Menanti Sastra KAMMI


Menanti Sastra KAMMI
Ahmad Rizky Mardatillah Umar
Peneliti dan Penikmat Cerpen-Cerpen Kuntowijoyo






Dalam sebuah perbincangan di sela-sela Sarasehan KAMMI di Jakarta, 2 tahun silam, ada satu tema yang sempat saya dan beberapa orang perbincangkan: soal budaya. Obrolan sederhana saja: bagaimana kalau KAMMI menggagas semacam wadah kebudayaan, yang bisa menjadi wadah berkarya bagi kader-kadernya yang punya minat di bidang sastra, seni, dan kebudayaan kontemporer.


Harus diakui, selama belasan tahun hidup di Indonesia, tema-tema soal sastra, kesenian, dan secara lebih luas kebudayaan absen dalam ruang-gerak KAMMI. Hal ini tidak mengherankan. Di dalam Filosofi Gerakan, wa bil khusus Filosofi Gerakan KAMMI yang tercantum di GBHO, tak sekalipun tema kebudayaan disinggung. Yang dominan adalah KAMMI sebagai Gerakan Politik. Isinya adalah hubungan KAMMI dengan partai politik, LSM, negara, dan elemen politik lain. Tak ada disinggung hubungan KAMMI dengan Dewan Kesenian Daerah, para Sastrawan, atau komunitas penyanyi dangdut di masing-masing kampung.


Saya bisa memahami kalau elemen-elemen yang saya sebut di atas absen dalam jati diri KAMMI. Dalam proses kesejarahan organisasi ini, KAMMI memang men-tanfidz-kan diri sebagai gerakan mahasiswa yang bergerak secara politis. Hal ini tercermin dari jargon "Muslim Negarawan" yang jadi orientasi perkaderan KAMMI. Mungkin (sekali lagi mungkin) karena orientasi ini, kader-kader KAMMI dilatih untuk menjadi kader-kader pemimpin yang siap mengakses negara ketika mereka siap. Mungkin, menjadi sastrawan tidak cukup bonafit untuk disebut sebagai "negarawan".


Padahal, jika boleh jujur, salah satu Paradigma Gerakan KAMMI, Intelektual Profetik, sangat banyak mengambil inspirasi dari Profesor Kuntowijoyo. Tetapi sadarkah anda, bahwa Kuntowijoyo lebih dikenal sebagai penyair dan penulis Cerpen daripada sebagai intelektual? Atau mungkin kita bisa bertanya: apakah menjadi "Muslim Negarawan" berarti KAMMI tidak perlu mencetak sastrawan, seniman, atau mereka yang berkiprah dalam memajukan kebudayaan bangsa?


Setahu saya, ada banyak kader dan alumni KAMMI yang menyukai sastra. Banyak yang merupakan penulis dan editor yang sangat sastrawi. Yons Achmad, misalnya. Beliau senior yang sudah lama sekali berkiprah di KAMMI Pusat. Saya tidak begitu mengenal mas Yons secara dekat (beliau jauh lebih senior), tetapi saya bisa merasakan spirit kebudayaan KAMMI hidup dalam esai, puisi, dan tulisan-tulisan beliau. Di generasi beliau mungkin ada nama-nama seperti Aini Firdaus, Muthia Esfand atau Diyah Kusumawardhani (mbak Menik). Esai mbak Menik banyak dijumpai di Majalah Sabili. Mbak Aini menggawangi rubrik di majalah UMMI. Mbak Muthia kita kenal dengan karya-karyanya soal beladiri akhwat. Setidaknya, dari tulisan-tulisan mereka yang bertebaran di Milis KAMMI (yang sekarang tidak lagi aktif), kita bisa menyaksikan bahwa ada "sisi lain" dari KAMMI yang tidak melulu berkutat soal konfilk Partai Politik dan demonstrasi-demonstrasi.


Namun, persoalannya satu: seberapapun banyaknya kader-kader KAMMI yang nyeni dan nyastra, mereka tidak berkebudayaan di KAMMI. Menulis di tema-tema sastra adalah sesuatu yang 'sambil lalu' di KAMMI. Ini mungkin menjelaskan mengapa sampai sekarang sedikit sekali (atau mungkin tidak ada?) KAMMI yang punya sanggar teater atau sanggar sastra. Mungkin, banyak kader dan alumni KAMMI yang menyukai dan menikmati sastra, tetapi ketika berada di KAMMI, tidak ada tempat yang cukup untuk puisi, lagu, cerpen, atau novel yang mereka ciptakan.


Pun demikian di masa sekarang. Kita bisa menyebut beberapa nama 'generasi baru' aktivis KAMMI yang berkiprah di bidang kebudayaan: Dharma Setyawan, Rama Aditya Firdaus, Larastika Aghnia, atau (dalam beberapa hal) Umarov Azzami dan Dedy Yanwar Elfani. Dharma dan Dedy berspesialisasi di puisi dan sajak. Beberapa puisi Dharma bahkan sudah diadaptasi dalam bentuk lagu. Rama Aditya Firdaus menulis novel. Larastika Aghnia dan Meichy Ismail memproduksi lagu.


