Pembelajar

Cerpen

Pembelajar
M. Sadli Umasangaji
(Founder Celoteh Ide)







“Sudahkah antum tilawah hari ini akh?” Yusuf memang selalu menanyakan itu pada Wahib dan Wawan. Yusuf memang selalu memperhatikan hal-hal seperti ini. Berusaha mengajak kami untuk menjaga amalan-amalan harian kami. Mengajak kami untuk punya amalan-amalan harian khusus. Bukan hanya tilawah, kadang ia juga menanyakan tentang sudahkah antum selesaikan hafalan antum, sudahkah antum membaca al-matsurat, sudahkan antum menjaga sholat dhuha antum, bahkan dia memang sering mengingatkan kita tentang qiyamul lail, akh minimal dalam seminggu antum harus bangun sholat malam.
            Ini tentang dua kader yang bagi Wahib yang ia kagumi, yang mempengaruhi karakternya, atau umumnya kader-kader KAMMI memang selalu berada pada dinamika seperti ini, pikir Wahib. Yusuf dengan tipikal yang hanif, pria berkacamata sama dengan Wahib yang membedakan rambutnya lebih rapi, sedangkan rambut Wahib lebih urakan dan agak panjang, gondrong. Yusuf lebih senang menggunakan baju koko, dan sering menggunakan kemeja, kalau sholat bahkan ia lebih sering menggunakan jubah. Sementara Wahib lebih sering menggunakan kaos, dan kadang-kadang menggunakan kemeja. Yang berpenampilan mirip dengan Wahib, kurang lebih sebelas-dua belas, adalah Wawan. Wawan juga lebih-lebih sering menggunakan kaos, hanya akhir-akhir dia lebih senang menggunakan kemeja, katanya biar lebih rapi, entah rapi untuk siapa.
            Terlibat dalam KAMMI, membuat Wahib lebih bergelut dengan pemikiran-pemikiran seperti Imam Hasan al-Banna, Ustadz Sayyid Qutbh, Syaikh DR. Yusuf Qardhawi, Syaikh Said Hawa. Dalam hal ini Wahib dan Yusuf punya selera yang sama, mungkin dalam hal bacaan mereka betul-betul menempatkan “Ikhwan-centris” dalam tubuh pemikiran KAMMI. Sedangkan Wawan adalah ikhwan yang agak senang dengan bacaan yang lebih terbuka, mungkin pula karena kuliahnya yang memang di Ilmu Politik. Walaupun tak menutup kemungkinan Wawan juga punya buku-buku Ikhwanul Muslimin, itu yang ku (Wahib) tahu.

