Natsir dan Muslim Negarawan



 


Natsir dan Muslim Negarawan

M. Sadli Umasangaji

(Peserta Sekolah Pemikiran Pendiri Bangsa Megawati Institute Angkatan IX 2021)



Pendahuluan

            Muhammad Natsir merupakan seorang ulama, negarawan, intelektual, pembaharu, dan politikus muslim Indonesia yang disegani. Selain di bidang pendidikan, Muhammad Natsir banyak berkiprah di bidang politik. Aktivitas politiknya dimulai pada awal tahun 1940 dengan menjadi anggota Partai Islam Indonesia (PII). Di masa pendudukan Jepang (1942-1945), dia menjadi Kepala Bagian Pendidikan Kota Madya Bandung, merangkap sebagai sekretaris Sekolah Tinggi Islam (STI) di Jakarta. Di masa pendudukan Jepang, Natsir aktif dalam kepemimpinan Majelis Syura Muslimin Indonesia (Masyumi) yang dibentuk atas inisiatif pemerintah militer Jepang. Menurut Nastir, modernisasi politik Islam merupakan sikap dan pandangan yang berusaha menerapkan ajaran dan nilai-nilai kerohanian Islam yang terkandung dalam Al-Quran dan Sunnah, yang disesuaikan dengan perkembangan-perkembangan mutakhir dalam sejarah peradaban manusia. Dalam  terma politik inilah, ia mewajibkan setiap umat Islam untuk berpolitik sebagai sarana dakwah Islam (Silvia, G, 2015).

Natsir melewati masa yang panjang, yaitu  mulai dari masa penjajahan, pemerintahan Orde  Lama,  sampai  dengan  Orde  Baru.  Perjuangan  panjangnya  itu  tidak  berjalan  mulus  tanpa  halangan,  tetapi  berkali-kali  beliau  harus  dihadapkan  pada  berbagai permasalahan  sulit.  Perjuangan Natsir  dan  sumbangsihnya  bagi  negara  banyak mengalami  pasang  surut,  mulai  dari  jasa-jasa  terhadap  bangsanya  sampai  dimusuhi  oleh pemerintah karena pemikiran dan tindakannya yang dianggap membelot (Raspati, HI, 2012).

Natsir merupakan merupakan   tokoh   pejuang   bangsa   sekaligus   pejuang Islam.   Natsir   adalah   seorang pemikir, negarawan, dan politikus yang gigih berjuang untuk tanah airnya  dan   juga   memperjuangkan Islam baik di taraf nasional maupun internasional (Raspati, HI, 2012). Karakter Muhammad Natsir yang menonjol menjadikannya berperan dalam kegiatan-kegiatan besar seperti ketua Jong Islamieten Bond di Bandung, Menteri Penerangan, Perdana Menteri, dan Ketua Partai Masyumi. Kapasitasnya tidak hanya diakui di dalam negeri saja tetapi juga di luar negeri. Pada tahun 1980 Muhammad Natsir dianugerahi penghargaan oleh King Faisal atas pengabdiannya pada Islam. Selain itu atas segala jasa  dan kegiatannya pada tahun 1957 Muhammad Natsir memperoleh bintang kehormatan dari Republik Tunisia untuk perjuangannya membantu kemerdekaan negara-negara Islam di Afrika Utara (Muslimah, H, 2008).

 

Pandangan Natsir Tentang Negara

Pada pertengahan 1949, Indonesia berada di tubir jurang. Republik yang masih bayi tak hanya menghadapi gempuran militer, tapi juga rongrongan diplomasi Belanda. Salah satu pukulan yang menusuk jantung Republik adalah dibentuknya negara-negara bagian yang tergabung dalam Bijeenkomst voor Federaal Overleg.

