Sosialisme Religius
Narasi Sosialisme Religius?
Narasi
Sosialisme Religius?
M. Sadli Umasangaji
(Peminat Literasi Pemikiran Islam Kiri)
Kita dapat memulai dengan
mengutip apa yang dipertanyakan dan dituliskan Nurcholish Madjid, “Pertanyaan:
mengapa sosialisme, dalam konteks Indonesia, mungkin tidak perlu lagi diajukan?
Sebab, sosialisme dapat dianggap sebagai suatu cara lain untuk mengungkapkan
ciri masyarakat yang dicita-citakan oleh Pancasila, yaitu masyarakat
berkeadilan sosial”.
Dalam
buku “Sosialisme; Pengalaman Venezuela Amerika Latin” Martha Harnecker, dalam
pengantarnya, tertulis ‘Garis Moderat versus Radikal’. Dalam tujuan mewujudkan
‘Jalan Amerikan Latin’, sosiolog Steve Ellner (2011) mengatakan bahwa kasus
Venezuela terjadi perdebatan sengit antara dua kubu gerakan kiri, yakni Kubu
Radikal yang mengikuti garis Leninis. Sementara kubu Moderat yang terinspirasi
pada Antonio Gramsci, dimotori oleh Marta Hernecker.
Marta
Hecneker (2015), golongan kiri juga menjadi dewasa dalam hubungannya dengan
gerakan-gerakan rakyat ketika mereka mengerti bahwa gerakan-gerakan rakyat
ketika mereka mengerti bahwa gerakan-gerakan ini tidak boleh diperlakukan
sebagai penyalur untuk keputusan-keputusan ‘partai’ tetapi harus memiliki
otonomi yang semakin meningkat, sehingga mereka bisa mengembangkan agenda-agenda
perjuangan mereka sendiri. Golongan kiri juga mulai mengerti bahwa perannya
adalah mengkoordinasikan bermacam-macam agenda dan bukan menyusun satu agenda
tunggal dari atas. Golongan kiri harus mengerti bahwa perannya adalah memberi
orientasi, memfasilitasi, dan berjalan bersama, tetapi bukan menggantikan,
gerakan-gerakan ini, dan bahwa sikap ‘vertikalis’ yang merusak inisiatif rakyat
harus dilenyapkan. Sekarang dimengerti bahwa gerakan kiri harus belajar untuk
mendengarkan, untuk membuat diagnosis yang tepat mengenai tahap-tahap pikiran
rakyat, dan mendengar secara teliti solusi-solusi yang disampaikan oleh rakyat.
Golongan kiri juga harus menyadari bahwa untuk membantu rakyat menjadi, dan
merasa bahwa mereka adalah pelaku, golongan kiri harus meninggalkan gaya
pemimpin militer vertikalis menuju pendidik rakyat, yang mampu untuk
mengerahkan kekuatan semua kearifan yang telah dikumpulkan rakyat.
Yang
menjadi pelopor adalah gerakan-gerakan rakyat. Gerakan-gerakan ini berkembang
dalam konteks krisis legitimasi model neoliberal dan krisis yang dihadapi
lembaga-lembaga politiknya. Gerakan-gerakan ini tumbuh dari dinamika perlawanan
di komunitas-komunitas atau organisasi-organisasi lokal mereka. Ini adalah
gerakan yang sangat majemuk, dimana unsur-unsur teologi pembebasan,
nasionalisme revolusioner, marxisme, indigenisme,
dan anarkisme hidup berdampingan.
Mengapa berbicara mengenai
sosialisme? Kita bisa bertanya. Bagaimanapun, ‘sosialisme’ punya pengertian
sampingan yang negative sejak kejatuhan di Uni Soviet dan Negara-negara di
Eropa Timur lainnya. (Harnecker, 2015).
Kembali, mengapa berbicara mengenai
sosialisme? Ada alasan sangat kuat untuknya. Disini saya (Martha Harnecker,
2015), mengutip Wakil Presiden Bolivia Alvaro Garcia Linera, yang menggunakan
kata-kata sangat sederhana, pada 8 Februari 2010, Menyebut apa yang dinamakan
‘sosialisme komunitas’, dia mengatakan:
“Kita
berbicara mengenai pokok soal ini hanya karena satu alasan, dan ini karena
masyarakat yang saat ini ada di dunia, masyarakat yang hari ini kita miliki di
seluruh dunia adalah masyarakat dengan terlalu banyak ketidakadilan, masyarakat
dengan terlalu banyak ketimpangan. Hari ini, di dunia kapitalis dalam mana kita
hidup ini, sebelas juta anak-anak meninggal dunia setiap tahun karena
kekurangan gizi, karena pelayanan kesehatan yang buruk, karena tidak ada
dukungan untuk mengobati penyakit-penyakit yang bisa disembuhkan. Sebanyak
seluruh penduduk Bolivia mati setiap tahun dan setiap tahun lagi.
Masyarakat
kapitalis ini, yang mendominasi dunia, yang memberi kita penerbangan ke angkasa
luar, yang memberi kita internet, memungkinkan delapan ratus juta manusia tidur
setiap malam dalam keadaan lapar. Sekitar dua milyar orang di bumi ini tidak
mendapatkan pelayanan dasar. Kita punya mobil-mobil, kita punya kapal-kapal
terbang, sekarang kita berpikir untuk pergi ke planet Mars, betapa indahnya!
Tetapi disini di atas bumi ada orang-orang yang tidak mendapatkan pelayanan
dasar, ada orang-orang yang tidak mendapatkan pendidikan, dan kalau ini tidak
cukup, ini adalah masyarakat yang secara permanen dan berulang-ulang
menimbulkan krisis, dan krisis menimbulkan pengangguran, memaksa
perusahaan-perusahaan untuk tutup. Ada begitu banyak kekayaan, tetapi terpusat
di tangan sedikit orang. Dan ada banyak orang yang tidak punya kekayaan dan
tidak bisa menikmati apa yang ada. Sekarang ini ada dua ratus juta orang
menganggur di dunia ini.