#

            “Wahib, Yusuf, kalian tahu tentang atheis?” Tanya Wawan pada kami. Wahib hanya tersenyum padanya, Yusuf kelihatan tak peduli. Mengapa disebut Atheis? Kira-kira, mungkin inilah dugaan yang barangkali akan orang-orang stigmakan atau sebut kepada seseorang yang mempertanyakan keberadaan Tuhan. Padahal asumsi seharusnya adalah orang yang tidak percaya pada Tuhan bukan karena pada definisi yang disebut berani mempertanyakan keberadaan Tuhan. Dua konteks yang berbeda, tegas Wawan. Sekali lagi Wahib hanya mendengar, Yusuf acuh tak acuh sambil melanjutkan tilawahnya. Wawan kelihatannya memulainya dengan cukup serius.
“Tetapi bukankah memang seharusnya asumsi atheis itu ditempatkan kepada orang-orang yang tidak percaya kepada Tuhan? Bukan kepada orang-orang yang mempertanyakan tentang Tuhan karena itu adalah penyelidikan terhadap keyakinan manusia itu sendiri selama berabad-abad? Bukankah itu merupakan naluri  dasar manusia yang disebut-sebut sebagai makhluk bertuhan? Untuk memperkuat asumsi negasi dan afirmasi”, sekali lagi Wawan melibatkan kami dalam alur pikirannya.
            Itu pula stigma yang sama ditempatkan untuk tentang kiri, terus terang Wawan menerangkan pada kami. Kiri dianggap identik dengan diorientasikan kepada kelompok orang yang berpikiran komunis dan sosialis. Mereka kritis, anti kemapanan, berpikir progresif, dan mengandaikan kehidupan sosial yang setara tanpa kelas. 
            Wawan mencoba menguraikan kiri berdasarkan perspektif sejarah mulai dibicarakan pasca terjadinya revolusi di Prancis tahun 1789. Tepatnya di dalam parlemen Prancis terbagi menjadi dua kelompok. Pertama, kelompok yang duduk di sebelah kanan kursi ketua dewan dan yang terakhir, kaum radikal Jacobin, yang duduk di sebelah kiri. Di dalam parlemen kaum Jacobin terlampau sering melakukan kritik dan berseberangan anggota parlemen yang lain. Gagasan politik mereka diuraikan terlampau progresif. Sehingga, dari sinilah istilah kiri mulai popular sebagai orang-orang yang radikal, kritis dan berpikir progresif.
            Oleh karenanya kaum kiri menentang segala bentuk kelas sosial yang memarginalisasi kaum miskin kota, buruh, dan petani. Khususnya kaum kaya yang tidak peduli dengan wabah kemiskinan (borjuis) yang terjadi di sekelilingnya. Pun kalau mereka peduli, kaum proletar yang dipekerjakan di pabrik, kantor, atau lembaga-lembaga milik mereka, tidak terjamin kesejahteraan hidupnya dan ekspektasi meningkatnya kekayaan milik proletar tetap menjadi utopia, Wawan berkata sambil menatap kami.
            Maka Sayyid Qutbh pun “kiri”, kata Wawan. Lihatlah jiwa Sayyid Qutbh, kritis, anti kemapanan, berpikir progresif. “Hanya dalam manhaj Islamlah, manusia terbebas dari segala bentuk perbudakan sesama manusia. Dalam manhaj ini, manusia hanya menghambakan diri kepada Allah, menerima sesuatu dari Allah semata, dan tunduk hanya kepada-Nya”, resapilah akh kata-kata Sayyid Qutbh itu kata Wawan.
            Sejatinya, Islam merupakan proklamasi pembebasan manusia di bumi dari ketundukan kepada makhluk-makhluk termasuk juga ketundukan kepada hawa nafsunya, Wawan lanjut menyampaikan tentang pemikiran Sayyid Qutbh. Wahib mulai mengagumi pikirannya, karena Wahib, Wawan, dan Yusuf memang sepakat untuk kagumi dengan pikiran Sayyid Qutbh.
            Sesungguhnya agama ini bukanlah sebuah proklamasi pembebasan manusia bangsa Arab, bukan pula misi khusus untuk komunitas Arab. Sasaran proklamasi ini adalah manusia, ras manusia dan medannya adalah bumi, seluruh penjuru bumi, Yusuf menanggapi diskusi dengan Wawan. Tanda kesetujuannya tentang pemikiran Sayyid Qutbh. Walaupun Yusuf tetap tidak setuju dengan asumsi yang dipakai Wawan pada Sayyid Qutbh sebagai “kiri”.
            Wahib pun setuju entah pada asumsi sebagai kiri atau bukan tapi lebih kepada kesetaraan bahwa “masyarakat Islam adalah masyarakat yang terbuka untuk semua suku, bangsa, warna kulit, tanpa terkendala oleh sekat-sekat fisik yang sempit”.
            Yusuf membacakan pada kami firman Allah, “... Sungguh, yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa...” (Q.S Al-Hujurat: 49:13). Kami sama-sama tersenyum. Karena ku (Wahib) tahu diam-diam Wawan memang selalu menyelesaikan tilawahnya ketika bada subuh. Ia diam-diam meniru Yusuf. Kita memang selalu berbagi pemikiran. Selama itu baik bagi kita. Begitulah tarbiyah.

