Serpihan Pemikiran
Serial Novel Serpihan Identitas
Serpihan Pemikiran
16
Waktu
adalah kehidupan. Yang kemudian menjelma menjadi serpihan identitas. Semua
telah berjalan. Beberapa tahun telah berlalu. Semua telah menentukkan
pilihannya masing-masing. Said memilih melanjutkan karirnya terlibat dalam
partai dakwah, secara otomatis terlibat dalam kumpulan. Dawam masih
sering-sering hadir dalam agenda rutin kumpulan, tapi fokus advokasi pada
kelompok tertindas, sekali ia terlibat dalam gerakan membela Rakyat Gebe yang
melawan Perusahaan Tambang. Sekali juga terlibat dalam pembelaan Kasus PHK para
karyawan di sebuah perusahaan tambang di Kabupaten Halmahera Timur. Ia masih
serius menggeluti pembelaan terhadap kaum tertindas. Yusuf melanjutkan studinya
sembari tetap terbuka dengan semua gerakan Islam, sekali-sekali ia turut khuruj
bersama Jamaah Tabliq, tapi turut pula ia dengar ceramah Adi Hidayat yang diunduhnya.
Mirgah telah terlibat jauh dalam gagasan dan gerakan Sang Deklarator. Mereka
telah membentuk gerakan kebangsaan, gerakan yang berafiliasi pada Demokrasi
Islam merujuk pada gagasan Ghanouchi. Partai baru patut didirikan. Usamah masih
seperti sedia kala. Bolak balik dengan sepeda motor biasanya, menuju Puskesmas
tempat ia bekerja. Dari Desa T menuju desa S. Ia menikmatinya. Sembari terus
membaca berbagai gagasan Ikhwan, dan sedikit melirik gagasan Sosialisme Islam.
Ia seperti Dawam masih menikmati novel-novel sosialis. Saat ini ia menikmati
Orang-Orang Malang, karya Fyodor Doestovsky.
Ketika Usamah sedang menuliskan
sebuah novel tentang seorang pemuda yang kemudian berafiliasi dengan gerakan
Kiri Islam. Bukan Kiri Islam tapi Sosialisme Religius. Ia tersenyum sendiri.
Membawa ia kembali pada ingatannya tentang perdebatan mereka tentang gagasan
Sosialisme Islam.
Saat itu Said berpandangan pada
gagasan Sayyid Qutbh dalam bukunya Keadilan Sosial dalam Islam, Usamah dengan
gagasan Hamka dengan judul buku yang sama, Keadilan Sosial dalam Islam, Dawam
membaca Teologi Pembebasan, karya Asghar Ali Engineer. Ditambah dalam bacaan
mereka dengan gagasan Tjokroaminoto.
“Mengapa harus Sosialisme
Religius?”, Tanya Said pada Dawam dan Usamah.
“Sebab, sosialisme dapat dianggap
sebagai suatu cara lain untuk mengungkapkan ciri masyarakat yang dicita-citakan
oleh Pancasila, yaitu masyarakat berkeadilan sosial. Bahkan suatu frasa, yakni
Sosialisme Religius, baik sebagai istilah maupun sebagai ide bukanlah sesuatu
yang sama sekali baru, khususnya di Indonesia. Sudah semenjak masa perkembangan
Sarikat Islam, khususnya setelah mengalami sentuhan dengan paham-paham
sosialis-komunis Barat yang mengadakan infiltrasi ke dalam tubuhnya, ide
sosialisme-religius itu mulai mendapatkan perumusan-perumusan sistematis dan
serius, meskipun mungkin belum sepenuhnya memuaskan. HOS Tjoktoraminto menulis
buku berjudul Islam dan Sosialisme, dan H. Agus Salim mengemukakan pikiran
bahwa ide sosialisme sudah tercakup dalam ajaran-ajaran agama, khususnya agama Islam. Syafruddin Prawiranegara pernah pula menulis sebuah pamflet yang isinya
menegaskan bahwa seorang Muslim haruslah sekaligus seorang sosialis. Karena
pikiran-pikiran serupa itu, tidak mengherankan, jika Masyumi, oleh Kahin,
digolongkan sebagai Islam Kiri atau Islam Sosialis”, jawab Dawam.
“Apa Islam Kiri atau Islam Sosialis
akan selalu berafiliasi pada Marx?”
“Bisa jadi ia adalah sejalan tapi
ruhnya adalah Islam, sebaliknya bisa jadi ia berdiri sendiri, hanya ada pada
kesamaan ide, atau bisa jadi ia menjadi kritikan pada Marxisme”, jawab Usamah.
