Ideasi Gerakan
Ideasi Gerakan KAMMI - Elaborasi Muslim Pembelajar dalam Tradisi Intelektual KAMMI
Elaborasi Muslim Pembelajar dalam Tradisi Intelektual
KAMMI
Saya
ingin beranjak dari landasan yang dituliskan Gramsci, “Tak ada organisasi tanpa
pemikiran, dengan kata lain, tanpa pengorganisir dan pemimpin, tanpa aspek
teoritis dari kesatuan teori-dan-praktik yang dalam kongkritnya terwujud dalam
strata orang-orang yang ‘berspesialisasi’ dalam elaborasi konseptual dan
filosofis”. Kata-kata ini mungkin bisa menjadi sangat multitafsir. Tapi esensi
dari inilah yang membuat bahwa sebuah organisasi pengkaderan haruslah berjalan
relevan sebagai organisasi pembelajar yang nilainya berakar dari narasi
pemikiran.
Dari ini
kita patut bertanya; berapakah luas wilayah ruang dan waktu yang diberikan
kepada setiap kita, untuk dimaknai, dihidupkan, lalu diabadikan? Ada satu
kaidah yang ditulis oleh banyak ulama, salah satunya adalah syaikh Muhammad
al-Ghazali (Matta, 2014), beliau mengatakan anta
maa kaifa tufakkir, anda akan menjadi seperti apa yang anda pikirkan.
Dengan kata lain setiap realitas yang terjadi di alam kenyataan, sebelumnya
merupakan realitas di alam pemikiran. Sebaliknya realitas yang tidak pernah ada
di alam pemikiran maka tidak akan pernah pula menjadi realitas di alam nyata. Oleh
karena itu kita ini dituntun, digerakkan dan diwarnai oleh cara berpikir kita.
Kita dapat sederhanakan bahwa tidak ada gerakan bila tak ada narasi dalam alam
naluri pikiran kita.
Kerangka Muslim
Pembelajar
Anis
Matta menguraikan beberapa hal, kerangka berpikir, wilayah tindakan, wilayah
kemungkinan, dan perasaan berdaya. Semakin luas “kerangka berfikir” itu,
semakin luas “wilayah tindakan” yang mungkin kita lakukan. Dalam mencapai
wilayah tindakan, ada yang disebut “wilayah kemungkinan”. Setiap tindakan yang
mempunyai wujud dalam pikiran kita akan segera masuk dalam wilayah kemungkinan.
Pada saat sebuah tindakan masuk dalam wilayah kemungkinan itu, kita akan segera
merasakan sesuatu. Sesuatu itu disebut sebagai “perasaan berdaya”. Yaitu
semacam keyakinan yang menguasai jiwa kita bahwa kita “mampu” melakukannya.
Keyakinan itu saja sudah memadai untuk merangsang dorongan dari dalam jiwa kita
untuk melakukannya. Landasan ini sebagai kerangka berpikir muslim pembelajar,
dimana muslim pembelajar mula-mula menumbuhkan pemikiran sebagai kerangka
berpikir, dari kerangka berpikir, kita harus menumbuhkan perasaan berdaya untuk
menguatkan wilayah kemungkinan, yang akhirnya segalanya terlihat pada wilayah
tindakan.
Dari kerangka berpikir, perasaan berdaya, wilayah kemungkinan,
dan wilayah tindakan. Untuk menjawab wilayah tindakan, kita akan beranjak pada
kebangkitan pemikiran. Anis Matta pernah menuliskan tentang Kebangkitan
Pemikiran. Kemudian tentang ‘Aqliyatul
Handasah (Pemikiran Rekayasa). Dari pemikiran rekayasa bertujuan untuk
memiliki orientasi rekayasa masa depan yang lebih menyeluruh. Maksudnya adalah
orang sanggup mendiagnosa realitas umat secara tajam, menawarkan penyelesaian
serta penentuan prioritas ‘amal islami dalam sebuah kerangka pemikiran
peradaban. Kemudian muncul Seni Merekayasa Akal-Akal Baru (‘Fannu Shina’atul ‘Uqul). Kebangkitan pemikiran merupakan fase
yang berfungsi memberi kontribusi konseptual pada proses aplikasi Islam secara
kaffah dalam konteks kehidupan modern. Kita perlu memperluas wawasan konseptual
kita tentang makna tarbiyah, sekaligus mencoba sumber-sumber pengayaan dalam
menangani seni merekayasa akal-akal baru Muslim yang memadukan dimensi
orisinalitas dan kekontemporeran.
