Manusia dan Pandemi


Manusia dan Pandemi
M. Sadli Umasangaji


(sumber gambar: mojok dot co)






Makhluk yang dipandang memiliki akal di bumi adalah manusia. Karena akalnya dan rasa ingin tahu yang disematkan pada manusia secara mendasar manusia selalu ingin menemukan sesuatu yang baru. Dalam perspektif biologi, tentu manusia disebut sebagai homo sapiens, sebagai manusia yang tahu. Dipandang sebagai spesies primata dengan otak yang berkemampuan tinggi.

Secara mendasar manusia dengan segala bentuk, minat, kapasitasi hingga tujuan maka akan selalu pada hasrat untuk melakukan apa. Pandangan tentang manusia begitu beragam. Manusia dapat terurai sebagai makhluk sosial, makhluk politik, pemakan segalanya, hingga sebagai khalifah atau bahkan dapat disebut pula sebagai setan, iblis dari kalangan manusia. Akan hal itu manusia terpatri sebagai makhluk yang kompleks.

Di tengah pandemi saat ini, semua manusia tetap ingin bahagia. Sepintas melihat tentang penjelasan singkat tentang hormon kebahagiaan. Dopamin sebagai hormon perasaan baik, dapat diperoleh dengan mengonsumsi makanan yang enak atau yang disukai, tidur yang cukup, olahraga, meditasi. Endorfin sebagai hormon pereda nyeri alami tubuh dapat ditemukan dengan tertawa, mendengarkan musik, mengonsumsi cokelat, menonton film. Oksitosin sebagai hormon cinta yang diperoleh dengan berpelukan, berbagi cerita, main dengan hewan peliharaan, melakukan kebaikan. Hormon serotonin berperan dalam mengelola suasana hati yang dipicu dengan berjemur dibawah sinar matahari, melihat pemandangan alam, jalan-jalan atau berdoa dan beribadah.

Kebahagiaan di tengah pandemi adalah harapan manusia bahkan sebagai pemicu kewarasan atau mungkin kebahagian akan mendukung sistem imun tubuh. Entahlah. Tapi ragam manusia seperti apakah di tengah pandemi ini.

Pertama, berdasarkan kesadaran. Di tengah pandemi kita akan menemui orang-orang yang saling menegasikan pada dua aras, covid itu palsu dan covid itu nyata, menggunakan masker dan beraktivitas tanpa masker, yang menerima vaksin dan menolak “konspirasi” vaksinasi. Karena kesadaran ini manusia saling menegasikan pembenaran. Maka muncullah manusia seperti aktivis anti masker, dikotomi tenaga atau profesi medis menolak corona versus tenaga medis yang juga berjuang pada pasien covid. Hingga ada orang-orang yang abai dengan masker atau tanpa menggunakan masker, pasang wajah ragu pada covid, tapi tak sedikitpun abai atas isu bantuan sosial covid. Sekarang sebaran berbagai link di grup-grup whatsapp soal bantuan covid itu betulan atau hoax ya.

Kedua, berdasarkan kewaspadaan. Kita akan melihat manusia yang pernah atau keluarganya atau orang terdekatnya mengalami positif covid dan kemudian memberikan wejangan baik agar orang hati-hati agar tidak tertular covid, manusia yang positif covid tanpa gejala misalnya kemudian merasa bugar kembali dan menganjurkan “keremahan” pada orang lain terhadap covid. Maka muncullah manusia seperti yang berada di fasilitas kesehatan (semasa kasus menurun) tapi abaikan menggunakan protokol kesehatan, manusia-manusia yang saling mendikotomi dengan dalih-dalih protokol kesehatan, manusia-manusia yang baru selesai vaksin kemudian berpesta tanpa masker, tanpa jaga jarak, padahal kan dia ikon vaksinasi.

Ketiga, berdasarkan isi kantong atau kondisi ekonomi. Kita akan menemui orang yang bisa dengan tenang duduk santai di rumah sambil tetap menikmati sajian pagi, entah kopi atau teh atau jenis minuman lain tanpa takut kekurangan isi kantong di tengah pandemi. Kita akan melihat orang yang di awal-awal pandemi diberhentikan dari kantornya karena kondisional dan hingga kini entah sudah mendapatkan pekerjaan baru atau belum. Atau orang-orang yang entah bisa keluar rumah atau tidak kondisional biasa saja, pandemi memberikan kesan tapi tidak memberikan “pukulan” dampak yang keras. Atau orang-orang yang tetap harus keluar rumah untuk mengajar ketakdiran rezeki. Atau kita juga entah kasihan atau sedih atau tidak tetap melihat masyarakat sosial kelas bawah yang tetap meminta-minta di samping-samping kaca mobil. Ya setidaknya mereka meminta-minta tapi tetap menggunakan masker.

Keempat, berdasarkan aktivitas. Maka di tengah pandemi orang bisa menjadi sangat produktif. Produktif dalam berbagai hal, baik dalam minat, passion, hobbi, hingga sebatas kesenangan. Orang menjadi produktif dalam menonton film, orang menjadi produktif untuk menatap layar handphone walaupun hanya sekedar membaca status orang lain, orang menjadi produktif dalam berteman dengan buku, orang menjadi produktif bermesraan dengan al-Quran hingga orang bisa jadi produktif dengan terus menerus menulis walaupun entah tulisannya bermutu atau tidak, tulisan bisa dikirim ke berbagai platform menulis paling banter kembali pada rakit sendiri.

Kelima, berdasarkan keseriusan. Maka kita temui orang-orang serius tapi lebih banyak kelihatan tidak selektif atau sebaliknya kita menemui orang-orang kurang serius tapi sangat selektif. Pertama, orang serius tapi tidak selektif itu ya semisal pemerintah kita, yang kelihatan ‘serius” urusin Perlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat tapi kurang selektif untuk warga negara asing. Kedua, orang kurang serius yang suka selektif, yang mungkin orang-orang yang malas keluar rumah tapi bukan malas bergerak, menulis di berbagai platform menulis untuk membuatnya merasa betah di rumah. Dan orang serius yang kelihatan serius adalah yang berkata “Jadi saya pikir dengan pelaksanaan vaksinasi, PPKM darurat secara bersamaan kemudian obat, oksigen, kemudian juga tempat tidur, saya melihat dalam empat sampai lima hari ke depan situasinya akan membaik. Jadi kalau ada yang berbicara bahwa tidak terkendali keadaannya, sangat terkendali. Jadi yang bicara tidak terkendali itu bisa datang ke saya, nanti saja tunjukkin ke muka nya bahwa kita terkendali. Bahwa kita punya masalah saya sampaikan yes kita punya masalah dan ini masalah kita perbaikin dengan tertib”. Entahlah. Kemudian berkata kasus baru di Jakarta itu 90% varian delta, orang asing bebas masuklah, kan kita hanya orang serius yang kelihatan serius.


Posting Komentar

0 Komentar