Membaca, Merenung, Kemudian Menulis


Membaca, Merenung, Kemudian Menulis
Yanuardi Syukur






Jika disingkat, alur interaksi kita di medsos idealnya urutan tiga ini. Mulai dari baca-baca, terus merenung, kemudian tulis-tulis. Jika ada isu hangat, janganlah langsung tulis, tapi mulailah dengan membaca. Bacalah broadcast medsos bilang apa, bacalah status orang menyatakan apa, bacalah berita ngangkat apa, dan bacalah juga buku menulis apa.



Setelah baca, sediakan waktu untuk merenung. Bisa ditambahkan pertanyaan kembali tentang 'kebenaran faktual' yang dipercaya insan medsos. Suatu berita, perlu ditanyakan: sumbernya dari mana? kontennya berbicara apa? masuk akalkah? Jika kontradiksi, coba cocokkan sekian bacaan dengan pendapat ahli.



Jika sudah membaca dan merenung, bolehlah dilanjutkan dengan menulis. Problemnya jika tidak baca dan merenung tapi langsung menulis adalah potensi keteledorannya tinggi. Orang yang baca banyak saja bisa salah, apalagi kalau tidak baca sama sekali. Menurutku, kita jangan terjebak mau dibilang "update", tapi sembrono. Mau dibilang pandai, mau dibilang cerdas, mau jadi yang pertama, atau mau disebut-sebut orang.



Banyak orang jatuh ketika teledor. Buru-buru menulis karena tidak mau kehilangan momen. Akhirnya, tanpa ilmu, tulisan itu bisa jadi fitnah, atau bahkan hanya sampah. Jika mau menulis sampah baiknya untuk memprivate medsos--agar hanya diri sendiri yang lihat. Maka, usahakan tidak buat status sampah, tweet sampah, apalagi yang mengandung fitnah.



Kita perlu berhati-hati dengan tulisan. Salah tulis, nama orang bisa tercemar. Salah ucap juga nama diri sendiri bisa jatuh. Mungkin lebih baik menahan diri pada hal-hal yang kita tidak tahu, atau bertanya pada orang yang lebih tahu. Orang yang lebih tahu itu bisa dilihat dari kajiannya, ketertarikannya, atau juga pengalamannya. Baca itu, kemudian renungkan, olah dalam pikiran, dan setelah itu barulah ditulis. Membaca, merenung, dan menulis. Ini tiga langkah bijaksana yang dapat kita lakukan agar medsos kita ini produktif.



Pandemi, dari Status ke Buku

Di masa pandemi hari kita lebih banyak di media sosial ketimbang sebelum pandemi. Kesempatan untuk sharing atau 'curhat' juga sepertinya meningkat, baik itu bentuk tulisan atau ngobrol sama teman via medsos.


Intensitas itu sebenarnya dapat dimanfaatkan untuk menulis buku. Coba cek setahun terakhir ada berapa status FB yang kita tulis. Pastinya ada hal baik yang dapat diterbitkan dari situ dalam bentuk buku. Kumpulkan misalnya 100 status di masa pandemi, itu judulnya dan terbitkan.



Penerbitnya tidak harus yang gede-gede atau mayor. Penerbit indie juga tidak mengapa. Sekarang banyak penerbit indie yang bisa bantu, dan biayanya juga terjangkau, mulai dari kurang 200ribu sampai 5juta--dan seterusnya. Artinya, penerbit itu banyak. Tidak perlu khawatir.



Jika status FB-nya kurang, masih ada jalan lain. Mulai sekarang buatlah status yang inspirasinya dari status orang lain. Misal, saat lihat teman bikin status, coba ambil kalimatnya sedikit kemudian kembangkan. Ditambah dengan pengalaman personal, atau jika ada: bacaan.



Kita bikin mudah saja. Karena di masa pandemi ini kita dijebak oleh situasi untuk terkekang. Dalam kondisi begini kadang kita harus mundur sejenak agar bisa berkompromi dengan situasi. Turunkan idealita, lakukan yang bikin happy, tapi terus belajar dan tingkatkan kapasitas.



Jika bukunya sudah terbit, jangan lupa untuk posting di medsos. Jangan takut dengan komentar orang. Jika ada yang baik, ambil, tapi juga ada yang komen negatif juga diterima saja. Karena itu bagian dari proses kita menghadapi pandemi.



Tidak ada hal yang betul-betul ideal bisa kita lakukan di zaman kayak sekarang. Yang bisa adalah buat sesuatu yang menyenangkan, baru, dan bernilai positif untuk mengembangkan potensi diri. Bisa jadi, apa yang baru itu malah ke depannya jadi sesuatu yang potensial untuk digeluti, dan membuka pintu rezeki baru.

Posting Komentar

0 Komentar