Sastra Gerakan
Dialog Imajinatif
Serial Novel Serpihan Identitas
M. Sadli Umasangaji
(Founder Celoteh Ide)
7
Setelah beberapa
hari dari aksi penolakan BBM kemarin. Gerakan mahasiswa memang masih identik
dengan aksi massa. Waktu berjalan telah begitu cepat. Teknologi telah melaju
melampaui zaman. Terbentuklah zaman baru dengan teknologi yang juga menopang.
Kehadiran media sosial inilah seakan menjadi solusi menyentuh hampir semua
lapisan masyarakat kita, terutama yang paling intim dan intens adalah kalangan
anak muda, termasuk gerakan kepemudaan.
Senyata, hal ini
dapat kita lihat pada perkembangan periodisasi generasi Indonesia yang banyak
dipengaruhi oleh perkembangan media. Kita mengenal generasi Baby Boomer,
Generasi 1946-1964, generasi yang lahir setelah Perang Dunia II, ini memiliki
banyak saudara, akibat dari banyaknya pasangan yang berani untuk mempunyai
banyak keturunan. Generasi yang adaptif, mudah menerima dan menyesuaikan diri.
Dianggap sebagai orang lama yang mempunyai pengalaman hidup. Generasi X,
generasi 1965-1980, tahun-tahun ketika generasi ini lahir merupakan awal dari
penggunaan PC, video games, tv kabel, dan internet. Generasi Y, lahir
1981-1994, generasi millenium. Generasi ini banyak menggunakan teknologi
komunikasi instan seperti email, SMS, instan messaging. Generasi yang
multitasking, contohnya belajar sambil mendengarkan musik. Generasi Y plus,
generasi yang mengikuti trend seiring pesatnya perkembangan teknologi. Generasi
Z atau i-Generation, generasi 1995-2010. Di masa generasi Z, internet sudah mulai
berkembang dengan sangat baik. Pada generasi ini, mereka terbiasa melihat orang
lain menggunakan gadget, sehingga sangat mudah untuk generasi Z ini beradaptasi
dengan teknologi. Dan sekarang telah lahir generasi Z atau Generasi Net yang
sehari-hari hidup di dunia internet. Inilah masyarakat netizen dalam sistem
sosial politik kita.
Kehadirian media
sosial ini telah mengubah pola hubungan dan komunikasi sosial politik
masyarakat. Terlihat dalam pola interaktivitas jaringan
dalam dunia jejaring sosial yang akhirnya membentuk solidaritas komunikatif
yang sama sekali baru. Ini bisa dipahami sebagai beralihnya interaksi
sosial-politik masyarakat pada sistem networking
yang diperantarai media sosial, bukan lagi dalam pertemuan langsung atau yang
diperantarai media massa konvensional. Kemudian dalam dunia sosial politik,
inilah bentuk solidaritas komunikatif baru antara pemerintah dan rakyat, yang
akhirnya melahirkan demonstran gaya baru melalui media sosial.
Dawam termasuk
yang begitu aktif dalam diskusi-diskusi online yang mulai menjamur. Diskusi
online sebagai zaman baru dalam diskusi. Sebagai intelektualitas zaman ini.
Aktivisme generasi Y Plus dan Z di era media sosial. Aktivisme digital.
Aktivitas diskusi online membuat
Dawam mengenal beberapa komunitas. Diskusi online yang diikuti Dawam begitu
banyak. Diskusinya mulai dari bedah buku, diskusi tentang tokoh pergerakan
hingga masalah kerakyatan dan politik. Terselip bahwa Dawam menyukai sastra.
Membuat ia mengenal konsep “Sastra Gerakan”.
“Sastra
gerakan sebagai suatu gerakan wacana dan budaya. Kekuatan wacana. Karena rasa
dan estetika akan terus mengikuti perkembangan zaman. Gerakan menjadikan frame
agar sastra mempunyai nuansa perjuangan dalam estetika dan nilai sesuai dengan
ruang yang diyakini. Sastra gerakan adalah kerja kebudayaan. Gerakan sastra
adalah gerakan kebudayaan dengan semangat profetisme jalanan dan tujuan sastra
gerakan adalah menghimpun seni yang berkepribadian serta membebaskan. Sastra
gerakan menjaga kebudayaan yang beradab”
“Karya sastra
merupakan cermin dari sebuah
realitas kehidupan sosial masyarakat. Sebuah karya
sastra yang baik memiliki
sifat-sifat yang abadi dengan
memuat kebenaran-kebenaran
hakiki yang selalu
ada selama manusia masih ada”
“Suatu
karya lahir tidak lepas dari kondisi akan
zamannya. Sastra sebagai
wadah merekam kondisi sosial,
atau kemungkinan sebagai alat
politik agar penikmat sastra
(pembaca) terpengaruh
terhadap pesan yang
hendak disampaikan kepada penulis”, beberapa pemantik dalam diskusi
Sastra Gerakan. Dawam adalah penyuka sastra yang terlahir dalam generasi
gerakan sebagai generasi Y Plus.
