Natsir dan Muslim Negarawan
Natsir
dan Muslim Negarawan
M.
Sadli Umasangaji
(Peserta
Sekolah Pemikiran Pendiri Bangsa Megawati Institute Angkatan IX 2021)
Pendahuluan
Muhammad Natsir
merupakan seorang ulama, negarawan, intelektual, pembaharu, dan politikus
muslim Indonesia yang disegani. Selain di bidang pendidikan, Muhammad Natsir
banyak berkiprah di bidang politik. Aktivitas politiknya dimulai pada awal
tahun 1940 dengan menjadi anggota Partai Islam Indonesia (PII). Di masa
pendudukan Jepang (1942-1945), dia menjadi Kepala Bagian Pendidikan Kota Madya
Bandung, merangkap sebagai sekretaris Sekolah Tinggi Islam (STI) di Jakarta. Di
masa pendudukan Jepang, Natsir aktif dalam kepemimpinan Majelis Syura Muslimin
Indonesia (Masyumi) yang dibentuk atas inisiatif pemerintah militer Jepang.
Menurut Nastir, modernisasi politik Islam merupakan sikap dan pandangan yang
berusaha menerapkan ajaran dan nilai-nilai kerohanian Islam yang terkandung
dalam Al-Quran dan Sunnah, yang disesuaikan dengan perkembangan-perkembangan
mutakhir dalam sejarah peradaban manusia. Dalam
terma politik inilah, ia mewajibkan setiap umat Islam untuk berpolitik
sebagai sarana dakwah Islam (Silvia, G, 2015).
Natsir
melewati masa yang panjang, yaitu mulai
dari masa penjajahan, pemerintahan Orde
Lama, sampai dengan
Orde Baru. Perjuangan
panjangnya itu tidak
berjalan mulus tanpa
halangan, tetapi berkali-kali
beliau harus dihadapkan
pada berbagai permasalahan sulit. Perjuangan Natsir dan
sumbangsihnya bagi negara
banyak mengalami pasang surut,
mulai dari jasa-jasa
terhadap bangsanya sampai
dimusuhi oleh pemerintah karena pemikiran
dan tindakannya yang dianggap membelot (Raspati, HI, 2012).
Natsir
merupakan merupakan tokoh pejuang
bangsa sekaligus pejuang Islam. Natsir
adalah seorang pemikir,
negarawan, dan politikus yang gigih berjuang untuk tanah airnya dan
juga memperjuangkan Islam baik
di taraf nasional maupun internasional (Raspati, HI, 2012). Karakter Muhammad
Natsir yang menonjol menjadikannya berperan dalam kegiatan-kegiatan besar
seperti ketua Jong Islamieten Bond di Bandung, Menteri Penerangan, Perdana
Menteri, dan Ketua Partai Masyumi. Kapasitasnya tidak hanya diakui di dalam
negeri saja tetapi juga di luar negeri. Pada tahun 1980 Muhammad Natsir
dianugerahi penghargaan oleh King Faisal atas pengabdiannya pada Islam. Selain
itu atas segala jasa dan kegiatannya
pada tahun 1957 Muhammad Natsir memperoleh bintang kehormatan dari Republik
Tunisia untuk perjuangannya membantu kemerdekaan negara-negara Islam di Afrika
Utara (Muslimah, H, 2008).
Pandangan
Natsir Tentang Negara
Pada
pertengahan 1949, Indonesia berada di tubir jurang. Republik yang masih bayi
tak hanya menghadapi gempuran militer, tapi juga rongrongan diplomasi Belanda.
Salah satu pukulan yang menusuk jantung Republik adalah dibentuknya
negara-negara bagian yang tergabung dalam Bijeenkomst voor Federaal Overleg.
Dalam
sebuah tulisan pada 1982, Mr Mohammad Roem menyebut, "Memang sangat
menarik untuk membentuk negara bagian, lebih-lebih untuk menjadi kepala
negaranya. Orang memperoleh segala fasilitas keuangan dan teknis dari
pemerintah Hindia Belanda." Tak mengherankan bila kaum Republik mencemooh Bijeenkomst voor Federaal Overleg sebagai,
"Negara boneka bikinan Van Mook." Pada 27 Desember 1949 lahirlah
Republik Indonesia Serikat menggantikan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang
diproklamasikan 17 Agustus 1945. Soekarno tetap menjadi presiden dan Hatta menjabat
wakil presiden merangkap perdana menteri. Belanda melakukan penyerahan
kedaulatan disertai pengakuan kepada republik baru. Siasat Van Mook terbukti
tak berjalan mulus.
