Islamisme adalah Sosialisme Sejati; Sekedar Refleksi Gagasan Tjokroaminoto
Islamisme
adalah Sosialisme Sejati; Sekedar Refleksi Gagasan Tjokroaminoto
M.
Sadli Umasangaji (Founder Celoteh Ide, Peserta Sekolah Pemikiran Pendiri Bangsa
Megawati Institute Angkatan IX)
Semua bermula dari kalimat Murtadha
Muthahhari bahwa gerakan sosial haruslah bertumpu pada gerakan pemikiran dan
kultural atau ia akan terjerumus dalam perangkap gerakan yang memiliki landasan
budaya dan luluh di dalamnya sehingga berubah arah tanpa bisa dicegah. Dan Gramsci menuliskan “Tak ada organisasi
tanpa pemikiran, dengan kata lain, tanpa pengorganisir dan pemimpin, tanpa
aspek teoretis dari kesatuan teori-dan-praktik yang dalam kongkretnya terwujud
dalam strata orang-orang yang ‘berspesialisasi’ dalam elaborasi konseptual dan
filosofis”.
Kita dapat memulai dengan mengutip
apa yang dipertanyakan dan dituliskan Nurcholish Madjid, “Pertanyaan: mengapa
sosialisme, dalam konteks Indonesia, mungkin tidak perlu lagi diajukan? Sebab,
sosialisme dapat dianggap sebagai suatu cara lain untuk mengungkapkan ciri masyarakat
yang dicita-citakan oleh Pancasila, yaitu masyarakat berkeadilan sosial”.
Dalam konteks Indonesia, tulis
Nurcholish Madjid bahwa bahkan suatu frasa, yakni Sosialisme Religius, baik
sebagai istilah maupun sebagai ide bukanlah sesuatu yang sama sekali baru,
khususnya di Indonesia. Sudah semenjak masa perkembangan Sarikat Islam,
khususnya setelah mengalami sentuhan dengan paham-paham sosialis-komunis Barat
yang mengadakan infiltrasi ke dalam tubuhnya, ide sosialisme-religius itu mulai
mendapatkan perumusan-perumusan sistematis dan serius, meskipun mungkin belum
sepenuhnya memuaskan. HOS Tjoktoraminto menulis buku berjudul Islam dan
Sosialisme, dan H. Agus Salim mengemukakan pikiran bahwa ide sosialisme sudah
tercakup dalam ajaran-ajaran agama, khususnya agam Islam. Syafruddin
Prawiranegara pernah pula menulis sebuah pamflet yang isinya menegaskan bahwa
seorang Muslim haruslah sekaligus seorang sosialis. Karena pikiran-pikiran
serupa itu, tidak mengherankan, jika Masyumi, oleh Kahin, digolongkan sebagai
“Islam Kiri” atau “Islam Sosialis”.
Gagasan Tjoktoraminto soal Islam dan
Sosialisme pada konteks itu memang untuk menghadang Serikat Islam Merah
sekaligus memberikan gagasan bahwa Islam relevan dengan sosialisme. Gagasan itu
pada konteks sekarang telah menjadi anasir untuk gagasan Sosialisme Religius. Tjoktoraminto
menuliskan “Tetapi barang siapa mengetahui bahwa pemikiran demokrasi dan
sosialisme itu telah berakar kuat di dalam Islam, niscaya terlihat benar akan
kebutaan orang banyak tentang Islam”.
Tjokroaminoto dalam bukunya
menuliskan beberapa bab dengan beberapa tema diantaranya; Sosialisme dalam
Islam, Kehidupan Sosial dalam Masyarakat Islam, Sosialisme Nabi Muhammad,
Sahabat-Sahabat Nabi yang bersifat Sosialis dan Imperialisme Muslim dan lainnya.
Tjokroaminoto menempatkan sholat, ibadah bahkan sholat jumat sebagai dasar
perintah-perintah Agama yang bersifat sosialistik. Dengan maksud persatuan dan
pergaulan hidup manusia bersama. “Menurut perintah agama yang telah ditetapkan
oleh Nabi SAW, sekalian orang Islam, kaya atau miskin, dari berbagai macam suku
bangsa dan warna kulit, pada setiap jumat harus dating berkumpul di dalam
masjid dan menjalankan sholat dengan tidak mengadakan perbedaan sedikitpun juga
tentang tempat atau derajat”.
Tjokroaminoto membagi anasir-anasir
Sosialisme dalam Islam, diantaranya; kemerdekaan, persamaan, dan
persaudaraan. Kemerdakaan dengan artian
tiap-tiap orang Islam tidak harus takut kepada siapa atau apa pun juga,
melainkan diwajibkan takut kepada Allah saja. Persamaan dengan artian kaum
muslimin pada zaman dulu bukan saja semua menganggap diri mereka sama, tetapi
mereka menganggap semua merupakan satu kesatuan. Di antara orang-orang Muslimin
tidak ada sesuatu perbedaan yang manapun juga macamnya. Dalam pergaulan hidup bersama
di antara mereka tidak ada perbedaan derajat dan tidak ada pula sebab-sebab
yang boleh menimbulkan perbedaan kelas. Persaudaraan dengan artian, Islam
adalah sebenar-benarnya satu agama yang bersifat demokratis dan telah
menetapkan beberapa banyak hukum yang bersifat sosialistik bagi orang-orang
yang memeluknya. Islam menemukan persaudaraan yang harus dilakukan benar-benar
diantara orang-orang Islam di negeri manapun juga, baik yang berkulit merah
ataupun berkulit kuning, berkulit putih atau hitam, yang kaya atau yang miskin.
