Celoteh Novel
Anak Semua Bangsa
Anak Semua Bangsa
Judul :
Anak Semua Bangsa
Penulis :
Pramoedya Ananta Toer
Penerbit :
Lentera Dipantara
Tahun :
September, 2011
Cetakan :
13
Pembuat
Resensi : M. Sadli Umasangaji
Kalau Bumi Manusia lebih
menceritakan bagaimana rasa rasional Minke dalam melihat disekitarnya sebagai
pencatat, dan masa-masa awal membersamai Keluarga Nyai Ontosoroh. Maka novel
kedua ini, Anak Semua Bangsa, bagian dari Tetralogi Buru, awal-awal mula
perasaan peduli Minke kepada Hindia sebagai bangsa. Tetap Minke sebagai seorang
pencatat dan seorang penulis yang rutin menulis di koran-koran yang ada di
Hindia dengan bahasa Belanda.
Awal mula novel menceritakan tentang
kepergian Annelies ke Belanda. Dan melalui perintah Mama (Nyai Ontosoroh),
Panji Darman (Robert Jan Dapperste) untuk mengawal Annelies ke Nederland.
Awal-awal cerita dalam novel berkisar pada kepergian dan pengawalan Annelies.
Dan surat-surat dari yang mengawal termasuk dari Panji Darman.
Keseharian Minke yang tanpa Annelies
membuat Minke hampa tapi kemudian memulai dengan kegiatan seperti semula,
membaca koran, majalah, buku dan surat-surat. Menulis catatan dan karangan. Maka
ada beberapa cerita tentang Jepang. Ketika Jepang semakin maju dan mampu
sederajat dengan Eropa.
Kemudian Minke bertemu dengan seorang
angkatan Muda Cina. Adanya gerakan pembaruan, peremajaan di Cina, bagaimana pun
kecil dan tak berarti kelihatannya, makin lama akan makin besar. Angkatan Muda
Cina ini bernama Khouw Ah Soe. Angakatan muda ini bergerak untuk menumbangkan
Angkatan Tua yang korup. “Setidak-tidaknya semua percuma kalau toh harus
diperintahkan oleh Angkatan Tua yang bodoh dan korup tapi berkuasa, dan harus
ikut serta jadi bodoh dan korup demi mempertahankan kekuasaan. Percuma, Tuan,
sepandai-pandai ahli yang berada dalam kekuasaan yang bodoh ikut juga jadi
bodoh, Tuan”. “Anggota-anggota kami hanya pekerja-pekerja sejarah. Demikian
pula aku. Kami hanya semut-semut yang hendak membangun istana sejarah baru”,
kata Khouw Ah Soe.
Dan keteguhan Minke terhadap Nyai
Ontosoroh sebagai gurunya. “Akan ku coba menjadikan ajaranmu bukan hanya
milikku, juga jadi perbuatanku”. Mama sebagai guru politik Minke. “Nak, jangan
kau mudah terpesona oleh nama-nama. Kan kau sendiri pernah bercerita padaku:
nenek-moyang kita menggunakan namanya yang hebat-hebat, dan dengan ingin
mengesani dunia dengan kehebatan-kehebatan dalam kekosongan? Eropa tidak
berhebat-hebat dengan nama, dia berhebat-hebat dengan ilmu dan pengetahuan.
Tapi si penipu tetap penipu, si pembohong tetap pembohong dengan ilmu dan pengetahuannya.”
Pertemuan berikutnya antara Minke
dengan kedatangan Khouw Ah Soe. Berbicara tentang watak umu mereka yang
berkuasa di negeri-negeri jajahan.”Dia hanya syarat. Dengan ilmu pengetahuan
modern, binatang buas akan menjadi lebih buas dan manusia keji akan menjadi
semakin keji. Tapi jangan dilupakan, dengan ilmu pengetahuan modern
binatang-binatang yang sebuas-buasnya juga bisa ditunddukan”.
Beberapa bagian di pertengah novel
bercerita tentang surat-surat dari Robert Mellama, Mirriam dan Panji Darma.
Kemudian tentang perbincangan Minke dengan Jean Marrais. Tentang Jean Marrais
yang meminta Minke untuk menulis dalam Melayu agar pembacanya adalah
orang-orang Melayu kelas bawah. Dan Minke tidak bersedia karena merasa
berbahasa Melayu hanya orang yang kurang berpendidikan. “Kau Pribumi
terpelajar! Kalau mereka itu, Pribumi itu, tidak terpelajar, kau harus bikin
mereka terpelajar. Kau harus, harus,harus, harus bicara pada mereka dengan
bahasa yang mereka tahu”. “Melalui pembaca-pembaca Melayu, yang buta huruf pun
ikut tahu. Tergerak perasaan mereka, tersinggung perasaan keadilan mereka”.
Kata-kata Jean Marrais pada Minke.