Dalam sebuah tulisan pada 1982, Mr Mohammad Roem menyebut, "Memang sangat menarik untuk membentuk negara bagian, lebih-lebih untuk menjadi kepala negaranya. Orang memperoleh segala fasilitas keuangan dan teknis dari pemerintah Hindia Belanda." Tak mengherankan bila kaum Republik mencemooh  Bijeenkomst voor Federaal Overleg sebagai, "Negara boneka bikinan Van Mook." Pada 27 Desember 1949 lahirlah Republik Indonesia Serikat menggantikan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diproklamasikan 17 Agustus 1945. Soekarno tetap menjadi presiden dan Hatta menjabat wakil presiden merangkap perdana menteri. Belanda melakukan penyerahan kedaulatan disertai pengakuan kepada republik baru. Siasat Van Mook terbukti tak berjalan mulus.

Di Yogyakarta, Mr Asaat dilantik menjadi Presiden Republik Indonesia, salah satu negara bagian dalam Republik Indonesia Serikat. Tapi, karena rakyat tak dapat melepaskan pikiran dari wibawa dan pengaruh Presiden Soekarno, Asaat mengambil sumpah sebagai "Pemangku Jabatan Presiden Republik Indonesia". Pada 4 Januari 1950, Asaat mengangkat tiga orang untuk membentuk kabinet, yakni Mr Susanto Tirtoprodjo, Mohammad Natsir, dan Dr Halim. Pokok pertama program kabinet itu berbunyi:  "Melanjutkan perjuangan untuk membentuk satu negara kesatuan yang akan meliputi Nusantara sebagai tersebut dalam proklamasi 17 Agustus 1945”. Pada hari yang sama, negara-negara bagian lain mulai bergolak. Kaum republiken dari berbagai pelosok negeri menyampaikan aspirasi kembali ke Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Malang, misalnya, mencetuskan resolusi untuk lepas dari Negara Jawa Timur dan menggabungkan diri dengan Republik Indonesia. Pada 30 Januari 1950, giliran Kabupaten Sukabumi mengeluarkan resolusi serupa: lepas dari Negara Pasundan dan bergabung dengan Republik Indonesia. Gejolak yang sama terjadi di Negara Sumatera Timur. Di sini malah terjadi demonstrasi-demonstrasi disertai kekacauan yang membuat polisi harus bertindak.

Menghadapi situasi ini, Natsir segera bermanuver. Sebagai Ketua Fraksi Masyumi di parlemen Republik Indonesia Serikat, ia mengambil inisiatif bertukar pikiran dengan pemimpin-pemimpin fraksi lain. Natsir segera mencapai kesepahaman dengan Kasimo dari Partai Katolik dan A.M. Tambunan dari Partai Kristen Indonesia. Pembicaraan paling alot terjadi dengan kekuatan politik yang ekstrem: Partai Komunis Indonesia di sisi kiri dan Bijeenkomst voor Federaal Overleg di sebelah kanan. Tapi Natsir mendapat masukan berharga setelah berbincang dengan Insinyur Sakirman dari Partai Komunis Indonesia dan Sahetapy Engel dari Bijeenkomst. Kebanyakan negara bagian rupanya berat membubarkan  diri dan melebur dengan Republik Indonesia yang mereka sebut Republik Yogyakarta. Soalnya, mereka merasa sama-sama berstatus negara bagian menurut Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Serikat.

Setelah berbulan-bulan melakukan pembicaraan dan lobi dengan pemimpin fraksi lain, Natsir mengajukan gagasan kompromistis. Dia menyarankan semua negara bagian bersama-sama mendirikan negara kesatuan melalui prosedur parlementer. Jadi  tidak ada satu negara bagian menelan negara bagian lainnya. Usul itu diterima pemimpin fraksi lain. Maka, pada  3 April 1950, Natsir menyampaikan pidato bersejarah di depan parlemen Republik Indonesia Serikat. Pidato itu ditutup dengan mosi yang intinya: "Dewan Perwakilan Rakyat Sementara Republik Indonesia Serikat dalam rapatnya tanggal 3 April 1950 menimbang sangat perlunya penyelesaian yang integral dan pragmatis terhadap akibat-akibat perkembangan politik yang sangat cepat jalannya pada waktu akhir-akhir ini.

