Celoteh
Utopis
Utopis
Hasib Wahab
(Ketua Umum KAMMI Kota Ternate Periode 2017-2019)
Indonesia memang layaknya surga dunia. Kekayaan alam yang diberikan Tuhan terasa melimpah dan memberikan ruang harapan besar yang menjanjikan bagi kesejahtraan hidup rakyat dan Negara. Berjejeran pulau-pulau dari Sabang sampai Merauke memberikan keindahan tersendiri yang mampu menghipnotis setiap pandangan. Tanahnya yang subur tumbuh berkelimpahan sumber daya alam yang tak terhitung jumlahnya. Sejalan dengan syairnya kus Plus dalam lagunya “orang bilang tanah kita tanah surga”. Begitulah deskripsi Indonesia bagi penulis.
Selayaknya syurga, semestinya para penghuni surga hidup dengan aman, damai dan sejahtera serta berkecukupan dan dilayani dengan penuh ketentraman. Namun sebaliknya, Indonesia hanyalah Indonesia, sebuah Negara yang nilai estetika syurganya hanya sebatas mimpi dan utopisme belaka. Artinya bahwa, Indonesia dengan kekayaan alamnya yang ada gagal dibuat menjadi Negara yang menjamin hidup layak, aman, damai serta hidup sejahtra bagi rakyat dan Negara. Meminjam apa yang disampaikan oleh Yudi Latif, “Orang bilang tanah kita tanah surga: kaya sumber daya, indah permai bagai untaian zamrud yang melilit khatulistiwa. Namun, di taman nirwana dunia timur ini, kelimpahan mata air kehidupan mudah berubah menjadi air mata. Kekuasaan hilang, silih berganti membuai mimpi tapi nasib rakyatnya tetap sama, kekal menderita.”
Puluhan tahun yang lalu, Indonesia berjuang keras untuk bebas dari penjara imperialisme. Akhirnya, dengan modal itikad kuat, perjuangan yang berkobar serta keberanian yang membara, telah mengantarkan Indonesia kedepan pintu gerbang kemerdekaan. Tanggal 17 Agustus 1945 adalah puncak dari akumulasi perjuangan itu, serta sekaligus menjadi saksi sejarah kemerdekaan Indonesia yang setiap tahun diperingati. Impian Founding Father kita tentang kemerdekaan adalah sebuah wadah yang menampung kewargaan yang merdeka, bersatu berdaulat adil dan makmur yang bermuara pada kesejahtraan dan kedamaian.
Namun, mimpi indah kemerdekaan sebagai jembatan emas menuju perikehidupan kebangsaan dan kewargaan yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur lekas menjelma menjadi mimpi buruk: tertindas, terpecah-belah, terperbudak, timpang dan miskin. Secara umum, pemerintah Negara telah gagal menunaikan kewajibanya untuk “melindunggi segenap banggsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahtraan umum, mencerdaskan kehidupan banggsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan social”. Sebagaimana asumsi Yudif Latif soal itu. Kemerdekaan Indonesia kini telah memasuki usia 73 tahun. Usia yang sudah tergolong tua walaupun masih ada Negara yang jauh lebih tua kemerdekaanya dibanding Indonesia. Pada hakikatnya kemerdekaan indonesia yang diploklamirkan ditahun 1945 oleh Soekarno dan Hatta merupakan ikhtiar mengembalikan hak kebebasan hidup rakyat di tangan para kolonialisme, dengan kata lain Indonesia baru merdeka secara defacto dari penjajahan kolonialis dan belum merdeka secara murni (belum mendapatkan kemerdekaan sejati). Inilah yang dimaksud para Founding Father kita lewat amanat UUD 1945 pada alinea kedua yang berbunyi “mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan Negara Indonesia, yang bersatu, berdaulat, adil dan makmur”. Amanat Undang-undang ini merupakan isyarat bahwa perjuangan banggsa ini belum usai.
Faktanya, Jika kita memotret segalah lini kehidupan banggsa Indonesia saat ini, tak ubahnya Indonesia seperti “telur di ujung tanduk”. Bahkan, Perahu banggsa ini sedikit demi sedikit retak dihantam badai konspirasi yang begitu kencang : imperialisme, liberalisme, kapitalisme, dan bahkan komunisme yang kian menyerang seperti hama penyakit dan terus mengakar sistemik banggsa ini. Akibatnya, banggsa ini telah kehilangan jati dirinya, dimana yang seharusnya di taman nirwana ini tumbuh kesuburan hidup kebanggsaan seperti yang dicita-citakan oleh Founding Father kita, justru kini yang terjadi adalah malapetaka yang menimpah Negara: korupsi, kemiskinan, penganguran, kriminalitas dan ketidakadilan yang semakin tumbuh menjamur di banggsa tercinta ini.
Disisi lain, Indonesia pada perspektif kekayaanya, belum mampu dikelola secara mandiri oleh pemerintahan negeri ini, padahal dalam konstitusi Negara ini telah menjamin bahwa kekayaan alam banggsa ini harus dikelola sendiri oleh Negara dan dipruntukan sebesar-besarnya untuk kesejahtraan rakyat seperti tertuang dalam UUD 1945 pasal 33 ayat 3. Oleh sebab itu, kekayaan alam Indonesia telah dieksploitasi habis-habisan oleh bangsa asing melalui pesanan mereka terhadap UU yang diproduksi oleh Negara ini, nyatanya banyak UU yang pro neoliberalisme, yaitu undang-undang yang memberi kebebasan kepada pihak asing untuk menguasai kekayaan nasional (UU Nomor 22 Tahun 2011 tetang Migas, UU Nomor Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara, UU Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, dan UU Nomor 7 Tahun 2004 tentang sumberdaya air, UU Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan, UU Nomor 19 Tahun 2004 tentang Kehutanan, RUU Pengadaan Tanah, dan lain-lain ). Dampaknya, modal asing menguasai kekayaan alam nasional di sektor migas (85-90%), kekayaan batubara (75%), mineral (89%), perkebunan (50%), dan lain-lain. Akibatnya 90% keuntungan ekonomi mengalir keluar, dan hanya 10% yang dibagi-bagi di dalam negeri.
Pada perspektif hukum, Indonesia masih jauh dari keadilan mengunakan hukum. Nyatanya, konstitusi Negara ini telah menjamin bahwa semua golongan sama dimata hukum. Namun, pada aplikasi peradilan justru hukum semakin tajam kebawa dan tumpul keatas. Sebab itulah, Keadilan semakin menjadi barang mahal di Negeri ini. Meminjam apa yang dikatakan oleh John Brown bahwa “Hukum digunakan seperti sarang laba-laba yang hanya menangkap lalat-lalat kecil dan membiarakan tawon meloloskan diri”. Senada juga dengan apa yang diceramahkan oleh Kiai H. Zainudin MZ (almarhum) bahwa “Negeri ini banyak peradilan tetapi susah keadilan”.
Akhir-akhir ini Negara semakin jauh dari amanat konstitusi Negara kita. Politik legislasi yang dimainkan oleh wakil rakyat kita kemarin juga melahirkan banyak RUU yang kontroversial dan tidak pro terhadap rakyat sehingga mengundang aksi mahasiswa yang masif di berbagai daerah. Dan ditengah sunyi lahir juga UU Omnibuslaw yang menurut berbagai pengamat sangat meresahkan kaum Buruh dan menguntungkan investasi asing. Akhir dari masalah yang ada ini dapat kita tarik sebuah benang merah bahwa seperti “surga” Indonesia justru ditumbuhi bara “neraka” yang begitu panas. Utopis, rakyat begitu nestapa.
Posting Komentar
0 Komentar