Memandang KAMMI Kini; Patron dan Arus Pemikiran


Memandang KAMMI Kini; Patron dan Arus Pemikiran
Refleksi Milad KAMMI ke 19 (29 Maret 1998 - 29 Maret 2017)
M. Sadli Umasangaji
(Founder Celoteh Ide)


(png tree)








            Ketika refleksi dalam kelahiran sebuah gerakan, maka titik refleksi dapat dilihat pula dari memandang gerakan itu pada proses berjalannya kini. Melihat ini maka KAMMI dalam memandang kini dapat ditelisik dari pertama, sebagai kelompok ‘kolektif’ (jamaah), kedua, patron-klien gerakan, ketiga, arus pemikiran.
            Dari hal itu, meminjam konsep pemikir Fichte dalam memandang konsep manusia, sekiranya untuk menggambarkan KAMMI dalam pandangan kini, “Apabila manusia berkonsep tentang dirinya, yaitu apabila “aku” membuat konsep tentang “aku”, maka muncullah kesimpulan bahwa “aku” adalah “aku” dan yang “bukan aku” adalah “bukan aku”. Maka terdapatlah “aku” dan yang “bukan aku”. Akan tetapi wujud “bukan aku” terdapat dalam wujud “aku yang sejati”. Oleh karena di dalam diri “aku” terkandung wujud yang “bukan aku”, maka “aku” adalah “aku dan bukan aku”. Sekiranya ini ditempatkan dalam KAMMI sebagai kelompok ‘kolektif’.
            Oleh karena pada dasarnya ketika manusia  menggambarkan tentang dirinya itu tidak ada selain dari “aku”, maka benda-benda yang diluar diri kita, yaitu benda-benda yang “bukan aku”, hanya kita gambarkan melalui “aku” yang di dalam dirinya mengandung hakikat lain, yaitu “bukan aku”. Benda-benda yang di luar diri kita bukan saja terkandung di dalam “aku”, tetapi benda-benda itu juga merupakan kerja “aku” dan produknya.
            Dalam KAMMI sebagai kelompok ‘kolektif’ telah terjadi ‘benturan’ patron-kline gerakan. Sekarang, realita apakah yang mengharuskan hanya “aku” saja yang ada dan yang “bukan aku” tidaklah ada, tapi merupakan hasil kerja “aku”, terdapat dalam “aku” dan produk dari “aku”?
            Walaupun Fitche dalam konsep ini untuk melogikakan akal. Dalam hal ini, saya menjadi akal dianalogikan sebagai KAMMI, jadi “aku” sebagai “KAMMI”. Ialah bahwa akal (“aku”) itu benar-benar terlepas dari yang lain. Akal (“aku”) ada karena dirinya sendiri dan keberadaannya adalah keberadaannya sendiri, bukan keberadaan yang lain. Dengan demikian, maka hakikat “aku” (akal) akan tampak jelas dari “aku” (akal) sendiri, bukan dari apa yang ada di luar “aku” (akal). Seandainya “aku” (akal) bergantung pada sesuatu yang lain yang ada di luarnya, tentulah yang demikian itu berarti bahwa yang “bukan aku” merupakan titik permulaan. Itu berarti meniadakan “aku” (akal) sendiri sebelum ia sampai kepada yang lain; sebab tidak ada makna bagi wujud yang “bukan aku” kecuali dengan meniadakan wujud “aku”.
            Realita apakah yang menentukan bahwa wujudnya “yang bukan aku” berarti meniadakan wujud “aku”? Dalam konteks ini maka bila “aku” sebagai KAMMI dalam pandangan sebagai gerakan kolektif, maka “yang bukan aku” adalah yang tak lagi memandang bahwa manhaj KAMMI sebagai gerakan kolektif atau kalau bisa dikata, tak lagi menempatkan manhaj KAMMI sebagai gerakan. Maka kembali pada “aku” adalah “aku” dan “aku” memang yang “bukan aku”. Tapi bila dilihat bahwa “aku” memiliki produk “aku” dan “aku” merupakan kerja “aku” dan produknya. Maka secara sederhana, tidaklah ada halangan jika “aku” ada dan yang “bukan aku” juga ada, dan wujud masing-masing tidak bergantung pada wujud yang lain.