Sehari sebelum penyampaian mosi yang kemudian dikenal sebagai Mosi Integral Natsir, masih ada lagi dua resolusi dari daerah. Dewan Perwakilan Kota Praja Jakarta Raya dan Dewan Perwakilan Daerah Sulawesi Selatan menyatakan keinginan bergabung kembali dengan Republik Indonesia. Isi Mosi Integral Natsir jelas merupakan undangan bagi pemerintah agar mengambil prakarsa mencari penyelesaian atau sekurang-kurangnya membuat rencana mengatasi gejolak. Pemerintah, diwakili Wakil Presiden merangkap Perdana Menteri Mohammad Hatta, menyambut mosi dengan tangan terbuka. Kemudian Mosi Integral Natsir dijadikan pedoman menyelesaikan  persoalan-persoalan yang sedang dihadapi (Tempo, 2016).

Natsir memandang Negara merupakan suatu Institusi yang mempunyai hak, tugas dan tujuan yang khusus. Pengertian institusi tersebut bagi Natsir merupakan suatu badan dan organisasi yang mempunyai tujuan khusus serta dilengkapi oleh alat-alat material dan peraturan-peraturan tersendiri dan diakui oleh umum. Menurut Natsir, syarat berdiri suatu badan atau organisasi memiliki tujuan untuk mencukupi kebutuhan masyarakat di bidang jasmani maupun rohani, mempunyai alat-alat untuk melaksanakan tujuan, mempunyai peraturan-peraturan, norma dan nilai-nilai tertentu, berdasarkan paham hidup, mempunyai kedaulatan atas anggotanya, memberikan hukuman setiap pelanggaran atas peraturan-peraturan. Oleh karena itu, berdirinya suatu negara sebagai sebuah Institusi haruslah memiliki wilayah, rakyat, pemerintah, kedaulatan, Undang-Undang Dasar, sumber hukum dan aturan-aturan lainya. Dengan kedudukan tersebut, maka menurut Natsir  negara memiliki cakupan sebagai berikut: 1) meliputi seluruh masyarakat dan segala Institusi yang terdapat didalamnya, 2) mengikat atau mempersatukan Institusi-institusi tersebut dalam suatu peraturan hukum, 3) menjalankan koordinasi dan regulasi dari seluruh bagian-bagian masyarakat, 4) memiliki hak untuk memaksa anggota guna mengikuti peraturan-peraturan dan hukum yang ditentukan olehnya, 5) mempunyai tujuan untuk memimpin, memberikan bimbingan memenuhi kebutuhan masyarakat secara keseluruhan.

Berdirinya Negara tersebut menurut Natsir bukan sebagai tujuan utamanya, tetapi alat untuk menjamin supaya aturan-aturan yang terdapat dalam Al Qur’an dan sunnah nabi Muhammad SAW. Dapat berlaku dan berjalan sebagai mestinya. Semua perintah Islam ini tidak akan berarti bila tidak disertai oleh alat. Natsir menempatkan tujuan utama dari berdirinya Negara adalah kesempurnaan berlakunya Undang-Undang Ilahi baik yang berkenaan dengan kehidupan manusia sebagai individu atau sebagai anggota masyarakat, atau yang berhubungan dengan kehidupan kelak di alam baka (Badri, A, 2020).

Natsir yang mewakili Islam, berusaha menentang arus sekularisme yang dihembuskan nasionalisme sekuler yang diwakili Ir. Soekarno. Melalui kumpulan tulisannya yang berjudul Persatuan Agama dan Negara Muhammad Natsir menyangkal argumentasi Ir. Soekarno yang dimuat dalam artikel Apa Sebab Turki Memisahkan Agama dengan Negara. Dengan dipublikasikannya Persatuan Agama dan Negara tersebut Natsir memulai perjuangannya untuk memperkenalkan pemikiran politiknya dalam menjadikan Islam sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari perpolitikkan Indonesia. Dalam berbagai kesempatan dan media beliau tak putus-putusnya untuk memperkenalkan pemikiran politik Islamnya (Iskandar, I, 2015).