“Mari kita diskusikan pandangan kita
ini”, jawab Dawam.
“Bahwa orang harus membedakan antara
paham sosialisme sebagai pelajaran dan sosialisme sebagai suatu pengaturan
pergaulan hidup bersama (sistem)”, lanjut Dawam
“Sosialisme awalnya dari perkataan
bahasa latin ‘socius’, makna dalam bahasa melayu sebagai teman, dan bisa jadi
sebagai ‘kita’. Sosialisme menghendaki cara hidup “satu buat semua dan semua
buat satu”, yaitu suatu cara hidup yang hendak mempertunjukkan kepada kita,
bahwa kita memikul tanggung jawab atas perbuatan kita satu sama lain. Segala
teori (sosialisme) ini juga mempunyai maksud akan memperbaiki nasib golongan
manusia yang termiskin dan terbanyak jumlahnya. Agar supaya mereka mendapat
satu nasib yang sesuai dengan derajat manusia, yaitu dengan memerangi sebab-sebab
menimbulkan kemiskinan”.
“Seperti kata Tjorokoaminoto, Tetapi
barang siapa mengetahui bahwa pemikiran demokrasi dan sosialisme itu telah
berakar kuat di dalam Islam, niscaya terlihat benar akan kebutaan orang banyak
tentang Islam”.
“Tapi tidak semua harus sejalan bisa
jadi adalah bagian dari kritikan kepada Marxisme, tapi tetap pada naluri
Keadilan Sosial”, tandas Said. Ia melanjutkan “Seperti gagasan Sayyid Qutbh. Sepanjang
belum tercipta keadilan kemanusiaan yang menyeluruh, maka tidak mungkin
terwujud keadilan dalam bidang ekonomi yang terbatas itu. Sehingga dengan
demikian, Islam mencakup semua fenomena kehidupan dan segala sesuatu yang ada
di sekitar, sebagaimana halnya ia mencakup masalah ibadah dan amaliyah, jiwa
dan hati nurani. Nilai-nilai yang mengandung keadilan ini bukanlah semata-mata
nilai ekonomi belaka, dan juga bukan sekedar nilai-nilai material pada umumnya.
Tetapi keadilan ini mencakup seluruh nilai-nilai maknawiyah dan ruhaniyah.
Apabila komunisme memandang manusia dari segi kebutuhan materialnya belaka, dan
bahkan memandang alam semesta ini dengan kacamata materialisme, maka Islam
memandang manusia sebagai satu kesatuan yang tidak terpisah-pisah antara
kebutuhan rohani dan dorongan jasmaniyahnya, antara kebutuhan spiritual dan
kebutuhan materialnya. Islam memandang alam semesta dan kehidupan dengan
kacamata integral yang tidak terpisah-pisah”.
“Tapi tidak seutuhnya Marxisme itu
salah, bisa jadi tetap ada kesamaan ide”, kata Usamah. Dipandangnya Said dan
Dawam, kemudian ia berkata, “Datang teori Karl Marx tentang ekonomi yang
berdasarkan historis materialisme. Satu perkara yaitu perkara pokok, jelas
selisih kita dengan dia yaitu dia tidak mengakui Allah. Dia memandang agama
hanyalah sebagai akibat dari perekonomian dan kadang-kadang agama sebagai musuh
yang akan menghalangi diktator proletar dan revolusi dunia. Tentang ini
bersimpang jalan kita. Inilah prinsip! Oleh karena itu bersedialah umat Islam mempertahankan
prinsipnya. Islam tidak pula memandang segala sesuatu buruk saja. Dalam teori
Marx, sangat banyak pula yang dapat diterima. Selama teori Marx tidak melanggar
prinsip ketuhanan akan kita terima. Akan kita gunakan untuk mencapai cita-cita
dan menyempurnakannya. Akan tetapi, untuk memandang Marx sebagai orang suci
yang tidak pernah salah atau Lenin orang yang tidak boleh dibantah atau Stalin
sebagai dewa, Islam tidaklah dapat menerimannya”.
“Pada dasarnya Keadilan Sosial dalam
Islam hanya masalah percabangan. Kita tidak akan dapat menghayati bentuk
keadilan sosial dala Islam sebelum kita memahami konsep keseluruhan Islam
tentang alam, kehidupan dan manusia. Keadilan sosial tidak lain hanyalah
sekedar cabang dari prinsip besar, dimana seluruh pembahasan Islam harus
dirujukkan kepadanya”, kata Said.
