Perspektif
Demokrasi, Gerakan Fundamentalis dan Kudeta
Demokrasi, Gerakan
Fundamentalis dan Kudeta
M. Sadli Umasangaji
(Founder Celoteh Ide)
Beberapa waktu ini, berbagai sarana
media diantaranya media sosial diramaikan oleh berita rencana kudeta terhadap
pemerintahan Turki saat ini. Kudeta ini dilakukan oleh kelompok kecil dari
militer Turki. Satu hal yang menjadi perbincangan kemudian adalah kegagalan
kudeta yang digagalkan oleh aksi massa masyarakat Turki. Itu pula atas seruan
Sang Presiden, Erdogan.
Puluhan juta rakyat Turki turun ke jalan untuk
menolak usaha kudeta dari para oknum militer, turun ke jalan dan melakukan demo
adalah himbauan Erdogan. People power in
democracy. Loyalitas rakyat kepada pemimpin.
Terselip seruan Menteri Agama Turki, Mehmet Gormez
yang menyatakan bahwa turun ke jalan melawan oknum militer yang melakukan
kudeta terhadap pemerintah yang sah adalah jihad. Seluruh masjid
mengumandangkan adzan dan takbir sebagai penyemangat jihad. Erdogan pernah
berkata “Masjid adalah barak kami. Kubah masjid adalah topi baja kami. Menara
masjid adalah bayonet kami. Orang-orang beriman adalah tentara kami”.
Kudeta pada Fundamentalis
Fundamentalis mungkin dapat dikata
adalah penganut gerakan keagamaan menempatakan perlu mengembalikan sesuata
kepada hal-hal pokok ajaran agama. Atau seperti uraian Erbakan, “Muslim yang
tidak pedulikan politik, akan dipimpin oleh politik yang tidak pedulikan orang
Islam”. Atau yang meyakini bahwa hukum dan ajaran Islam itu menyeluruh.
Mengatur urusan dunia di dunia dan
akhirat. Seperti keyakinan Ke-Islam-an Ikhwanul Muslimin. Islam adalah akidah
dan ibadah, tanah air dan kewarnegaraan, agama dan negara, spiritualisme dan
amal, serta mushaf dan pedang (al-Banna, 2012).
Ikhwanul Muslimin di Mesir misalnya
melalui Partai Kebebasan dan Keadilan (FJP) mendulang suara mayoritas pada
pemilu legislatif Mesir. Bahkan Mursi adalah presiden yang sah, dipilih secara
demokratis di Mesir dengan meraup suaru mayoritas 52% suara. Akhirnya dikudeta
oleh Militer.
Dalam hal ini Turki, kalau bisa
dikata AKP sebagai perpanjangan IM di Turki. AKP juga meraih suara terbanyak 41
persen dalam pemilu. Bahkan hasil pemilu ulang, kemenangan telak bagi AKP,
dengan perolehan suara lebih dari 49,5%. Dan Erdogan yang sebelumnya sebagai
Perdana Menteri menjadi Presiden.
Sementara kita patut bertanya kudeta
adalah tindakan yang mencederai tatanan demokrasi. Apakah kudeta karena
ketidakpuasaan terhadap kinerja pemerintah ataukah pemerintahan yang semakin
otoriter ataukah karena lawan politik ataukah karena perlawanan ideologi?
Sebagaimanapun, kudeta militer
adalah ancaman serius terhadap demokrasi dan kebebasan. Sangat menyedihkan
dunia harus melihat kenyataan demokrasi dan kebebasan dipasung. Tatanan yang
dipilih secara demokratis kemudian dikudeta. Mungkinkah gerakan fundamentalis
akan selalu berhubungan dengan kudeta militer? Mungkin demokrasi untuk muslim
adalah semu?
Semunya Demokrasi Islam?
Apakah konsep demokrasi yang
dianggap ‘ideal’, seiring waktu akan semakin semu. Di tengah diporak porandanya
“Gerakan Islamis” yang meraup suara di tengah pilihan demokratis, di tengah
suara mayoritas suara rakyat?
Akankah konsep demokrasi menjadi
semu akan intriknya permainan politik atas perlawanan ideologi? Ataukah
sedemikian mungkin resiko yang harus diemban “gerakan Islamis” dalam
pertarungan politiknya? Walaupun seiring waktu “Gerakan Islamis” itu semakin
bertransformasi menjadi gerakan “post-islamisme”.
Imam Hasan al-Banna beranggapan
walaupun demokrasi bukan sistem Islam, tapi inilah sistem politik modern yang
lebih dekat dengan Islam. Secara historis kemudian kita lihat bahwa penajajahan
Eropa atas Dunia Islam, munculnya penguasa-penguasa tiran, dan pemerintahan
militer represif setelah kemerdekaan, telah mematikan potensi umat secara
keseluruhan.
