Ideasi Gerakan
Tentang Dunia Kampus; Sebuah Orientasi
Sharing Alumni
Tentang
Dunia Kampus; Sebuah Orientasi
M. Sadli Umasangaji
(Founder Celoteh Ide)
Kita ini dididik untuk memihak yang
mana?
Ilmu-ilmu yang diajarkan di sini
akan menjadi alat pembebasan,
ataukah alat penindasan?
(Sajak Pertemuan Mahasiswa – WS
Rendra)
Dulu ketika panas-panas menjadi
mahasiswa, walau sebagai mahasiswa gizi kadang saya punya kebiasaan melahap
buku di luar dari buku basic kuliah
(ilmu gizi), maka bacaan novel atau buku-buku sosial lainnya senang untuk saya
gandrungi. Ada sebuah buku yang dulu saya baca, judulnya, “Menjadi Manusia
Pembejalar”. Tidak semua dalam buku ini saya setujui, tapi ada beberapa hal
yang bagi saya menarik untuk didiskusikan.
Tugas pertama manusia dalam proses
menjadi dirinya yang sebenarnya adalah menerima tanggung jawab untuk menjadi
pembelajar. Dan tugas pertama manusia sebagai pembelajar memberikan kepada kita
pemahaman bahwa itulah keunikan manusia.
Setiap manusia yang bersedia
menerima tanggungjawab untuk melakukan dua hal penting, yakni pertama, berusaha
mengenali hakikat dirinya, potensi, dan bakat-bakat terbaiknya, dengan selalu
berusaha mencari jawaban yang lebih baik tentang beberapa pertanyaan
eksistensial seperti “siapakah aku?”, “darimanakah aku datang?”, “kemanakah aku
akan pergi?”, “apakah yang menjadi tanggungjawabku dalam hidup ini?”, dan
“kepada siapa aku harus percaya?”, dan kedua, berusaha sekuat tenaga untuk
mengaktualisasi segenap potensinya itu, mengekspresikan dan menyatakan dirinya
sepenuh-penuhnya, seutuh-utuhnya dengan cara menjadi dirinya sendiri dan
menolak untuk dibanding-bandingkan dengan segala sesuatu yang ‘bukan dirinya’.
Pembelajaran
sebenarnya mendapatkan inti artinya untuk menjadi sangat manusiawi (humanis).
Melalui pembelajaran kita menciptakan kembali diri kita. Melalui pembelajaran
kita dapat melakukan sesuatu yang tidak dapat pernah kita lakukan sebelumnya.
Melalui pembelajaran kita merasakan kembali dunia dan hubungan kita dengan
dunia tersebut. Melalui pembelajaran kita memperluas kapasitas kita untuk
menciptakan, menjadi bagian dari proses pembentukan kehidupan.
Manusia adalah satu-satunya makhluk
ciptaan yang dibekali kemampuan untuk ‘belajar tentang’, agar ia dapat ‘belajar
menjadi’ dengan cara ‘belajar melakukan’. Karena tugas, tanggung jawab, dan
panggilan pertama seorang manusia adalah menjadi pembelajar. Sedangkan
pelajaran pertama dan terutama yang perlu dipelajarinya adalah belajar
menjadikan dirinya semanusiawi mungkin.
‘Belajar tentang’ erat definisinya
dengan mempelajari ‘teori-teori’ terkait sesuatu. Hasil dari belajar tentang
adalah mengetahui sesuatu. ‘Belajar melakukan’ berarti mempraktikkan sesuatu.
‘Belajar menjadi’ berarti proses untuk memanusiawikan dirinya. Belajar tentang
manusia berarti mempelajari biologi, psikologi, sosiologi, antropologi,
psikologi, filsafat, teologi, dan berbagai kajian ilmu yang meletakkan manusia
sebagai objek dan teori. Lalu ‘belajar melakukan’ berarti mencoba menerapkan
perilaku dan kebiasaan tertentu yang menurut teori hanya dapat dilakukan oleh
manusia. Dan ‘belajar menjadi’ yakni ia harus belajar dengan merenungkan
hakikat dirinya terlebih dahulu, mencari jati dirinya, menghayati keberadaannya
sebagai apa dan siapa. Belajar tentang identik dengan knowledge (ilmu pengetahuan), belajar melakukan identik dengan skill (kemampuan), dan belajar menjadi
identik dengan wisdom (ilmu
kehidupan).