“Pada asasnya yang paling mendasar
adalah menyediakan ruang gerak yang cukup bagi kehidupan dan nilai-nilai
ekonomi yang merata dalam semua segi yang menunjang kehidupan menurut pandangan
Islam, merupakan cara yang paling ampuh untuk mewujudkan keseimbangan dan
keadilan sosial, serta mewujudkan keadilan dalam setiap segi kemanusiaan dan
menghilangkan adanya citra interpretasi yang sempit dalam masalah keadilan
seperti yang ada dalam komunisme. Keadilan dalam komunisme adalah persamaan
imbalan tanpa ada perbedaan sedikitpun dalam segi-segi ekonomis, sekalipun ia
harus berbenturan dengan kemampuan kerja yang dimiliki individu. Sedangkan
menurut pandangan Islam, keadilan adalah persamaan kemanusiaan yang memperhatikan
pula keadilan pada semua nilai yang mencakup segi-segi ekonomi yang luas. Dalam
pengertian yang lebih dalam berarti pemberian kesempatan sepenuhnya kepada
individu, lalu membiarkan mereka melakukan pekerjaan dan memperoleh imbalan
dalam batas-batas yang tidak bertentangan dengan tujuan hidup yang mulia”
Usamah mencermati dan ia memberi
sanggahan, “Tapi bila kita telaah bukannya manusia pertama dahulu kala tidaklah
banyak keperluaan hidupnya dan tidaklah terlalu payah dia berjuang mencukup
keperluan itu. Di kiri kanannya ada buah-buahan yang lebih dari cukup dan
binatang buruan pun masih jinak. Pakaiannya pun cukup dari kulit kayu atau
kulit binatang bekas diburunya. Tempat tinggalnya cukuplah gua-gua batu. Mereka
tidak kenal apa yang bernama krisis ekonomi”.
“Saya kira sejak zaman nabi dahulu
baik nabi Adam, maupun Nabi Muhammad, masalah-masalah ekonomi telah terjamaah
tapi dalam konteks berbeda. Memangnya antum percaya adanya manusia purba selain
zaman Nabi Adam?”, kata Dawam sambil tertawa.
“Oke kita abaikan masalah zaman
Purba yang kita sama-sama tidak menyakini ada!”, kata Usamah.
“Oke kita harus kembali melakukan
kritikan kepada kaum Marxis. Adapun komunisme, maka ia menyatakan bahwa
kebebasan dalam bidang ekonomilah yang dapat dijadikan jaminan bagi kebebasan
jiwa, dan bahwasanya tekanan-tekanan yang ada dalam individulah yang
kadang-kadang menyebabkan hilangnya jaminan undang-undang tentang keadilan dan
persamaan. Itupun benar namun belum seluruhnya. Kebebasan dari tekanan bidang
ekonomi saja belum merupakan jaminan adanya kontinuitass kebebasan kecuali
disertai dengan kebebasan jiwa yang berada di dalam hati. Ia merupakan tujuan
dari tekanan-tekanan yang lain, yaitu tekanan kebutuhan pokok, bakat dan
pembawaan yang tidak mungkin dapat dipenuhi”, jawab Said.
“Bahwasanya watak pandangan Islam
terhadap kehidupan manusia, telah menjadikan keadialan sosial ini sebagai
keadilan kemanusiaan yang tidak berhenti pada persoalan materi dan ekonomi
semata. Bahwasanya nilai-nilai dalam kehidupan ini adalah nilai material dan
sekaligus nilai-nilai immaterial, tidak mungkin dilakukan pemisahan antara
kedua sifatnya yang merupakan satu kesatuan yang lengkapi-melengkapi satu sama
lain serta serasi, dan bukan merupakan satu masyarakat yang penuh pertentangan
dan perbedaan”.
Dawam membantah gagasan Said, “Marx
mengatakan agama itu candu bagi masyarakat. Harus dipahai bahwa pernyataan ini
bukan semata-mata menyalahkan agama, seperti yang disangka banyak orang. Marx
menganggap agama sebagai candu dalam pengertian bahwa selain tidak membawa
perubahan bagi kehidupan masyarakat, agama justru digunakan untuk melanggengkan
kemapanan. Jika agama ingin dijadikan sebagai alat perubahan, maka harus
menjadi senjata ampuh bagi kelompok masyarakat yang dieksploitasi”.