Persaudaraan Islam sangatlah elok dan indah sifatnya. Ia dapat menghilangkan
permusuhan yang berasal dari turun temurun yang sudah berabad lamanya, orang
asing dijadikannya sahabat karib dan persahabatannya itu lebih kuat daripada
perhubungan saudara yang berasal dari satu darah. Kemudian Tjokroaminoto
menuliskan, “Dengan sebenar-benarnya persaudaraan di dalam Islam adalah
sesempurna-sesempurna persaudaraan, baik di dunia maupun persaudaraan di
akhirat”.
Sedangkan dalam Kedermawanan Cara Islam,
Tjokroaminito menguraikan anasirnya dalam Islam seperti, “Pertama, akan
membangun rasa ridho mengorbankan diri dan rasa melebihkan keperluan umum
daripada keperluan diri sendiri. Lebih baik mati sendiri, tetapi janganlah
membiarkan orang lain mati karena kelapran, inilah rupanya yang telah menjadi
pokoknya cita-cita. Kedua, akan membagi kekayaan sama rata di dalam dunia
Islam. Dengan lantaran menjadikan pemberian zakat sebagi salah satu rukun
Islam, adalah dikehendaki: supaya umpamanya ada orang mendapat tinggalan warisa
harta benda yang besar, orang-orang yang miskin dan kekurangan akan mendapat
bagian daripada kekayaan itu. Ketiga, untuk menuntun perasaan orang, supaya
tidak menganggap kemiskinan itu satu kehinaan, supaya orang anggap kemiskinan
itu lebih baik daripada kejahatan. Sebagian orang suci dalam Islam lebih
memilih hidup miskin, sedangkan kita punya Nabi yang mulia itu sendiri telah
berkata; kemiskinan itu menjadikan besar hati saya”.
Dalam BAB lain misalkan
Tjokroaminoto menuliskan tentang Sosialisme yang Menyelamatkan Rumah Tangga.
Saya kira pembahasan ini ditujukan kepada khalayak umum baik orang Muslim
ataupun orang non-Muslim ataupun pandangan Barat agar terbuka kepada Islam.
Maka ditulislah, “Perkawinan adalah perkara yang terpenting di dalam ekonomi
yang berhubungan dengan kehidupan dalam rumah tangga dan dalam kehidupan
masyarakat. Nabi kita menentukan perkawinan (pernikahan) itu hendaknya
dilakukan dengan cara yang sederhana dan lumrah sekali. Kemudian diawalnya
dijelaskan, “Ini adalah langkah untuk mempermudah tujuan bagi rakyat untuk
terikat menjadi satu persatuan dan akan menjadi satu keluarga, dan akhirnya
mempermudah tercapainya cita-cita, “Satu Allah di atas dan satu persatuan
rakyat di bawah”. Semua manusia (segenap peri-kemanusiaan menjadi satu
persatuan, satu rakyat, satu Negara, diperintahkan dan dikuasi oleh satu Allah,
yaitu Allah yang Maha Kuasa, dengan lantaran hukum yang sudah diturunkannya
kepada Nabi Muhammad SAW dengan perantaraan Malaikat Jibril, yaitu kitab Suci
al-Qur’an”.
Sedangkan tentang Umar sebagai
sahabat-sahabat Nabi yang bersifat Sosialis, dituliskan “Dia tidak pernah
menyimpan uang di dalam peti perbendaharaan negeri, tetapi pada tiap-tiap Jumat
malam dibagikan kepada rakyat menurut kebutuhan mereka masing-masing. Dia pun
berkata, bahwa barang-barang yang ada di dalam dunia ini oleh Allah diberikan
kepada kita dan tidak diberikan sebagai pembalasan kebajikan, sebab pembalasan
yang sejati di atas kebajikan termasuk perhitungan di kehidupan yang lain”.
Penulis
mengakhiri tulisan ini sebagaimana Tjokroaminoto pun menyebutkan, “Islamisme
adalah dasar dan sumber sosialisme yang sejati, untuk menimbulkan keselamatan
dunia dan keselamatan akhirat bagi segenap kemanusiaan”. Kemudian Tjokroaminoto
menuliskan, “Dengan sebenar-benarnya persaudaraan di dalam Islam adalah
sesempurna-sesempurna persaudaraan, baik di dunia maupun persaudaraan di
akhirat”.
Posting Komentar
0 Komentar