 

Pandangan Natsir Tentang Islam dan Politik

Pandangan Natsir tentang hubungan Islam dan negara adalah bahwa agama bukanlah semata-mata ritual peribadatan dalam istilah sehari-hari seperti shalat dan puasa, akan tetapi agama meliputi semua kaidah-kaidah, batas-batas dalam muamalah dan hubungan sosial kemasyarakatan. Natsir memandang untuk menjaga supaya aturan-aturan dan patokan-patokan itu dapat berlaku dan berjalan sebagaimana mestinya, perlu dan tidak boleh tidak, harus ada kekuatan dalam pergaulan hidup berupa kekuasaan dalam negara, Natsir ingin menegaskan bahwa Islam dan negara itu berhubungan secara integral, bahkan simbiosis, yaitu saling memerlukan. Dalam hal ini, agama memerlukan negara, karena dengan negara agama dapat berkembang. Sebaliknya, negara memerlukan agama, karena dengan agama negara dapat berkembang dalam bidang etika dan moral. Hal ini karena dalam pemahaman Natsir bahwa Islam merupakan ajaran yang menyeluruh.  Natsir mengajukan konsep Islam sebagai dasar negara bukan semata-mata karena umat Islam di Indonesia adalah mayoritas, tetapi menurut keyakinannya bahwa ajaran Islam mempunyai hukum ketatanegaraan dalam masyarakat dan mempunyai sifat-sifat yang sempurna bagi kehidupan negara dan masyarakat serta dapat menjamin hidup keragaman atas saling menghargai antara pelbagai golongan di dalam negara (Tedy, A, 2016).

Pandangan Natsir berusaha untuk menerapkan ajaran-ajaran dan nilai-nilai agama, sosial dan politik Islam yang terkandung di dalam Al-Qu’ran dan Al-Hadis, serta menyesuaikan dengan perkembangan zaman dalam peradaban umat manusia didasarkan pada keyakinan akan tauhid yang mengandung dua sisi, yaitu hablun min allah (perhubungan antara manusia dan tuhan). Islam hablun minnas (hubungan manusia dengan manusia). Natsir tidak memisahkan urusan agama, melainkan menempatkan bahwa agama dapat menjadi dasar bagi kehidupan dunia. Hal ini bermakna bahwa etika keagamaan yang bercorak universal, akan ditekankan dalam ajaran Islam meskipun menjadi dasar dalam kehidupan politik. Jadi politik bukan sesuatu yang akan bersifat netral. Kekotoran atau pun kesucian politik tergantung pada sejauh mana manusia yang terlibat dalam politik itu mampu menjadikan asas-asas keagamaan sebagai pedoman dalam berperilaku politik mereka (Badri, A, 2020).

Partai politik Islam menurut Natsir merupakan sarana menyampaikan aspirasi dalam pemerintahan.  Tujuan dari partai politik Islam menurut Natsir adalah untuk ibadah dan menjadi hamba Allah yang beriman, bertaqwa dan berakhlak mulia, yang berasaskan al-Qur’an dan sunnah.  Tiga alasan yang dijadikan M. Natsir mengusung agar Islam dijadikan sebagai dasar negara (ideologi): watak holistik (kesempurnaan) Islam, keunggulan Islam atas semua ideologi dunia dan kenyataan bahwa Islam anutan mayoritas warga negara Indonesia. Adapun Kontribusi Natsir terhadap perkembangan politik Islam di Indonesia: pertama, menanamkan tauhid dalam diri manusia yang ada dalam Partai Islam yang marak bermunculan saat ini. Kedua, memerdekakan para politisi dari berbagai macam intervensi penguasa dan hanya takut kepada Allah SWT. Ketiga, tidak terlalu berambisi untuk memiliki jabatan dalam pemerintahan (Tedy, A, 2016).

 

Kolaborasi Gagasan Natsir Sebagai Peran Islam dalam Negara

Secara umum Natsir memberi asumsi bahwa kehidupan pribadi, kehidupan bersama, juga kehidupan bernegara hendaklah mencerminkan ajaran Islam. Natsir dengan asumsi bahwa seorang muslim, hidup di dunia ini dengan cita-cita kehidupan supaya menjadi seorang hamba Allah dalam arti yang sesungguhnya, yang berasaskan Al-Quran dan sunnah. Asas berarti rumusan cita-cita dan motivasi tempat bertolak, sumber inspirasi dan kekuatan. Dunia dan akhirat tidak mungkin dipisahkan bagi kaum muslimin dengan ideologinya (Tedy, A, 2016).