Di
Yogyakarta, Mr Asaat dilantik menjadi Presiden Republik Indonesia, salah satu
negara bagian dalam Republik Indonesia Serikat. Tapi, karena rakyat tak dapat
melepaskan pikiran dari wibawa dan pengaruh Presiden Soekarno, Asaat mengambil
sumpah sebagai "Pemangku Jabatan Presiden Republik Indonesia". Pada 4
Januari 1950, Asaat mengangkat tiga orang untuk membentuk kabinet, yakni Mr
Susanto Tirtoprodjo, Mohammad Natsir, dan Dr Halim. Pokok pertama program
kabinet itu berbunyi: "Melanjutkan
perjuangan untuk membentuk satu negara kesatuan yang akan meliputi Nusantara
sebagai tersebut dalam proklamasi 17 Agustus 1945”. Pada hari yang sama,
negara-negara bagian lain mulai bergolak. Kaum republiken dari berbagai pelosok
negeri menyampaikan aspirasi kembali ke Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Malang, misalnya, mencetuskan resolusi untuk
lepas dari Negara Jawa Timur dan menggabungkan diri dengan Republik Indonesia.
Pada 30 Januari 1950, giliran Kabupaten Sukabumi mengeluarkan resolusi serupa:
lepas dari Negara Pasundan dan bergabung dengan Republik Indonesia. Gejolak
yang sama terjadi di Negara Sumatera Timur. Di sini malah terjadi
demonstrasi-demonstrasi disertai kekacauan yang membuat polisi harus bertindak.
Menghadapi
situasi ini, Natsir segera bermanuver. Sebagai Ketua Fraksi Masyumi di parlemen
Republik Indonesia Serikat, ia mengambil inisiatif bertukar pikiran dengan
pemimpin-pemimpin fraksi lain. Natsir segera mencapai kesepahaman dengan Kasimo
dari Partai Katolik dan A.M. Tambunan dari Partai Kristen Indonesia.
Pembicaraan paling alot terjadi dengan kekuatan politik yang ekstrem: Partai
Komunis Indonesia di sisi kiri dan Bijeenkomst voor Federaal Overleg di sebelah
kanan. Tapi Natsir mendapat masukan berharga setelah berbincang dengan Insinyur
Sakirman dari Partai Komunis Indonesia dan Sahetapy Engel dari Bijeenkomst.
Kebanyakan negara bagian rupanya berat membubarkan diri dan melebur dengan Republik Indonesia
yang mereka sebut Republik Yogyakarta. Soalnya, mereka merasa sama-sama
berstatus negara bagian menurut Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Serikat.
Setelah
berbulan-bulan melakukan pembicaraan dan lobi dengan pemimpin fraksi lain,
Natsir mengajukan gagasan kompromistis. Dia menyarankan semua negara bagian
bersama-sama mendirikan negara kesatuan melalui prosedur parlementer. Jadi tidak ada satu negara bagian menelan negara
bagian lainnya. Usul itu diterima pemimpin fraksi lain. Maka, pada 3 April 1950, Natsir menyampaikan pidato
bersejarah di depan parlemen Republik Indonesia Serikat. Pidato itu ditutup dengan
mosi yang intinya: "Dewan Perwakilan Rakyat Sementara Republik Indonesia
Serikat dalam rapatnya tanggal 3 April 1950 menimbang sangat perlunya
penyelesaian yang integral dan pragmatis terhadap akibat-akibat perkembangan
politik yang sangat cepat jalannya pada waktu akhir-akhir ini.