“Pada umumnya untuk menarik
perhatian masyarakat, Marxisme menggunakan idiom-idiom yang bertujuan
meningkatkan taraf kehidupan ekonomi bukannya memperkaya kehidupan spiritual
dan budaya masyarakat. Sesungguhnya Marxisme yang seperti ini tidak memakai
idiom Marxis yang asli yang berakar pada etos budaya setempat. Marxisme yang
seperti itu merupakan ideologi kelas menengah sedangkan kaum buruh dan petani
dilekatkan pada Marxisme dalam rangka mencapai tujuan ekonomi yang terbatas dan
mereka dijauhkan dari semangat budaya dan spiritualnya sendiri. Tidak
mengherankan jika Marxisme tetap kalah menarik dibandikan dengan
fundamentalisme, konservatisme, dan kelompok-kelompok reaksioner, karena yang
terakhir ini mampu memenuhi kebutuhan spiritual masyarakat dan dalam hal ini
kebutuhan spiritual ini sama kuatnya dan sama mendesaknya dengan kebutuhan
ekonomi”, Dawam melanjutkan
Ia menghela nafas sejenak, kemudian
melanjutkan, “Oleh karena itu, kaum Marxis perlu mengembangkan sebuah
pendekatan religio-kultural dan ekonomi yang menyeluruh yang berakar pada etos
masyarakat setempat. Marxisme juga tidak bisa mengesampingkan agama, apalagi
mencampakkanya. Marxisme sangat perlu memikirkan masalah ini secara mendalam.
Menganggap agama sebagai candu masyarakat dan membuangnya merupakan pendekatan
yang sunguh-sungguh dangkal. Harus diingat bahwa agama adalah instrumen yang
penting dan dapat digunakan sebagai candu atau ideologi yang revolusioner”.
“Pada titik ini pulalah bahwa Islam
harus ditempatkan pada posisi yang berpihak pada kelompok yang tertindas bukan
kelompok yang menindas. Sebagaimana tulis Asghar Ali, bahwa Agama harus menjadi
sumber motivasi bagi kaum tertindas untuk merubah keadaan mereka, dan menjadi
kekuatan spiritual untuk mengkomunikasikan dirinya secara berarti dengan
memahami aspek-aspek spiritual yang tinggi dari realitas ini”, tandas Dawam.
“Islam adalah sebuah agama dalam
pengertian teknis dan sosial-revolutif yang menjadi tantangan yang mengancam
struktur yang menindas pada saat itu di dalam maupun di luar Arab”, kata Usamah
mendukung Dawam.
“Bahwa Nabi Muhammad adalah Sang
Pembebas”, Usamah kembali berkata.
Dawam
kemudian menyampaikan seperti gagasan Asghar Ali, “Bahwa Teologi Pembebasan,
pertama dimulai dengan melihat kehidupan manusia di dunia dan akhirat. Kedua,
teologi ini tidak menginginkan status quo melindungi golongan kaya yang
berhadapan dengan golongan miskin. Dengan kata lain, teologi pembebasan itu
anti kemapanan, apakah itu kemapanan religious maupun politik. Ketiga, teologi
pembebasan memainkan peranan dalam membela kelompok yang tertindas dan tercabut
hak miliknya, serta memperjuangkan kepentingan kelompok ini dan membekalinya
dengan senjata ideologis”.
“Semasa Nabi masih hidup dan
beberapa dekade sesudahnya, Islam menjadi kekuatan yang revolusioner. Dimana
bahwa Nabi sebagai utusan Allah menggulirkan tantangan yang membahayakan
saudagar-saudagar kaya di Mekkah. Saudagar-saudagar ini berasal dari suku yang
berkuasa di Mekkah, yaitu suku Quraisy. Mereka menyombongkan diri dan mabuk
dengan kekuasaan. Mereka melanggar norma-norma kesukuan dan betul-betul tidak
menghargai fakir miskin. Orang-orang miskin dan tertindas di Mekkah inilah,
termasuk para budak, yang pertama-tama mengikuti Nabi Muhammad ketika beliau
mulai menyebarkan ajaran suci Islam”.
“Pada akhirnya kita harus sama-sama
menyetujui bahwa sebuah gerakan Islam harus membela kaum tertindas, menolong
kaum miskin”, kata Dawam dengan perasaan Sosialisme Islam-nya.
“Kita dapat memulai dengan memberi
gagasan, berlaku dengan perlawanan pada pemerintah, turut serta dalam
gerakan-gerakan sosial, aksi-aksi gerakan ekstraparlementer yang membela
hak-hak kaum miskin, petani, orang-orang malang, kaum tertindas”, kata Dawam
lagi.
