Serpihan Identitas


Serial Novel Serpihan Identitas
M. Sadli Umasangaji
(Founder Celoteh Ide)



Serpihan Identitas

5







 

“Mari jamaah sholat Isya setelah sholat sunnah rawatib ikut ta’lim bersama-sama untuk hidupkan sunnah Nabi”, kata seorang pria berjenggot dan menggunakan jubah panjang berwarna biru.

 

Setelah selesai sholat sunnah. Orang-orang berjubah ini berkumpul di depan, sambil duduk berdekat-dekatan.

“Mari duduk rapat-rapat”

“Hidupkan sunnah, hidupkan sunnah, duduk rapat-rapat”

Salah seorang dari mereka maju di depan, memberi ta’lim.

“Tuan-tuan sesungguhnya dunia ini fana. Kita sedang berada di masjid tuan-tuan ini, untuk sedang keluar 3 hari. Tuan-tuan sekalian, sesungguhnya Allah kuasa, makhluk tidak kuasa. Tidak sembah kepada makhluk, hanya kepada Allah. Tuan-tuan sekalian hidup ini hanya sementara. Maka kita patut bertanya apa bekal kita”, salah seorang berjubah ini, berjubah warna coklat, bercakap-cakap di depan.

“Pertama, keimanan kita, hanya kepada Allah kita menyembah, hanya kepada Allah kita mengharapkan ridho, hanya kepada Allah pula kita mengharap segalanya bukan kepada makhluk”

 

Teman-teman berjubah lain, duduk sambil rapat-rapat, ada yang saling memijat belakang temannya lain.

“Tuan-tuan, kedua adalah ibadah kita, sudah seharusnya kita menjaga sholat lima waktu kita, sholat tepat waktu. Kita saling mengingatkan dalam menjaga sholat. Meningkat sholat sunnah yang lain, sholat malam. Sholat adalah amalan kita yang nanti tanya oleh Rabb-kita saat kita berhadapannya kelak nanti. Seperti kata Ulama mencontohkan, burung, ayam, dan hewan lain itu hidup asal hidup, kalau mereka yang asal hidup seperti kadang butuh bekal. Mengapa kita manusia yang bukan sekedar hidup asal hidup tidak membutuhkan bekal di akhirat nanti?”

 

“Benar ya Allah, benar ya Allah, benar ya Allah”, yang berjubah yang lain menyahut demikian.

 

Yang berjubah di depan ini melanjutkan, “Yang kita sibukkan hanya bagaimana rumah kita, bagaimana kenderaan kita, bagaimana harta kita. Hidup hanya untuk itu. Astagfirullah”

 

“Benar ya Allah, benar ya Allah, benar ya Allah”, yang berjubah yang lain ikut kembali menyahut.

 

“Ketiga, tuan-tuan, adalah muamalah. Kita seharusnya masuk kantor, bila kerja kantor, masuk jam 08.00 pagi sesuai waktu masuk dan pulang sesuai jam pulang, 16.00. Kita harus bekerja sesuai dengan kaidah-kaidah dan aturan-aturan yang ada”

 

“Keempat, tuan-tuan, ini yang penting. Usaha. Usaha dakwah yang dilakukan Nabi dan para sahabat. Tuan-tuan bagaimana para sahabat dulu berjuang dalam dakwah. Maka para ulama kini melihat yang tepat untuk menghidupkan masyarakat kembali bukan politik, bukan ekonomi, tapi dakwah tuan-tuan. Para ulama menginfakkan waktunya 3 hari dalam sebulan, 40 hari dalam satu tahun, dan 4 bulan seumur hidup. Untuk dakwah tuan-tuan. Mengajak orang sholat. Khuruj fhi shabilillah. Ini dakwah para Nabi lakukan tuan-tuan. Bahkan mereka lebih banyak meluangkan waktu tuan-tuan. Mari kita sama-sama keluar di jalan dakwah. Kami disini sedang keluar 3 hari. Mengajak-mengajak saudara-saudara Muslim kita yang lain untuk sama-sama menguatkan ibadahnya. Dibalik sunnah ada kejayaan. Mari tuan-tuan kesankan dalam hati, niat amalkan dan sampaikan”. Orang berjubah ini mengakhiri, kemudian diantara mereka saling bersalaman. Melanjutkan program kata orang-orang berjubah ini lagi.