Sehari
sebelum penyampaian mosi yang kemudian dikenal sebagai Mosi Integral Natsir,
masih ada lagi dua resolusi dari daerah. Dewan Perwakilan Kota Praja Jakarta
Raya dan Dewan Perwakilan Daerah Sulawesi Selatan menyatakan keinginan
bergabung kembali dengan Republik Indonesia. Isi Mosi Integral Natsir jelas
merupakan undangan bagi pemerintah agar mengambil prakarsa mencari penyelesaian
atau sekurang-kurangnya membuat rencana mengatasi gejolak. Pemerintah, diwakili
Wakil Presiden merangkap Perdana Menteri Mohammad Hatta, menyambut mosi dengan
tangan terbuka. Kemudian Mosi Integral Natsir dijadikan pedoman
menyelesaikan persoalan-persoalan yang
sedang dihadapi (Tempo, 2016).
Natsir
memandang Negara merupakan suatu Institusi yang mempunyai hak, tugas dan tujuan
yang khusus. Pengertian institusi tersebut bagi Natsir merupakan suatu badan
dan organisasi yang mempunyai tujuan khusus serta dilengkapi oleh alat-alat
material dan peraturan-peraturan tersendiri dan diakui oleh umum. Menurut
Natsir, syarat berdiri suatu badan atau organisasi memiliki tujuan untuk
mencukupi kebutuhan masyarakat di bidang jasmani maupun rohani, mempunyai
alat-alat untuk melaksanakan tujuan, mempunyai peraturan-peraturan, norma dan
nilai-nilai tertentu, berdasarkan paham hidup, mempunyai kedaulatan atas
anggotanya, memberikan hukuman setiap pelanggaran atas peraturan-peraturan.
Oleh karena itu, berdirinya suatu negara sebagai sebuah Institusi haruslah
memiliki wilayah, rakyat, pemerintah, kedaulatan, Undang-Undang Dasar, sumber
hukum dan aturan-aturan lainya. Dengan kedudukan tersebut, maka menurut
Natsir negara memiliki cakupan sebagai
berikut: 1) meliputi seluruh masyarakat dan segala Institusi yang terdapat didalamnya,
2) mengikat atau mempersatukan Institusi-institusi tersebut dalam suatu
peraturan hukum, 3) menjalankan koordinasi dan regulasi dari seluruh
bagian-bagian masyarakat, 4) memiliki hak untuk memaksa anggota guna mengikuti
peraturan-peraturan dan hukum yang ditentukan olehnya, 5) mempunyai tujuan
untuk memimpin, memberikan bimbingan memenuhi kebutuhan masyarakat secara
keseluruhan.
Berdirinya
Negara tersebut menurut Natsir bukan sebagai tujuan utamanya, tetapi alat untuk
menjamin supaya aturan-aturan yang terdapat dalam Al Qur’an dan sunnah nabi
Muhammad SAW. Dapat berlaku dan berjalan sebagai mestinya. Semua perintah Islam
ini tidak akan berarti bila tidak disertai oleh alat. Natsir menempatkan tujuan
utama dari berdirinya Negara adalah kesempurnaan berlakunya Undang-Undang Ilahi
baik yang berkenaan dengan kehidupan manusia sebagai individu atau sebagai
anggota masyarakat, atau yang berhubungan dengan kehidupan kelak di alam baka
(Badri, A, 2020).
Natsir
yang mewakili Islam, berusaha menentang arus sekularisme yang dihembuskan
nasionalisme sekuler yang diwakili Ir. Soekarno. Melalui kumpulan tulisannya
yang berjudul Persatuan Agama dan Negara Muhammad Natsir menyangkal argumentasi
Ir. Soekarno yang dimuat dalam artikel Apa Sebab Turki Memisahkan Agama dengan
Negara. Dengan dipublikasikannya Persatuan Agama dan Negara tersebut Natsir
memulai perjuangannya untuk memperkenalkan pemikiran politiknya dalam
menjadikan Islam sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari perpolitikkan
Indonesia. Dalam berbagai kesempatan dan media beliau tak putus-putusnya untuk
memperkenalkan pemikiran politik Islamnya (Iskandar, I, 2015).
