Celoteh Novel
Karnak Café; Sebuah Realitas, Sebuah Kontemplasi
Karnak
Café; Sebuah Realitas, Sebuah Kontemplasi
M. Sadli Umasangaji
(Founder Celoteh Ide)
Novel
pada dasarnya adalah karya sastra yang merupakan cerminan dari sebuah realitas
kehidupan sosial pada masyarakat. Sastra secara mendasar telah menjadi gambaran
kehidupan, karena kehidupan itu sendiri adalah suatu kenyataan sosial. Beberapa
waktu lalu saya membaca salah satu karya Najib Mahfudz, judulnya Karnak Café.
Novel ini agak tipis memang, kurang lebih 166 halaman sudah termasuk biografi
penulisnya, Naguib Mahfudz dan ulasan dari Roger Allen.
Novel ini bercerita tentang realitas
sosial Mesir pada tahun 1960-an dan sebagian argumen atas kekalahan perang di
tahun 1967, perang dengan Israel. Novel ini bermula dari tokoh “aku” tanpa
sengaja datang ke sebuah kafe. Kemudian Kafe Karnak menjadi tempat favorit
untuk tokoh “aku”. Dalam Kafe ini pula tokoh “Aku” mulai membagi cerita tentang
beberapa tokoh utama lain dari novel ini. Diantaranya Qurunfula, Ismail
al-Syekh, Zainab Diyab, Khalid Safwan dan Hilmi Hamada, serta beberapa tokoh
pendukung lain yang silih berganti dalam uraian cerita yang diceritakan tokoh
“aku”.
Qurunfula adalah pemilik Kafe
Karnak. Seorang penari era 1940-an. Qurufunla dianggap sebagai daya pikat Kafe.
“Ketenangan jiwa yang ia pancarkan
merupakan puncak daya pikatnya. Pandangannya yang sepintas lalu tak jarang
menyapu seluruh ruangan, membuat bartender, pelayan, serta tukang bersih, tetap
berada di tempat mereka bertugas. Untuk beberapa aturan umum di Kafe, tampaknya
Qurunfula punya pengaruh cukup besar: tempat ini kecil sehingga membuat mereka
semua yang ada disini bagai satu keluarga. Ada tiga lelaki tua yang barangkali
sudah pension dari pekerjaan mereka, seorang lelaki setengah baya, dan
sekelompok anak muda, termasuk seorang gadis yang sangat cantik” (Halaman 4).
Selain Qurunfula ada pula tiga kaum
muda, Ismail al-Syekh, Zainab Diyab, dan Hilmi Hamada. Ketiga tokoh ini adalah
pemuda revolusi, pemuda yang mengagumi revolusi. Sementara Hilmi Hamada adalah
pengagum gerakan komunis, sosialisme demokratik. Beberapa tokoh utama novel
semisal Qurunfula, Ismail al-Syekh, Zainab Diyab, dan Khalis Safwan, namanya
menjadi judul BAB dari novel ini.
Perdebatan Politik dan Perseteruan
Ideologi
Dalam Kafe Karnak ini juga sering
diperbincangkan berbagai permasalahan realitas politik yang terjadi pada Mesir
waktu itu. “Di samping itu, ada rahasia lain lagi mengenai kafe ini. Dari dulu
hingga sekarang, kafe ini menjadi tempat berkumpulnya orang-orang ekstrem dan
berpandangan provokatif; baik yang berteriak keras-keras ataupun yang bicara
pelan-pelan, mereka mengekspresikan kenyataan sejarah yang ada” (Halaman 12).
Dalam hal ini menjelaskan Kafe sebagai tempat untuk memperbincangkan berbagai
hal politik dan ideologi.
“Para pemuda biasanya berkumpul di
pojok; dari tempat itu meledak antusiasme yang bakal memunculkan dentuman
besar. Sebagaimana yang mereka amati, sejarah dimulai dengan revolusi 1952.
