Orang-Orang Sederhana
Orang-Orang Sederhana - 3 - Desa W
Serial Orang-Orang Sederhana
M. Sadli Umasangaji
(Founder Celoteh Ide)
(Founder Celoteh Ide)
3
Desa W
Desa
W, terletak berjarak dengan desa yang lain yang ada di Kabupaten HT terutama
dalam kota kecamatan ini. Desa W yang paling jauh dari pusat pemerintahan di
kabupaten itu di antara desa lain yang di dalam kota kecamatan ini. Tapi tentu
desa W punya pemerintahan desanya sendiri.
Desa W terdiri dari 2 agama, Muslim
dan Nasrani. Dalam desa yang kecil itu, kepluralan tumbuh subur, bukan sekedar
toleransi. Ada masjid, ada pula gereja. Mereka membangun sama-sama. Saling
gotong royong. Dan gotong royong bukan sekedar slogan.
Tapi kalau kita keluar dari Desa W
kita akan tersajikan sebuah pandangan dulunya hijau. Pandangan alam nan indah.
Tapi sekarang kau juga akan lihat berwarna kecoklatan. Warna hasil perusahan
tambang.
Kalau menuju desa W, kita harus berjalan
beberapa kilo meter, kita akan dapati genangan air kalau musim hujan. Kalau
tidak hujan pun tetap ada genangan air. Ada ikan air tawar. Seperti Ikan
Mujair, Ikan Kobos, dan sejenisnya. Pak Hamid sering pula mancing. Sekedar
memenuhi kebutuhan laut hewani dalam sajian makanan keluarga.
Sebelum masuk desa W ada pula sebuah
café. Ya café sampai ada tempat begituan. Pernah ditemuilah kasus gizi buruk
karena bapaknya terkena HIV. Miris memang. Tapi ini hanya pinggiran masalah
dari ujung desa W.
Masuk desa W kita akan lihat
beberapa rumah yang masih terbingkai, oh maksudnya berdinding papan. Masih
berlantaikan tanah. Sulit kita lihat berlantaikan keramik. Atau lebih sederhana
semen kasar istilahnya disini. Kalau tidak semen kasar ya berlantaikan tanah.
Desas desus disini banyak gizi
buruk. Ada yang terlacak, ada pula yang tidak. Sekali lagi gizi buruk. Sebuah
penyakit pada anak. Dampak langsungnya tentu karena kurangnya asupan dan juga
bisa jadi karena disertai penyakit penyerta. Secara tidak langsung bisa jadi
karena pola asuh orang tua, ketersediaan pangan di tingkat keluarga, dan tentu
pula kesehatan lingkungan. Tapi luas lagi tentu dalam wilayah cakupan Negara
dan pemerintah. Dari daya beli, akses pangan, akses informasi, dan akses
pelayanan. Kemiskinan, Ketahanan Pangan dan Gizi, dan terjangkaunya pendidikan.
Di tingkat sensitif, pembangunan ekonomi, politik, sosial dan budaya. Dan di
Negara berkembang, kasus gizi buruk akan merayap ke berbagai penjuru desa.
Apalagi desa itu sulit dijangkau, penduduknya masih tergolong orang-orang
sederhana. Maka menjadi sasaran ampuh bagi gizi buruk.
Bukan hanya itu, pernah karena
kondisi yang begitu sederhana, ada seorang nenek yang rela memberikan air
belimbing pada cucunya yang masih bayi. Bapak si anak pergi, merasa tak perlu
lagi bersama, hilang di telan bumi, tak lagi sudi memberi tanggungan, tak lagi
sedia bahwa ia adalah yang bertanggung jawab. Ibu si anak karena gengsi atau
memang karena niatan hidup lebih baik ke depan, melanjutkan pendidikannya di
Kota lain. Melanjutkan kuliahnya yang sebelumnya ditinggal sejenak untuk
melahirkan di kampung, di desa W. Dengan sangat terpaksa, dengan kondisi yang
melarat, sang bayi dirawat neneknya. Bayi itu di umur tiga bulan mulai
menderita gizi buruk. Kadang dengan keterpaksaan diberilah air gula, atau
kadang diberi teh, karena susu terlalu sulit untuk dijangkau. Si nenek
sehari-hari hanya pencari ikan kecil, ikan ngafi, ikan teri, kemudian dijual
kembali dengan harga yang tidak juga bisa disebut mahal.