Benturan Patron dalam Gerakan
            Mungkin ini akan menelaah realita apakah yang menentukan bahwa wujudnya “yang bukan aku” berarti meniadakan wujud “aku”? Menelisik sedikit dari karya Arief Munandar dalam memandang Habitus Gerakan “Tarbiyah”, ada dua faksi,Religius Movement Oriented dan Political Party Oriented. Atau disebut dengan kelompok “Idealis” dan “Pragmatis”. Kemudian, “Konservatif” dan “Progresif”.
            Konservatif diidentikkan dengan “Cenderung memandang hampir semua hal sebagai sesuatu yang tetap dan tidak boleh diubah. Cenderung dikotomis dan berhadap-hadapan, menggunakan “bahasa akidah”, seperti Islam vs kafir, al haq vs al bathil, atau  dengan  kata  lain,  cenderung menggunakan  bahasa-bahasa  aqidah  (keyakinan  agama)”. Progresif diidentikan dengan “Cenderung memandang banyak hal sebagai sesuatu yang berubah secara dinamis, disesuaikan dengan perkembangan kondisi. Cenderung melihat hubungan dengan elemen-elemen masyarakat yang lain dalam konteks muamalah, mencoba mencari titik temu dan kemungkinan kerjasama”.
Sedangkan Idealis diidentikkan dengan yang  alami,  di  mana distribusi  kekuasaan  diserahkan  kepada  sistem  dan  kolektifitas  yang  berlaku. Pragmatis diidentikkan dengan yang terencana dan tersistem, atau dengan kata lain melalui rekayasa kolektif. Dan ada semi alami di  mana  dilakukan  “modifikasi  personal”  melalui serangkaian  langkah-langkah  strategis  dan  taktis,  misalnya  dengan  membangun dan  memanfaatkan  relasi-relasi  personal  dengan  berbagai  pihak.
Idealis memandang uang bukan sumber daya yang penting dalam menentukan keberhasilan perjuangan. Pragmatis memandang uang adalah sumber daya yang penting. Pribadi-pribadi mengakumulasikan sumber daya ini untuk kemaslahatan diri mereka masing-masing. Dan Semi-Idealis, uang adalah sumber daya yang penting, sehingga para kader perlu dibangun kesadarannya dan difasilitasi untuk mengembangkan bisnis sehingga bisa berkontribusi besar untuk partai.
Kelompok religious movement oriented mempersepsikan arenanya sebagai arena dakwah dan tarbiyah, sehingga aktor-aktor di kelompok ini menggunakan habitus dakwah  dan  tarbiyah dalam  memproduksi  dan  mengapresiasi  praksis,  yang dengan  itu  kemudian  mereka  kembali  menstrukturkan  arena  di  mana  mereka berada.  Hal  yang  sama  berlaku  untuk  kelompok  political  party  oriented, yang mendefinisikan  arenanya  sebagai  arena  politik  kekuasaan.  Dengan  bahasa  yang sederhana, friksi di antara kedua kelompok ini terjadi karena para aktor di masing-masing kelompok mengoperasikan praksis dan strategi yang bersumber dari dua habitus kolektif yang berbeda: habitus dakwah dan  tarbiyah,  dan habitus politik kekuasaan.
Atau seperti yang dituliskan Orhan Pamuk dalam Novelnya, Salju, “Ada dua macam komunis: komunis arogan yang berharap dapat menjadi manusia unggul dan memberikan kemajuan bagi bangsa: dan komunis tulus yang terlibat karena mereka memercayai kesamaan dan keadilan. Komunis arogan terobsesi pada kekuasaan; mereka merasa pendapat mereka dapat mewakili keinginan semua orang, dan hanya keburukanlah yang dapat diharapkan dari mereka. Komunis tulus hanya membahayakan diri mereka sendiri; tapi, memang itulah mereka inginkan sejak awal. Mereka merasa sangat bersalah melihat penderitaan orang miskin, dan sebagai tindakan pertolongan, mereka rela membuat hidup mereka sendiri menderita.”