Segala sesuatu sebelum tahun itu masih kabur dan tidak dijelaskan, “periode
kebodohan”. Mereka benar-benar anak kandung revolusi. Namun untuk mencapai
semuanya, mereka mesti berkeliaran di sekitar jalan dan gang-gang tanpa
tujuan jelas. Dari waktu ke waktu, kami kerap mendengar isyarat kaum oposisi
yang membisikan bahwa pandangan ekstrem kiri ataupun sejenisnya harus
diwaspadai, karena berada di bawah bendera afiliasi Ikhwanul Muslimin. Akan
tetapi, pelbagai pikiran semacam itu akan segera lenyap dalam kebisingan umum”
(Halaman 13). Hal ini menggambarkan perseteruan ideologi dengan pemerintah,
yang disebut sebagai pemerintahan revolusi. Ideologi itu di antara Ikhwanul
Muslimin, Sosialisme Mesir dan mungkin juga Komunis. Dan berbagai ideologi yang
berseberangan dengan pemerintah akan dilakukan penyiksaan.
Perseteruan ideologi atau pengagum
suatu ideologi juga terlihat pada tokoh dalam cerita novel ini, diantaranya
Ismail al-Syekh dan Hilmi Hamada. Tentang pribadi Ismail al-Syekh, yang awalnya
pengagum revolusi kemudian sedikit melirik pada Sosialisme Mesir. “Saat revolusi
1952 terjadi, dia telah berusia tiga belas tahun. Maka Ismail bias disebut sebagai anak revolusi” (Halaman 64).
Kemudian naratif investigas antara tokoh Aku dengan Ismail al-Syekh, “Bahwa kau
harus menjadi komuis atau anggota Ikhwanul Muslimin”, kata tokoh aku. “Tidak
dua-duanya. Aku hanya setia pada revolusi Juli 1952”, sahut Ismail. Tapi
kemudian tokoh aku menuliskan “Ismail menyatakan padaku bahwa ia mempercayai
Sosialisme Mesir” (Halaman 65).
“Namun bagaimana dengan keyakinanmu
tentang ide para sosialis sekarang?”, Tanya tokoh aku pada Ismail.
“Banyak orang antipasti terhadap
sosialisme sekaligus menganggapnya sebagai sebab kekalahan kita. Tapi yang
perlu kita sadari, tidak akan pernah ada sosialisme sejati dalam hidup kita.
Oleh karena itu, aku tetap tidak melepaskan dukunganku pada konsep tersebut,
walaupun aku sangat menyayangkan upaya pemusnahan orang-orang yang menerapkan
konsep itu sampai sekarang. Hilmi Hamada, mudah-mudahan damai di alamnya!,
benar-benar sadar akan hal ini sejak awal”, jawab Ismail
“Bagaimana bisa?"
“Dia seorang komunis”. Gambaran
Hilmi Hamada sebagai pengagum Komunis dan Ismail al-Syekh yang sedikit tertarik
pada Sosialisme Mesir. Karena penganut ideologi ini pula, dalam novel ini
menunjukkan penyiksaan dan penculikan pada kelompok pemuda ini.
Dalam BAB tentang Khalid Safwan,
banyak muncul tentang harapan dan pembicaraan tentang gagasan dan ideologi.
Pada scene ini terlihat perdebatan ideologi yang dianggap layak untuk
Mesir saat itu. “Musuh orang Arab yang paling berbahaya adalah diri mereka
sendiri”.
“Para penguasa mereka, maksudmu”
“Maksudku, barangkali lebih pada
semua sistem pemerintahannya.”
“Segalanya tergantung pada apakah
orang Arab mampu bekerja sama sebagai satu kesatuan”
“Pada tanggal 5 Juni 1967, paling
tidak sebagian orang Arab telah menang”
“Mulailah dari dalam, itu yang harus
kita lakukan”
“Benar! Setelah itu agama. Agama
adalah segalanya”
“Tidak! Komunisme adalah jawabannya”
“Bukan! Demokrasilah yang kita
butuhkan”
“Tanggung jawab harus dating dari
semua orang Arab”
“Kebebasan … Kebebasan!”
“Sosialisme”
“Mari kita sebut saja sebagai
sosialisme demokratis”
“Tidak,
reformasi harus ada lebih dulu, setelah itu baru solusinya kita temukan di masa
depan”
“Tidak, keduanya harus seiring
bersamaan”
Begitulah, dan seterusnya dan
seterusnya, tiada akhir (Halaman 133-134).