Natsir  tidak melihat  Islam  sebagai Ad-din Wa-daulah (agama dan Negara) secara sekaligus, menurutnya Negara sebagai sesuatu yang perlu untuk menegakan perintah-perintah agama, namun eksistensinya adalah sebagai alat belaka dan bukan sebagai lembaga keagamaan. Berdasarkan hal tersebut, maka tujuan  negara  sebagai sebuah  institusi yang paling penting menurut Natsir adalah dalam rangka penegakan syariah, keyakinan Natsir ini tampaknya didasarkan pada rumusan Konseptual bahwa Undang-Undang hanya dapat dilaksanakan jika ada otoritas yang melaksanakan penerapan hukum yakni melalui  institusi negara. Sedangkan proses berdirinya negara  tersebut menurut Natsir adalah karena adanya keinginan dari kaum Muslimin untuk melaksanakan perintah Allah SWT. Dengan berdirinya sebuah Negara  tersebut yang bercorak  Islam  dalam suatu wilayah dapat memaksakan kekuasaannya secara sah terhadap semua golongan kekuasaan yang dapat menerapkan tujuan dari kehidupan bersama. Jadi kehidupan bernegara menurut Natsir adalah merupakan suatu keharusan dalam kehidupan manusia yang bermasyarakat guna mewujudkan keteraturan dan agar mampu mewujudkan kepentingan bersama dalam masyarakat, karena dengan adanya negara beserta alat-alat kenegaraan mereka dapat memaksakan suatu keinginan bersama untuk kebaikan dan kemaslahatan bersama pula (Badri, A, 2020).

Pemikiran Mohammad Natsir tentang Negara Islam menjadi kontroversial karena hasil interaksi Mohammad Natsir dengan lingkungan sosio-historis yang melingkupi kehidupannya. Sementara itu, dalam konsep Negara Islam, Natsir berpendapat bahwa suatu negara akan bersifat Islam bukan karena secara formal disebut Negara Islam ataupun berdasarkan Islam, tapi negara disusun sesuai dengan ajaran-ajaran Islam baik dalam teori maupun praktiknya sehingga bagi Natsir negara berfungsi sebagai alat atau perkakas bagi berlakunya hukum Islam. Dengan demikian Islam menjadi tujuan dan negara adalah alat untuk mewujudkan ajaran Islam. Namun pandangan Natsir ini ternyata sangat kontradiktif dengan sikap Natsir yang bersikeras men]adikan Islam sebagai dasar negara. Natsir berkeyakinan, negara sebagai kekuatan eksekutif mempunyai kekuatan dan kekuasaan untuk menjalankan hukum-hukum dan menjamin terbentuknya masyarakat yang adil dan makmur sesuai dengan yang dicita-citakan Islam. Di sini negara berfungsi sebagai alat untuk menerapkan hukum-hukum yang telah ada. Tanpa adanya negara sulit diharapkan adanya ketaatan pada hukum-hukum itu. Dengan demikian pendekatan Natsir terhadap pelaksanaan syariat atau hukum-hukum Islam dalam masyarakat menekankan pada pendekatan legal formal (Gufron, 2016).

Natsir menginginkan Islam sebagai dasar Negara, golongan sekuler memberikan pertanyaan bagaimana mungkin Islam dapat mengatur negara modern seperti saat ini. Al-Quran memberikan petunjuk-petunjuk untuk merancang Anggaran Belanja Negara. Menurut Natsir itu semua memang tidaklah ada dan memang tidak perlu diatur dengan wahyu  Ilahi  yang bersifat kekal, sebab hal-hal yang berkenaan dengan keduniaan selalu bertukar dan berubah menurut tempat, zaman dan keadaannya. Islam hanya mengatur dasar dan pokok-pokok mengatur  masyarakat manusia, yang tidak berubah-ubah kepentingan dan keperluannya selama manusia itu masih bersifat manusia. Islam ditetapkan untuk keselamatan masyarakat manusia, contohnya Islam memiliki kriteria atau ukuran ketika ingin melantik seorang pemimpin atau menjadi seorang kepala Negara maupun kepala daerah adalah agamanya, sifat dan tabiatnya, akhlak dan kecakapannya untuk memegang suatu amanah.