Kemudian
kita patut berhenti sejenak dan bertanya seperti tulisan Anis Matta tentang
Al-Badailul Islamiyah; “Benarkah Islam mampu memberi yang lebih baik bagi
dunia? Mampukah kaum Muslim merealisasikan Islam dalam dunia nyata?”.
Pertanyaan itu tentu dengan mudah dapat dijawab ya. Tapi, ternyata pertanyaan
itu diletakkan dalam satu bingkai; Mampukah Islam memimpin umat manusia,
memberi sesuatu yang lebih baik, tanpa harus menghancurkan capaian-capaian
pengetahuan dan teknologi barat?
Pada
tahap keyakinan, tulis Anis Matta, bingkai itupun barangkali dapat dijawab
sederhana; bisa. Tapi, secara internal, pertanyaan itu tampaknya tidak bisa
terlalu disederhanakan. Sebab, disini, pertanyaan tidak secara an sich ditujukan kepada keyakinan.
Tapi, kepada kemampuan mengkritalisasikan keyakinan-keyakinan itu dalam bentuk
format-format pemikiran, sistem politik, ekonomi, sosial, budaya, militer,
teknologi, hubungan antar bangsa dan sebagainya. Olehnya itu, dalam gagasan
lain, Anis Matta menyebutkan tentang Pemikir Strategis. Dan menegaskan; kalau
dakwah ini merupakan proyek peradaban, sesungguhnya dakwahlah yang lebih
membutuhkan kehadiran kelompok pemikir strategis. Tentang seni untuk bagaimana
memanfaatkan berbagai disiplin ilmu untuk mencapai tujuan tertentu.
Kemudian
ada tentang syarat-syarat pemikiran adalah cara berpikir, mindset atau
paradigma tertentu yang perlu dimiliki, diantaranya paradigma engineering,
paradigma penaklukan, paradigma eksperimental, dan paradigma inovasi. Pertama,
paradigma arsitek adalah paradigma merekayasa atau mendesain segala sesuatu di
bumi sesuai dengan fungsi kita sebagai khalifah. Paradigma arsitek sebagai asas
dasar pembentukkan konseptual atau bisa jadi adalah gerakan perekayasaan ulang.
Kedua, paradigma pentalukkan menekankan kepada manusia
bahwa seluruh yang ada di bumi dalam ruang dan waktu telah ditaklukkan oleh
Allah SWT untuk dimanfaatkan oleh manusia. Paradigma pentalukkan untuk membantu
kita memahami tantangan yang kita hadapi pada saat menerjemahkan wahyu ke dalam
realita. Ketiga, paradigma eksperimental yakni paradigma untuk senantiasa
belajar dari pengalaman empiris di masa-masa sebelumnya. Sebentuk kesadaran
seorang Muslim untuk belajar dengan cara memadukan pengetahuan teoritis dengan
pengalaman langsung dirinya maupun orang-orang terdahulu. Keempat, paradigma
inovasi, yakni gabungan antara norma yang kita yakini dan pengalaman yang kita
alami. Dari ini akan memunculkan apa yang disebut oleh Imam al-Ghazali sebagai
Pengetahuan Ketiga.
Sebagai
kerangka muslim pembelajar dalam tradisi intelektual KAMMI membentuk pemikiran
rekayasa, pemikir strategis, dan paradigma eksperimental dan pengetahuan ketiga
untuk menjawab tantangan konsep Islam alternatif (al-Badailul Islamiyah) yang
semuanya berakar pada ruh dan pemikiran. Karena ada satu kesadaran yang patut
ditumbuhkan bagi KAMMI, selain tentang pemikiran, kita meyakini bahwa satu
kaidah bahwa pada saat sebuah peradaban sedang naik, maka sesungguhnya
peradaban tersebut sedang dikendalikan oleh ruh. Sementara ketika peradaban
berjalan mendatar maka yang mengendalikannya adalah rasio (akal) dan ketika
peradaban sedang menukik turun, maka berarti ia sedang dikendalikan oleh
syahwat. Peradaban dalam grafik naik berarti juga memperlihatkan rasio
perbandingan antara sumber daya dan produktivitas. Pada saat kita dikendalikan
oleh ruh maka produktivitas kita pun jauh lebih besar dari sumber daya yang kita
miliki. Sedangkan grafik mendatar menunjukkan bahwa ketersediaan sumber daya
berbanding lurus dengan produktivitas kita atau dengan kata lain berimbang. Sementara
grafik menurun, memperlihatkan gambaran bahwa produktivitas kita jauh lebih
rendah dari ketersediaan sumber daya yang ada.
