Saling Klaim; Sesuatu yang Terfragmentasi


M. Sadli Umasangaji
(Founder Celoteh Ide)











Akhir-akhir ini kita dengan sadar melihat berbagai pendefinisian pemahaman terkait berbagai fenomena, dari pemahaman tentang nasionalisme, pemaknaan ideologi pancasila, kata gebuk pada kelompok yang “dianggap” berseberangan dengan pancasila, pembubaran ormas “Islam”. Bahkan tak segan kelompok yang meneguhkan diri sebagai “nasionalis” mendefinisikan Islam Rahmatan lil ‘alamin. Seakan-akan semua melakukan tindakan saling klaim pada suatu pembenaran atas pendefinisian kelompoknya sendiri.

Tatkala kemerdekaan diraih dengan semangat nasionalisme, tulis Fahri Hamzah, seharusnya kondisi yang mencerahkan pada generasi berikutnya terealisasi. Namun pada kenyataanya, alih-alih menjadi kenyataan, harapan pun relatif tak terakomodasi. Semangat nasionalisme tidak cukup mengantarkan penerus bangsa ini ke alam kehidupan yang lebih baik. Bangsa ini masih tertatih-tatih untuk membuktikan dirinya sebagai bangsa besar karena semangat perjuangan para pendahulunya. Segudang persoalan masih menganga di depan mata ditambah runtuhnya jati diri sebagai bangsa yang kuat dan utuh nyata di pelupuk mata.

Ironisnya, peran penguasa terkesan dengan sikap oportunis politik, dimana segala hal yang “diklaim”, disikapi dengan secara tidak arif dengan mengedepankan kebijakan tambal sulam dan cenderung militeristik. Bukan dengan menganalisa penyebab perlawanan yang lebih berupa ketidakadilan sosial, ekonomi dan politik. Dan sikap yang terkesan keberpihakan kepada kepentingan tertentu. Keberpihakan pada kelompok tertentu dan memberikan stigma “negatif” pada kelompok-kelompok “Islam” tertentu.


Stigma Sinis; Sesuatu yang Terfragmentasi?
Abul A’la Al-Maududi menuliskan sudah menjadi kebiasaan orang-orang Eropa mengidentikkan term jihad dengan istilah “Perang Suci” ketika mereka mengartikannya dalam bahasa mereka. Ketika berbicara tentang jihad, mereka acap kali memberikan penafsiran yang negatif dan mengomentarinya secara apriori, disamping juga mengarahkannya secara serampangan pada pemaknaan yang kurang tepat dan cenderung dipaksakan. Diskursus kaum orientalis ini bahkan sampai menstigma jihad sebagai istilah yang mengedepankan watak dan perilaku jahat, perang fisik, dan pertumpahan darah.

Stigma sinis dengan pemaknaan yang hampir sama demikianlah yang sering dipakai oleh kelompok yang menyebutkan dirinya “toleransi” kepada kelompok yang mereka sebutkan “intoleransi”. Padahal titik dimana kelompok yang menegaskan diri “toleransi” bertingkah “keberpihakan sepihak” kepada kelompok yang mereka sebut “intoleransi”, maka mereka sendiri telah terjebak pada ranah intoleransi.

Sebagaimana titik tekan yang diuraikan Nurcholish Madjid, berbicara tentang agama memerlukan suatu sikap ekstra hati-hati. Sebab, sekalipun agama merupakan persoalan sosial, penghayatannya amat bersifat individual. Apa yang dipahami dan apalagi dihayati sebagai agama oleh seseorang amat banyak bergantung pada keseluruhan latar belakang dan kepribadiannya.

Jangan-jangan pada titik tertentu kelompok-kelompok yang menyebutkan toleransi ini, dalam praktik-praktik keagamaannya dalam realitas sebagian masyarakat telah terjadi kejenuhan, kebingungan dan stagnasi. Sehingga kelompok-kelompok yang mereka sebut sebagai “intoleransi” semakin menarik dan semakin menjamur. Pada titik ini bisa jadi kelompok-kelompok yang mereka sebut “intoleransi” adalah kelompok pembaharuan dalam beragama.