Pemuda, Realitas Sosial, dan
Intimidasi
Novel juga menggambarkan tentang
aktivitas para pemuda pada masa itu yang terlibat dalam Kafe Karnak, “Para
pemuda biasanya berkumpul di pojok; dari tempat itu meledak antusiasme yang bakal
memunculkan dentuman besar” (Halaman 13). Pojok kafe menjadi tempat pemuda di
Kafe Karnak. Pemuda-pemuda yang digambarkan diantara Ismail al-Syekh, Zainab
Diyab dan Hilmi Hamda. Pemuda-pemuda ini dengan permasalahan-permasalahannya
masing-masing yang kemudian menjadi gambaran akan realita sosial dan terjadinya
berbagai intimidasi.
Intimidasi terjadi pada orang-orang
yang berada dalam Kafe Karnak, ya ini sebagai gambaran realitas sosial Mesir
waktu itu bahwa yang berbeda dengan pemerintah, harus disingkirkan atau minimal
intimidasi terjadi. “Lalu tibalah suatu hari saat aku datang ke Kafe dan
menemukan semua tempat duduk, yang biasanya dipenuhi anak-anak muda, sepi dan
kosong. Seluruh ruangan terasa janggal, dan kesenyapan menambah suasana kian
mencekam”. (Halaman 21).
Malam tambah larut, namun tak
seorang pun muncul. Begitu pun pada malam berikutnya (Halaman 21). Sebagai
gambaran awal bahwa orang-orang yang mulai mengalami penangkapan oleh
intelijen Mesir saat itu. Terutama anak-anak muda yang berada dalam Kafe
Karnak, Ismail, Zainab dan Hilmi.
Orang-orang
lain yang menjadi ‘penghuni’ Kafe Karnak mulai membincang tentang mereka. Tokoh
Aku mengatakan saat kondisi semuanya terdiam. Setelah beberapa saat, aku berusaha
sebisa mungkin memecah keheningan. “Seluruh anak muda ini mendukung revolusi”.
Kemudian
ada yang berkata, “Dan ada sebagian kecil dari mereka menantangnya”.
“Penguasa
mengambil kebijakan memasukkan orang-orang yang mereka anggap bersalah ke
penjara, sehingga mereka juga dapat menyeret teman-teman mereka. Dengan cara
seperti itu, penyelidikan akan menjadi lengkap”.
“Hidup
dalam penjara benar-benar mengerikan”
“Segala
hal yang kau dengar mengenai apa yang menimpa para tahanan bahkan lebih
mengerikan”
“Desas-desus
perihal itu sudah cukup membuatmu mual”
Kemudian
dalam novel ini menggambarkan pemuda itu datang, hilang, muncul, dan hilang
kembali. “Lalu pada suatu sore, tiba-tiba wajah-wajah akrab yang telah lama
raib muncul kembali di ambang pintu kafe: Zainab Diyab, Ismail al-Syekh, Hilmi
Hamada dan beberapa lainnya. Sedangkan sisanya tidak akan pernah dapat kami
temui kembali”.
Kemudian
diantara orang-orang itu saling curiga satu sama lain, menjadi mata-mata bagi
yang lain. “Sekat tebal yang menghalangi telah diturunkan. Satu hal yang
berubah, mereka pernah pergi menuju sebuah misteri, rahasia yang membuat
penasaran sekaligus meninggalkan banyak pertanyaan yang tak terjawab. Selain
itu, kendatipun senda gurau serta keceriaan telah kembali, namun muncul atmosfer
baru yang melingkupi tempat ini, mirip bau aneh yang tak diketahui dari mana
sumbernya. Setiap canda yang dilontarkan memiliki banyak makna; setiap gerak
tubuh memiliki banyak arti; dan di balik setiap tatapan lugu tanpa dosa terpendam
perasaan takut”.
Kemudian
tentang intimidasi, tentang yang diceritakan tokoh Aku dalam scene Ismail al-Syekh. Tentang mengapa
Ismail al-Syekh dimasukkan ke dalam penjara?
“Saat
malam tiba”, ungkapnya. “Aku sedang tidur di sebuah bangku di lapangan. Di
musim semi dan musim gugur aku senantiasa melakukannya untuk meninggalkan
ruangan buat ayahku sendirian. Aku mendengar suara saat tidur. Pelan-pelan aku
sadar cahaya terang masuk menembus tidurku laksana mimpi. Tiba-tiba seseorang
membangunkanku dengan kasar. Aku terbangun dan membuka mata. Aku menemukan
diriku disorot tajam oleh lampu terang ke arah mataku. Aku mulai duduk”.