#
            Tarbiyah adalah seni menciptakan manusia, Yusuf selalu meyakini ini. Yusuf memang benar-benar belajar memaknai tarbiyah. Kalau Wawan mengkonsepkan tentang kiri, maka Yusuf-lah yang mendalami tentang tarbiyah. Tapi kami semua saling mengisi, dan saling mempengaruhi. Menyukai kiri bukan berarti tidak tarbiyah, apalagi tidak menyukai tarbiyah, Yusuf melempar senyum pada Wawan. Wahib mungkin titik tengah diantara keduanya, walaupun Wahib kadang-kadang lebih menyukai sesuatu yang lebih rasional. Rasionalitas-liberal, mungkin itu alurnya Wahib.
            Setelah Allah SWT menciptakan manusia dalam bentuknya yang utuh dengan semua unsurnya, ruh, akal, dan jasad. Tarbiyahlah yang menjadi tempat untuk “menciptakan kembali” manusia, yang dimaksud adalah karakter manusia. Maka tarbiyah islamiyah, tentang seni menciptakan manusia dengan cara-cara yang islami.
            Hal yang paling penting adalah terjadinya proses interaksi antara nilai-nilai yang diyakini atau agama dengan manusia yang menjadi pelaku dalam ruang dan waktu tertentu. Bila dilakukan kilas balik, maka ketika Allah menciptakan Adam dan Hawa, agama yang diturunkan kepada Adam dan Hawa pun disesuaikan dengan kebutuhan dua orang tersebut. Tentu saja pada waktu itu belum ada ajaran agama tentang negara. Kemudian ketika Adam dan Hawa mulai membentuk keluarga, maka ajaran agama yang turun disesuaikan dengan kebutuhan struktur sosial manusia sebagai keluarga. Selanjutnya ketika keluarga ini berkembang menjadi kabilah dan mulai merambah ke wilayah-wilayah lain di muka bumi ini, maka agama yang diturunkan-Nya juga disesuaikan dengan kebutuhan kabilah. Demikian pula ketika kabilah berkembang lebih besar lagi sehingga menjadi bangsa, maka agama yang diturunkan-Nya pun disesuaikan dengan skala bangsa.
            Sambil duduk disamping Wahib dan Wawan, Yusuf katakan “proses manusia menerapkan nilai-nilai agama di dalam ruang dan waktunya bukan proses yang sekali jadi, melainkan membutuhkan waktu yang panjang”.
            Ketika seseorang ditarbiyah dengan cara-cara Islam, maka berarti ia dibantu untuk memahami konten panduan dan cara melaksanakannya serta didorong untuk melaksanakannya. Bila kemudian di lapangan ketika berinteraksi ditemukan fakta bahwa orang tersebut memiliki kesalahan dan kekurangan, maka hal itu menunjukkan bahwa proses beragama itu masih terus berjalan, terus menerus sepanjang hidup sebagai proses pembelajaran juga sepanjang hidup, Yusuf bertutur sambil tersenyum.
            Sebab itu, Yusuf melanjutkan “output tarbiyah adalah haruslah manusia-manusia shalih yang cerdas untuk tempat dan zamannya”. Bukan pada kata “manusia malaikat”, manusia sempurna. Karena tidak ada manusia yang menyerupai malaikat. Dalam diri manusia, ada sifat malaikat dan namun sebagian sifat setan juga bersemayam.
            Begitulah tarbiyah, kata Yusuf. Akumulasinya adalah pengalaman hidup, bacaan, pengetahuan, mempengaruhi seseorang. Begitu juga tarbiyah. Memahaminya adalah hal yang rumit. Sebagai proses beragama. Karena yang diterapkan kepada seseorang agar mampu berinteraksi dengan ruang dan waktu berdasarkan nilai-nilai agama. Terlebih lagi, Yusuf termenung sejenak, “pelaku tarbiyahnya adalah manusia, objek pembinaanya pun adalah manusia yang memiliki perbedaan-perbedaan, sehingga bisa jadi outputnya juga berbeda”.
            Tapi Yusuf seperti ikhwan umumnya selalu optimis, maka ia katakan, “olehnya itu yang perlu kita pahami dan kita sepakati adalah standar output seperti apa yang ingin dilahirkan oleh Islam melalui tarbiyah ini”. Yusuf dengan sikap optimisnya, tarbiyah menjadikan kita sebagai pembelajar. Ya, pembelajar. Wahib dan Wawan senang dengan asumsinya. Kita adalah pembelajar.