 

Usamah ada diantara mereka. Ia sholat di masjid yang kebetulan mereka sedang khuruj. Ia kemudian berpikir, “Kita berjamaah walau tak serumah”. Me’liberal’kan pemikiran Islamnya, membebaskan tanpa fanatik dalam rumahnya, atau kelompoknya. Hanya dalam harakah, berbagai harakah Islam. Berbagai gerakan dakwah. Liberal berarti menerima semua pikiran tanpa harus membenarkan pikiran-pikirannya sendiri, menghargai berbagai gerakan Islam, menerima pandangannya. Dengan begitu bentuk penerapan liberasi, karena Allah-lah adalah tuhan kita, dan kelompok hanyalah sarana.

 

#

            “Umat manusia secara umum sudah jauh dari pemahaman dan pengertian tentang esensi dari nilai-nilai Islam itu sendiri, tidak lagi sekedar jauh dari etika Islam, aturan Islam dan syariat Islam”

“Oleh sebab itu, pergerakan Islam harus berangkat dari pengertian sebagai gerakan untuk menghunjamkan kembali akidah Islam ke dalam hati dan pikiran setiap individu Muslim”, jelas Said. Di waktu itu Said sedang memberikan materi dalam diskusi tentang “Islam dan Gerakan”.

            “Gerakan berikut, gerakan Islam akan melakukan pembinaan kepada siapupun yang mau menerima dakwah dan pemahaman yang benar, dengan pola-pola pendidikan Islam yang baik”, lanjut Said.

            “Akan tetapi pergerakan ini harus berangkat dengan misi menyelamatkan masyarakat, rakyat, dan pemimpinnya secara bersama-sama”, Said menjelaskan kurang lebih mirip dengan konsepsi pergerakan berdasarkan pemikiran Sayyid Qutbh. Sayyid Qutbh adalah seorang ideolog Ikhwanul Muslimin. Sebuah organisasi yang lahir di Timur Tengah.

            Usamah dan Said adalah dua kader yang tergabung dalam organisasi Kepemudaan Islam Indonesia. Usamah bertipikal lebih terbuka menerima segala pemikiran Islam. Sedangkan Said lebih terlihat terfokus pada pemikiran-pemikiran Islam dengan ideologi Ikhwanul Muslimin.

            Setelah menyelesaikan penyampain materi diskusi itu di teman-teman Pengurus Komisariat, Said balik ke sekretariat. Said dan Yusuf adalah Pengurus Daerahnya. Di sekretariat Said bertemu dengan Dawam. Dawan tentu bertipikal berbeda, jauh lebih terbuka dari Yusuf, bukan hanya dalam pemikiran Islam tapi juga dalam gerakan pemikiran lain.

            Saat di sekretariat, Dawam sedang membaca Bumi Manusia karya Pramoedya.

“Akh, tidakkah antum memilih membaca buku ikhwan atau Islam yang lain?”, Said dengan muka agak heran pada Dawam.

“Bukankah itu buku komunis? Bukankah itu buku Pramoedya?”

“Afwan akh, ana bukan suka dengan Komunis. Dan tidak tertarik pada komunis. Ana hanya penikmat sastra”, Dawan sambil tersenyum kepada Said.

Dawan bukan menyukai Komunis. Atau pemikiran Sosialis. Dawam hanya senang membaca karya sastra. Hampir semua karya sastra berbentuk novel dilahap oleh Dawam. Dari novel Islami, konspirasi, hingga sastra realisme-sosialis pun ia tertarik. “Seseorang yang tanpa mencintai sastra walau ia mencapai gelar kesarjanaan apa saja, ia hanya sekedar seongkok daging yang pandai. Sastra adalah lukisan dalam bahasa. Selalu menyentuh bila terjerembab dalam sastra, apapun ideologi sastranya”. Ini alasan normatif yang membuat Dawan juga tertarik dengan Pramoedya Ananta Toer.

