusak, menjaga kekayaannya
agar tidak dirampas, dan menjaga kemuliaannya agar tidak direndahkan. Karena
semuanya berakar dari nilai-nilai multikultural gerakan.
Posting Komentar
0 Komentar