Disatu diterimanya pandangan
demokrasi Islam. Transformasi dari Islam Demokrasi ke Demokrasi Islam seperti
Gerakan Demokratisasi di Tunisia melalui An-Nahda. Menurut Dawam Rahardjo bahwa
perbedaan antara Ikhwanul Muslim (Mesir) dan An-Nahda walaupun An-Nahda adalah
versi Ikhwanul Muslim di Tunisia, yang pertama menganut haluan “Islam
Demokratis” sedangkan di Tunisia melalui konseptualisasi Ghonnoushi, Islamisme
telah berkembang dari Islam Demokrasi menjadi Demokrasi Islam. Dimana dalam
“Demokrasi Islam”, Islam itu inheren dengan demokrasi.
Akankah yang demikian membuat
“Gerakan Post-Islamis” lebih mendapat tempat dalam pertarungan “politik ideologi”
di tengah realitas demokrasi? Ataukah masih tetap terjebak dalam kubangan semu
demokrasi, melalui kudeta militer.
Nilai-nilai kebebasan dan
penghargaan terhadap hak-hak asasi manusia adalah syarat sosial yang akan
memicu proses kreativitas dan produktivitas masyarakat. Kontrak sosial adalah
sebentuk kerelaan masyarakat untuk hidup dalam satu tubuh negara. Aturan moral
dan politik bergantung pada kontrak atau kesepakatan antar individu dalam pola
kehidupan yang lebih luas (masyarakat).
Atau mungkin seperti kata Dr. Yusuf
Qardhawi, “Kalau saja para penguasa tiran yang bercokol di panggung kekuasaan
di negara-negara Islam itu, mau membiarkan kita bekerja membangun umat secara
tenang dan aman, tanpa tekanan dan gangguan keamanan, maka kita mungkin hanya
membutuhkan waktu 20 tahun untuk mengembalikan kejayaan Islam”.
Erdogan sendiri dalam platform
kinerja AKP misalnya lebih banyak mengusung tentang persoalan hidup sehari-hari
rakyat semisal tentang pemberian santunan rakyat bagi setiap lulusan perguruan tinggi
hingga mereka mendapat pekerjaan. Atau semisal isu di bidang kesejahteraan
keluarga, pemerintah membantu 15% dari biaya pernikahan dan perabotan rumah
tangga.
Di lain sisi, Ikhwan bukanlah
sekedar partai politik, tetapi pembangkit nilai cita Islam yang telah mereka
sumbangkan kepada Alam Islamy telah menumbuhkan semangat baru dalam Islam. Buya
Hamka, menuliskan, “Ingatlah bahwasanya bangunnya Ikhwan adalah sebagai gejala
daripada kebangunan Islam kembali, beratus tahun Islam dan umat Islam jatuh tersungkur
dihadapan pikiran-pikiran Barat dan penajajahan Barat. Sudah hampir putus asa
umat Muslimin memelihara aliran ideologi yang simpang siur di dunia ini. Al
Ikhwan Al Muslimin adalah pelopor daripada penggalian cita-cita itu kembali.
Sebagai organisasi massa di Mesir, ia dapat dilumpuhkan oleh kekuatan senjata
dan adikara diktator di Mesir. Tetapi, sebagai suatu cita-cita, ia telah tumbuh
dan telah menjalar ke mana-mana ke pelosok dunia. Buah pikiran mereka telah
dibaca ke seluruh dunia Islam”.
Ataukah
bila semunya demokrasi, harus membuat gerakan Islami, kembali perenungan Sayyid
Qutbh, “Pergerakan Islam harus berangkat
dari pengertiannya sebagai gerakan untuk menghunjamkan kembali akidah Islam ke
dalam hati dan pikiran setiap individu Muslim, serta melakukan pembinaan kepada
siapapun yang mau menerima dakwah dan pemahaman yang benar, dengan pola-pola
pendidikan Islam yang benar. Tanpa harus membuang-buang waktu berdebat soal
peristiwa politik yang tengah menjadi pembicaraan hangat”. Kembali pada “Membangun komunitas, harakah dan akidah
dalam waktu bersamaan. Pembangunan masyarakat dan harakah yang berakidah dan
membangun akidah yang memiliki masyarakat dan harakah. Akidah menjadi realitas
masyarakat yang berharakah dan menghendaki realitas masyarakat berharakah yang
sebenarnya menjadi entitas riil dari akidah”. (Qutbh, 2012).
Akhirnya tentu kudeta adalah ancaman
terhadap kemurnian demokrasi. Untuk kepemimpinan manapun termasuk kepemimpinan
di luar “Gerakan Post-Islamisme”. Kudeta tetap harus ditolak. Tapi menolak
kudeta bukan berarti harus menerima kepemimpinan otoriter. Apabila kepemimpinan
otoriter baik dari kalangan manapun termasuk pada Gerakan Post-Islamisme, maka people power tentu harusnya berbicara
lantang.
Posting Komentar
0 Komentar