Sebagaimana pernyataan Abu Bakar Baasyir dalam sebuah persidangan, dengan mengajukan pertanyaan. Pertanyaan pertama, menyangkut pasal 29 ayat 2 UUD 1945 yang menyebutkan, “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu”. Sebagai ahli hukum, dapatkah Profesor menjelaskan apa definisi ibadah menurut UUD 1945? Kedua, apabila pemerintah tidak menjamin kemerdekaan dan kebebasan beribadah menurut kepercayaan agama, yang berarti melanggar pasal 29 ayat 2 itu, apakah pemerintah tersebut dapat dituntut?

Karena itu, Ustadz Abu Bakar Ba’asyir pun menjelaskan, bahwa definisi ibadah menurut Islam adalah,”Segala ucapan dan perbuatan yang diridhai Allah”. Maka, menerapkan syari’at Islam secara kaffah (lengkap dan menyeluruh, tidak sepenggal-sepenggal) merupakan cara beribadah yang paling sempurna. Apabila kita mengartikan ibadah menggunakan pengertian di atas, maka kedua pertanyaan tadi berimplikasi sangat luas, baik dalam perspektif syari’ah Islam maupun undang-undang negara RI. Karena faktanya selama ini, setiap kali umat Islam menuntut berlakunya syari’at Islam, pemerintah menilainya sebagai tindakan inkonstitusional. menentang Pancasila, bahkan dianggap makar kepada pemerintah yang sah. Padahal, menghalangi warga negara beragama Islam untuk melaksanakan syari’ah Islam, berarti menghambat kebebasan beribadah. Hambatan demikian, tidak saja mengabaikan hak konstitusional umat Islam, tetapi juga melanggar syari’at Islam dan mengkhianati UUD 1945.

Pada titik ini pulalah pemaknaan kembali pada ideologi Pancasila menjadi penting. Perumpamaan yang diberikan oleh Prof. Buya Hamka, tentang pancasila sebagai suatu bilangan 10.000 (sepuluh ribu) dimana angka 1 (satu) merupakan perumpamaan sila pertama (Ketuhanan Yang Maha Esa), dan empat angka nol berikutnya merupakan perumpamaan empat sila selanjutnya. Sekarang hilangkan angka 1 (satu) itu, maka yang akan terjadi ialah deretan angka nol itu, nilainya akan tetap juga. Pendeknya, Ketuhanan Yang Maha Esa itulah yang secara mutlak memberi arti bagi pancasila dan sila apapun dalam kehidupan manusia (Madjid, 2013).

Dan Muhammad Hatta, salah seorang penanda tangan Piagam Jakarta, yang didalamnya, untuk pertama kalinya secara resmi nilai-nilai kelak disebut Pancasila itu dirumuskan bahwa sila Ketuhanan Yang Maha Esa adalah sila primer dan utama yang menyinari dan menjadi sumber dalam kehidupan manusia ini. Ketuhanan Yang Maha Esa itulah yang mendasari dimensi-dimensi moral yang akan menopang setiap peradaban manusia (Madjid, 2013). Karena sikap mengembalikan segala permasalahan kepada ajaran Tuhan Yang Maha Esa adalah sikap yang konsekuen kepada nilai-nilai Pancasila.

Dengan demikian, sebagaimana kata Nurcholish Madjid, hal itu berarti tidak seorang pun manusia berhak mengklaim suatu kebenaran insani sebagai suatu kebenaran mutlak, kemudian dengan sekuat tenaga mempertahankan kebenaran yang dianutnya itu dari setiap perombakan.


Saling Klaim; Bertopengkah?

Ideologi negara Pancasila, tulis Nurcholish Madjid (2013), sebagai bentuk konvergensi nasional dalam peringkat formal konstitusional, telah menunjukkan keefektifannya sebagai penopang Republik. Tapi keefektifan itu agaknya terbatas kepada kemampuannya untuk menjadi sumber legitimasi bagi usaha-usaha mempertahankan status quo. Di tangan penguasa, Pancasila seringkali berfungsi sebagai alat pemukul orang atau kelompok lain yang kebetulan “tidak berkenan di hati”. Karena itu, Pancasila di tangan bangsa yang belum mantap pertumbuhannya akan tetap rawan terhadap berbagai manipulasi.

