Dalam Sebuah Pencarian - Ghiroh dan Akhlak
Ghiroh dan Akhlak
Senin malam lalu, Departemen Kaderisasi PD KAMMI Kota
Ternate menggelar mabit (Malam Bina Iman dan Takwa). Menurut Manhaj Kaderisasi
1427 H, Mabit adalah sarana kaderisasi
bagi seluruh kader yang dilakukan untuk meningkatkan kualitas dan ukhuwah
kader.
Mabit gabungan yang diikuti oleh
beberapa ikhwan ini diantaranya dari beberapa Pengurus Komisariat dan Pengurus
Daerah diselenggarakan di Masjid Al-Amin, Kelurahan Stadion.
Awalnya dibuka langsung oleh
Departemen Kaderisasi PD KAMMI Kota Ternate, Akhuna Yusuf. Mabit dimulai dengan
melafadzkan basmallah dan salah seorang ikhwan tilawah. Berdasarkan susunan
acara mabit maka agenda selanjutnya adalah informasi dunia Islam. Beberapa
kader menyampaikan informasi terkait info Palestina dan Mesir. Selanjutnya
kader-kader dipersilahkan untuk masing-masing tilawah sambil menunggu pemateri
datang.
Ustad Zaid adalah pemateri pada
mabit malam itu. Dan materi pada mabit malam itu adalah “Birrul Walidain dan
Silahturahim”. Tak lama berselang sekitar pukul 10 malam, Ustad Zaid dating
untuk mengisi materi. Dan yang menjadi moderator dalam materi ini adalah Akhuna
Mujibur yang juga selaku Ketua Departemen Kaderisasi.
Dalam awal penyampaian materi Ustad
Zaid berkata, “Agama itu nasihat”. Birul walidain itu artinya berbuat baik kepada
orang tua. Al-Bir adalah baiknya akhlak dan walidain adalah orang tua. Dapat
diartikan birul walidain adalah berbakti kepada orang tua kita yang tercermin
dari akhlak kita. Begitulah kata Ustad Zaid.
“Allah
merahmati orang tua yang anaknya berbakti kepada orang tua”, timpal Ustad
Zaid. Dalam hal ini Ustad Zaid mencoba menguraikan bagaimana orang tua harus
memposisikan anaknya, 0-7 Tahun dijadikan sebagai raja, 7-17 tahun dijadikan
sebagai tawanan, dan diatas 17 tahun dijadikan sebagai teman.
Ustad Zaid juga menjelaskan tentang
hukum birul walidain. Hukumnya adalah fardhu ain. “Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu
apapun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapak, karib-kerabat,
anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat, dan tetangga yang
jauh, teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahayamu.” (An-Nisa [4] : 36).
Allah mensejajarkan hindari
perbuatan syirik dengan birul walidain. Dalam artian memiliki
tingkatan-tingkatan. Dan secara itjma hukumnya fardhu ain.
Ustad Zaid melanjutkan bahwa
keutamaan birul walidain. Diantaranya pertama, sebuah amalan yang paling
dicintai oleh Allah. Berdasarkan Hadits riwayat Ibnu Masud, “Sholat tepat waktu, berbakti pada orang
tua, dan berjihad di jalan Allah”. Kedua, doa mereka mustajab. Berdasarkan
Hadits riwayat Al-Baihaqi, “Doa orang
tua, doa orang berpuasa, dan doa orang safar”. Ketiga, masuk surga.
Ustad Zaid kembali mengatakan,
“Seorang ibu berhak mendapatkan perlakuan yang diutamakan dari anaknya”. Ustad
Zaid juga mengatakan “Selama perintah orang tua tidak bertentangan dengan
perintah Allah, maka sudah kewajiban kita mengikutinya”.
Selanjutnya Ustad Zaid menyampaikan
materi tentang Silahturahim. Beliau membedakan antara silahturahim dan
silahturahmi. Silahturahim artinya menyambungkan kasih sayang, sedangkan
silahturahmi artinya menyambungkan sakit di perut. Walaupun umumnya bahasa
Indonesia seringa memakai silahturahmi.