Itulah
masalahnya, ini adalah masyarakat yang menimbulkan begitu banyak kontradiksi,
yang menghasilkan pengetahuan, ilmu, dan kekayaan, tetapi yang sekaligus
menimbulkan begitu banyak kemiskinan, begitu banyak pengabaian, dan pada
puncaknya, tidak puas menghancurkan umat manusia saja dan melanjutkan
menghancurkan alam. Ribuan jenis binatang dan tumbuhan telah dihancurkan dalam
masa 400-500 tahun terakhir sejak dimulainya kapitalisme. Hutan menjadi semakin
sempit dan sempit saja, lapisan ozone sedang dipertipis, kita mengalami
perubahan iklim, gunung-gunung bertopi salju abadi sekarang sedang dalam proses
kepunahan.
Ketika kita
berbicara tentang sosialisme, kita sedang berbicara mengenai sesuatu yang
sangat berbeda dari yang sedang kita alami. Kita bisa memberinya nama yang
lain. Kalau orang tidak suka kata sosialisme, mereka bisa menyebutnya
komunitarianisme, mereka bisa menamakan ‘hidup baik’, tidak masalah, kita tidak
berjuang untuk nama-nama.”
Dalam
konteks Indonesia, bahkan
suatu frasa, yakni Sosialisme Religius, baik sebagai istilah maupun sebagai ide
bukanlah sesuatu yang sama sekali baru, khususnya di Indonesia. Sudah semenjak
masa perkembangan Sarikat Islam, khususnya setelah mengalami sentuhan dengan
paham-paham sosialis-komunis Barat yang mengadakan infiltrasi ke dalam
tubuhnya, ide sosialisme-religius itu mulai mendapatkan perumusan-perumusan
sistematis dan serius, meskipun mungkin belum sepenuhnya memuaskan. HOS
Tjoktoraminto menulis buku berjudul Islam dan Sosialisme, dan H. Agus Salim
mengemukakan pikiran bahwa ide sosialisme sudah tercakup dalam ajaran-ajaran
agama, khususnya agam Islam. Syafruddin Prawiranegara pernah pula menulis
sebuah pamflet yang isinya menegaskan bahwa seorang Muslim haruslah sekaligus
seorang sosialis. Karena pikiran-pikiran serupa itu, tidak mengherankan, jika
Masyumi, oleh Kahin, digolongkan sebagai “Islam Kiri” atau “Islam Sosialis”
(Madjid, 2013).
Tjokroaminoto sendiri
menuliskan, “Bahwa orang harus membedakan antara paham sosialisme sebagai
pelajaran dan sosialisme sebagai suatu pengaturan pergaulan hidup bersama
(sistem)”. Dalam Islam dan Sosialisme, Tjokroaminoto menguraikan Pengertian
Sosialisme, ‘sosialisme’ awalnya dari perkataan bahasa latin ‘socius’, makna
dalam bahasa melayu sebagai teman, dan bisa jadi sebagai ‘kita’. Sosialisme
menghendaki cara hidup “satu buat semua dan semua buat satu”, yaitu suatu cara
hidup yang hendak mempertunjukkan kepada kita, bahwa kita memikul tanggung
jawab atas perbuatan kita satu sama lain. Segala teori (sosialisme) ini juga
mempunyai maksud akan memperbaiki nasib golongan manusia yang termiskin dan
terbanyak jumlahnya. Agar supaya mereka mendapat satu nasib yang sesuai dengan
derajat manusia, yaitu dengan memerangi sebab-sebab menimbulkan kemiskinan.
Negasi dan
Afirmasi; Islam, Marxis, dan Keadilan Sosial
Marx mengatakan agama itu candu bagi masyarakat. Harus dipahai bahwa pernyataan ini bukan semata-mata menyalahkan agama, seperti yang disangka banyak orang. Marx menganggap agama sebagai candu dalam pengertian bahwa selain tidak membawa perubahan bagi kehidupan masyarakat, agama justru digunakan untuk melanggengkan kemapanan. Jika agama ingin dijadikan sebagai alat perubahan, maka harus menjadi senjata ampuh bagi kelompok masyarakat yang dieksploitasi.
Pada
umumnya untuk menarik perhatian masyarakat, Marxisme menggunakan idiom-idiom
yang bertujuan meningkatkan taraf kehidupan ekonomi bukannya memperkaya kehidupan
spiritual dan budaya masyarakat. Sesungguhnya Marxisme yang seperti ini tidak
memakai idiom Marxis yang asli yang berakar pada etos budaya setempat. Marxisme
yang seperti itu merupakan ideologi kelas menengah sedangkan kaum buruh dan
petani dilekatkan pada Marxisme dalam rangka mencapai tujuan ekonomi yang
terbatas dan mereka dijauhkan dari semangat budaya dan spiritualnya sendiri.
Tidak mengherankan jika Marxisme tetap kalah menarik dibandingkan dengan
fundamentalisme, konservatisme, dan kelompok-kelompok reaksioner, karena yang
terakhir ini mampu memenuhi kebutuhan spiritual masyarakat dan dalam hal ini
kebutuhan spiritual ini sama kuatnya dan sama mendesaknya dengan kebutuhan
ekonomi. (Engineer, 2009).