Diskusi mereka itu berakhir dan
setuju pada sebuah gagasan, “Cobalah kita imajinasikan masyarakat jika ajaran
seperti ini berlaku dalam masyarakat. Ekonomi berpadu dengan moral. Dimana
moralitas tersusun atas dasar konsideran dari akhlak. Dilarang yang kaya
berbuat suka hati dengan hartanya untuk pelesir, minum dan bahkan korupsi lagi
dan lain-lain. Diperintahkan yang mampu mengeluarkan bagian hartanya untuk
membantu yang miskin dan papa, yang dibantingkan oleh ombak masyarakat. Kalau
ini terjadi, pastilah hilang pertentangan kelas seperti yang ada sekarang,
pelepasan dendam yang tidak berkeputusan. Tidak ada lagi kaya terlalu kaya dan
miskin terlalu miskin, tetapi di antara yang kaya dan yang miskin ada tali
halus yang menghubungkan, ketakwaan kepada Allah dalam masyarakat”.
“Apakah ini hanya akan sekedar
menjadi imajinasi?”, mereka sama-sama menghela nafas. Perdebatan dalam
masa-masa aktif dalam gerakan kepemudaan Muslim ini.
#
Pernah mereka sekali bertemu, masih
dalam gagasan yang sama tapi dalam kondisi tidak lagi sebagai aktivis gerakan
kepemudaan Muslim. Waktu telah berjalan beberapa tahun. Mereka dengan
aktivitasnya masing-masing. Bertemu Dawam masih dengan gagasan yang sama
keaktifannya di berbagai gerakan-gerakan sosial, aktif bersama beberapa
komunitas memberi pelajaran pada beberapa anak-anak sekolah, turut serta dalam
aksi-aksi gerakan buruh, turut serta membela para petani. Ia mengaplikasinya
gagasan Islam Sosialis dengan aksi-aksi dan advokasi sembari tetap menulis
gagasan-gagasannya. Said masih seperti dulu terlibat dalam gerakan politik,
masuk partai dakwah, Aktif sebagai Sekretaris Partai Dakwah untuk tingkat Kota.
Terus membersamai organisasi kepemudaan Muslim sebagai asas pengkaderan.
Membina di setiap pekanan, ya mengisi halaqah. Usamah keberpihakannya pada kaum
tertindas melalui profesinya, peduli pada kaum miskin, orang-orang malang,
kalau datang memantau pertumbuhan anak, ia dengan saat iba dan sopan pada
orang-orang sederhana ini, duduk sejajar melantai dengan mereka walau
disediakan kursi. Berbeda dengan teman-teman profesi lainnya. Usamah masih
tetap menulis kadang ia menulis gagasannya tentang keislaman, pengkaderan, dan
tentu Sosialisme Islam. Dan lebih sering membaca novel, menulis cerita pendek,
dan kadang-kadang pelan-pelan merangkum berbagai cerita, kadang-kadang menulis
untuk sebuah novelnya. Pada titik inilah, Dawam dan Usamah menempatkan gagasan
Sosialisme Islam mereka. Apakah mereka berusaha memberi gagasan pada
kader-kader dibawah mereka? Hanya senyuman yang patut terlukis. Bagi mereka,
“Kiri Islam menjadi perasaan yang paling halus ketika melihat realitas sosial,
mengiba melihat kemiskinan, melawan melihat penindasan, menangis melihat
penderitaan, ringkih melihat kelaparan”.
Segelas teh diantar istrinya untuk
Usamah, disaat ia masih menuliskan catatan-catatannya di depan laptopnya.
Diputar-putar kepala kiri kanan, tanda sedikit lelah. Tersenyum pada istrinya
sebagai tanda terima kasih atas teh yang diberikan. Ia tersenyum atas
lamunannya dilihatnya buku Keadilan Sosial dalam Islam, karya Sayyid Qutbh.
Bayang-bayangan diskusi itu membuatnya tersenyum atas gagasan-gagasan mereka.
Ia masih tetap menulis. Masih tetap menulis. “Sebagai upaya untuk memenangkan
atas tingkat berpikir kader”, Usamah masih merasa perlu untuk menulis. Ia
kemudian bersajak:
“Aku dan pulau sunyi
ini memang merindu
Merindu dalam bisu
Sudahkah merdeka
mereka?
Pulau-pulau ini
memang begitu
Aku ingin biasa-biasa
saja
Aku ingin kesederhaan
Hidup dengan penuh buku
Hidup di masa tua dengan menulis”
Posting Komentar
0 Komentar