Asumsi Spesialis dan
Generalis
Dalam
pembahasan ini sebenarnya sebagai pengokohan dalam asumsi tradisi KAMMI. Dalam
hal ini adalah asumsi saya untuk tradisi KAMMI sebagai Muslim Profesional.
Pertama, tentang tradisi ilmiah yang dituliskan Anis Matta. Kedua, tentang
definisi intelektual dalam pandangan Edward W Said.
Anis Matta
menuliskan secara
(populis) mengenai tradisi ilmiah yang kokoh, yang merupakan salah satu faktor
yang dapat mengubah keragaman menjadi sumber produktivitas kolektif kita, tidak
hanya ditandai oleh ciri di atas. Ia juga ditandai oleh banyak ciri. Pertama, berbicara atau bekerja
berdasarkan ilmu pengetahuan. Kedua,
tidak bersikap apriori dan tidak memberikan penilaian terhadap sesuatu sebelum
mengetahuinya dengan baik dan akurat. Ketiga, selalu
membandingkan pendapatnya dengan pendapat kedua dan ketiga sebelum menyimpulkan
atau mengambil keputusan. Keempat,
mendengar lebih banyak daripada berbicara. Kelima, gemar membaca dan secara sadar menyediakan waktu khusus
untuk itu. Keenam, Lebih banyak
diam dan menikmati saat-saat perenungan dalam kesendirian. Ketujuh, selalu mendekati permasalahan
secara komprehensif, integral, objektif, dan proporsional. Kedelapan, gemar berdiskusi dan
proaktif dalam mengembangkan wacana dan ide-ide, tapi tidak suka berdebat kusir.
Kesembilan, berorientasi pada
kebenaran dalam diskusi dan bukan pada kekenangan. Kesepuluh, berusaha mempertahankan sikap dingin dalam bereaksi
terhadap sesuatu dan tidak bersikap emosional dan meledak-ledak. Kesebelas, berpikir secara sistematis
dan berbicara secara teratur. Keduabelas,
tidak pernah merasa berilmu secara permanen dan karenanya selalu ingin belajar.
Ketigabelas, menyenangi hal-hal
yang baru dan menikmati tantangan serta perubahan. Keempat belas, rendah hati dan bersedia menerima kesalahan Kelima belas, lapang dada dan toleran
dalam perbedaan. Keenam belas,
memikirkan ulang gagasannya sendiri atau gagasan orang lain dan senantiasa
menguji kebenaran. Ketujuh belas,
selalu melahirkan gagasan-gagasan baru secara produktif.
Disisi lain, kita perlu
mengulas asumsi Edward W Said sebagai kerangka tradisi intelektual KAMMI.
Pertama, representasi intelektual dengan gambaran dari Julien Benda, yaitu
semua orang yang kegiatan utamanya bukanlah mengejar tujuan-tujuan praktis,
tetapi mencari kegembiraan dalam mengolah seni, ilmu, atau renungan metafisik.
Mereka adalah para ilmuwan, filsuf, seniman dan ahli metafisika yang mendapat
kepuasaan dalam penerapan ilmu pengetahuan bukan dalam penerapan
hasil-hasilnya. Asumsi Benda menggambarkan para cendekiawan zaman dulu adalah
moralis yang kegiatannya merupakan perlawanan terhadap realism massa. Kedua,
asumsi Gramsci pada intelektual organik. Bahwa semua manusia mempunyai potensi
untuk menjadi kaum intelektual, sesuai dengan kecerdasan yang dimiliki dan
dalam cara menggunakannya. Tetapi tidak semua orang adalah intelektual dalam
fungsi sosial. Kemudian Gramsci mencenderungkan kepada kaum intelektual
“organik”, unsur pemikir dan pengorganisasi dari sebuah kelas sosial
fundamental tertentu. Kaum intelektual organik ini dapat dengan mudah dibedakan
melalui profesi mereka, yang mungkin menjadi karakteristik pekerjaan kelas
mereka, bukan melalui fungsi mereka dalam mengarahkan gagasan aspiras kelas
organik mereka.