#
Wahib berpikir bahwa “Manusia adalah satu-satunya makhluk ciptaan yang dibekali kemampuan untuk ‘belajar tentang’, agar ia dapat ‘belajar menjadi’ dengan cara ‘belajar melakukan’. Karena tugas, tanggung jawab, dan panggilan pertama seorang manusia adalah menjadi pembelajar. Sedangkan pelajaran pertama dan terutama yang perlu dipelajarinya adalah belajar menjadikan dirinya semanusiawi mungkin”.
‘Belajar tentang’ erat definisinya dengan mempelajari ‘teori-teori’ terkait sesuatu. Hasil dari belajar tentang adalah mengetahui sesuatu. ‘Belajar melakukan’ berarti mempraktikkan sesuatu. ‘Belajar menjadi’ berarti proses untuk memanusiawikan dirinya. Belajar tentang manusia berarti mempelajari biologi, psikologi, sosiologi, antropologi, psikologi, filsafat, teologi, dan berbagai kajian ilmu yang meletakkan manusia sebagai objek dan teori. Lalu ‘belajar melakukan’ berarti mencoba menerapkan perilaku dan kebiasaan tertentu yang menurut teori hanya dapat dilakukan oleh manusia. Dan ‘belajar menjadi’ yakni ia harus belajar dengan merenungkan hakikat dirinya terlebih dahulu, mencari jati dirinya, menghayati keberadaannya sebagai apa dan siapa. Belajar tentang identik dengan knowledge (ilmu pengetahuan), belajar melakukan identik dengan skill (kemampuan), dan belajar menjadi identik dengan wisdom (ilmu kehidupan).
Hal ini menjelaskan pendefinisian terhadap ‘hidup untuk belajar’ dan ‘belajar untuk hidup’. ‘Belajar untuk hidup’ berarti untuk mendapatkan pekerjaan, memperoleh jabatan, dan sebagainya, maka ia akan menjadi ‘pemburu gelar’ dan atribut-atribut simbolis kepriyayian yang tidak esensial. Mereka akan merasa puas bila sudah diwisuda dan merasa sudah tamat belajar. Ini membuat mereka berhenti membaca dan menulis setelah usai sekolah atau lulus universitas. Mereka sudah dianugerahi surat tanda tamat belajar, sudah kelar, tidak perlu belajar lagi. ‘Hidup untuk belajar’ maka ia tidak memandang gelar atau simbol-simbol seperti ijazah dan diploma, bahkan juga semua implikasi kenikmatan hidup yang menyertainya. Yang terpenting adalah mengeluarkan potensi dirinya dan membuat dirinya menjadi nyata bagi sesamanya. Dan, proses ini tidak pernah selesai hingga waktunya usai.
Tapi yang terpenting adalah kesadaran akan keterpaduan antara belajar tentang, belajar melakukan, belajar menjadi, knowledge, skill, wisdom, hidup untuk belajar dan belajar untuk hidup agar bertumbuh semakin bertanggung jawab atas diri sendiri dan menolak pendiktean atau pemaksaan kehendak dari apapun yang berada di luar diri. Mampu menyatakan, mengaktualisasi, mengeluarkan, potensi-potensi yang dipercayakan Sang Pencipta akan dirinya. Semakin berdaya, semakin merdeka, dan semakin manusiawi.
Mengaktualisasi segenap potensi dengan mana ia diciptakan, menjadi otentik dalam arti unik dan tak terbandingkan dengan yang apapun atau siapapun yang bukan dirinya. Ia adalah manusia yang berproses atau belajar untuk memanusiawikan dirinya.
Dalam hal ini mereka, Wahib, Wawan, dan Yusuf, menempatkan KAMMI sebagai belajar menjadi, wisdom, dan hidup untuk belajar. “Sebagai bentuk tugas pertama manusia dalam proses menjadi dirinya yang sebenarnya adalah menerima tanggung jawab untuk menjadi pembelajar bukan hanya di gedung sekolah dan perguruan tinggi tetapi terlebih penting lagi dalam konteks kehidupan”.
“Dengan itu maka terbagi atas pembelajar (kaderisasi KAMMI), pemimpin (visi KAMMI), dan manusia guru (cita-cita kader KAMMI)”, kata Wahib, meneguhkan tentang pembelajar pada Wawan dan Yusuf.
Pembelajar. Setiap manusia yang bersedia menerima tanggungjawab untuk melakukan dua hal penting, yakni pertama, berusaha mengenali hakikat dirinya, potensi, dan bakat-bakat terbaiknya, dengan selalu berusaha mencari jawaban yang lebih baik tentang beberapa pertanyaan eksistensial seperti “siapakah aku?”, “dari manakah aku datang?”, “kemanakah aku akan pergi?”, “apakah yang menjadi tanggung jawabku dalam hidup ini?”, dan “kepada siapa aku harus percaya?”, dan kedua, berusaha sekuat tenaga untuk mengaktualisasi segenap potensinya itu, mengekspresikan dan menyatakan dirinya sepenuh-penuhnya, seutuh-utuhnya dengan cara menjadi dirinya sendiri dan menolak untuk dibanding-bandingkan dengan segala sesuatu yang ‘bukan dirinya’. Begitulah kami dengan semangat muda kami.