Qutbh
melakukan kritikan kepada Marxis,
“Sepanjang belum tercipta keadilan kemanusiaan yang menyeluruh, maka tidak
mungkin terwujud keadilan dalam bidang ekonomi yang terbatas itu. Sehingga
dengan demikian, Islam mencakup semua fenomena kehidupan dan segala sesuatu
yang ada di sekitar, sebagaimana halnya ia mencakup masalah ibadah dan
amaliyah, jiwa dan hati nurani. Nilai-nilai yang mengandung keadilan ini
bukanlah semata-mata nilai ekonomi belaka, dan juga bukan sekedar nilai-nilai
material pada umumnya. Tetapi keadilan ini mencakup seluruh nilai-nilai
maknawiyah dan ruhaniyah. Apabila komunisme memandang manusia dari segi
kebutuhan materialnya belaka, dan bahkan memandang alam semesta ini dengan
kacamata materialisme, maka Islam memandang manusia sebagai satu kesatuan yang
tidak terpisah-pisah antara kebutuhan rohani dan dorongan jasmaniyahnya, antara
kebutuhan spiritual dan kebutuhan materialnya. Islam memandang alam semesta dan
kehidupan dengan kacamata integral yang tidak terpisah-pisah”
Sementara
Hamka lebih memandang terhadap konteks pembolehan dalam pemikiran, “Datang
teori Karl Marx tentang ekonomi yang berdasarkan historis materialisme. Satu
perkara yaitu perkara pokok, jelas selisih kita dengan dia yaitu dia tidak
mengakui Allah. Dia memandang agama hanyalah sebagai akibat dari perekonomian dan
kadang-kadang agama sebagai musuh yang akan menghalangi diktator proletar dan
revolusi dunia. Tentang ini bersimpang jalan kita. Inilah prinsip! Oleh karena
itu bersedialah umat Islam mempertahankan prinsipnya. Islam tidak pula
memandang segala sesuatu buruk saja. Dalam teori Marx, sangat banyak pula yang
dapat diterima. Selama teori Marx tidak melanggar prinsip ketuhanan akan kita
terima. Akan kita gunakan untuk mencapai cita-cita dan menyempurnakannya. Akan
tetapi, untuk memandang Marx sebagai orang suci yang tidak pernah salah atau
Lenin orang yang tidak boleh dibantah atau Stalin sebagai dewa, Islam tidaklah
dapat menerimannya”.
Sayyid
menuliskan asas-asas dimana Islam menegakkan keadilannya itu dengan; kebebasan
jiwa yang mutlak, persamaan kemanusiaan yang sempurna, dan jaminan sosial yang
kuat. Keadilan sosial yang sempurna tidak mungkin dapat terwujud dan terjamin
pelaksanaan serta kelestariannya, sepanjang ia tidak dikaitkan dengan
persoalan-persoalan jiwa yang batini, dengan memberikan hak setiap individu dan
kebutuhan masyarakat kepadanya, disamping adanya keyakinan bahwa ia akan
mengantarkan pada tujuan peri kemanusiaan yang luhur, dan sepanjang tidak pula
dikaitkan dengan persoalan material yang menjadi tumpuan setiap individu dan
menanggung semua kebutuhan dan memberikan apa yang diperlukannya.
Pandangan
tentang Kebebasan Jiwa menjadi kritik Sayyid Qutbh kepada Komunisme juga
tergambar dalam gagasannya, “Adapun komunisme, maka ia menyatakan bahwa
kebebasan dalam bidang ekonomilah yang dapat dijadikan jaminan bagi kebebasan
jiwa, dan bahwasanya tekanan-tekanan yang ada dalam individulah yang
kadang-kadang menyebabkan hilangnya jaminan undang-undang tentang keadilan dan
persamaan. Itupun benar namun belum seluruhnya. Kebebasan dari tekanan bidang
ekonomi saja belum merupakan jaminan adanya kontinuitass kebebasan kecuali
disertai dengan kebebasan jiwa yang berada di dalam hati. Ia merupakan tujuan
dari tekanan-tekanan yang lain, yaitu tekanan kebutuhan pokok, bakat dan
pembawaan yang tidak mungkin dapat dipenuhi”. Sayyid melanjutkan, “Akan tetapi
apabila persamaan itu disandarkan atas kebebasan jiwa yang dalam, sebagaimana
halnya penyandarannya atas syariat dan pelaksanaannya, maka segi ini akan
menjadi penopang paling kuat baik dalam lapisan orang-orang yang memliki
kemampuan kuat maupun yang lemah. Ia berusaha meningkatkan yang lemah, dan
membuat yang kuat bersikap tawadhu
(tidak sombong). Persamaan itu akan bertemu dalam jiwa pada keyakinan terhadap
Allah, dalam kesatuan ummat dan kerjasamanya, bahkan dalam kesatuan peri
kemanusiaan dan jaminannya. Inilah yang menjadi tujuan Islam ketika ia
memberikan kebebasan jiwa secara mutlak dan penuh”.
Oleh karena itu, kaum
Marxis perlu mengembangkan sebuah pendekatan religio-kultural dan ekonomi yang
menyeluruh yang berakar pada etos masyarakat setempat. Marxisme juga tidak bisa
mengesampingkan agama, apalagi mencampakkanya. Marxisme sangat perlu memikirkan
masalah ini secara mendalam. Menganggap agama sebagai candu masyarakat dan
membuangnya merupakan pendekatan yang sunguh-sungguh dangkal. Harus diingat
bahwa agama adalah instrumen yang penting dan dapat digunakan sebagai candu
atau ideologi yang revolusioner. (Engineer, 2009).
Dalam pembacaan ‘kiri’,
gagasan kebudayaan dalam Islam, yang menjadi inti revolusi, tak lain akan
mendorong kesadaran progresif yang akan membongkar segala bentuk kepalsuan dari
kapitalisme. Selain
itu, sumbangan Marxisme sangat penting untuk dipakai oleh gerakan Islam karena
memberi pelajaran berharga untuk melakukan sistematisasi terhadap fakta maupun
gejala-gejala sosial yang tumbuh.
Ideologi dalam analisis Marxis,
adalah sebuah mekanisme yang dipakai kaum borjuis untuk mereproduksikan
dominasi kelasnya. Dalam keadaan yang terdistorsi, ideologi tidak mewakili
hubungan-hubungan produksi yang ada (dan hubungan-hubungan lain yang diturunkan
darinya), tetapi mewakili semua hubungan (imajiner) para individu pada
hubungan-hubungan produksi serta semua hubungan yang diturunkan darinya.
Ideologi memberikan kerangka kerja yang didalamnya manusia menjalani
hubungannya dengan realitas sosial tempat mereka berada.