Kemudian Said, memberi
batasan yang cukup ideal. Ia mendefinisikan intelektual adalah individu yang
dikaruniai bakat merepresentasikan, mengekspresikan serta mengartikulasikan
pesan, pandangan sikap dan filosofi. Ketika mengaktualisasikan bakat itu sang individu
senantiasa termotivasi untuk menggugah rasa kritis orang lain. Dengan demikian
orang akan berani menghadapi ortodoksi, dogma serta gampang lagi dikooptasi
pemerintah atau korporasi. Bahwa intelektual adalah seseorang yang bertalenta
mengkomunikasikan ide emansipatoris dan mencerahkan. Disini ketajaman nalar
serta kemampuan merepresentasikan gagasan dan pemikiran kepada publik merupakan
ciri utama namun ia selalu aktif bergerak dan berbuat. Dalam merepresentasikan sesuatu, tulis Said, intelektual
sekaligus juga merepresentasikan dirinya. Maksudnya, gagasan dan buah pikiran
lain yang disajikan kepada khalayak mencerminkan keyakinan serta nilai-nilai
anutannya sendiri.
Dengan asumsi ini, Said mengemukakan tentang generalisasi
ketimbang spesialisasi. Dengan penyikapan seperti ini lingkung jelajah seorang
cendekiawan menjadi tak terbatas. Ia senantiasa siap masuk ke wilayah dimana
dehumanisasi serta penekukan akal sehat berlangsung. Tak ada ranah yang pantang
ia masuki. Keterlibatan di pelbagai lapangan kemanusiaan sekaligus membuat
dirinya sulit untuk tampil sebagai seorang spesialis. Realitas inilah yang
membuat Said perlu membedakan seorang profesional dengan seorang amatir. Dengan
menjadi generalis, sulit bagi seseorang untuk mengklaim diri sebagai profesional. Inilah argumen Said menyebutkan dirinya hanya seorang
amatiran (generalis). Baginya, spesialisasi hanyalah formalistik yang tak
selalu berbicara tentang kapabilitas. Sementara itu seorang amatiran tak punya
rasa malu dan melakukan sesuatu karena mencinta dan ingin mengetahui. Bukan
karena mempunyai. Disisi lain melengkapi ini, Said mengemukakan, kepaduan
ucapan dengan tindakannya serta keselarasan berkata untuk menanggung resiko
terpahit demi kebenaran yang diyakininya, adalah sikap intelektual.
Kolaborasi Muslim
Pembelajar dan Muslim Profesional; Ranah Melampaui Politik
Pada
bahasan sebelumnya saya memang memihak kepada intelektual dalam konteks
amatiran sebagai bahasan Said. Tapi dalam kesadaran ini, saya ingin menumbuhkan
tentang kita membutuhkan muslim profesional yang menghadirkan naluri amatiran.
Ia yang menempuh segala bentuk pendidikan formal yang mampu ia lalui dan
memadukan pada naluri alamiah sebagai rasa amatiran (seorang amatiran tak
punya rasa malu dan melakukan sesuatu karena mencinta dan ingin mengetahui).
Asumsi
profesional ini adalah aras melampaui politik dalam tubuh KAMMI. Dalam
pembahasan-pembahasan kini lebih disebut sebagai diaspora dalam tubuh KAMMI.
Diaspora profesional adalah keharusan dalam aras perkembangan pengkaderan KAMMI
sebagai nilai kultural. Setidaknya
dalam Manifesto KAMMI Untuk Indonesia adalah gambaran output berdasarkan
paradigma. Pertama, Sebagai gerakan dakwah tauhid, KAMMI akan mencetak para
pendakwah dan pengkaji-pengkaji agama yang mampu mencerahkan dan membebaskan
umat dari masalahnya saat ini. Kedua, Sebagai gerakan intelektual profetik,
KAMMI akan mencetak para pemikir, sastrawan, novelis, penulis, dan ilmuwan yang
ulung, yang memiliki semangat perubahan dan dipandu oleh moralitas agama.