Pandangan
Natsir Tentang Islam dan Politik
Pandangan
Natsir tentang hubungan Islam dan negara adalah bahwa agama bukanlah
semata-mata ritual peribadatan dalam istilah sehari-hari seperti shalat dan
puasa, akan tetapi agama meliputi semua kaidah-kaidah, batas-batas dalam
muamalah dan hubungan sosial kemasyarakatan. Natsir memandang untuk menjaga
supaya aturan-aturan dan patokan-patokan itu dapat berlaku dan berjalan
sebagaimana mestinya, perlu dan tidak boleh tidak, harus ada kekuatan dalam
pergaulan hidup berupa kekuasaan dalam negara, Natsir ingin menegaskan bahwa
Islam dan negara itu berhubungan secara integral, bahkan simbiosis, yaitu
saling memerlukan. Dalam hal ini, agama memerlukan negara, karena dengan negara
agama dapat berkembang. Sebaliknya, negara memerlukan agama, karena dengan
agama negara dapat berkembang dalam bidang etika dan moral. Hal ini karena
dalam pemahaman Natsir bahwa Islam merupakan ajaran yang menyeluruh. Natsir mengajukan konsep Islam sebagai dasar
negara bukan semata-mata karena umat Islam di Indonesia adalah mayoritas,
tetapi menurut keyakinannya bahwa ajaran Islam mempunyai hukum ketatanegaraan
dalam masyarakat dan mempunyai sifat-sifat yang sempurna bagi kehidupan negara
dan masyarakat serta dapat menjamin hidup keragaman atas saling menghargai
antara pelbagai golongan di dalam negara (Tedy, A, 2016).
Pandangan
Natsir berusaha untuk menerapkan ajaran-ajaran dan nilai-nilai agama, sosial
dan politik Islam yang terkandung di dalam Al-Qu’ran dan Al-Hadis, serta
menyesuaikan dengan perkembangan zaman dalam peradaban umat manusia didasarkan
pada keyakinan akan tauhid yang mengandung dua sisi, yaitu hablun min allah
(perhubungan antara manusia dan tuhan). Islam hablun minnas (hubungan manusia
dengan manusia). Natsir tidak memisahkan urusan agama, melainkan menempatkan bahwa
agama dapat menjadi dasar bagi kehidupan dunia. Hal ini bermakna bahwa etika
keagamaan yang bercorak universal, akan ditekankan dalam ajaran Islam meskipun
menjadi dasar dalam kehidupan politik. Jadi politik bukan sesuatu yang akan
bersifat netral. Kekotoran atau pun kesucian politik tergantung pada sejauh
mana manusia yang terlibat dalam politik itu mampu menjadikan asas-asas keagamaan
sebagai pedoman dalam berperilaku politik mereka (Badri, A, 2020).
Partai
politik Islam menurut Natsir merupakan sarana menyampaikan aspirasi dalam
pemerintahan. Tujuan dari partai politik
Islam menurut Natsir adalah untuk ibadah dan menjadi hamba Allah yang beriman,
bertaqwa dan berakhlak mulia, yang berasaskan al-Qur’an dan sunnah. Tiga alasan yang dijadikan M. Natsir
mengusung agar Islam dijadikan sebagai dasar negara (ideologi): watak holistik
(kesempurnaan) Islam, keunggulan Islam atas semua ideologi dunia dan kenyataan
bahwa Islam anutan mayoritas warga negara Indonesia. Adapun Kontribusi Natsir
terhadap perkembangan politik Islam di Indonesia: pertama, menanamkan tauhid
dalam diri manusia yang ada dalam Partai Islam yang marak bermunculan saat ini.
Kedua, memerdekakan para politisi dari berbagai macam intervensi penguasa dan
hanya takut kepada Allah SWT. Ketiga, tidak terlalu berambisi untuk memiliki
jabatan dalam pemerintahan (Tedy, A, 2016).
Kolaborasi
Gagasan Natsir Sebagai Peran Islam dalam Negara
Secara
umum Natsir memberi asumsi bahwa kehidupan pribadi, kehidupan bersama, juga
kehidupan bernegara hendaklah mencerminkan ajaran Islam. Natsir dengan asumsi
bahwa seorang muslim, hidup di dunia ini dengan cita-cita kehidupan supaya
menjadi seorang hamba Allah dalam arti yang sesungguhnya, yang berasaskan
Al-Quran dan sunnah. Asas berarti rumusan cita-cita dan motivasi tempat
bertolak, sumber inspirasi dan kekuatan. Dunia dan akhirat tidak mungkin dipisahkan
bagi kaum muslimin dengan ideologinya (Tedy, A, 2016).