Disini
struktur ideologis tak lepas dari struktur kelas, dan struktur kelas tidak lepas
dari struktur ekonomi. Makanya dilihat secara sosiologis, Marxisme merupakan
teori tentang peningkatan kelas yang tidak memusatkan perhatian pada
keberhasilan-keberhasilan sementara, dan karenanya tak akan menggunakan suatu
‘penggulingan kekuasaan’ sebagai sarana untuk memperoleh kekuasaan, melainkan
yang karena kecenderungan-kecenderungan revolusionernya harus selalu peka dan
berjaga-jaga terhadap konstelasi-konstelasi tak terduga dalam situasi itu.
Atau
seperti pendapat gerakan Mujahidin Khalq, kami mengatakan ‘tidak’ untuk
filosofi Marxis terutama ateisme. Akan tetapi, kami mengatakan ‘ya’ untuk
pemikiran sosial Marxis, khususnya analisisnya tentang feodalisme, kapitalisme,
dan imperialisme.
Revolusi
sosial mungkin jawaban yang tidak sempurna, tetapi melalui jalur inilah, agama
mengambil bentuk keberpihakan yang jelas. Untuk apa harus menggunakan Islam
Kiri? Pertama-tama karena kategori ‘kiri’ akan mendorong ummat untuk belajar
lebih banyak mengenai materialism historis yang bisa dijadikan alat analisis
persoalan yang sekarang sedang dialami, yang kedua, kiri adalah kategori yang
akan mengembalikan ‘iman’ dalam perseteruannya dengan para penindas. ‘Iman’
akan dihadapkan dengan kezaliman maupun kekuasaan otoriter yang kini menjadi
‘tuhan’ baru. (Prasetyo, 2014).
Fakta
Sejarah; Sebuah Perjalanan Nabi
Islam
adalah sebuah agama dalam pengertian teknis dan sosial-revolutif yang menjadi
tantangan yang mengancam struktur yang menindas pada saat itu di dalam maupun
di luar Arab. Agama
tidak boleh hanya berhenti sampai pada urusan akhirat, namun juga tidak boleh
semata-mata berurusan dengan masalah duniawi, agama harus dapat menjaga
relevansinya. Sayang sekarang ini teologi hanya berupa seikat ritual yang tidak
memiliki ruh untuk menyentuh kepentingan kaum tertindas dan kaum miskin.
Asghar Ali Engineer (2009) menguraikan tentang perjalanan
Nabi. Nabi
Muhammad pula adalah pembebas bagi seluruh umat manusia dengan cara membebaskan
golongan masyarakat lemah. Pada masa Arab di zaman dakwah Nabi, kondisi ekonomi
tidak kurang suramnya. Kesengsaraan golongan masyarakat lemah tidak terlukiskan
lagi. Struktur ekonomi kesukuan mengalami keruntuhan, kemudian datanglah
oligarki perdagangan. Akibatnya, anak-anak yatim, janda-janda dan orang-orang
miskin luar biasa menderita. Juga budak laki-laki dan perempuan tak terhitung
jumlahnya. Maka nabi kita adalah Sang Pembebas. Nabi Muhammad SAW juga berjuang
untuk membebaskan kaum yang tertindas, fakir, miskin dan orang-orang bodoh.
Semasa
Nabi masih hidup dan beberapa dekade sesudahnya, Islam menjadi kekuatan yang
revolusioner. Dimana bahwa Nabi sebagai utusan Allah menggulirkan tantangan
yang membahayakan saudagar-saudagar kaya di Mekkah. Saudagar-saudagar ini
berasal dari suku yang berkuasa di Mekkah, yaitu suku Quraisy. Mereka
menyombongkan diri dan mabuk dengan kekuasaan. Mereka melanggar norma-norma
kesukuan dan betul-betul tidak menghargai fakir miskin. Orang-orang miskin dan
tertindas di Mekkah inilah, termasuk para budak, yang pertama-tama mengikuti
Nabi Muhammad ketika beliau mulai menyebarkan ajaran suci Islam.
Dalam bukunya, Asghar Ali Engineer
menuliskan, Al-Qur’an tidak menginginkan harta kekayaan itu hanya berputar di
antara orang-orang kaya saja. Al-Qur’an dengan jelas dan tanpa ragu-ragu
berdiri di pihak golongan masyarakat lemah dalam menghadapi para penindas.
Pada masa Jahiliyah para pedagang
mulai menumpuk-numpuk harta dengan mengabaikan norma-norma kesukuan. Budaya
merkantilis lalu menebarkan bayangannya hingga menutupi budaya kesukuan. Fakir,
miskin, dan anak-anak yatim tidak dihiraukan lagi, sehingga mulai timbul
ketegangan sosial. Diantara golongan masyarakat lemah ini tumbuh rasa tidak
senang kepada orang-orang kaya. Nabi merasa sangat sedih melihat kondisi
masyarakat yang seperti ini.
Anak-anak yatim, janda-janda dan
orang-orang miskin luar biasa menderita. Juga budak laki-laki dan perempuan tak
terhitung jumlahnya. Mereka dipaksa bekerja tanpa diupah. Budak-budak perempuan
dipaksa melayani tuan-tuannya. Sedangkan banyak diantara mereka yang bukan
budak (orang bebas) yang benar-benar terpinggirkan. Mereka menjadi buruh dengan
upah yang rendah. Pemandangan lain di Mekkah adalah bahwa kota itu senantiasa
dilewati kafilah-kafilah dagang dengan onta-ontanya. Ontanya itu ada yang
mengangkut barang-barang dagangan, tetapi ada pula yang tidak. Sementara kaum
buruh hidup miskin dan merana, mereka adalah orang-orang marjinal. Mereka tidak
bisa memprotes semua ini dan juga tidak boleh membentuk serikat buruh. Para
perajin juga tidak bisa memperjuangkan nasibnya sendiri. Yang termasuk perajin
disini adalah penyamak kulit, pandai besi, tukang kayu, dan lain sebagainya. Di
satu sisi masyarakat menderita luar biasa, namun di sisi lain ada kehidupan
yang mewah.