Natsir juga memberi asumsi tentang kemestian pendirian sebuah negara dengan yang memimpin dan mengendalikan rakyat adalah kewajiban asasi dalam agama. Bahkan pelaksanaan agama tidak mungkin terealisasi kecuali dengan adanya kepemimpinan. Terkandungnya hukum-hukum kenegaraan dalam ajaran Islam, menurut Natsir, adalah suatu bukti bahwa Islam tidak mengenal pemisahan antara agama dan negara. Agama harus dijadikan pondasi dalam mendirikan suatu Negara karena agama bukanlah semata-mata suatu sistem peribadatan antara makhluk dengan Tuhan Yang Maha Esa.

Asumsi lain melengkapi itu, bahwa Natsir menyatakan menyusun suatu undang-undang dasar bagi negara kita ini dan untuk mencapai hasil yang memuaskan, perlulah bertolak dari pokok pikiran yang pasti, yakni bahwa undang-undang dasar bagi negara harus menempatkan negara dalam hubungan yang seerat-eratnya dengan masyarakat yang hidup di negara kita. Undang-undang dasar itu harus berurat berakar dalam kalbu, yakni berurat berakar dalam alam pikiran, alam perasaan dan alam kepercayaan serta falsafah hidup dari rakyat dalam negara (Tedy, A, 2016).

 

Natsir Sebagai Muslim Negarawan

Natsir merupakan tokoh yang mempunyai reputasi Nasional maupun Internasiona, memiliki wawasan yang luas tentang ajaran Islam. Natsir merupakan ulama, politisi, dan pejuang kemerdekaan Indonesia. Ia merupakan pendiri sekaligus pemimpin partai politik Masyumi (Partai Majelis Syura Muslimin Indonesia), partai Islam terbesar di masa konsituante, dan turut memperjuangkan Islam sebagai dasar negara bersama kelompok nasional Islam lainnya.

Natsir cukup aktif dalam aktivitas politik sejak masa muda sampai usia senja. Natsir menjadi anggota Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) tahun 1945-1946. Kemudian menjadi Menteri Penerangan Republik Indonesia dari tahun 1946-1949. Ia menjadi Menteri Penerangan selama 4 periode: dalam Kabinet Sjahrir I (3 Januari 1946    12 Maret 1946), kemudian dalam kabinet Sjahrir II (12 Maret 1946    2 Oktober 1946), berikutnya dalam kabinet Sjahrir III (2 Oktober 1946    3 Juli 1947), selanjutnya dalam kabinet Hatta  I (29 Januari 1948    4 Agustus 1949). Mulai tahun 1949 sampai 1958 Natsir menjadi Ketua Umum partai Majelis Syura Muslimin Indonesia (Masyumi) (Tedy, A, 2016).

Hasan al-Banna mengaitkan antara akidah dan aktivitas politik. Ia berkata, “Sesungguhnya seorang muslim belum sempurna keislamannya kecuali jika dia menjadi seorang politisi, mempunyai pandangan jauh ke depan dan memberikan perhatian penuh kepada persoalan bangsanya.” Selanjutnya Hasan al-Banna mengatakan, “Sesungguhnya kami adalah politisi dalam arti bahwa kami memberikan perhatian kepada persoalan-persoalan bangsa kami, dan kami bekerja dalam rangka mewujudkan kebebasan seutuhnya”.

Muslim Negarawan sebagai sosok yang memiliki keberpihakan pada kebenaran dan terlatih dalam proses perjuangannya. Tiga hal itu adalah (1) mereka yang terlahir dari gerakan Islam yang tertata rapi (quwwah al-munashomat), (2) semangat keimanan yang kuat (ghirah qawiyah) dan (3) kompetensi yang tajam (Sudarsono, A. 2010). Dan konteks ini ada dalam adalah Natsir.