“Dimana
rumah al-Syekh?”, sebuah suara bertanya
“Disini”,
aku menjawabnya. “Apa yang kalian inginkan? Aku putranya, Ismail”
“Bagus”,
balas suara itu.
“Lampu
senter dimatikan dan semuanya menjadi gelap. Setelah beberapa lama, aku dapat
melihat beberapa orang”.
“Ikut
kami”
“Siapa
kalian?”
“Jangan
khawatir, kami polisi”
“Apa
yang kalian inginkan?”
“Kau
hanya perlu menjawab beberapa pertanyaan. Setelah itu kau akan pulang kembali
sebelum fajar”.
Selain
itu, dalam scene ini keterkaitan
dengan sebuah kelompok atau sebuah ideologi seakan menjadi alasan penangkapan
seseorang. Seperti perasaan Ismail al-Syekh, “Dalam kondisi seperti ini, aku
benar-benar merasa terteror. Aku mulai bertanya-tanya tentang tuduhan macam apa
yang diarahkan padaku. Aku bukanlah seorang komunis, bukan anggota Ikhwanul
Muslimin ataupun seorang feudal. Aku tidak pernah sama sekali berkata satu kata
pun yang bisa merusak kemurnian periode sejarah, yang mana aku harus memikirkan
posisiku semenjak aku mencapai masa pencerahan”.
Atau
ketika Ismail di dalam penjara dan diintimidasi oleh Khalid.
“Ia
mulai mengajukan pertanyaan tetang nama, uur, pekerjaan, yang semuanya aku
jawab.”
“Kapan
kau bergabung dengan Ikhwanul Muslimin?”
“Pertanyaan
ini mengejutkanku. Sekarang aku sadar untuk pertama kalinya mengapa mereka
menangkapku. Aku tidak pernah, walau sesaatpun menjadi anggota Ikhwanul
Muslimin”, jawab Ismail.
Bahkan
sebuah simbol semisal jenggot menjadi sebuah anggapan terhadap sebuah kelompok.
“Lalu
apa artinya jenggot itu”. Lanjutan dari intimidasi Khalid pada Ismail terkait
dugaan sebagai anggota Ikhwanul Muslimin.
“Jenggot
ini tumbuh dalam penjara”
“Maksudmu
kau disini tidak dirawat dengan baik”
“Tuan
yang terhormat. Perlakuan yang telah saya terima disini sangat mengerikan dan
sama seklai tidak adil”, jawab Ismail dengan nada memohon.
Atau
tentang dugaan terhadap sebuah sumbangan kepada masjid menjadi sangkaan. “Kita
punya bukti”, kata Khalid pada Ismail. “Namamu terekam dalam daftar karena kau
telah menjadi penyumbang dana pembangunan sebuah masjid. Meski kau tak pernah
berhubungan langsung dengan mereka”.
Bukan
hanya praduga pada Ikhwanul Muslimin, hal ini juga berlaku pada gerakan lain.
“Kami
disini mengira kau anggota Ikhwanul Muslimin…….”
“Ia
menatapku tajam. ‘Lantas kapan kau bergabung dengan komunis?’
“Kapan
kau bergabung dengan komunis?”, Khalid mengulang pertanyaannya.
Hal
yang sama tergambar dalam scene
Zainab Diyab.
“Saat
itu kami dituduh telah menjadi komunis”, kata Zainab
“Mengapa
aku ditangkap?” Tanya Zainab. “Aku tidak tahu alasan penangkapan ini”
“Ah,
tapi aku tahu”
“Lantas
apa alasannya, Tuan?”
“Ini
semua kembali kepada dua lelaki mashur itu, Marx dan Lenin”, kata Khalid
menatap tajam pada Zainab.
Perasaan
dalam penjara juga digambarkan. “Tempat apa ini? Aku meluruskan kaki dan mulai
merasakan sekelilingku. Aku bergerak perlahan. Lantainya terasa sangat dingin
untuk kaki telanjangku. Satu-satunya yang bisa aku raba adalah dinding; benar-benar
tak ada suatu apapun dalam ruangan ini. Tak ada kursi, karpet, atau benda
apapun. Yang ada hanyalah kepekatan, kekosongan, keputusasaan, dan teror. Dalam
suasana gulita dan bisu semacam ini, waktu terasa benar-benar berhenti. Aku
tidak tahu sama sekali mereka telah membawaku kemana. Aku tidak tahu kapan
kira-kira kegelapan akan menghilang atau secuil kehidupan bakal muncul dari
tempat yang diliputi kematian ini”.