Ketika Nabi mulai mendakwahkan
ajaran Islam di Mekkah, masyarakat disana secara sosial bersitegang dengan
Nabi. Disamping konfilk dan persaingan antarsuku, masyarakat Mekkah dirundung
ketegangan karena harta benda hanya terkonsentrasi pada beberapa orang dan
tidak ada keadilan yang distributif. Berkat kemunculan sebuah kelas yang
berpengaruh, yakni kelas borjuis-merkantilis, di Mekkah, benteng struktur yang
bersifat kesukuan itu akhirnya pecah. Dengan kata lain, hubungan produksi
antarsuku digantikan dengan sistem ekonomi merkantilis yang didasarkan pada
tukar-menukar barang.
Dari risalah sejarah Nabi sebagai
asas Teologi Pembebasan ini, maka keadilan dan keseimbangan ekonomi diperlukan
karena dengan demikian berarti kebutuhan pokok, seperti makanan, tempat tinggal
dan seterusnya dapat terpenuhi, sehingga kecenderungan gaya hidup boros harus
ditekan.
Selain itu, Al-Qur’an sangat
menekankan keadilan distributif. Keadilan ini seratus persen berseberangan
dengan penumpukkan dan penimbunan harta kekayaan. Al-Qur’an sejauh mungkin
mengecam penumpukkan harta. Al-Qur’an juga menganjurkan agar orang-orang kaya
mendermakan hartanya untuk anak yatim, janda-janda, fakir dan miskin.
“Dan orang-orang yang menyimpan
emas dan perak dan tidak menginfakkannya di jalan Allah, maka berikanlah kabar
gembira kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) azab yang perih” (Q.S At-Taubah : 9: 34).
Sedangkan tentang Umar sebagai
sahabat-sahabat Nabi yang bersifat Sosialis, Tjokroaminoto menuliskan “Dia tidak pernah
menyimpan uang di dalam peti perbendaharaan negeri, tetapi pada tiap-tiap Jumat
malam dibagikan kepada rakyat menurut kebutuhan mereka masing-masing. Dia pun
berkata, bahwa barang-barang yang ada di dalam dunia ini oleh Allah diberikan
kepada kita dan tidak diberikan sebagai pembalasan kebajikan, sebab pembalasan yang sejati di atas
kebajikan termasuk perhitungan di kehidupan yang lain”.
Bahasa keimanan yang kiri,
saya temui dalam gagasan Islam Kiri; Jalan Menuju Revolusi Sosial karya Eko
Prasetyo. Keimanan sebagai sesuatu dihunjam dalam hati, ditegaskan melalui
lisan, dan kemudian tergerak oleh perilaku. Kiri ditempatkan sebagai sebuah
perasaan yang paling halus ketika melihat realitas sosial, mengiba melihat
kemiskinan, melawan melihat penindasan, menangis melihat penderitaan, ringkih
melihat kelaparan.
Dari
“keimanan yang kiri”, menjadi Islam Kiri, dan kita bertanya mengapa demikian?
Sebuah keimanan yang beranjak dari pergulatannya atas semua problem sosial
untuk dipecahkan mengikuti sabda Illahi. Mengapa harus kiri? Karena ada
peninggalan Marx, menurut Louis Althusser (dalam Prasetyo, Eko, 2014), yang
tampaknya bisa dijadikan ‘alat bantu’ analisis; pertama, Marx meneumukan konsep
cara produksi dalam sejarah dan secara khusus cara produksi kapitalis (nilai
lebih, nilai tukar, komoditas) yang selama ini mengambil peranan dalam
membentuk tatanan sosial.
Teologi Pembebasan menurut
Asghar Ali, pertama dimulai dengan melihat kehidupan manusia di dunia dan
akhirat. Kedua, teologi ini tidak menginginkan status quo melindungi
golongan kaya yang berhadapan dengan golongan miskin. Dengan kata lain, teologi
pembebasan itu anti kemapanan, apakah itu kemapanan religious maupun politik.
Ketiga, teologi pembebasan memainkan peranan dalam membela kelompok yang
tertindas dan tercabut hak miliknya, serta memperjuangkan kepentingan kelompok
ini dan membekalinya dengan senjata ideologis.
Pada
titik ini pulalah bahwa Islam harus ditempatkan pada posisi yang berpihak pada
kelompok yang tertindas bukan kelompok yang menindas. Sebagaimana tulis Asghar
Ali, bahwa Agama harus menjadi sumber motivasi bagi kaum tertindas untuk
merubah keadaan mereka, dan menjadi kekuatan spiritual untuk mengkomunikasikan
dirinya secara berarti dengan memahami aspek-aspek spiritual yang tinggi dari
realitas ini.
Tjokroaminoto menempatkan
sholat, ibadah bahkan sholat jumat sebagai dasar perintah-perintah Agama yang
bersifat sosialistik. Dengan maksud persatuan dan pergaulan hidup manusia
bersama. “Menurut perintah agama yang telah ditetapkan oleh Nabi SAW, sekalian
orang Islam, kaya atau miskin, dari berbagai macam suku bangsa dan warna kulit,
pada setiap jumat harus dating berkumpul di dalam masjid dan menjalankan sholat
dengan tidak mengadakan perbedaan sedikitpun juga tentang tempat atau derajat”.