#
            Terkadang seorang pemuda tumbuh di tengah umat yang sejahtera dan tenang, kekuasaannya kuat, dan kemakmuran meluas, akhirnya ia lebih banyak memperhatikan dirinya daripada memperhatikan umatnya, bersenang-senang, dan hura-hura dengan perasaan lega dan hati tenang (tanpa merasa berdosa). Ada juga pemuda yang tumbuh di tengah umat yang berjuang dan bekerja keras karena dijajah bangsa lain dan urusannya dikendalikan secara zalim oleh musuhnya. Umat ini berjuang semampunya untuk mengembalikan hak yang dirampas, tanah air yang terjajah, kebebasan yang hilang, kemuliaan yang tinggi, serta idealisme yang luhur. Pada saat itu, kewajiban mendasar bagi pemuda tersebut adalah memberikan perhatian lebih besar kepada umatnya daripada kepada dirinya sendiri.
Yusuf sambil membaca Majmuatur Rasail, katakan “Tugas pemuda, dengan demikian kewajiban kalian (pemuda) sangat banyak, tanggung jawab kalian sangat besar, hak umat yang harus kalian tunaikan semakin berlipat, dan amanat yang terpikul di pundak kalian semakin berat. Karena itu, kalian harus berpikir panjang, beramal banyak, menentukkan sikap, maju untuk menjadi penyelamat, dan menunaikan hak-hak umat dari pemuda dengan sempurna”. Yusuf sambil mengutip perkataan Hasan al-Banna.
Sesungguhnya, sebuah pemikiran akan meraih sukses manakala keyakinan kepadanya kuat, tersedia keikhlasan di jalannya, semangat untuk memperjuangkannya semakin bertambah dan ada kesiapan untuk berkorban serta beramal dalam mewujudkannya. Sepertinya keempat rukun ini, yakni iman, ikhlas, semangat, dan amal merupakan karakter pemuda. Sebab sesungguhnya dasar keimanan adalah hati yang cerdas, dasar keikhlasan adalah nurani yang jernih, dasar semangat adalah perasaan yang menggelora, dan dasar amal adalah kemauan yang kuat. Dan, itu semua tidak terdapat kecuali pada diri para pemuda. Karena itu, sejak dulu hingga sekarang pemuda merupakan pilar kebangkitan setiap umat, rahasia kekuatan dalam setiap kebangkitan dan pengibar panji setiap fikrah. Kata-kata Hasan al-Banna yang ini saat Muktamar Pemuda, selalu menggelora semangat kami, semangat muda mereka, Wahib, Wawan dan Yusuf.

Posting Komentar

0 Komentar