“Bagaimana
makanannya?”
“Biasanya
pintu terbuka dan sebuah baki didorong ke dalam berisi beberapa potongan keju,
atau makanan asin lainnya dengan roti”.
“Bagaimana
toiletnya?”
“Setiap
hari, pada jam-jam tertentu, pintu akan terbuka lagi, dan seseorang bertubuh
besar, seukuran pemain gulat di sirkus, akan memanggilku keluar lantas membawaku
ke kakus di ujung gang. Saat aku mengikutinya, aku terus menjaga mataku agar
tetap tertutup lantaran cahayanya yang sangat terang. Aku bersusah payah
menutup pintu kakus disampingku sebelum dia berteriak keras. ‘Cepat…… dasar
anak tolol! Kau piker kau akan tinggal di dalam sepanjang hari, bangsat?’ Kau
bisa bayangkan bagaimana rasanya aku di dalam”.
Perlakuan dalam penjara pun
tergambar dalam novel ini. Ismail lantar diberi cambukan seratus kali dan
dimasukkan kembali ke dalam sel, sebuah ruang kelam yang abadi. (Halaman 97).
Atau yang terjadi pada Zainab.
Zainab memberikan padaku. Ia lantas dimasukkan ke dalam penjara dan menjadi
sasaran penghinaan sekaligus siksaan yang paling kejam, penderitaan yang hanya
seorang wanita saja sanggup benar-benar mengerti. (Halaman 112).
“Beberapa kali”, Zainab melanjutkan
kisahnya, “Aku mendongak dan melihat penjaga melirik padaku melalui lubang
intip di pintu. Apa kau paham maksud semua itu”.
“Pada batas ini ia putuskan membuat
tontonan merangsang sekaligus menciptakan gairah untuk dirinya, sesuatu yang
benar-benar melampaui batas kewajaran dan kesopanan”.
“Astaga, apa yang kau maksudkan?”,
Tanya Tokoh Aku
“Kau benar”
“Tidak!”
“Hingga tak ada sehelai benang pun
tersisa” (Halaman 115). Sebuah perlakuan amoral Khalid kepada Zainab ketika di
penjara dan saat-saat interogasi.
Dan baik Ismail dan Zainab kemudian
memilih menjadi mata-mata bekerja sama dengan Khalid, polisi rahasia. Mereka
tertindas dan memilih kalah.
“Jadi inilah cara Ismail dibebaskan
dari penjara, menjadi informan dengan gaji cukup, namun dengan nurani yang
tersiksa. Betapapun ia gigih berjuang melawan nuraninya untuk menerima
pekerjaan barunya tersebut lantaran ikatan yang kuat dengan revolusi, namun
ujungnya adalah rasa berdosa atas apa yang ia lakukan”.
Kejadian ini sebagai mata-mata juga
terjadi pada Zainab, “Akhirnya, Zaiab juga menjadi mata-mata ia ditawari
kedudukan istimewa, sekaligus diputuskan Ismail akan menjadi pion dari semua
ini. Itu artinya Zainab mesti selalu menjaga rahasia; ia diberitahu bahwa orang
yang menjadi atasannya mempunyai kekuasaan penuh atas segala sesuatu”.
Selain itu cerita-cerita dalam novel
ini, terbalut dalam kisah cinta Zainab dan Ismail. Ismail yang realitas
kehidupannya miskin dan susah. Zainab juga berasal dari ketidak-kecukupan
keluarga kemudian keluarganya menjadi cukup mapan. Tapi keluarganya tak
berkeinginan menyekolahkannya karena itu masih dianggap tabu dan menyusahkan.
Yang menyedihkan karena intimidasi
itu dan kejadian di penjara itu, Zainab akhirnya menjadi…., “Aku selalu
mengatakan pada diriku sendiri bahwa aku menjadi seorang mata-mata dan pelacur.
Itu keadaan yang aku alami manakala aku bertemu kembali Ismail”. (Halaman 118).
“Atas dasar itu, aku putuskan
menghentikan berpura-pura hidup dalam kehidupan yang terhormat, sebaliknya aku
jadi berkelakuan bagai wanita yang tidak terhormat”. (Halaman 119).