Tjokroaminoto
membagi anasir-anasir Sosialisme dalam Islam, diantaranya; kemerdekaan,
persamaan, dan persaudaraan. Kemerdakaan
dengan artian tiap-tiap orang Islam tidak harus takut kepada siapa atau apa pun
juga, melainkan diwajibkan takut kepada Allah saja. Persamaan dengan artian
kaum muslimin pada zaman dulu bukan saja semua menganggap diri mereka sama,
tetapi mereka menganggap semua merupakan satu kesatuan. Di antara orang-orang
Muslimin tidak ada sesuatu perbedaan yang manapun juga macamnya. Dalam
pergaulan hidup bersama di antara mereka tidak ada perbedaan derajat dan tidak
ada pula sebab-sebab yang boleh menimbulkan perbedaan kelas. Persaudaraan
dengan artian, Islam adalah sebenar-benarnya satu agama yang bersifat
demokratis dan telah menetapkan beberapa banyak hukum yang bersifat sosialistik
bagi orang-orang yang memeluknya. Islam menemukan persaudaraan yang harus
dilakukan benar-benar diantara orang-orang Islam di negeri manapun juga, baik
yang berkulit merah ataupun berkulit kuning, berkulit putih atau hitam, yang
kaya atau yang miskin. Persaudaraan Islam sangatlah elok dan indah sifatnya. Ia
dapat menghilangkan permusuhan yang berasal dari turun temurun yang sudah
berabad lamanya, orang asing dijadikannya sahabat karib dan persahabatannya itu
lebih kuat daripada perhubungan saudara yang berasal dari satu darah. Kemudian
Tjokroaminoto menuliskan, “Dengan sebenar-benarnya persaudaraan di dalam Islam
adalah sesempurna-sesempurna persaudaraan, baik di dunia maupun persaudaraan di
akhirat”.
Sedangkan dalam Kedermawanan Cara
Islam, Tjokroaminito menguraikan anasirnya dalam Islam seperti, “Pertama, akan
membangun rasa ridho mengorbankan diri dan rasa melebihkan keperluan umum
daripada keperluan diri sendiri. Lebih baik mati sendiri, tetapi janganlah
membiarkan orang lain mati karena kelapran, inilah rupanya yang telah menjadi
pokoknya cita-cita. Kedua, akan membagi kekayaan sama rata di dalam dunia
Islam. Dengan lantaran menjadikan pemberian zakat sebagi salah satu rukun
Islam, adalah dikehendaki: supaya umpamanya ada orang mendapat tinggalan warisa
harta benda yang besar, orang-orang yang miskin dan kekurangan akan mendapat
bagian daripada kekayaan itu. Ketiga, untuk menuntun perasaan orang, supaya
tidak menganggap kemiskinan itu satu kehinaan, supaya orang anggap kemiskinan
itu lebih baik daripada kejahatan. Sebagian orang suci dalam Islam lebih
memilih hidup miskin, sedangkan kita punya Nabi yang mulia itu sendiri telah
berkata; kemiskinan itu menjadikan besar hati saya”.
Menurut Qutbh, “Kita tidak
akan dapat menghayati bentuk keadilan sosial dala Islam sebelum kita memahami
konsep keseluruhan Islam tentang alam, kehidupan dan manusia. Keadilan sosial
tidak lain hanyalah sekedar cabang dari prinsip besar, dimana seluruh
pembahasan Islam harus dirujukkan kepadanya”.
“Menyediakan
ruang gerak yang cukup bagi kehidupan dan nilai-nilai ekonomi yang merata dalam
semua segi yang menunjang kehidupan menurut pandangan Islam, merupakan cara
yang paling ampuh untuk mewujudkan keseimbangan dan keadilan sosial, serta
mewujudkan keadilan dalam setiap segi kemanusiaan dan menghilangkan adanya
citra interpretasi yang sempit dalam masalah keadilan seperti yang ada dalam
komunisme. Keadilan dalam komunisme adalah persamaan imbalan tanpa ada
perbedaan sedikitpun dalam segi-segi ekonomis, sekalipun ia harus berbenturan
dengan kemampuan kerja yang dimiliki individu. Sedangkan menurut pandangan
Islam, keadilan adalah persamaan kemanusiaan yang memperhatikan pula keadilan
pada semua nilai yang mencakup segi-segi ekonomi yang luas. Dalam pengertian
yang lebih dalam berarti pemberian kesempatan sepenuhnya kepada individu, lalu
membiarkan mereka melakukan pekerjaan dan memperoleh imbalan dalam batas-batas
yang tidak bertentangan dengan tujuan hidup yang mulia”. (Qutbh, 1994).
Sedangkan
Hamka, menuliskan, “Agama Islam tidak memungkiri pentingnya harta benda dalam
kehidupan. Segala amal dan usaha, tidaklah dapat dilancarkan jika tidak dengan harta
benda. Rukun-rukun dan perintah agama, tidak dapat dijalankan jika tidak dengan
harta benda”.
Sayyid Qutbh kembali
menuliskan, “Bahwasanya watak pandangan Islam terhadap kehidupan manusia, telah
menjadikan keadialan sosial ini sebagai keadilan kemanusiaan yang tidak
berhenti pada persoalan materi dan ekonomi semata. Bahwasanya nilai-nilai dalam
kehidupan ini adalah nilai material dan sekaligus nilai-nilai immaterial, tidak
mungkin dilakukan pemisahan antara kedua sifatnya yang merupakan satu kesatuan
yang lengkapi-melengkapi satu sama lain serta serasi, dan bukan merupakan satu
masyarakat yang penuh pertentangan dan perbedaan.”
Sebagai gerakan yang revolusioner,
radikal dan liberatif menekankan pentingnya akal, karena akal menjadikan orang
dapat berttanya dan berpandangan kritis. Membebaskan dari apa? Untuk apa? Dan
mengapa? Membebaskan dari penderitaan, takhayul, penindasan, perbudakan dan
ketidakadilan. Pembebasan untuk mengangkat harkat dan martabat manusia serta
memberikan kebebasan berpikir dan berbuat.
Dengan demikian tantangan
kemiskinan ini harus dijawab dengan membangun struktur sosial yang bebas dari
eksploitasi, penindasan dan konsentrasi kekayaan pada segelintir tangan saja.
Dalam struktur sosial yang seperti ini, terdapat nilai kebenaran yang lain
yaitu keadilan di bidang sosial, ekonomi, hokum dan politik.
Kemudian dalam bahasan lain, Asghar
Ali menuliskan, orang harus adil, walaupun bertentangan dengan kepentingan
dirinya, orang tuanya dan kerabatnya, dan keadilan tu merupakan bagian integral
dari taqwa. Taqwa bukan berarti hanya melaksanakan sholat, berpuasa, dan
menahan nafsu, tetapi juga berlaku seadil-adilnya. Dan jelas bahwa mengatasi
kemiskinan tidak dapat dilakukan tanpa berlaku adil dalam pengertian yang
sebenar-benarnya.