Natsir tidak melihat
Islam sebagai Ad-din Wa-daulah
(agama dan Negara) secara sekaligus, menurutnya Negara sebagai sesuatu yang
perlu untuk menegakan perintah-perintah agama, namun eksistensinya adalah
sebagai alat belaka dan bukan sebagai lembaga keagamaan. Berdasarkan hal
tersebut, maka tujuan negara sebagai sebuah institusi yang paling penting menurut Natsir
adalah dalam rangka penegakan syariah, keyakinan Natsir ini tampaknya didasarkan
pada rumusan Konseptual bahwa Undang-Undang hanya dapat dilaksanakan jika ada
otoritas yang melaksanakan penerapan hukum yakni melalui institusi negara. Sedangkan proses berdirinya
negara tersebut menurut Natsir adalah
karena adanya keinginan dari kaum Muslimin untuk melaksanakan perintah Allah
SWT. Dengan berdirinya sebuah Negara
tersebut yang bercorak Islam dalam suatu wilayah dapat memaksakan
kekuasaannya secara sah terhadap semua golongan kekuasaan yang dapat menerapkan
tujuan dari kehidupan bersama. Jadi kehidupan bernegara menurut Natsir adalah
merupakan suatu keharusan dalam kehidupan manusia yang bermasyarakat guna
mewujudkan keteraturan dan agar mampu mewujudkan kepentingan bersama dalam
masyarakat, karena dengan adanya negara beserta alat-alat kenegaraan mereka
dapat memaksakan suatu keinginan bersama untuk kebaikan dan kemaslahatan
bersama pula (Badri, A, 2020).
Pemikiran
Mohammad Natsir tentang Negara Islam menjadi kontroversial karena hasil
interaksi Mohammad Natsir dengan lingkungan sosio-historis yang melingkupi
kehidupannya. Sementara itu, dalam konsep Negara Islam, Natsir berpendapat
bahwa suatu negara akan bersifat Islam bukan karena secara formal disebut
Negara Islam ataupun berdasarkan Islam, tapi negara disusun sesuai dengan ajaran-ajaran
Islam baik dalam teori maupun praktiknya sehingga bagi Natsir negara berfungsi
sebagai alat atau perkakas bagi berlakunya hukum Islam. Dengan demikian Islam
menjadi tujuan dan negara adalah alat untuk mewujudkan ajaran Islam. Namun
pandangan Natsir ini ternyata sangat kontradiktif dengan sikap Natsir yang
bersikeras men]adikan Islam sebagai dasar negara. Natsir berkeyakinan, negara
sebagai kekuatan eksekutif mempunyai kekuatan dan kekuasaan untuk menjalankan
hukum-hukum dan menjamin terbentuknya masyarakat yang adil dan makmur sesuai
dengan yang dicita-citakan Islam. Di sini negara berfungsi sebagai alat untuk
menerapkan hukum-hukum yang telah ada. Tanpa adanya negara sulit diharapkan
adanya ketaatan pada hukum-hukum itu. Dengan demikian pendekatan Natsir
terhadap pelaksanaan syariat atau hukum-hukum Islam dalam masyarakat menekankan
pada pendekatan legal formal (Gufron, 2016).
Natsir
menginginkan Islam sebagai dasar Negara, golongan sekuler memberikan pertanyaan
bagaimana mungkin Islam dapat mengatur negara modern seperti saat ini. Al-Quran
memberikan petunjuk-petunjuk untuk merancang Anggaran Belanja Negara.
Menurut Natsir itu semua memang tidaklah ada dan memang tidak perlu diatur
dengan wahyu Ilahi yang bersifat kekal, sebab hal-hal yang
berkenaan dengan keduniaan selalu bertukar dan berubah menurut tempat, zaman
dan keadaannya. Islam hanya mengatur dasar dan pokok-pokok mengatur masyarakat manusia, yang tidak berubah-ubah
kepentingan dan keperluannya selama manusia itu masih bersifat manusia. Islam
ditetapkan untuk keselamatan masyarakat manusia, contohnya Islam memiliki
kriteria atau ukuran ketika ingin melantik seorang pemimpin atau menjadi
seorang kepala Negara maupun kepala daerah adalah agamanya, sifat dan
tabiatnya, akhlak dan kecakapannya untuk memegang suatu amanah.
