Serpihan Sang Deklarator

Serial Novel Serpihan Identitas

M. Sadli Umasangaji
(Founder Celoteh Ide)



Serpihan Sang Deklarator
10









            Kadang Aku bertanya, “Untuk apa aku membaca?”, Usamah merenung. Seperti biasa di dalam kamarnya, dan beberapa tumpukkan buku menyertai. “Untuk apa aku menulis?”
            “Untuk apa aku masih terus membuat catatan?”
            “Aku hanya memilih untuk memulai. Melanjutkan segala yang ku pikirkan, segala yang akan ku catat”
“Aku memulai”, tegas Usamah. Kali ini catatanku dipenuhi oleh ocehan Mirgah. Ketika Usamah bertemu dengannya di tempat biasa, di sekretariat organisasi mereka. Mirgah berbagi pandangan tentang perspektif Sang Deklarator pada kelahiran jamaah, dia, Sang Deklarator dan jamaah. Mirgah adalah pengagum Sang Deklarator, seperti kader organisasi kepemudaan ini pada umumnya.
            Organisasi (jamaah) ini marak tahun 1990-an. sebagai alternatif dari kehidupan kampus yang terkekang negara melalui NKK/BKK. “Sang Deklarator terbina sejak demokrasi belum ada, beliau di-tarbiyah sejak negara intel ada di mana-mana. Semua bermula pada Tahun 90, Sang Deklarator memulai kuliah di Universitas Mataram, dan ketika ekspansi tarbiyah ke Lombok datang dan para utusan itu member pesona padanya”, tukas Mirgah tentang Sang Deklarator.
            “Tahun 1992, Sang Deklarator masuk UI dan diterima di Fakultas Ekonomi lewat jalur UMPTN. Di sini ia juga bertemu dengan kalangan tarbiyah. Tarbiyah adalah kesimpulan Sang Deklarator dalam pencarian sebagai aktivis setelah menyelam dalam banyak gerakan mahasiswa
Tarbiyah lebih natural, lebih rasional dan tidak punya tendensi sempit. Islam digambarkan lebih luas dan sempurna. Dalam perjalalannya, Sang Deklarator mulai mengenal dan membaca kisah perjuangan Hasan Al Banna dan para ikhwan sebagai inspirasi. Perjuangan Ikhwan, bagi Sang Deklarator cahayanya memancar dan membasuh sukma yang membara
Satu hal yang mulai dipahami Sang Deklarator, “Disini aku menjadi tahu bahwa perbaikan juga mesti dimulai dari diri sendiri. Memulai dari diri. Lalu keluarga. Lalu masyarakat dan kemudian negara. Maka dunia yang baik akan tercipta. Maka kami berhimpun dan memulai suatu proses mendidik diri membina kehidupan. Kami mulai dengan membina pribadi, komitmenlah kita dengan perbaikan diri, mengintrospeksi dan mengevaluasi diri. Setiap kader melibatkan diri didalam proses berlatih secara terus menerus. Lalu setelah itu kami memulai membangun keluarga kecil, menata hidup kami suami istri dan anak-anak. Kami berharap agar dari keluarga kami muncul generasi masa depan yang lebih baik. Agar generasi itu kelak lebih baik dari kami, dan mereka bisa menjadi batu bata yang kokoh bagi bangsanya.Setelah itu kami percaya bahwa masyarakat yang baik akan terbentuk jika kita juga terjun untuk mengembangkannya”.
Kami adalah orang pergerakan, kami bergabung bersama barisan orang-orang yang mengikat diri dalam kebaikan. Inilah tarbiyah, awal kebangkitan. Perlahan-lahan kami menyusuri lorong waktu melampaui batas-batas masa, bersama menghadapi tantangan dan gejolak. Melatih dan membina diri sehingga menjadi matang dan dewasa, siap memberikan kontribusi pada peradaban yang mulia. Kami percaya bahwa suatu bangsa hanya mungkin bangkit jika dia dididik dengan baik. Suatu bangsa hanya mungkin memperoleh kejayaan jika kader-kadernya dilatih dan dididik dengan kematangan jiwa