Sekretariat
hari itu banyak kader yang duduk-duduk di dalamnya. Sekretariat telah menjadi
tempat untuk berkumpul, entah untuk rapat, atau bertemu walau tak ada kegiatan.
Sebagai tempat untuk berkumpul kala aktivitas di luar, tak ada. Maka
sekretariat menjadi tempat bernaung. Dawam dan Said sedang ada di sekretariat.
Said membaca buku Fikih Pergerakan Sayyid Qutbh dan Dawam membaca novel Pram,
Jejak Langkah. Novel ketiga dari Tetralogi Buru.
“Antum
suka dengan novel Pram bung?”, tanya Said pada Dawam
“Memangnya
kenapa akh?”
“Tidak,
hanya tanya saja, antum kelihatan sudah dua kali membaca novel Pram, tambah itu
yang ketiga”, Said sambil tertawa.
Dawam
tersenyum, “Ya, kurang lebih begitu bro. Aku suka saja dengan Sastra Realisme
Sosialis”
“Realisme sosialis sebagai salah satu aliran dalam
sosialisme yang bergerak dalam kancah sastra. Semangat realisme sosialis ialah
untuk memenangkan sosialisme di tengah masyarakat. Maka di dalam sastra aliran
realisme sosialis, realitas masyarakat adalah inspirasi untuk membuat karya”,
kata Dawam sambil tertawa
“Pram adalah
tokoh Realisme Sosialis-nya Indonesia”, gumam Dawam lagi.
“Realisme
sosialis itu sendiri bukan hanya penamaan satu metode di bidang sastra, tapi
lebih tepat dikatakan satu hubungan filsafat, metode
penggarapan dengan apresiasi estetiknya sendiri. Penamaan satu politik estetik
di bidang sastra yang sekaligus juga mencakup kesadaran adanya front, adanya
perjuangan, adanya kawan-kawan sebarisan dan lawan-lawan di seberang garis,
adanya militansi, adanya orang-orang yang mencoba menghindari diri dari front
ini untuk memenangkan ketakacuhan. Begitulah urai Pram tentang Realisme
Sosialis”, Dawam masih terus berkata
“Kenapa antum begitu suka?”
“Aku suka
dengan sastra akh. Suka sastra saja. Tapi suka sastra dengan latar perlawanan
juga”
“Pemikiran
Pram tentang realisme sosialis, sebenarnya punya tujuan satu, yaitu untuk
membangun masyarakat yang ideal. Masyarakat tanpa penindasan, masyarakat yang
merdeka. Dalam arti terpenuhinya hak-hak sebagai manusia, seperti yang
diharapkan oleh sosialisme. Yaitu manusia yang sama rasa sama rata dan karsa
(keinginan)”, Dawam menjelaskan kekagumannya pada Pram.
Said tertawa,
“Kalau perlawanan, Sayyid Qutbh juga tokoh perlawanan terhadap diktator”, Said
berkata demikian. Said memang mengagumi tokoh-tokoh Ikhwan dan merasa cukup
senang dengan menyelami pemikiran-pemikiran tokoh Ikhwan saja.
Dawam tentu
berbeda, membebaskan dirinya dalam membaca apa saja. Termasuk kesukaan yang
besar pada sastra. Sastra yang begitu ia sukai.
Tapi mereka
tetap sama-sama aktif di organisasi Kepemudaan Islam. Dengan saling
mengingatkan kepada semangat keislaman.
Dalam
organisasi Kepemudaan Islam itu, yang mirip dengan Dawam adalah Usamah. Usamah
adalah gabungan antara Said dan Dawam, suka membaca karya tokoh ikhwan seperti
Sayyid Qutbh, tapi juga suka dengan novel realisme sosialis seperti Pram.
#
Dawam telah kembali di
rumahnya. Merabah di tempat tidurnya.