Natsir
juga memberi asumsi tentang kemestian pendirian sebuah negara dengan yang
memimpin dan mengendalikan rakyat adalah kewajiban asasi dalam agama. Bahkan
pelaksanaan agama tidak mungkin terealisasi kecuali dengan adanya kepemimpinan.
Terkandungnya hukum-hukum kenegaraan dalam ajaran Islam, menurut Natsir, adalah
suatu bukti bahwa Islam tidak mengenal pemisahan antara agama dan negara. Agama
harus dijadikan pondasi dalam mendirikan suatu Negara karena agama bukanlah
semata-mata suatu sistem peribadatan antara makhluk dengan Tuhan Yang Maha Esa.
Asumsi
lain melengkapi itu, bahwa Natsir menyatakan menyusun suatu undang-undang dasar
bagi negara kita ini dan untuk mencapai hasil yang memuaskan, perlulah
bertolak dari pokok pikiran yang pasti, yakni bahwa undang-undang dasar bagi
negara harus menempatkan negara dalam hubungan yang seerat-eratnya dengan
masyarakat yang hidup di negara kita. Undang-undang dasar itu harus berurat
berakar dalam kalbu, yakni berurat berakar dalam alam pikiran, alam perasaan
dan alam kepercayaan serta falsafah hidup dari rakyat dalam negara (Tedy, A,
2016).
Natsir
Sebagai Muslim Negarawan
Natsir
merupakan tokoh yang mempunyai reputasi Nasional maupun Internasiona, memiliki
wawasan yang luas tentang ajaran Islam. Natsir merupakan ulama, politisi, dan
pejuang kemerdekaan Indonesia. Ia merupakan pendiri sekaligus pemimpin partai
politik Masyumi (Partai Majelis Syura Muslimin Indonesia), partai Islam
terbesar di masa konsituante, dan turut memperjuangkan Islam sebagai dasar
negara bersama kelompok nasional Islam lainnya.
Natsir
cukup aktif dalam aktivitas politik sejak masa muda sampai usia senja. Natsir
menjadi anggota Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) tahun
1945-1946. Kemudian menjadi Menteri Penerangan Republik Indonesia dari tahun
1946-1949. Ia menjadi Menteri Penerangan selama 4 periode: dalam Kabinet
Sjahrir I (3 Januari 1946 – 12 Maret 1946), kemudian dalam kabinet
Sjahrir II (12 Maret 1946 – 2 Oktober 1946), berikutnya dalam kabinet
Sjahrir III (2 Oktober 1946 – 3 Juli 1947), selanjutnya dalam kabinet
Hatta I (29 Januari 1948 – 4
Agustus 1949). Mulai tahun 1949 sampai 1958 Natsir menjadi Ketua Umum partai
Majelis Syura Muslimin Indonesia (Masyumi) (Tedy, A, 2016).
Hasan
al-Banna mengaitkan antara akidah dan aktivitas politik. Ia berkata,
“Sesungguhnya seorang muslim belum sempurna keislamannya kecuali jika dia
menjadi seorang politisi, mempunyai pandangan jauh ke depan dan memberikan
perhatian penuh kepada persoalan bangsanya.” Selanjutnya Hasan al-Banna mengatakan,
“Sesungguhnya kami adalah politisi dalam arti bahwa kami memberikan perhatian
kepada persoalan-persoalan bangsa kami, dan kami bekerja dalam rangka
mewujudkan kebebasan seutuhnya”.
Muslim Negarawan sebagai sosok yang
memiliki keberpihakan pada kebenaran dan terlatih dalam proses perjuangannya.
Tiga hal itu adalah (1) mereka yang terlahir dari gerakan Islam yang tertata
rapi (quwwah al-munashomat), (2) semangat keimanan yang kuat (ghirah qawiyah)
dan (3) kompetensi yang tajam (Sudarsono, A. 2010). Dan konteks ini ada dalam adalah
Natsir.