Pertengahan 90-an gerakan Tarbiyah di kampus kami mulai melakukan gerakan politik kampus. Tarbiyah waktu itu berbentuk anasir semata. Tapi tetap terorganisir. Walaupun belum berbentuk organisasi. Karena pada masanya, yang muda akan jadi tua juga. Mereka harus berpengalaman menjadi pemimpin. Orde Baru memang belum kondusif tapi politik kampus adalah eksperimen yang cukup aman. Mahasiswa harus belajar mengelola sumberdaya publik. Setingkat kampus. Dalam masa itu Sang Deklarator memulai deklarasinya, namanya menjadi tenar. Memimpin organisasi kepemudaan, sebuah kesatuan aksi. Kesatuan aksi yang kemudian melebur, atau menjadi keharusan untuk larut menjadi organisasi kepemudaan mutlak, menjadi organisasi masyarakat.
Berurai-urailah Sang Deklarator, dengan gembira pada aktivisme masa kini, tren aktivisme pada media sosial, “Kami percaya bahwa suatu bangsa yang dipimpin secara otoriter, tidak akan memberikan masa depan. Dan kebebasan adalah hal yang mutlak bagi menyebarnya kebaikan, maka berdirilah partai politik. Aku menjadi deklarator. Keberanian anak-anak muda ini adalah keikhlasan. Inilah pilihan yang akan memeta perubahan. Sebuah keberanian orang-orang yang tidak punya apa-apa. Sebuah partai lahir tanpa sponsor dan donatur, kecuali oleh ide dan cita-citanya, membangun harapan. Kami mendirikan partai dari nol, tanpa uang, tanpa nama besar, kami diyakinkan oleh cita-cita dan pikiran. Lalu kami mengikuti pemilu secara demokratis sejak 1999, 2004, 2009 dan 2014. Kami berlomba-lomba dan yang lain menyongsong politik, membangun masyarakat, membangun politik yang lebih beradab. Kami ikut membangun politik yang lebih menghargai perbedaan pendapat, lebih mendengar suara rakyat
Sang Deklarator kemudian berkelakar, “Percakapannya dengan Sang Majelis, aku bertanya, apa salah saya ya Ustadz?”
Sang Majelis berkata pada Sang Deklarator, seperti urai Sang Deklarator, “Antum tidak ada salah dan Antum salah seorang kader terbaik”.
Sang Deklarator kembali pada untaiannya, “Kalau diakui kader terbaik lalu kenapa dipecat dari seluruh tingkat keanggotaan? Perbedaan pendapat dengan Sang Majelis didelik sebagai pelanggaran paling berat sedunia. Kader, struktur dan elemen pembinaan tidak ditanya lagi. Aku tidak percaya bahwa partai ini akan membiarkan perlombaan saling meniadakan merajalela. Gerilya (penyingkiran) kepadaku, aku akan jadikan pelajaran yang besar. Karenanya aku tidak percaya partai ini toleran menerima patron klien menjadi tradisi. Hampir seperempat abad bersama jamaah kita mengajak semua orang menjadi pendukung dakwah. Tiba-tiba sekarang ada gerakan agar aku hendak disingkirkan tanpa alasan. Banyak yg merasa terganggu. Siyasah bagi kami adalah untuk memperkuat silaturahim dan menjaga ukhuwah
Bersendunya, Sang Deklarator, “Ada yang sulit dijawab dan sulit diceritakan. Yaitu jika isteri dan anak kita bertanya, apakah karena abah dipecat, kami tidak bisa ikut tarbiyah lagi?Ini pertanyaan paling mengguncangku kemarin. Karena kaderisasi dan tarbiyah kita telah menjadi milik keluarga dan anak-anak kita. Mereka telah membiasakan diri dalam tradisi halaqoh dan tarbiyah.. Tiba-tiba aku tidak lagi di rumah itu. Maka wajar mereka bertanya apakah masih boleh berada disitu. Aku mencoba menahan ekspresi. Aku yakinkan mereka untuk bertahan. Aku dan istriku bertemu di jalan ini. Suatu hari di bulan Ramadhan di Masjid Arif Rahman Hakim UI, 20 tahun lalu.