Jangan-jangan yang mengklaim paling nasionalis adalah bertopeng, karena juga adalah yang korupsi, yang “berkawan” dengan ideologi yang bertentangan dengan Pancasila, dan ternyata semakin marak penyelewengan terhadap peradaban manusia, semakin marak kemiskinan, maka nyatanya adalah sikap terhadap degradasi pancasila.

Kembali pada tujuan bernegara, sebagaimana uraian Nurcholish Madjid (2013), keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia kita semua telah mengetahui kedudukan cita-cita pada kehidupan bernegara. Ia merupakan sumber tujuan sebenarnya Republik yang merdeka ini, dan merupakan sumber semangat bagi mereka yang hendak berdharma kepada rakyat. Sosialisme dapat dianggap sebagai suatu cara lain untuk mengungkapkan ciri masyarakat yang dicita-citakan oleh pancasila, yaitu masyarakat berkeadilan sosial. Keadilan sosial itulah, jika ditilik dari sudut susunan Pancasila, yang merupakan tujuan kita bernegara.

Yang penting bagi kita ialah berbuat dan bertanggung jawab. Sebagaimana pandangan Ahmad Wahib, salah satu sikap seorang demokratis adalah tidak melakukan teror mental terhadap orang yang mau bersikap lain. Membiarkan orang lain menentukan sikap dengan perasaan bebas, tanpa ketakutan, sesuai dengan isi hatinya sendiri merupakan pencerminan sikap seorang demokratis.

Terkait dengan upaya menciptakan ruang politik yang bebas dominasi maka pilihannya ada pada individu. Ruang bebas politik terhampar maka pilihannya yang pada dasarnya jika manusia kembali pada kondisi alamiahnya, maka ia memilih untuk bebas. Dengan demikian bahwa aktivitas dalam masyarakat politik merupakan aktivitas antara manusia-manusia dengan ciri dan karakter yang berbeda satu sama lain. Idealnya, aktivitas politik merupakan aktivitas bebas tekanan . Segala bentuk dominasi, penggunaan kekerasan, paksaan, monopoli harus disingkirkan dari arena politik. Ruang publik harus inklusif, egaliter dan bebas tekanan.
Maka demikian, yang dilakukan sepatutnya adalah perjuangan ideologi bukan perang ideologi. Sebagaimana pandangan Muhammad Hatta dalam Demokrasi Kita, menyebutkan perjuangan ideologi. Perjuangan ideologi antar kelompok-kelompok politik jangan diartikan dengan perang ideologi. Tiap-tiap kelompok akan mempropagandakan ideologinya kepada rakyat, tetapi dalam propaganda itu hendaklah dijaga tertib sopan dan bersikap sebagai seorang kesatria. Betapapun juga bedanya paham dan pendirian, pada tujuan yang terpenting semuanya sama. Maka kembali pada pemaknaan bersama (pandangan Nurcholish Madjid), keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia kita semua telah mengetahui kedudukan cita-cita pada kehidupan bernegara.

Jalan politiknya sebagaimana gagasan Amien Rais dalam Hubungan antara Politik dan Dakwah, menjelaskan tentang High Politics, dengan ciri-ciri minimal diantaranya, amanah, masuliyyah (pertanggungjawaban), prinsip ukhuwah (persatuan), maka sangat kondusif bagi pelaksanaan amar maruf dan nahi munkar. Barangkali inilah antara lain yang dimaksud oleh Q.S al-Hajj : 22 : 41, “Yaitu orang-orang yang jika Kami beri kedudukan di bumi, mereka melaksanakan sholat, menunaikan zakat, dan menyuruh berbuat yang makruf dan mencegah yang mungkar dan kepada Allah-lah kembali segala urusan”.

Posting Komentar

0 Komentar