“Pandangan
sastra Pria Tua itu tentang realisme sosialis telah menjadi ketentuan bahwa
pengarang harus belajar dari rakyat. Banyak cara yang harus dan bisa ditempuh,
terutama membaurkan diri ke dalam gerakan massa, mengenal perasaan mereka,
mengenal spontanitas dalam menyatakan perasaan mereka, dan bersama mereka ikut
mewujudkan apa yang harus diharapkan oleh mereka”
Pria tua itu
di Blora pada tahun 1925 di jantung pulau jawa di sebelah timur Pulau
Sumatera, sebagai anak sulung dalam keluarganya. Ayahnya adalah seorang guru,
sedangkan ibunya seorang penjual nasi.
Hampir
separuh hidup pria tua ini dihabiskan dalam penjara. Para pengarang realisme
sosialis harus menyediakan diri untuk digembleng dan diperbanyak oleh realitas
yang kasar, pahit, dan bengis. Hasil langsung dari didikan spontan ini ialah
meningkatkan daya kreatif terhadap segala gerak-gerik musuh rakyat. Gemblengan
itu menghasilkan ketajaman daya urai dan daya pembeda antara gerakan pokok
musuh rakyat, gerakkan semu, penyokong musuh, dan gerakan tidak sadar menyokong
musuh. Seterusnya gemblengan itu juga meningkatkan naluri mempertahankan dan
memperkuat gerakan rakyat, mengkonsolidasi dan mempertahankan
kemenangan-kemenangan yang telah dicapai, memahami kekalahan-kekalahan dan
menstabilkan sukses-sukses dan dengan cepat mengenal provokasi musuh, anti
propaganda.
Penjara tak
menghalangi pria tua ini untuk berhenti berkarya. Tidak. Tidak sejengkal pun
pria tua ini berhenti menulis. Bagi pria tua ini, menulis adalah tugas pribadi
dan nasional. Dan ia konsekuen terhadap semua akibat yang ia peroleh.
Berkali-kali karyanya dilarang dan dibakar.
Sebagaimana
telah diketahui bahwa Lekra menganut aliran realisme sosialis, maka pria tua
ini tertarik terlibat didalamnya. Ia juga menganut aliran tersebut. Tokoh yang
sangat mempengaruhi pemikiran pria tua ini adalah tokoh sastra Rusia Maxim
Gorki. Pria tua ini, mengambil semua metode realisme sosialis Maxim Gorki.
Tanpa ragu mengatakan bahwa istilah realisme sosialis timbul pertama kali di
bumi yang untuk pertama kali memenangkan sosialisme,
di bumi yang telah menegakkan sosialisme,
yakni Uni Soviet. Tokoh utama yang biasanya mendapat kehormatan sebagai
pelopornya adalah pujangga besar Soviet Maxim Gorki terutama dengan karya
utamanya Ibunda.
Sejauh ini
Dawam masih mengoleksi satu buah karya Gorki, Pecundang.
Dawam
mengenal pria tua itu, bahkan mengagumi. Ya, Dawam mengagumi, ia menyadari
seperti kata pria tua itu, “Kau terpelajar. Seorang terpelajar harus juga
berlaku adil sudah sejak dalam pikiran, apalagi dalam perbuatan”.
“Kau pemuda
terpelajar. Sepatutnya mulai belajar mengerti”, kata pria tua itu lagi.
“Ah, kau
salah! Aku suka karya, titik! Karena aku suka sastra! Bukan hanya sekedar
terpelajar!”
“Kau tahu
aku suka sastra! Aku senang menyukai sastra Realisme Sosialis! Akhir-akhir ini.
Karena aku belajar memahami sastra gerakan”
“Maka aku
baca karyamu, aku melahapnya, walaupun aku sadari terjadi pertentangan dalam
pikiranku sendiri. Ya, terjadi pertentangan dalam pikiranku sendiri. Karena aku
aktivis gerakan kepemudaan Muslim”
Pria tua itu
membalas dalam imajinasi Dawam sendiri, “Cerita, selamanya tentang manusia, kehidupannya bukan
kematiaannya. Ya, biarpun yang ditampilkan itu hewan, raksasa atau dewa atau
hantu. Dan tak ada yang lebih sulit dapat dipahami daripada sang manusia. Itu
sebabnya tak habis-habisnya cerita dibuat di bumi ini. Setiap hari bertambah
saja. Aku sendiri tak banyak tahu tentang ini. Suatu kali pernah terbaca olehku
tulisan yang kira-kiranya katanya begini: jangan anggap remeh si manusia, yang
kelihatannya begitu sederhana, biar penglihatannya begitu sederhana, biar
penglihatanmu setajam mata elang, pikiranmu setajam pisau, perabaanmu lebih
peka dari para dewa, pendengaranmu dapat menangkap musik dan ratap-tangis
kehidupan; pengetahuanmu tentang manusia takkan bakal bisa kemput”.