Atas segala kejadian, Sang Deklarator pernah berujar, ”Dan apa yang kita capai sekarang adalah hasil dari perjuangan dan pengorbanan. Kami tidak boleh lupa adalah bahwa semua yang kita miliki dan dapatkan adalah hasil dari proses sejarah yang panjang. Dan kita tetap harus bercermin pada sejarah dan kepada apa yang selama ini kita diajarkan. Bahwa perjuangan kita adalah sarana utk mendapatkan pahala yang lebih besar. Karena toh tujuan kita pada akhirnya adalah negeri akhirat, adalah surga yang dijanjikan, adalah ridho Ilahi. Partai adalah sarana pelipatgandaan pahala, seperti kita pergi sholat berjamaah ke masjid. Waktu yang diperlukan dalam sholat berjamaah sama saja dengan sholat biasa. Tapi pahala berlipat ganda. Berpartai adalah berjamaah, berpartai adalah cara pelipatgandaan pahala kita. Maka berpartai adalah untuk menjadi yang paling banyak manfaatnya bagi umat dan bangsa. Sehingga kelak kita mendapatkan harapan untuk bersama nabi di hari kemudian. Di dalam jamaah dan partai ini aku menyaksikan banyak perbedaan dan pandangan. Tapi yang dominan aku saksikan adalah cinta dari orang-orang yang tulus dan berbuat tanpa balasan. Aku menyaksikan orang-orang yang tersenyum, dan orang-orang yang bekerja tanpa pamrih siang dan malam. Aku terharu dengan para kader yang terus bertahan membangun kehidupan, ada yang sukses, ada yang belum. Tapi semua kami anggap ringan selama ada persaudaraan. Di sini kami membangun kesadaran bahwa kami hanya mulai untuk generasi masa depan. Di sini kami bangun cinta dan pengorbanan, persahabatan dan kekeluargaan
Di tengah pragmatisme politik kembali menjamur. Menguatnya pragmatisme dan melunturnya ideologi partai-partai politik saat ini di Indonesia menyebabkan identitas sebuah partai politik semakin sulit dibedakan dengan partai politik lainnya. Fenomena hiruk-pikuk di internal partai-partai politik saat ini umumnya dipicu oleh perbedaan sikap dan pandangan tentang posisi partai terhadap pemerintahan. Maka pertanyaannya adalah di mana posisi berdiri masing-masing partai politik saat ini? Di tengah deraian politik praktis yang kian hari, partai politik mulai mengalami dekadensi kepercayaan karena permasalahan yang cenderung pragmatis, sekitar internal saling singkir-menyingkir, yang kemudian menguap dari persoalan keumatan.
 “Tapi apakah kini Sang Deklarator punya orientasi yang berbeda?”, Tanya Usamah
Mirgah hanya diam saat itu. Usamah masih mengingat-ingat lagi apa yang perlu ia catat. Pada konteks waktu yang berbeda.
 Maka terus menata hati dan menjaga kompas niat adalah pekerjaan seumur hidup sampai mati”, Urai Sang Deklarator
“Sang Deklarator seperti Sirohige. Tapi apakah ada yang memanggilnya seperti mereka memanggil Sirohige?”, Usamah tersenyum kecut, tanpa sadar sudah hampir dua jam, ia mengisi catatannya.
Kita ini jamaah manusia. Penuh alpa dan kesalahan. Tapi kita ini juga bisa jadi adalah jamaah keikhlasan. Yang asli akan bertahan dan yang palsu akan terbakar jadi debu”, kata indah Sang Deklarator.

Posting Komentar

0 Komentar