Bukan hanya itu, hal tragis juga
dialami kawan mereka, seorang ‘Pengagum Komunis’ tulen, Hilmi Hamada. Dalam scene Ismail al-Syekh. “Barangkali kau
ingin melihat temanmu, Hilmi Hamada”
“Aku melihat ke dalam. Apa yang aku
lihat benar-benar aneh. Pada mulanya aku tidak bisa melihat secara jelas, hanya
mirip lukisan surealis. Kemudian terlihat olehku Hilmi Hamada telah digantung
kakinya, diam tak bergerak, tidak tahu apakah ia masih hidup atau sudah mati”
“Ismail menceritakan pada tokoh Aku
perihal perjuangan terakhir Hilmi Hamada. Mereka bilang Hilmi meninggal di
ruang interogasi. Ia tetap bersiteguh memegang keyakinan sekaligus
pendiriannya. Jawaban yang ia berikan membuat mereka marah. Mereka memukulinya,
dan dalam kemarahan, ia mencoba membalas. Pukulan bertubi-tubi tersebut
berlangsung hingga ia pingsan, terlihat seolah meninggal”
Dan kemudian memang meninggal. Hilmi
kalah, ditindas tapi menang dalam jiwa.
Sebuah Kontemplasi
Pertama pada saat ini kita mulai
melihat kafe menjadi tempat diskusi, obrolan demokrasi sebagaimana dalam novel
ini dimana kafe sebagai latar tempat dominan dari novel. Tapi apakah kafe bisa
jadi pergumulan revolusi? Padahal kafe terlalu dekat dengan perasaan kapitalis.
Kemudian,
apa yang patut kita jadikan bahan kontemplasi? Membaca ini dengan uraian
begini. Terkenang kita pada kenangan orde baru, tahun 1998. Kenangan pada
bacaan seperti Aku dan Ikhwanul Muslimin - karya Dr. Yusuf al-Qardhawi, atau
karya Sayyid Qutbh – Detik-Detik Terakhirku.
Hari-hari kini juga kita mulai
terbayang perlakuan intimidasi dalam beberapa waktu yang lampau, beberapa
kelompok pemuda ditanggap, dicari dengan tudingan-tudingan makar. Hari-hari ini
kita juga menyaksikan ideologi dalam politik menjadi perseteruan ideologi bukan
lagi perjuangan ideologi. Maka demikian, yang dilakukan sepatutnya adalah
perjuangan ideologi bukan perang ideologi. Sebagaimana pandangan Muhammad Hatta
dalam Demokrasi Kita, menyebutkan perjuangan ideologi. Perjuangan ideologi
antar kelompok-kelompok politik jangan diartikan dengan perang ideologi.
Tiap-tiap kelompok akan mempropagandakan ideologinya kepada rakyat, tetapi
dalam propaganda itu hendaklah dijaga tertib sopan dan bersikap sebagai seorang
kesatria. Betapapun juga bedanya paham dan pendirian, pada tujuan yang
terpenting semuanya sama.
Bahwa
setiap ideologi harusnya bekerja sama bukan saling menafikan, bahwa musuh
terbesar semua ideologi adalah sikap otoritarianisme. Perlakukan penindas
kepada yang lain.
Dalam novel ini, untuk scene Khalid Safwan, tertulis, “Kita
semua secara bersamaan merupakan pelaku sekaligus korban kejahatan”.
“Di Negara kita ada beberapa tipe
orang religious. Kepentingan mereka adalah melihat agama mendominasi seluruh
ranah kehidupan—filsafat, politik, moralitas, dan ekonomi. Mereka menolak
menyerah atau bernegosiasi dengan musuh. Bagi mereka, jalan keluar yang damai
hanya bisa disepakati jika solusi tersebut benar-benar mencapai hasil yang sama
sebagai kemenangan tulus. Mereka mengajak berjuang. Apa maksudnya? Mereka semua
ada sebagai contoh, bermimpi tentang keberanian luar biasa yang dilakukan atau
bermimpi tentang pelbagai keajaiban yang turun dari surga. Mereka barangkali
mau menerima senjata dari Rusia, tapi di saat yang sama mereka juga memaki Rusia
sekaligus meminta tegas tak ada persyaratan apapun bagi mereka. Mungkin mereka
lebih suka penyelesaian damai dan terhormat yang dilakukan dengan intervensi
Amerika yang berarti akan memutus hubungan kita dengan Komunis Rusia. Lalu ada
juga kelompok Kanan dari aliran tertentu. Mereka menginginkan aliansi dengan
Amerika dan pemutusan semua hubungan dengan Rusia. Mereka akan menyambut baik
penyelesaian damai walaupun dengan semua konsesi yang menyakitkan dan memalukan
yang tak bisa dihindari. Mimpi mereka adalah menghapus rezim saat ini dan
kembali pada bentuk demokrasi tradisional sekaligus kebijakan ekonomi liberal.