Hal ini menjelaskan pendefinisian
terhadap ‘hidup untuk belajar’ dan ‘belajar untuk hidup’. ‘Belajar untuk hidup’
berarti untuk mendapatkan pekerjaan, memperoleh jabatan, dan sebagainya, maka
ia akan menjadi ‘pemburu gelar’ dan atribut-atribut simbolis kepriyayian yang
tidak esensial. Mereka akan merasa puas bila sudah diwisuda dan merasa sudah tamat
belajar. Ini membuat mereka berhenti membaca dan menulis setelah usai sekolah
atau lulus universitas. Mereka sudah dianugerahi surat tanda tamat belajar,
sudah kelar, tidak perlu belajar lagi. ‘Hidup untuk belajar’ maka ia tidak
memandang gelar atau simbol-simbol seperti ijazah dan diploma, bahkan juga
semua implikasi kenikmatan hidup yang menyertainya. Yang terpenting adalah
mengeluarkan potensi dirinya dan membuat dirinya menjadi nyata bagi sesamanya.
Dan, proses ini tidak pernah selesai hingga waktunya usai.
Tentang
Orientasi
Bila dipetakan posisi mahasiswa di
wilayah kampus. Bisa dibagi ada mahasiswa yang terfokus kepada kegiatan
akademik dengan indeks prestasi yang tinggi, mahasiswa yang sedang-sedang saja
tidak terlalu menonjol dalam akademik tapi juga tidak terlalu lemah dalam
indeks prestasi (IP), dan mahasiswa yang hedonis, masa bodoh, acuh tak acuh.
Bahkan tak bisa dinafikan bahwa tidak semua mahasiswa harus pintar secara
akademik, dan tak bisa dinafikan pula tidak setiap manusia terlahir untuk bisa
pintar secara akademik dan secara teoritis.
Akan
hal ini kita perlu menyiasati hal mendasar dalam menuntut ilmu. Pertama adalah
niat. Seorang manusia sejati, Rasulullah SAW bersabda “Sesungguhnya amal
perbuatan itu disertai niat dan setiap orang mendapat balasan amal sesuai
dengan niatnya”. Niatlah yang akan menentukan arah gerak kita semasa kita
menuntut ilmu. Dianalogikan seperti kereta api dan relnya, maka kita adalah
kereta api dan niat adalah relnya. Niatlah yang akan meluruskan kita apabila disuatu
ketika kita melenceng dari rel itu. Niatlah yang akan membuat kita perlu
merenungi masa-masa kita menuntut ilmu.
Kedua
adalah cinta. Belajar mencintai sesuatu yang kita lakukan. Belajarlah mencintai
ilmu yang sedang kita pelajari. Mungkin kita bukanlah orang yang pintar secara
akademik tapi dengan belajar mencintai apa yang kita pelajari, mungkin kita
bisa setara dengan orang yang lebih pintar secara akademik daripada kita.
Ketiga,
bagi yang Muslim perlu menyadari dirinya sebagai seorang Muslim. Menurut Sayyid
Quthb, kita harus sungguh-sungguh mencurahkan pikiran dan tenaga kita dalam
penemuan-penemuan ilmiah tapi tidak harus menjadi spesialis dalam bidangnya,
kalaupun menjadi spesialis maka itu hanyalah kebutuhan keseharian kita sebagai
manusia. Dan apabila hanya ada satu-satunya tawaran spesialisasi, maka itu
adalah akidah dan manhaj. Sayyid Quthb juga mengungkapkan “Terdapat interelasi
antara spirit keimanan dan sains. Termasuk dalam cakupan sains adalah
astronomi, biologi, ilmu fisika, ilmu kimia, geologi, kesehatan, dan ilmu-ilmu
lainnya yang erat kaitannya dengan hukum-hukum kosmis dan siklus-siklus
kehidupan. Semua ilmu tersebut bisa mengantarkan kepada pengetahuan tentang
Allah jikalau tidak dikuasai oleh hawa nafsu yang cenderung menjauh dari
Allah”.
Keempat,
menyadari bahwa yang dilaluinya adalah Rekayasa Allah. Kita bisa berasumsi
bahwa kita kuliah disini karena kemauan kita, ataupun karena kemauan orang tua
kita, atau bahkan hanya ikut-ikutan. Tapi yang perlu kita sadari bahwa semua
yang kita lalui adalah rekayasa Allah, skenario Allah, takdir Allah. Ataupun
seperti kata Umar bin Khatab, “Kita menerima sebuah takdir dengan menolak
takdir yang lain”. Ya, kuliah disini adalah sebuah ketakdiran, ya artinya kita
menerima sebuah takdir dengan menolak sebuah takdir yang lain.
Dengan
hal ini, maka kita perlu pahami bahwa orientasi dari pendidikan adalah
menghasilkan orang-orang yang ikhlas dalam belajar. Bukan pada masalah bisa
atau tidak bisa tapi pada konteks mau atau tidak mau, mencoba bersungguh-sungguh
atau tidak bersungguh-sungguh. Allah menjunjung tinggi orang-orang yang
berilmu, “...Niscaya Allah akan
mengangkat (derajat) orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang
diberi ilmu beberapa derajat…” (Q.S. Al-Mujadilah [58]: 11). Dan ada
perkataan Ulama, “Carilah
ilmu walau sampai ke negeri cina, karena sesungguhnya menuntut ilmu itu wajib
bagi setiap muslim. Sesungguhnya Malaikat akan meletakan sayapnya bagi penuntut
ilmu karena rela atas apa yang dia tuntut “. Maka pendidikan tidak
sebaiknya dijadikan sebagai ceremonial, hegemoni, rasa ambisius, dan
komersialisasi.