“Ya,
aku suka cerita sastra. Akhir-akhir ini aku mengoleksi sastra realisme
sosialis, sastra kiri. Ya, sebagai sastra perjuangan,
sastra perlawanan. Aku hanya ingin mengembangkan minatku pada manifesto Sastra
Gerakan”, Dawam membalas pada Pria tua ini, tersenyum sendiri dalam
imajinasinya.
“Aku membaca
semua karya sastra yang aku ingin baca!”, gumam Dawam dalam dialog
imajinatifnya.
“Berbahagialah
kau”
“Ya, seperti
katamu pria tua, berbahagialah dia yang makan dari keringatnya sendiri bersuka
karena usahanya sendiri dan maju karena pengalamannya sendiri”
“Bukankah
kau sendiri pria tua yang berkata, semua yang terjadi di bawah kolong langit adalah urusan
setiap orang yang berpikir”
“Kau, juga yang memberiku pandangan dalam menulis,
jelas menulis bukan hanya untuk memburu kepuasaan pribadi. Menulis harus juga
mengisi hidup”
“Karyamu memang abadi pria tua!”
“Mengarang adalah bekerja untuk keabadian”
Dawam
mendengar suara dari luar kamar memanggilnya. Ibundanya memanggilnya. Katanya
ada tukang pos yang cari. Dawam keluar dari kamarnya. Ke depan rumah.
“Ini
ada kiriman paket”, kata pak pos.
“Ia
pak, makasih”
“Tanda
tangan disini dulu nyong”, kata pak pos
Setelah
itu Dawam kembali masuk ke dalam kamarnya. Membuka kiriman paketnya. Dua buku,
Arus Balik – Pramoedya Ananta Toer, dan Prison Book – Antonio Gramsci.
Dawam
membaca sepintas, “Kaum Intelektual”, “Semua manusia mempunyai potensi untuk
menjadi kaum intelektual, sesuai dengan kecerdasan yang dimiliki, dan dalam
cara menggunakannya. Tetapi tidak semua orang adalah intelektual dalam fungsi
sosial. Kaum intelektual dalam makna fungsional terbagi menjadi dua kelompok.
Pada kelompok pertama terdapat kaum intelektual profesional ‘tradisional’, kaum
pujangga, ilmuwan dan sebagainya, yang mempunyai posisi dalam celah masyarakat
yang mempunyai aura antarkelas tertentu, tetapi berasal dari hubungan kelas
masa silam dan sekarang serta melingkupi pembentukan berbagai kelas historis.
Yang kedua, terdapat kaum intelektual ‘organik’, unsur pemikir dan
pengorganisasi dari sebuah kelas sosial fundamental tertentu. Kaum intelektual
organik ini dapat dengan mudah dibedakan melalui profesi mereka, yang mungkin
menjadi karateristik pekerjaan kelas mereka, bukan melalui fungsi mereka dalam
mengarahkan gagasan aspirasi kelas organik mereka”.
Di
rak bukunya terdapat Tetralogi Buru – Pram. Dan novel Korupsi. Ia baru membaca
2 dari karya Tetralogi Buru. Ia lagi menyukai karya Sastra Realisme Sosialis. Membaca
karya Sastra Realisme Sosialis seperti karya Pram atau Gorky adalah bagian dari
membentuk untuk menulis kembali sastra gerakan. Dawam memang menyukai sastra
kiri dan juga sastra islami. Diadopsi sastra kiri sebagai strategi gambaran
perjuangan. Bukan acuan nilai.
Dawam
kembali membaca karya pria tua itu, tetralogi buru yang ketiga, Jejak Langkah.
Membaring di atas tempat tidur. Mencerna karya pria tua itu. Terkenanglah ia
pada kata Gramsci, “Semua manusia
mempunyai potensi untuk menjadi kaum intelektual, sesuai dengan kecerdasan yang
dimiliki, dan dalam cara menggunakannya. Tetapi tidak semua orang adalah
intelektual dalam fungsi sosial”.
Posting Komentar
0 Komentar