Sarjana


Sarjana
Furkan Abdullah


dunialukisan-javadesindo dot com




Sore itu, saya terjebak hujan dalam suatu perjalanan pulang ke rumah. Berhubung posisi saya saat itu dekat dengan kediaman salah seorang kawan, maka saya memutuskan mampir ke rumahnya. Kawan perempuan saya itu tahun lalu baru saja diwisuda sebagai Sarjana Bahasa Inggris. Sambil menyeruput teh hangat, hal pertama yang ia tanyakan adalah informasi mengenai adanya penyelenggaraan tes Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS). Seraya tersenyum, mengingat pertanyaan tersebut kerap terdengar dari berbagai pihak, saya mengatakan tak tahu menahu mengenai informasi tersebut.

Dalam perbincangan kami, kawan saya tersebut mengungkapkan betapa berbedanya kehidupannya pasca meninggalkan kampus. Ia yang dulunya aktif dalam berbagai jenis kegiatan di kampus, hingga kini masih berdiam di rumah, melakukan tugas-tugas rumahan yang kerap dilakukan anak perempuan. Lowongan pekerjaan kerap ia tengok, namun sejauh ini belum menemukan yang tepat. Bosan, sudah tentu sering ia rasakan. Cita-citanya yang begitu tinggi untuk melanjutkan pendidikan di Negeri Kanguru juga terpaksa ia tunda lantaran kondisi belum memungkinkan untuk melaksanakannya.

Saya lantas berpikir. Kondisi seperti ini pasti juga dialami banyak teman-teman sarjana di luar sana. Entah karena sempitnya lapangan kerja, kurangnya kompetensi personal, ataukah minimnya akses terhadap penguasa. Maka setiap tahun, kampus-kampus bisa dikatakan paling sukses dalam hal menelurkan pengangguran intelektual. Sekalipun mendapatkan pekerjaan, biasanya pekerjaan tersebut tidak nyambung dengan domain ilmu yang telah dipelajari di bangku kuliah.

Kawan saya ini lantas menuturkan dua pilihan yang ia punya. Pilihan yang paling mungkin ia ambil dalam kondisi saat ini. Pertama, menikah. Ya, nikah di usia mudanya adalah sebuah pilihan terbaik yang dipikirnya dapat menghapus segala persoalan yang ia alami sebelumnya. Ia percaya, menikah di usia muda bagi wanita itu sangat bagus dari segi agama agar terhindar dari bentuk kemaksiatan atau zina. Sebagai seorang muslimah, ia meyakini firman Allah “Perempuan-perempuan yang keji untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji untuk perempuan-perempuan yang keji (pula), sedangkan perempuan-perempuan yang baik untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik untuk perempuan-perempuan yang baik (pula)” (QS. An – Nur:26).

Pilihan kedua adalah bersekutu dengan elit politik melalui kontrak politik. Di tahun penuh momen politik, kesempatan tersebut terbuka lebih lebar ketimbang lowongan pekerjaan yang layak. Dalam kontrak politik, ia harus menjamin sejumlah hak suara untuk diarahkan kepada Caleg tertentu. Imbalannya, ketika si politisi berhasil duduk di kursi parlemen maka ia akan mendapatkan pekerjaan yang layak, baik di instansi pemerintah maupun swasta. Jadi masing-masing pihak harus dapat meyakinkan pihak lain mengenai mulusnya perjanjian tersebut. Hal ini membuat penulis sedih, karena merasa kawan tersebut telah menaruh jalan pintas sebagai salah satu pilihan hidupnya. Namun, saya juga harus realistis, bahwa kondisi ekonomi terkadang memang akan memaksa manusia melakukan hal-hal yang tak pernah terbayangkan akan dilakukan sebelumnya.

Ketika bumi yang kita duduki ini terasa menyempit dikarenakan himpitan persoalan hidup dan jiwa merasa beban oleh berat kehidupan yang harus kita pikul maka jangan heran kalau kita berada dalam kesedihan. Namun, justru keadan seperti itu semakin membuat kita berpikir untuk keluar dari kesusahan bagi yang merasakannya. Saraf otak pasti tegang sampai berkobar-kobar agar mendapatkan jalan keluar dari keadaan tersebut. Penulis teringat kata-kata motivasi dari murabbi (guru tarbiyah) bahwa sesungguhnya hidup adalah perpindahan dari masalah satu ke masalah yang lain di setiap harimu. Tak mungkin semuanya baik maka teruslah bersemangat untuk meraih kesuksesan sebab kesuksesan tidak harus menunggu kita tua tapi menjadi pemuda sukses pun bisa. Buatlah perencanaan, persiapan, serta belajar dari kegagalan.

Memang tak bisa dipungkiri hidup di zaman seperti ini dimana kebutuhan ekonomi meningkat, apalagi sebagian besar orang Indonesia telah menjadi manusia yang sudah tidak lagi produktif melainkan konsumtif yang mengandalkan bahkan menginginkan segala sesuatu dengan uang saja. Tidak lagi kreatif dalam hal menciptakan karya yang dapat meninggalkan jejak kesuksesan baik di bidang apapun itu. Terutama para sarjana muda yang harus menanggung resiko pasca wisuda telah menjadi kebiasaan menunggu dan terus menunggu antrian penerimaan CPNS.

Ini menjadi pengalaman serta pelajaran berharga bagi mahasiswa agar hal ini tidak akan menimpa kita maka yang perlu kita siapkan adalah kemampuan hidup mandiri dan mempunyai perencanaan terdahulu sebelum mendapat gelar sarjana didukung dengan kualitas ilmu pengetahuan yang pantas. Karena pada dasarnya semua orang mempunyai impian hidup yang lebih bermutu.

Posting Komentar

0 Komentar