Sudah lama tidak bertemu dan saling
bertemu dan saling bermaafan itulah silahturahim, kata Ustad Zaid dalam
mendefinisikan silahturahim. “Barang siapa yang ingin rezekinya diperluas, usia
diperpanjang, maka jagalah silahturahim”. Silahturahim sebagai peluang untuk
hidup bertambah atau untuk selalu dikenang, lanjut Ustad Zaid.
Di akhir penyampaian materi ini Ustad
Zaid katakan, “Kita ini di dunia,
kadang-kadang kita tidak tahu nanti di akhirat. Mungkin dan ataupun kita bakal
terkejut dengan amalan-amalan yang kecil. Maka lakukanlah amalan-amalan
kebaikan yang ada”. Amalan jariah adalah ilmu yang bermanfaat, sedekah, dan
anak yang saleh.
Setelah penyampaian materi ini
berlanjut pada diskusi. Diantaranya pertanyaan dari akhi Akmal dan akhi Indro.
Selanjutnya setelah diskusi selesai. Kader-kader diharuskan beristirahat.
Agenda mabit berakhir setelah dua agenda terakhir qiyamul lail dan membaca
Al-Matsurat.
#
Departemen Kaderisasi KAMMI Kota Ternate, melakukan
kembali agenda rutin mereka, taskif dan iftor jamaai. Tema kajian hari itu
adalah “Ghiroh dan Akhlak” yang dibawakan oleh Ustad Zaid.
Memulai kajian itu Ustad Zaid
bertanya “Apa sebenarnya tujuan kita
tarbiyah?”. KAMMI lebih terlihat haraki-nya, tandas beliau. Aktivis yang
sehat itu bergerak, bergerak, bergerak. Seperti air jernih yang tergenang tidak
bergerak maka menjadi sumber penyakit, lanjut beliau. Fungsi tarbiyah itu
seperti anak panah. Siap digerakkan kemana saja, ungkap beliau.
Ghiroh dan Hamasah memiliki arti
yang mirip ialah semangat. Dalam segi psikologi maka ghirah adalah semangat
karena cinta terhadap sesuatu. Ataupun cemberu karena terhadap sesuatu yang
lain yang lebih semangat dari kita ataupun karena dakwah dihina oleh yang lain.
Ghiroh menghasilkan fasthabikul khairat, tandas beliau.
Beliau melanjutkan ghiroh bukan
berorientasi pada be the best tapi do the best. Maka ia berikan yang
terbaik tanpa memperhatikan hasil. Tapi kalau yang dilakukan be the best maka kita perlu lihat niat
kita mungkin setan sedang bergerilya. Kita berjuang, kita berinfak, kita
meluangkan waktu dan jiwa kita tanpa konpensasi. Jangan kita mencari hidup di
dalam dakwah tapi kita yang menghidupkan dakwah, ungkap beliau.
Hamasah bisa berarti sikap responsif dalam menghadapi
seruan dakwah. Kita akan lebih siap ketika menerima tugas. Tanpa melihat
siapapun yang menyuruhnya, penjelasan Ustad Zaid. Gabungan dari ghiroh dan
hamasah ialah jiwa yang responsif dan jiwa yang inisiatif, tambah beliau.
“Hai orang-orang yang
beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru kamu
kepada suatu yang memberi kehidupan kepada kamu, ketahuilah bahwa sesungguhnya
Allah membatasi antara manusia dan hatinya dan sesungguhnya kepada-Nyalah kamu
akan dikumpulkan” (Q.S. Al-Anfal : 8 : 24)
Allah membatasi manusia dengan hatinya,
ungkap beliau.