Natsir menghendaki model pemerintahan demokratis yang mengedepankan ketertiban, keadilan, dan kesejahteraan bagi masyarakat tanpa membedakan agama, ras, dan suku bangsa. Natsir menekankan persatuan agama dan negara dalam pemerintahan; ia juga menyatakan bahwa demokrasi itu sesuai dengan ajaran Islam. Selain itu, ia juga melihat bahwa demokrasi sesuai dengan realitas masyarakat Indonesia yang berlandaskan kedaulatan rakyat (Muslimah, H, 2008).

Natsir seringkali memiliki pandangan politik yang sangat berlawanan dengan pandangan Sukarno. Meski demikian, ketika revolusi fisik terjadi (Agustus 1945-desember 1949), Natsir berdiri di belakang dwi tunggal Sukarno Hatta. Natsir adalah seorang partisipan yang aktif dalam barisan pimpinan tertinggi revolusi bersama dwitunggal. Peranan Natsir menjadi sangat penting terutama menyelamatkan Republik Indonesia yang baru diproklamasikan,dengan menyerukan persatuan bangsa dan kesatuan negara tanpa memandang suku, agama, dan ras. Hal ini dijalani Natsir dengan mosi integralnya yang selanjutnya membawanya ke jenjang kedudukan sebagai perdana menteri pertama NKRI pada tahun 1950 (Setyaningsih, E, 2016).

Natsir adalah sosok yang lebih condong mewujudkan gagasannya tentang negara Islam melalui jalan legal konstitusional. Beliau lebih memilih cara yang sesuai dan tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar (UUD) yang tengah berlaku. Hal ini tentunya memudahkan beliau dalam menyampaikan pemikirannya dan menghindari pertentangan-pertentangan yang serius dengan berbagai komponen bangsa lainnya (Iskandar, I, 2015). Natsir betapa di awal kemerdekaan semua bapak bangsa berjuang tulus mempertahankan Republik yang masih bayi. "Ketulusan di antara kami amat tinggi dan perbedaan tidak ditonjolkan” (Tempo, 2016).

Sentimen ideologis Islam versus Pancasila cenderung terjadi. Natsir memberikan asumsi yang menarik bahwa tidak selalu menegasikan antara  keduanya secara diametral. Natsir mengisyaratkan kesesuaian Pancasila dengan Islam. Pada 1982, ketika teks buku Pendidikan Moral Pancasila yang kontroversial itu sedang hangat-hangatnya dibicarakan, ia mengatakan, "Pancasila akan hidup subur dalam pangkuan ajaran Islam”. Rasa-rasanya Natsir memang merupakan patronase dari nilai-nilai pancasila sebagaimana diungkap Yudi Latief dalam Sekolah Pemikiran Bapak Bangsa.

 


DAFTAR PUSTAKA

 

Badri, A, 2020. Pemikiran Muhammad Natsir Tentang Agama dan Negara. Ri’ayah, Vol. 5, No. 02, Juli-Desember 2020.

Gufron, 2016. Negara Islam: Studi Terhadap Pemikiran Politik Mohammad Natsir.

Iskandar, I, 2015. Pemikiran Politik Muhammad Natsir Tentang Hubungan Islam dan Negara. Jurnal Transnasional, Vol. 6, No. 2, Februari 2015.

Muslimah, H, 2008. Muhammad Natsir dan Pemikirannya Tentang Demokrasi. Jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam Fakultas Adab Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Raspati, HI, 2012. Pemikiran Mohammad Natsir Tentang Islam dan Dasar Negara. Jurusan Pendidikan Sejarah Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Yogyakarta  

Setyaningsih, E, 2016. Perjuangan dan Pemikiran Politik Mohammad Natsir (1907-1993). Jurnal TAPIs Vol.12 No.2 Juli-Desember 2016.

Silvia, G, 2015. Pemikiran Mohammad Natsir Tentang Islam dan Politik di Indonesia 1927-1993.

Sudarsono, A. 2010. Ijtihad Membangun Basis Gerakan. Muda Cendekia

Tedy, A, 2016. Pemikiran Politik Islam Mohammad Natsir. El-Afkar Vol. 5 Nomor II, Juli- Desember 2016.

Tempo, 2016. Natsir, Politik Santun di antara Dua Rezim. Penerbit KPG.

Posting Komentar

0 Komentar