Berikut pula masih berkisar tentang
desakan Minke untuk menulis dalam melayu. Desakan dari Jean Marrais, dan Tuan
Kommer. “Bahwa Tuan mahir berbahasa Belanda memang mengagumkan. Tetapi bahwa
Tuan menulis Melayu, bahasa negeri Tuan sendiri, itulah tanda kecintaan Tuan
pada negeri dan bangsa sendiri”.
“Apa artinya pandai kalau tak
berbahagia di rumah sendiri? Belajar bekerja juga penting, belajar membangun
kehidupan sendiri. Sekolahan kan Cuma penyempurna saja”, bahasa sindiran Jean
Marrasi pada Minke.
“Bicaralah
kau pada bangsamu sendiri”
Berikut
kata Kommer sekali lagi untuk sindiran pada Minke sebagai penumbuhan kesadaran
pada bangsa melalui menulis dalam Melayu dan pada bangsanya, “Mengarang ada
bekerja untuk keabadian? Kalau sumbernya abadi, bisa jadi karangan itu menjadi
abadi juga”.
Kemudian perjalanan Minke dengan
Nyai ke Sidoarjo. Maka ada beberapa bagian tentang Surati, seorang yang
digundik Eropa, penguasa pabrik gula. Yang ia dengar cerita. Dan kemudian ia
jadikan bahan tulis. Minke masih terus membuat catatan, menulis dan menulis.
Kemudian ia mencatat tentang seorang petani yang menolak tanahnya dirampas
penguasa pabrik gula. Petani itu bernama Trunodongso. Disini mungkin pula
sehingga Pram tergolong sebagai sastra Marxis. “Ya, Ndoro, sebenarnya sahaya
sudah cukup bersabar. Warisan sahaya lima bahu, tiga sawah dan dua ladang dan
pekarangan rumah ini. Tiga bahu, sudah dipakai pabrik. Tidak sahaya sewakan
secara baik-baik, tapi dipaksa secara kasar: priyayi pabrik, lurah, sinder,
entah siapa lagi. Dikontrak delapanbelas bulan. Delapanbelas bulan! Nyatanya
dua tahun”.
Maka kata Kommer pada Minke akan
tulisan-tulisannya, “Tuan semakin menjurus ke humanisme, semakin meluas”.
“Tulisan Tuan berseru-seru pada perikemanusiaan, menolak kebiadaban,
kecurangan, fitnah dan kelemahan. Tuan mengimpikan manusia-manusia kuat dengan
watak kemanusiaan yang kuat juga. Memang, Tuan, hanya bila setiap orang menjadi
kuat seperti itu, baru ada persahabatan sejati. Tuan betul-betul anak revolusi
Prancis. Selama Tuan tetap mempertahankan ciri-ciri pribadi ini”.
Dan akhirnya Minke pada satu
kesimpulan sederhana “Jelas menulis bukan hanya untuk memburu kepuasan pribadi.
Menulis harus juga mengisi hidup”.
Akan tetapi tulisan-tulisan
humanisme Minke tentang Nyai Surati dan Trunodongso ditolak penerbit karena
ketidaksukaan redaktur. Karena koran tersebut punya keberpihakan pada pabrik
gula.
Kemudian perjalanan Minke dalam
kapal. Minke juga adalah pengagum Multatuli. Dalam novel ini tersebut
berulang-ulang. Dan pengagum Revolusi Prancis. Dalam kapal ia bertemu dengan
Ter Haar, seorang liberalis. Yang bekerja pada koran bernama De Locomotief.
“Aku bangga menjadi seorang liberal, Tuan, liberal konsekuen. Memang orang lain
menamainya liberal keterlaluan. Bukan hanya tidak suka ditindas, tidak suka
menindas, lebih dari itu: tidak suka adanya penindasan”.
Diakhir cerita novel ini datanglah
Ir. Maurits Mellema untuk pemberitahuan kematian Annelies dan pengambil hak
waris. Maka berkumpullah Minke, Nyai, Kommer, dan Jean Marrais untuk melawan,
melawan dengan kata-kata. “Semua yang terjadi di bawah kolong langit adalah
urusan setiap orang yang berpikir”. Pribumi melawan Eropa, pengambil hak waris.
“Ya, Ma, kita sudah melawan, Ma, biarpun hanya dengan mulut”.
Dalam “Anak Semua Bangsa”, Pram
menghiasi nilai-nilai kemanusiaan yang menolak penindasan. Humanisme. Dan
sedikit gambaran perlawanan petani pada penguasa pabrik gula, ritme gerakan
Marxis, gerakan kiri. Dan gambaran pemikiran liberal yang ingin Hindia sebagai
Hindia, cikal bakal adanya bangsa. Dan Minke melakukan itu semua dengan catatan
dan tulisan sebagai perlawanan. Terkenanglah kita pada kata-kata dalam Bumi Manusia,
“Semakin tinggi sekolah bukan berarti semakin menghabiskan makanan orang lain.
Harus semakin mengenal batas”.
Posting Komentar
0 Komentar