Sistem kapitalisme modern sangat eksploitatif,
sehingga menimbulkan struktur sosio-ekonomi yang tidak adil. Dalam struktur
yang seperti ini, tidak ada keadilan sosial, ekonomi, dan politik. Bahkan
seandainya peraturan politik yang ada tidak selaras dengan kepentingan kelas
yang berkuasa dalam masyarakat Marxian, dan tidak selaras dengan kepentingan
masyarakat banyak dalam masyarakat modern-demokratus, kita tetap saja sulit
untuk menolak hegemoni kelas kapitalis dan praktek-praktek yang eksploitatif.
Bentuk-bentuk eksploitasi sesama manusia sudah menjadi ketidakadilan yang parah
dan tidak sesuai dengan doktrin keadilan dalam Islam. Itu juga merupakan alasan
mengapa masyarakat kapitalis modern tidak dapat bekerja sama dengan Weltanshauung Islam.
Sebuah
Harapan
Ciri-ciri
yang mencakup tiga unsur dasar yang telah disebutkan Chaves diantaranya
transformasi ekonomi, demokrasi partisipatif, dan protagonis dalam lapangan
politik, dan etika sosialis berdasarkan cinta kasih, solidaritas, dan
kesederajatan antara perempuan dan laki-laki, setiap orang. (Harnecker, 2015).
Syarat-syarat
Sosialisme Religius diantaranya transdenesi, relativitas, dan harapan. Misi
Islam Kiri adalah pendistribusian kembali kekayaan Muslim di antara sesama
Muslim sebagaimana ketentuan Islam, berdasarkan pekerjaan, usaha, dan keringat.
Dan ini diberlakukan sebagai bentuk keadilan kepada muslim dan non Muslim,
semua umat, semua rakyat.
Atau
seperti gagasan Asghar Ali dengan pendekatan kiri mulai membentangkan tahapan
perjuangan Nabi dalam kerangka konfilk antar kelas sosial. Mirip dengan gagasan
Teologi Pembebasan Amerika Latin, yang memaknai pembebasan yakni; pertama,
pembebasan dari belenggu penindasan ekonomi, sosial, politik atau alienasi
kultural atau kemiskinan atau ketidakadilan. Kedua, pembebasan dari kekerasan
yang melembaga yang menghalangi terciptanya manusia baru dan digairahkan
solidaritas antar manusia. Dalam konteks ini seperti pembebasan untuk
keberpihakan, dimana kuam mustadhafin (orang-orang yang dilemahkan) mengalahkan
kaum mustakbirin (orang-orang yang sombong) agar terbangun sistem sosial yang
tidak eksploitatif. Ketiga, pembebasan dari dosa yang memungkinkan manusia
mengimbangi implementasikan semua nilai-nilai keimanan dalam tatanan sosial.
Sedangkan
gagasan Hasan Hanafi, apa yang kemudian menjadi agenda Islam Kiri? Yakni;
pertama, membebaskan tanah air dari serangan ekstra kolonialisme dan zionisme.
Kedua, kebebasan universal melawan penindasan, dominasi, da kediktatoran dari
dalam. Ketiga, keadilan sosial menghadapi kesenjangan lebar antar kaum miskin
dan kaya. Keempat, pesatuan menghadapi keterpecahbelahan dan diaspora. Kelima,
pertumbuhan melawan keterbelakangan sosial, ekonomi, politik, dan budaya.
Keenam, identitas diri menghadapi westernisasi dan kepengikutan. Ketujuh, mobilisasi
kekuatan massa melawan apatisme.
Nurcholish Madjid (2013),
menyatakan tentang prinsip-prinsip dalam agama Islam dengan kaitan semangat
sosialisme. (1) seluruh alam raya ini beserta isinya adalah milik Tuhan.
Tuhan-lah pemilik mutlak segala yang ada, (2) benda-benda ekonomi adalah milik
Tuhan (dengan sendirinya), yang kemudian dititipkan kepada manusia (kekayaan
sebagai amanah), (3) penerima amanah harus memperlakukan benda-benda itu sesuai
dengan ‘kemauan’ Sang Pemberi Amanah (Tuhan), yaitu hendaknya diinfakkan
menurut jalan Allah. (4) kesempatan manusia memperoleh kehormatan amanah Allah
itu (yaitu mengumpulkan kekayaan) harus didapatkan dengan cara bersih dan jujur
(halal). (5) setiap tahun, harta yang halal itu dibersihkan dengan zakat. (6)
penerima amanah harta tidak berhak mengunakan (untuk diri sendiri) harta itu
semaunya, melainkan harus dengan timbang rasa begitu rupa sehingga tidak
menyinggung rasa keadilan umum. (7) orang miskin mempunyai hak yang pasti dalam harta
orang-orang kaya. (8) dalam keadaan tertentu, kaum miskin berhak merebut hak
mereka dari orang-orang kaya, jika kedua ingkar. (9) kejahatan tertingi
terhadap kemanusiaan ialah penumpukkan
kekayaan pribadi tanpa memberinya fungsi sosial. (10) cara memperoleh kekayaan
yang paling jahat adalah riba. (11) manusia tidak akan memperoleh kebajikan
sebelum mensosialisasikan
harta yang dicintainya.
Asas
lain yang diuraikan Sayyid Qutbh (1994), Islam menolak menjadikan materi
sebagai imbalan bagi nilai-nilai itu dan tidak mau mengubah kehidupan ini
menjadi sekedar dinilai dengan sepotong roti, kepuasan jasmani, atau sejumlah
uang namun dalam waktu yang bersamaan memberi beban kepada setiap orang yang
tidak jarang pula melebihi kemampuan mereka, dengan tujuan melenyapkan tekanan
kehendak mereka. Islam juga mengharamkan segala bentuk kemewahan yang mendorong
manusia tertuju pada kehidupan materi, memperturutkan nafsu syahwatnya dan
menciptakan kelas-kelas yang berbeda dalam masyarakat. Dalam masalah kekayaan
ini, Islam mengatur pula hak-hak fakir miskin sesuai dengan kebutuhan mereka
dan yang membawa kebaikan bagi masyarakat, serta menjamin terwujudnya keadilan,
terpenuhinya kebutuhan dan pertumbuhan individu.