“Berangkatlah kamu baik
dalam keadaan merasa ringan maupun berat, dan berjihadlah kamu dengan harta dan
dirimu di jalan Allah. Yang demikian itu adalah lebih baik bagimu, jika kamu
mengetahui” (Q.S. At-Taubah : 9 : 41)
Ketika ghiroh dan hamasah bergabung dalam diri kita
maka kita perlu menjaganya. Menghasilkan jiwa yang responsif menghadapi seruan
dakwah Allah dan jiwa yang inisiatif. Iman itu fluktuatif, naik turun. Jadi
bagaimana manajemen ghiroh. Pertama, kita perlu pahami bahwa ghiroh kita
terhadap dakwah adalah hidayah dari Allah. Maka artinya kita adalah pilihan.
Maka semangat kita itu perlu kalau dalam grafik. Minimal kalau naik tidak harus
titik optimal dan kalau turunnya tidak harus sampai titik terbawah, minimal
sedikit. Maka yang harus dijaga adalah trennya. Naik dan turunya sedikit tapi
konsisten, ungkap beliau.
Beliau melanjutkan menjelaskan tentang manajemen
dakwah. Pertama, upayakan peningkatan amal secara bertahap. Ibarat motor harus
dipanaskan dulu. Dan jalannya bertahap dari gerigi satu ke dua ke tiga hingga
ke empat. Yang terpenting konsistennya.
Kedua, hilangkan merasakan futur. Titik jenuh. Futur
itu suatu hal yang manusiawi asalkan futur itu tidak ke insilah (menarik diri
dari jamaah, lepas dari jamaah). Maka kita jangan lepas dari sisi kesolidan.
Saling mengingatkan ketika salah satunya lelah. Aktivis dakwah itu harus
memiliki aura tidak kenal lelah walaupun ia lelah.
Ketiga, menyeluruh dalam menyalurkan ghirohnya. Jangan
patah semangat tapi tularkan semangat.
Beliau kemudian menjelaskan tentang akhlak. Berbicara
tentang akhlak, maka tidak lari dari suri teladan kita, Rasulullah. Ketika
Aisyah ra ditanyakan tentang akhlak Rasulullah, ia menjawab akhlak Rasulullah
adalah Al-Qur’an.
Masalah akhlak itu menjadi api dalam sekam. Karena
dalam dakwah itu terdapat berbagai karakter. Maka kita perlu memahami (tafahum)
karakter kita. Tanpa menghilangkan rasa ukhuwah kita. Ketika sudah sama-sama
saling memahami, maka komunikasi menjadi lebih efektif, ungkap beliau.
Aktivis dakwah harus mampu menempatkan ghiroh dan
hamasah maka itulah akhlaknya dan disatu sisi ia menjaga interaksinya dengan
lawan jenisnya, tanpa harus kaku. Tapi tanpa menyampingkan kaidah-kaidah dan
syariat, lanjut beliau.
Beliau menambahkan dalam dakwah ini merupakan jalan
panjang yang tidak berhenti pada satu titik. Jalan panjang ini memang tidak
kelihatan ujungnya dan menjadi sunatullah dari zaman Rasulullah hingga kini.
Dan berlangsung secara estafet. Kita membutuhkan nafas panjang. Dan orang-orang
yang siap melanjutkan. Yang kita perlu istiqomah dan percepatan. Bagaikan pada
pelari sprint, marathon, dan menengah, semuanya memiliki cara dan strategi lari
yang berbeda.
Bukan dilihat dari banyak amalannya, banyak kerjanya,
banyak aktivitasnya tapi kita mempertahankan semangat kita, konsistensi dalam
dakwah. Istiqomah dalam dakwah, lanjut Ustad Zaid.
Konsep semangat para pemuda dan kebijaksanaan orang
tua. Dalam diri pemuda itulah semangat dan dalam diri orang tua itulah
kebijaksanaan. Ada satu yang semangat dan ada satu yang bijaksana. Bahkan
organisasi dakwah itu harusnya adalah perjalanan panjang dalam menuju peradaban
hingga bumi itu hancur bagai puing-puing, tandas Ustad Zaid.
Posting Komentar
0 Komentar