Natsir
menghendaki model pemerintahan demokratis yang mengedepankan ketertiban,
keadilan, dan kesejahteraan bagi masyarakat tanpa membedakan agama, ras, dan
suku bangsa. Natsir menekankan persatuan agama dan negara dalam pemerintahan;
ia juga menyatakan bahwa demokrasi itu sesuai dengan ajaran Islam. Selain itu,
ia juga melihat bahwa demokrasi sesuai dengan realitas masyarakat Indonesia
yang berlandaskan kedaulatan rakyat (Muslimah, H, 2008).
Natsir
seringkali memiliki pandangan politik yang sangat berlawanan dengan pandangan
Sukarno. Meski demikian, ketika revolusi fisik terjadi (Agustus 1945-desember
1949), Natsir berdiri di belakang dwi tunggal Sukarno Hatta. Natsir adalah
seorang partisipan yang aktif dalam barisan pimpinan tertinggi revolusi bersama
dwitunggal. Peranan Natsir menjadi sangat penting terutama menyelamatkan
Republik Indonesia yang baru diproklamasikan,dengan menyerukan persatuan bangsa
dan kesatuan negara tanpa memandang suku, agama, dan ras. Hal ini dijalani
Natsir dengan mosi integralnya yang selanjutnya membawanya ke jenjang kedudukan
sebagai perdana menteri pertama NKRI pada tahun 1950 (Setyaningsih, E, 2016).
Natsir
adalah sosok yang lebih condong mewujudkan gagasannya tentang negara Islam
melalui jalan legal konstitusional. Beliau lebih memilih cara yang sesuai dan
tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar (UUD) yang tengah berlaku. Hal
ini tentunya memudahkan beliau dalam menyampaikan pemikirannya dan menghindari
pertentangan-pertentangan yang serius dengan berbagai komponen bangsa lainnya
(Iskandar, I, 2015). Natsir betapa di awal kemerdekaan semua bapak bangsa
berjuang tulus mempertahankan Republik yang masih bayi. "Ketulusan di
antara kami amat tinggi dan perbedaan tidak ditonjolkan” (Tempo, 2016).
Sentimen
ideologis Islam versus Pancasila cenderung terjadi. Natsir memberikan asumsi
yang menarik bahwa tidak selalu menegasikan antara keduanya secara diametral. Natsir mengisyaratkan
kesesuaian Pancasila dengan Islam. Pada 1982, ketika teks buku Pendidikan Moral
Pancasila yang kontroversial itu sedang hangat-hangatnya dibicarakan, ia
mengatakan, "Pancasila akan hidup subur dalam pangkuan ajaran Islam”.
Rasa-rasanya Natsir memang merupakan patronase dari nilai-nilai pancasila
sebagaimana diungkap Yudi Latief dalam Sekolah Pemikiran Bapak Bangsa.
DAFTAR
PUSTAKA
Badri,
A, 2020. Pemikiran Muhammad Natsir
Tentang Agama dan Negara. Ri’ayah, Vol. 5, No. 02, Juli-Desember 2020.
Gufron,
2016. Negara Islam: Studi Terhadap
Pemikiran Politik Mohammad Natsir.
Iskandar,
I, 2015. Pemikiran Politik Muhammad
Natsir Tentang Hubungan Islam dan Negara. Jurnal Transnasional, Vol. 6, No.
2, Februari 2015.
Muslimah,
H, 2008. Muhammad Natsir dan Pemikirannya
Tentang Demokrasi. Jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam Fakultas Adab
Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Raspati,
HI, 2012. Pemikiran Mohammad Natsir
Tentang Islam dan Dasar Negara. Jurusan Pendidikan Sejarah Fakultas Ilmu
Sosial Universitas Negeri Yogyakarta
Setyaningsih,
E, 2016. Perjuangan dan Pemikiran Politik
Mohammad Natsir (1907-1993). Jurnal TAPIs Vol.12 No.2 Juli-Desember 2016.
Silvia,
G, 2015. Pemikiran Mohammad Natsir
Tentang Islam dan Politik di Indonesia 1927-1993.
Sudarsono,
A. 2010. Ijtihad Membangun Basis Gerakan.
Muda Cendekia
Tedy,
A, 2016. Pemikiran Politik Islam Mohammad
Natsir. El-Afkar Vol. 5 Nomor II, Juli- Desember 2016.
Tempo,
2016. Natsir, Politik Santun di antara
Dua Rezim. Penerbit KPG.
Posting Komentar
0 Komentar