Tjokroaminoto
pun menyebutkan, “Islamisme adalah dasar dan sumber sosialisme yang sejati,
untuk menimbulkan keselamatan dunia dan keselamatan akhirat bagi segenap
kemanusiaan”.
Pada
akhirnya seperti pada umumnya, bahwa terbagi atas pesona sebuah ideologi dan
pesona pelaku penerapan sebuah ideologi. Pesona ideologi akan didukung dengan
realisasi pesona pelaku penerapan sebuah ideologi. Ketidakcapaian pesona
penerapan ideologi tidak mengurangi pesona sebuah ideologi. Tapi hal demikian
terpatri sebagai narasi. Dan akan terjadi dialetika antara negasi dan afirmasi.
Pada
asasnya ini adalah narasi. Sebagaimana gagasan Murtadha Muthahhari, “Gerakan sosial haruslah bertumpu pada
gerakan pemikiran dan kultural atau ia akan terjerumus dalam perangkap gerakan
yang memiliki landasan budaya dan luluh di dalamnya sehingga berubah arah tanpa
bisa dicegah”.
Harapan
pada narasi ini bertumpu pada ide Hamka, “Cobalah gambarkan rupa masyarakat jika ajaran seperti
ini berlaku dalam masyarakat. Ekonomi berpadu dengan budi. Dilarang yang kaya
berbuat suka hati dengan hartanya untuk pelesir, minum dan bertaruh lomba kuda
dan lain-lain. Diperintahkan yang mampu mengeluarkan bagian hartanya untuk
membantu yang miskin dan papa, yang dibantingkan oleh ombak masyarakat. Kalau
ini terjadi, pastilah hilang pertentangan kelas seperti yang ada sekarang,
pelepasan dendam yang tidak berkeputusan. Tidak ada lagi kaya terlalu kaya dan
miskin terlalu miskin, tetapi di antara yang kaya dan yang miskin ada tali
halus yang menghubungkan, tali bakti kepada Allah dalam masyarakat”. Mungkin
ini hanya sekedar imajinasi?
Atau
kiritk yang dilakukan oleh Abu Dzar. Bahkan walau baru namanya saja yang
terdengar, bagaikan terbang ke setiap wilayah Islam, dan menimbulkan rasa takut
dan ngeri di hati pihak penguasa dan golongan berharta yang berlaku curang.
Sebab, semboyan yang selalu diulang-ulangnya setiap waktu dan tempat, dan yang
selalu diingat oleh jiwa dari dirinya bagai sebuah lagu perjuangan, ialah
kalimat; “Beritakanlah kepada para penumpuk harta, yang menumpuk emas dan
perak, mereka akan diseterika dengan seterika api neraka, yang menyeterikan
kening dan pinggang mereka pada hari kiamat”.
Abu
Dzar melepaskan pandangan menyelidik ke arah orang-orang yang berkerumunan.
Dilihatnya kebanyakan mereka adalah orang-orang miskin yang dalam kebutuhan.
Kemudian, pandangannya beralih ke arah tempat-tempat ketinggian yang tidak jauh
letaknya dari sana. Tampak olehnya gedung-gedung dan kemewahan yang berlebihan.
Ia pun menyeru kepada orang-orang yang berkumpul di sekelilingnya, “Saya heran
melihat orang yang tidak punya makanan di rumahnya, mengapa ia tidak mendatangi
orang-orang itu dengan menghunus pedangnya?”
Abu
Dzar mengajarkan kepada orang-orang itu bahwa mereka tidak jauh berbeda dengan
gigi-gigi sisir. Artinya mereka semua berserikat dalam rezeki bahwa tidak ada
kelebihan seseorang daripada orang lain kecuali karena ketakwaan dan bahwa
pemimpin serta pembesar dari suatu golongan harus menjadi orang pertama yang
menderita kelaparan sebelum rakyatnya dan yang paling belakangan menikmati
kekenyangan setelah mereka. (Khalid, 2012).
Akhirnya,
harapan Teologi Qur’ani dengan keras mengecam eksploitasi, arogansi kekuasaan
dan penindasan. Al-Quran juga menegaskan janji Allah; “Dan kami hendak memberi karunia kepada orang-orang yang tertindas di
bumi itu, dan hendak menjadikan mereka pemimpin dan menjadikan mereka
orang-orang yang mewarisi (bumi)” (Q.S Al-Qashash : 28 :5).
Bahan Bacaan:
Engineer, Asghar Ali, 2009. Islam dan Teologi Pembebasan. Cetakan V.
Pustaka Pelajar. Yogyakarta.
Hamka, 2016. Keadilan Sosial dalam Islam. Cetakan Kedua. Gema Insani. Jakarta.
Harnecker, Martha, 2015. Sosialisme; Pengalaman Venezuela Amerika Latin. Resist Book. Yogyakarta.
Khalid,
Muhammad Khalid, 2012. Biografi 60
Sahabat Nabi. Penerbit Ummul Qura.
Madjid, Nurcholish, 2013. Islam, Kemodernan, dan KeIndonesiaan. Bagian
Islam dan Cita-Cita Keadilan Sosial (Halaman 123). Cetakan I Edisi Baru.
Penerbit Mizan. Bandung.
Prasetyo, Eko, 2014. Islam Kiri: Jalan Menuju Revolusi Sosial.
Cetakan Ketiga. Resist Book. Jogjakarta.
Qutbh, Sayyid. 1994. al-‘Adalah al-Ijtima’iyyah fil Islam
(Keadilan Sosial dalam Islam). Cetakan II. Penerbit Pustaka. Bandung.
Tjokroaminoto, HOS, 2010. Islam dan Sosialisme. Cetakan Kedua.
Sega Arsy. Bandung.
Posting Komentar
0 Komentar