Bukan hanya teh atau air gula,
kadang diberi air belimbing. “Air belimbing bisa bikin batuknya bayi hilang”, pikir
mereka. Ada pula yang berpikir, “Air belimbing bikin bayi hilang sakit
perutnya, berak-beraknya hilang”. Padahal tahulah kita, dalam kondisi bayi mana
baik diberikan air belimbing. Mereka memberi air belimbing karena terpaksa, tak
ada yang tahu.
Suatu waktu si bayi juga bahkan
dijaga oleh anak yang berumur lima tahun karena si nenek mencari ikan. “Kalau tong (kita) tra (tidak) mencari ikan
akan mau dapat doi (uang) bagaimana, me s tra mancari sudah ni (akan sudah
tidak ada kerja ini)”.
Penghuni desa W biasanya punya mata
pencaharian sebagai petani, nelayan, dan juga pemukul batu. Akhir-akhir ini
mulai ada anak-anak yang mulai dewasa kemudian menjadi birokrat di pemerintah
desa bahkan juga kabupaten.
Pak
Hamid menjadi pemukul batu tapi lebih sering juga melaut dan bila kabong
(kebun) kelapa, atau sedikit cengkehnya panen maka ia menuju ke kabong (kebun).
Orang-orang yang menghadapi kerasnya hidup. Orang-orang yang penuh kemelaratan
tapi menolak pada nasib yang menindas. Orang-orang yang dalam serba sederhana
tapi masih penuh syukur.
Awal
munculnya tambang di sekitaran desa W. Pak Hamid termasuk yang menolak. Dengan
alasan tambang hanya merusak alam. Selain itu pelaku tambang membeli tanah
dengan harga memaksa. Pak Hamid menolak. Tapi apadaya, kedigdayaan perusahaan
memang kuat. Membuat orang menyerah, lobi-lobi pada pemerintah kabupaten hingga
pemerintah desa berjalan mulus, bahkan juga dengan iming-iming gaji besar bagi
karyawan, dan karyawan disebut diambil kebanyakan dari penduduk desa W.
Ditambah lagi sebagian tanah bagi orang tertentu dibayar mahal, bagi orang
tertentu pula dibeli dengan harga paksaan. Pak Hamid adalah orang yang diancam
pemerintah desa, dan orang-orang sewaan dari perusahaan. “Dasar penindas.
Seenaknya menindas orang-orang kurang mampu. Tak tahu bahwa hidup ini penuh
kemelaratan. Dan orang-orang yang hanya peduli atas tumpukan harta dan hanya
urusan perut datang merusak-rusak alam desa. Dengan dalih biar ekonomi maju”.
Pak
Hamid masih terus memecahkan batu-batu besar kemudian menjadi batu-batu yang
lebih kecil. Tubuhnya penuh keringat. Walaupun begitu Pak Hamid selalu tak lupa
bersujud ketika suara panggilan sholat terdengung di telinganya saat suara itu
keluar toa dari masjid desa.
Atau
terkadang Pak Hamid menerka panasnya matahari, sekali-sekali melihat
bayangannya dari terik matahari. Kemudian di tengah pekerjaan memukul batu, dia ke rumah kabongnya dan melakukan sholat sejenak. Kalau matahari mulai tenggelam, maka
ia akan bergegas pulang. Mempersiapkan diri menuju Rumah Allah sembari
merendahkan diri sebagai seorang hamba. Kadang-kadang ia akan menjadi pemimpin
bagi orang-orang desa dalam sholat.
“Orang-orang
Islam itu harus melawan penindasan. Karena kemiskinan bukan sekadar takdir.
Islam tidak menjadikan kita miskin ataupun melarat. Tapi dalam kondisi apapun
kita sebagai insan beragama tentu harus mensyukuri segala nikmat yang Allah
berikan kepada kita. Dan rasa syukur itu patut kita wujudkan melalui ibadah”,
Pak Hamid masih membayang kejadian perlawanannya beberapa tahun lalu.
Kini
semua seperti adanya. Keluar desa W jauh tertampak disana bekas-bekas pekerjaan
tambang. Tanah kelihatan tandus. Atau tidak hanya itu karena perusahaan akhirnya
banyak orang mulai berdatangan, penduduk desa yang ramah, diberi warna gelap
dengan kafe-kafe yang penuh kegelapan. Salah satu induk masalah sosial mulailah
gentayangan. Kadang yang kita khawatirkan bukan hanya penindas berwajah
borjuis, tapi penindas kecil yang dengan keras menindas yang lebih kecil.
Posting Komentar
0 Komentar