Ketiga, Sebagai gerakan sosial independen, KAMMI akan mencetak aktivis sosial,
advokat, dan agen-agen pemberdayaan yang mampu memecahkan persoalan riil rakyat
serta memberdayakan mereka menjadi masyarakat yang mandiri. Keempat, KAMMI akan
mencetak politikus, demonstran, ahli-ahli hukum serta ahli-ahli politik yang
mampu memperjuangkan aspirasi masyarakat tanpa harus terikat pada kepentingan
politik apapun.
Kembali pada intelektual sebagai
peneguhan tradisi KAMMI, menurut Chomsky, intelektual merupakan formasi khusus
dalam masyarakat industri modern. Dalam tradisi Marxis-Leninis, mereka menjadi
‘pengawal partai’ yang merekonstruksi masyarakat atas nama kepentingan kaum
proletar, sedangkan dalam negara kapitalis, kaum intelegensia ini mengembangkan
teori bahwa kekuasaan harus dialirkan ke tangan mereka yang berbakat atau
terlatih khusus dalam mengorganisir dan mengontrol proses sosial dan ekonomi.
Mereka ini disebut Chomsky sebagai ‘intelegensia ilmiah’. Realitas di dalam
masyarakat industry modern ini sebenarnya, kata Chomsky, sudah diperkirakan
Bakunin. Bakunin memperkirakan dalam negara sosialis ‘birokrasi merah’ dan
‘kelas baru’ akan menciptakan otoritarianisme paling depostik dan buas,
sedangkan dalam kapitalisme negara, intelegensia akan ‘memukul orang dengan
tongkat orang itu sendiri’.
Menempatkan muslim pembelajar
sebagai muslim profesional dalam tradisi KAMMI berarti membuat pilihan pada dua
aras; menjadi intelektual organik dalam arti Gramsci yang menyuarakan
kepentingan sebuah kelas atau gerakan ideologis di satu pihak dan di pihak lain
menjadi filsuf moralis ala Julien Benda. Tapi semuanya tetap pada satu hulu;
mereka terlibat langsung dalam soal-soal kemasyarakatan. Yakni berpihak
terhadap kelompok lemah yang tak terwakili.
Sebagaimana
asumsi Said, intelektual itu tidak netral atau bebas nilai sebaliknya mereka
harus berpihak. Yakni terhadap kelompok lemah yang tak terwakili. Menurut Said,
hidup naluri intelektual pada hakikatnya adalah mengenai pengetahuan dan
kebebasan. Pertanyaan dasar yang diajukannya adalah “Bagaimana orang mengatakan
kebenaran? Kebenaran apa? Bagi siapa dan dimana? Maka ia tidak dapat menjadi
milik siapa-siapa.”
Tradisi KAMMI
dalam diaspora profesional menumbuhkan tentang profesionalis dengan naluri
generalis sebagai intelektual yang berpihak. Sebagaimana Sayyid Qubth
menuliskan, “Para penulis sebenarnya bisa berbuat banyak. Tetapi ada satu
syaratnya: mereka mati agar pikirannya dapat hidup. Pikiran mereka itu harus
diberi makan dengan daging dan darah mereka sendiri. Mereka harus mengatakan
apa yang mereka percayai benar, dan mereka mau menyerahkan darah mereka sebagai
tebusan dan kebenaran itu. Pemikiran dan kata-kata kita tetap akan merupakan
mayat yang kaku, sampai kita mau mati untuk kepentingannya dan kita sirami ia
dengan darah kita. Lalu ia tumbuh menjadi hidup, dan hidup diantara orang-orang
yang hidup”.
Kemudian kita
patut membayangkan tentang diaspora itu sebagai akumulasi gerakan. Kini mereka
menyebut kolaborasi. Akumulasi gerakan antara kader KAMMI dan orang-orang yang
pernah membersamai KAMMI. Akumulasi inilah yang akhirnya membentuk lapisan
diaspora KAMMI. Lapisan inilah yang harusnya menjadi Identitas Kolektif KAMMI.
Lapisan ini pula yang harusnya menyongsong dalam membentuk pemikiran rekayasa,
pemikir strategis, dan paradigma eksperimental dan pengetahuan ketiga untuk
menjawab tantangan konsep Islam alternatif (al-Badailul Islamiyah). Tapi apakah
akumulasi gerakan akan sekedar imajinasi? Tentu kita sendiri sebagai orang yang
pernah membersamai KAMMI-lah yang patut menjawab. Agar narasi kita tumbuh
menjadi hidup dan hidup diantara orang-orang yang hidup.
Posting Komentar
0 Komentar