            Terkadang identitas menjadi kata bisu bagi mereka. Bahkan bagi setiap kader yang terlibat dalam organisasi Kepemudaan Islam ini. Ya, bagi Dawam segala harus berbentuk kepada Sifat bukan identitas. Bila kita memiliki Identitas tapi tidak memiliki Sifat maka sama saja. Tapi apakah kita hanya dapat mendefinisikan Identitas dalam tahapan organisasi saja dengan segala bentuk pergerakannya. Sedangkan Sifat sebagai bentuk moralitas yang berbasis kepada akidah. Sebuah bentuk pendalaman ideologi. Tentu sifat jauh lebih penting dari identitas. Baiknya memiliki identitas dan memiliki sifat tentunya.

            Inilah cobaan dalam gerakan Kepemudaan Islam. Terlebih ketika bergabung dengan berbagai organisasi lain di luar ideologi. Bagi Dawam, “Proses interaksi antara nilai-nilai yang diyakini atau agama dengan manusia yang menjadi pelaku ruang dan waktu tertentu. Proses manusia menerapkan nilai-nilai agama di dalam ruang dan waktunya bukan proses sekali jadi, melainkan membutuhkan waktu yang panjang”.

            “Membaca buku-buku dari segala macam ilmu dan paham dan mendengarkan pendapat-pendapat dari segala macam ahli akan memperkaya kita”, begitu pikir Dawam.

            “Dalam masyarakat sekuler, dan adanya proses sekurelisasi kekinian. Baik hendaknya organisasi Islam menjadi organisasi pendidikan, bukan organisasi perjuangan langsung, bila masih tetap memakai atribut Islamnya. Sebagai organisasi pengkaderan, hanya akan terus melakukan kegiatan-kegiatan pengkaderan. Jadi kader bukan dalam arti sebagi orang-orang yang masuk guna menegakkan suatu cita kemasyarakatan, tetapi kader dengan maksud masuk untuk membina diri”, pikir Usamah. Dengan pandangan yang terbuka untuk semua pemikiran Islam.

            “Tarbiyah adalah seni untuk menciptakan ulang manusia. Manusia yang terdiri dari semua bentuk anasir, unsur ruh, akal, dan jasad. Tarbiyah Islamiyah adalah seni menciptakan manusia dengan cara-cara Islami”, pandangan Said. Said terkesan ikhwan-centris.

Walaupun mereka, Usamah, Yusuf, Said, dan Dawam memang tertarik dengan berbagai pemikiran tokoh Ikhwan. Sebuah organisasi Islam yan terlahir di Mesir. Dan berkembang hingga ke Indonesia, hingga ke kota kecil seperti Ternate.

Mereka berbincang tentang bentuk sifat sebagai ideologi jauh lebih penting daripada identitas yang hanya terpatri secara struktural organisasi. Menyepakati bahwa tarbiyah membentuk manusia-manusia shalih yang cerdas untuk tempat dan zamannya. Bukan sekedar berubah menjadi manusia suci yang bagai turun dari langit. Bukan pula manusia malaikat. Karena itu bagi mereka adalah yang diberi nama proses tarbiyah dan proses pembinaan. Karena pelaku tarbiyah adalah manusia, objek yang membina pula adalah manusia. Maka bentuknya menjadi berbeda-beda. Tapi selalu ada amaliyah tarbawiyah.

Tapi sebagaimanapun berjamaah, terlibat dalam organisasi, jauh lebih baik. Mau sebatas identitas atau mempadukannya dengan sifat. Seperti ungkapan Ali bin Abu Thalib, “Bagaimanapun kekeruhan jamaah jauh lebih baik daripada kejernihan individu”.Individu-individu yang hatinya telah steril dari penghambaan selain Allah, hendaknya bersatu dalam sebuah komunitas Islam. Komunitas dimana hati para anggotanya telah steril dari penghambaan kepada selain Allah secara keyakinan, peribadatan, dan peraturannya, inilah yang akan mendirikan masyarakat Muslim.

“dan Allah yang mempersatukan hati mereka (orang yang beriman). Walaupun kamu infakkan semua (kekayaan) yang berada di bumi, niscaya kamu tidak dapat mempersatukan hati mereka. Tetapi Allah telah mempersatukan hati mereka...” (Q.S Al-Anfaal : 8 : 63)

Posting Komentar

0 Komentar