Selain itu, ada juga kelompok komunis dan sosialis yang esensinya merupakan
pecahan dari kelompok serupa. Mereka hanya tertarik pada satu hal: ideologi—yang
memperkuat hubungan kita dengan Rusia. Mereka percaya bahwa kepentingan serta
kemajuan Negara akan terwujud melalui ideologi, meskipun prosesnya barangkali
butuh waktu penantian cukup panjang. Konsekuensinya, mereka akan mendukung
penyelesaian apapun yang berlabuh pada gerakan menuju Komunisme dan Rusia, baik
dengan cara damai, perang atau situasi seperti sekarang ini yang mereka sebut
‘bukan perang, bukan damai’.” (Halaman 142).
Bagaimana kita membayangkan segala
narasi ini pada kondisi kita sebagai Negara Indonesia? Kekerabatan yang dungu
pada China, kekaguman yang berlebihan pada Arab Saudi, kegilaan yang dangkal
pada Amerika. Pada suatu kondisi yang lain, orang-orang sederhana masih terus
menderita.
“Hidup
yang kita jalani ini memang menyakitkan, juga memendam sisi negatif. Bahkan
para pemuda itu, mereka mungkin hanya dianggap sampah yang dibuang dengan jijik
oleh penguasa. Kendati demikian, mereka tidak akan membutakan kami dengan
kekuasaan. Selama periode manakala Salahuddin al-Ayubi memperoleh kemenangan
besarnya dalam Perang Salib, tahukah kita hidup macam apa yang dijalani
orang-orang pinggiran di Kairo? Semasa Muhammad Ali sibuk membangun kekaisaran
Mesir abad ke 19, berapa banyak derita yang harus ditanggung para Petani Mesir?
Dan jika kita mengingat kembali seluruh peristiwa itu, muncul satu pertanyaan,
tidakkah kita bersedia memikul sedikit saja kepahitan sekaligus kesusahan dalam
proses perubahan Negara kita, Negara terkuat di Timur Tengah, untuk menjadi
Negara Sains, Sosialis, dan Industrialis?” (Halaman 27).
“Pertama, menolak total otokrasi dan
kediktatoran. Kedua, menolak tegas segala tindakan pemaksaan dan kekejaman.
Ketiga, kita harus mengandalkan prinsip kemerdekaan, opini publik, dan respek
terhadap sesama manusia sebagai nilai-nilai yang harus dipupuk sekaligus
memberikan kemajuan. Bersama mereka, keinginan kita dapat tercapai. Keempat,
kita harus belajar menerima nilai sains dan metode saintifik dari peradaban
Barat tanpa argumen apapun. Tak ada hal lain yang secara otomatis harus
diterima tanpa sebuah diskusi panjang perihal kenyataan saat ini. Dengan cara
berpikir semacam itu, kita mestinya siap melepaskan segala belenggu yang
mengikat kita, baik kuno maupun yang modern”.
Maka bayangan-bayangan dalam cerita
novel Karnak Cafe ini untuk ‘kondisi kita’ adalah bayangan lampau, era orde
baru, tapi akankah bayangan-bayangan itu hadir dalam masa kini, atau benih
bayangan itu menjadi tumbuh di masa depan? Saya kira semua gerakan baik kiri
ataupun islami harus menolak segala bentuk penindasan, kediktatoran dan
kekejaman. Karena, ya, awalnya hanyalah kepolosan yang ada, namun kekuasaan
tirani telah mengubahnya. Namun apa yang ia maksud dengan ‘mata gaib’, ‘sesuatu
yang hidup sedang sekarat’, dan ‘sebuah mikroba tak kasat mata berdenyut dalam
kehidupan’?
Dimuat juga di https://indoprogress.com/2018/10/karnak-cafe-sebuah-realitas-sebuah-kontemplasi/
Dimuat juga di https://indoprogress.com/2018/10/karnak-cafe-sebuah-realitas-sebuah-kontemplasi/
Posting Komentar
0 Komentar