Arus Pemikiran
            Sayyid Qutbh dalam Manhaj Islam, menuliskan “Kalau Islam merupakan metode dari Allah bagi kehidupan ummat manusia dan tidak mungkin terwujud di muka bumi ini melainkan dengan usaha manusia sendiri menurut batas-batas kemampuannya sebagai manusia, serta sesuai dengan realitas materiil kehidupannya dalam situasi dan kondisi yang bagaimanapun. Dan mengapa kita harus berusaha mewujudkan manhaj ilahi itu yakni membutuhkan usaha manusia sendiri, bukan dengan cara-cara seakan seperti mukjizat yang luar biasa.”
            Dalam hal ini, penulis dalam arus pemikiran menilai KAMMI identik dengan Sosialisme Religius dan Fundamentalis Rasional. Dapat dilihat dari Paradigma Gerakan KAMMI mengandung unsur pembebasan, kemanusiaan, jiwa kritis dan melawan tirani (kesewenangan).
Gerakan pembebasan manusia dari berbagai bentuk penghambaan terhadap materi, nalar, sesama manusia dan lainnya, serta mengembalikan pada tempat yang sesungguhnya: Allah SWT, dan gerakan yang menyerukan deklarasi tata peradaban kemanusiaan yang berdasar pada nilai-nilai universal wahyu ketuhanan (Ilahiyyah) yang mewujudkan Islam sebagai rahmat semesta (rahmatan lil ‘alamin), sebagai makna Gerakan Da’wah Tauhid. Terlihat jiwa pembebasan, unsur kemanusiaan, dan jiwa kritis.
Gerakan yang mengembalikan secara tulus dialektika wacana pada prinsip-prinsip kemanusiaan yang universal dan gerakan yang mempertemukan nalar akal dan nalar wahyu pada usaha perjuangan perlawanan, pembebasan, pencerahan, dan pemberdayaan manusia secara organik, sebaga makna Intelektual Profetik.
Gerakan Sosial Independen adalah gerakan kritis yang menyerang sistem peradaban materialistik dan menyerukan peradaban manusia berbasis tauhid dan gerakan kultural yang berdasarkan kesadaran dan kesukarelaan yang berakar pada nurani kerakyatan. Gerakan Politik Ekstraparlementer adalah gerakan perjuangan melawan tirani dan menegakkan demokrasi yang egaliter. Berjiwa kritis, menolak tirani, dan menolak ketergantungan.
Sayyid Qutbh (1994) dalam buku “Keadilan Sosial dalam Islam” menuliskan, asas-asas dimana Islam menegakkan keadilannya itu adalah kebebasan jiwa, persamaan kemanusiaan yang sempurna, dan jaminan sosial yang kuat.
Menurut Nurcholish Madjid, Sosialisme Religius, baik sebagai istilah maupun ide, bukanlah sesuatu yang sama sekali baru, khususnya di Indonesia. Sudah semenjak masa perkembangan Sarikat Islam, khususnya setelah mengalami sentuhan dengan paham-paham sosialis-komunis Barat yang mengadakan infiltrasi ke dalam tubuhnya, ide sosialisme-religius itu mulai mendapatkan perumusan-perumusan sistematis dan serius, meskipun mungkin belum sepenuhnya memuaskan. HOS Tjokroaminoto menulis buku berjudul Islam dan Sosialisme, dan H. Agus Salim mengemukakan pikiran bahwa ide sosialisme sudah tercakup dalam ajaran-ajaran agama, khususnya agama Islam. Syafruddin Prawiranegara pernah pula menulis sebuah buku pamflet yang isinya menegaskan bahwa seorang Muslim haruslah sekaligus seorang sosialis. Karena pikiran-pikiran serupa itu, tidak mengherankan, jika Masyumi, oleh Kahin, digolongkan sebagai “Islam Kiri” atau “Islam Sosialis”.
Pertanyaaan: mengapa sosialisme, dalam konteks Indonesia, mungkin tidak perlu lagi diajukan? Sebab, sosialisme dapat dianggap sebagai suatu cara lain untuk mengungkapkan ciri masyarakat yang dicita-citakan oleh Pancasila, yaitu masyarakat berkeadilan sosial. Keadilan Sosial itulah, jika ditilik dari susunan Pancasila, yang merupakan tujuan kita bernegara. (Madjid, 2013).
Kemudian Nurcholish Madjid juga menuliskan, mungkin Islam bisa mendukung slogan, “Dari setiap orang diminta sesuai dengan kemampuannya, dan kepada setiap orang diberikan sesuai dengan kebutuhannya”, jika hal itu berarti setiap orang harus bekerja secara optimal menurut kemampuannya, dan untuk setiap anggota masyarakat harus ada pengaturan sosial-ekonomis yang bisa menjamin bahwa ia akan hidup dengan semua kebutuhan dasarnya terpenuhi.
            Sayyid Qutbh menempatkan bahwa, kita tidak akan dapat menghayati bentuk keadilan sosial dalam Islam sebelum kita memahami konsep keseluruhan Islam tentang alam, kehidupan, dan manusia. Keadilan Sosial tidak lain hanyalah sekedar cabang dari prinsip besar, dimana seluruh pembahasan Islam harus dirujukkan kepadanya. Maka Sosialisme Religius adalah gerakan taktis dan praktis dalam KAMMI. Dan pola pandangnya adalah Fundamentalis Rasional. Yusuf Maulana menyebutkan KAMMI sebagai Fundamentalis-Rasional, sebagai jalan tengah, moderasi dari praktik ekstrim literer dan juga substansialisme literer. Bukanlah sebuah dekonstruksi nilai lama, melainkan rekonstruksi agar pemahaman keislaman KAMMI makin berilmu, makin sadar zaman, makin holistik, makin kosmopolit, makin adaptif, tidak apriori, tidak apologi, dan kritis.
Dan olehnya itu tarbiyah tetap akar pemahaman KAMMI. Sayyid Qutbh menuliskan konsep Islam bersifat rabbani, datang dari Allah dan fungsi eksistensi manusia di dalamnya hanya menerima, menyambut, beradaptasi dan menerapkannya ke dalam realita kehidupan, dan karateristik kerabbanian ini muncullah karateristik lain, yaitu kekonstanan, “gerak di dalam kerangka yang tetap dan di seputar poros yang tetap pula”.
Dengan demikian Sosialisme Religius dalam KAMMI mengharapkan bahwa keberIslaman kader KAMMI mampu menjawab realistas sosial ummat. Akhirnya keterpanduan itu membuat kita patut menghuncam dalam hati kata-kata Hasan al-Hudaiby, “Bangunlah negara Islam itu dihatimu, maka negara itupun akan berdiri di bumimu”. Selamat hari refleksi KAMMI.

Posting Komentar

0 Komentar