Dan tentu saja banyak kader lain yang suka menulis dan suka sastra. Mungkin suka melukis. Ini artinya, KAMMI tidak kekurangan "budayawan". Namun, ketika masuk lebih dalam ke KAMMI, bayangan para sastrawan dan seniman muda itu tenggelam oleh (mohon maaf) cerita tentang heroisme demonstrasi di masa lalu. Tenggelam oleh abang-abang yang sekarang berkiprah di partai politik atau jadi pimpinan Dewan. Persoalannya mungkin sederhana: apa sih sumbangsih karya sastra itu bagi gerakan? Dalam lanskap politik dan gerakan yang mengedepankan kuasa dan untung-rugi, sastra akan dipandang sebelah mata.



Padahal, dalam pembangunan sebuah bangsa (dan tentu saja negara), sastra punya peran yang sangat penting. Dalam esainya, Dharma Setyawan menulis bahwa sastra"...adalah bandul tegaknya keadilan berpikir untuk mempertahankan Indonesia. Pakem berpikir para pemimpin yang tidak berkualitas diobati dengan pijakan sastra. Sastra mengobati kesalahan-kesalahan bangsa ini—yang memberi ruang besar pada dominasi panggung oligarki politik. Mereka yang tidak siuman dari pingsan kedunguan dan tidak memiliki kesadaran untuk berbudaya akan selalu dipantik oleh sastra...". Artinya, sastra dan gerakan adalah dua sisi mata uang. Sastra membahasakan apa yang terlupakan, atau tak mampu dikatakan oleh politik. Sastra membuat para politisi sadar tentang sisi kemanusiaannya, dan menjadikan seorang aktivis mahasiswa lebih kreatif, bisa menghadirkan isi dari gerakan-gerakan yang dibangun selama ini.


Bagi KAMMI, sastra adalah kritik. Sastra adalah bahasa lain dari gerakan, yang membawa kesejukan di saat politik justru membawa bara yang panas. Dengan kata lain, sastra, dan kebudayaan secara lebih luas, juga perlu dipikirkan sebagai bagian tak terpisahkan dari gerakan KAMMI.


Ketika situasi di KAMMI sering diwarnai oleh konflik dan prasangka, kita bisa berefleksi: mungkin KAMMI jauh dari sastra dan budaya. Keringnya nuansa sastrawi pada diri KAMMI sebetulnya dapat kita lihat dari satu hal sederhana: mars dan lagu-lagu aksi. Mars KAMMI adalah salah satu terobosan penting yang melambangkan eksistensi kebudayaan di tubuh gerakan.Tetapi jika anda mendengar mars itu, apa yang akan ada dalam benak dan bayangan anda? Mars yang kaku, penuh dengan nuansa keprajuritan, dan penuh dengan maskulinitas. Begitu juga dengan lagu aksi. Selain Mars KAMMI, apa yang dinyanyikan ketika berada di tengah-tengah massa? Mungkin lagu nasyid haroki atau justru lagu-lagu warisan '98 seperti Darah Juang atau Buruh Tani.


Silakan berefleksi. Mungkin saya keliru. Tetapi ada satu hal yang jelas: KAMMI mungkin perlu sedikit lebih humanis dan mengakomodasi sastra, seni, teater dan hal-hal lain yang masuk dalam ranah besar kebudayaan dalam dimensi gerakannya. Ini tidak berarti KAMMI menjadi gerakan kepenulisan atau gerakan sastra. Gerakan tetap Gerakan. Dimensinya saja yang perlu diperluas. Dan jika KAMMI memang ingin mengembangkan kebudayaan sebagai salah satu dimensi gerakannya, artinya KAMMI perlu memberikan wadah yang cukup bagi kader-kadernya jika mereka ingin mengembangkan naluri sastra dan jiwa seninya, sebagaimana kader-kader KAMMI ingin belajar menjadi politisi dengan berkiprah di dalamnya.


Adalah sebuah anggapan yang keliru jika menganggap bahwa jika ingin berkesenian, pergilah ke kumpulan sastra seperti FLP dan bukan di KAMMI. Konsepsi kebudayaan yang dipahami oleh KAMMI dan FLP jelas berbeda. FLP mungkin adalah wadah yang tepat jika ingin mengembangkan sisi-sisi sastra dan seni. Tetapi, bukankah FLP tidak pernah menjadikan dirinya sebagai "gerakan" dan (melihat beberapa perkembangan) justru mengakomodasi konsep kebudayaan pasar di dalam dirinya dengan masuk pada ranah budaya populer, sementara KAMMI justru (katanya) anti-neoliberalisme dan turunan-turunan kebudayaannya? Atau, sebagaimana pernah diangkat Bang Yons dalam sebuah esai polemiknya dengan teman-teman FLP, apakah KAMMI siap menerima konsepsi "Sastra Santun" yang ujung-ujungnya adalah membenarkan kehendak partai politik di alam kebudayaan?


KAMMI mungkin belum punya konsep yang jelas tentang kebudayaan. Hal ini bisa dipahami karena desain gerakannya tidak pernah menyentuh ranah ini. Akan tetapi, menyambut usianya yang ke-17, sebuah usia puber, mungkin kita semua perlu merefleksi diri: mungkin ke depan perlu konsepsi yang lebih jelas soal ini. Bisa jadi perlu ada sedikit pembicaraan di sela-sela agenda Muktamar atau cukup dalam obrolan-obrolan sederhana. Yang penting dibicarakan, Biar anak-anak KAMMI tidak cepat naik darah dalam berpolemik atau menghadapi kritik. Dan biar kita, meminjam istilah Dharma, bisa menegakkan cinta di tengah permusuhan.

Posting Komentar

0 Komentar