Menurut
Scott Smigler, “Pendidikan adalah salah satu faktor penting menuju sukses,
tidak benar bahwa menambah pengetahuan lewat pendidikan hanya membuang waktu.
Justru sangatlah mungkin untuk membesarkan kesuksesan sambil Anda mengisi ‘aki’
dengan mengikuti pendidikan. Dalam jangka panjang Anda akan mengetahui
manfaatnya”. Atau bahkan sampai pada titik bahwa seseorang menyadari bahwa
pendidikan itu tidak penting setelah ia melalui proses pendidikan itu sendiri,
ungkapan dalam film Alangkah Lucunya Negeri Ini. Tapi pada dasarnya pelajaran
itu datang karena dengan memahami bahwa semua yang dilalui adalah Rekayasa
Allah. Dan pula kata Umar bin Khatab, “Kita menerima sebuah takdir dengan
menolak takdir yang lain”.
Sekadar
Pengalaman, Sebagai Mahasiswa Gizi
Dulu semasa mahasiswa ada kutipan
yang kurang lebih bermakna, “Masa
mahasiswa adalah masa mengembangkan diri. Merugilah yang waktunya cuma dipakai
di ruang kuliah saja”.
Ketika menjadi mahasiswa gizi
banyak hal tentu yang kita pelajari, dari ilmu gizi dasar, ilmu bahan makanan,
biokimia, patologi, hingga dietetika dan pada akhirnya membuat karya tulis. Dan
tentu merasakan kuliah yang padat, ada praktek di kampus hingga praktek terkait
gizi di rumah sakit, puskesmas, dan masyarakat.
Masa
mahasiswa (muda) menjadi masa strategis untuk belajar dan mulai berkontribusi.
Ketika otak masih lebih fresh dan
idealisme masih tinggi inilah sejatinya mahasiswa (pemuda) bisa mengawali pembentukan
masa depannya. Namun demikian, masa depan itu hendaknya tidak selalu dikaitkan
dengan jabatan atau sekadar legitimasi.
Tapi yang terpenting adalah
kesadaran akan keterpaduan antara belajar tentang, belajar melakukan, belajar
menjadi, knowledge, skill, wisdom,
hidup untuk belajar dan belajar untuk hidup agar bertumbuh semakin bertanggung
jawab atas diri sendiri dan menolak pendiktean atau pemaksaan kehendak dari
apapun yang berada di luar diri. Mampu menyatakan, mengaktualisasi,
mengeluarkan, potensi-potensi yang dipercayakan Sang Pencipta akan dirinya.
Semakin berdaya, semakin merdeka, dan semakin manusiawi.
Mengaktualisasi segenap potensi
dengan mana ia diciptakan, menjadi otentik dalam arti unik dan tak
terbandingkan dengan yang apapun atau siapapun yang bukan dirinya. Ia adalah
manusia yang berproses atau belajar untuk memanusiawikan dirinya.
Dengan demikian apakah IP tertinggi
penting? Saya sebenarnya menganggap tidak terlalu penting. Bahwa IP tinggi
harusnya berkorelasi dengan kesadaran atau keminatan terhadap ilmu yang kita
pelajari. Bahwa IP tinggi tidak akan menjadikan kita pada jabatan, pada
kedudukan tertentu. Kesadaran akan belajarlah yang paling utama, bahwa dalam
kondisi apapun kita, tetap belajar pada hal apapun adalah keutamaan.
Korelasi kampus dengan pekerjaan
nanti, terinternalisasi dalam tiga bentuk; ilmuwan (akdemisi), pemikir, dan
teknokrat. Ahmad Wahib menuliskan “itu tergantung juga sampai dimana kemampuan
intelektualitas yang dimiliki intelektual tadi. Kalau dia hanya kreatif, dedikatif,
responsif, setia pada kebenaran dan akal sehat, pokoknya berkepribadian baik
tapi sama sekali kosong dari kemampuan akademis maka dia hanya menjadi orang
pencetak moral atau kepribadian. Kalau di samping memiliki kepribadian yang
indah-indah tadi ditopang oleh kemampuan akademis yang tinggi, maka dialah
orang yang paling ideal, bermoral dan berilmu tinggi”.
Bahwa nanti berapapun IP kita,
tetaplah bertumbuh. Pada akhirnya segala yang kita lalui di kampus adalah apa
yang harus kita realisasikan dalam kehidupan kerja kita. Satu kutipan baik; “Dimanapun kamu ditanam,
berkembanglah”.
Posting Komentar
0 Komentar