Perspektif
Realitas Demokrasi Kekinian
Realitas
Demokrasi Kekinian
M. Sadli Umasangaji
(Founder Celoteh Ide)
Salah satu persoalan yang mengemuka
dalam relasi rakyat, masyarakat sipil dan negara adalah sejauh mana batasan
hubungan antaranya. Rangkaian dilema dalam hubungan tersebut seringkali
terjadi. Di satu sisi, negara adalah pihak yang memiliki otoritas kebijakan
yang berhak menerapkannya dalam masyarakat. Di sisi lain, rakyat adalah pihak
yang memiliki kebebasan. Melalui negara demokrasi mengandaikan kebebasan yang
sepenuhnya pada individu, tanpa adanya intervensi dari pihak luar, termasuk
negara, dalam hal urusan privat.
Posisi kekinian adalah membesarnya
perbedaan pandangan antara pemilihan kepala daerah melalui pemilihan langsung
dan pemilihan melalui DPRD. Pemilihan langsung dinilai dari sisi positif adalah
semakin meningkatnya peran partisipasi masyarakat, penguatan nilai-nilai
demokrasi, di satu sisi (sisi negatif) dinilai banyak biaya yang dikeluarkan
baik biaya pemilihan umumnya maupun biaya partisipasi pemilu dari para calon
kepala daerah, rentannya konfilk, semakin menjamur money politic dan berbagai masalah prosedural lainnya dalam pemilu
yang belum matang. Pemilihan melalui DPRD, secara positif, dinilai dapat
mengurangi beban anggaran negara dalam pembiayaan pemilu, mengedapan
nilai-nilai pancasila (permuswayaratan perwakilan), penguatan lembaga
legislatif. Secara negatif, tentu dinilai menghilangkan partisipasi masyarakat
secara langsung (sehingga dikatakan kembali mirip dengan gaya Orde Baru),
disatu sisi trust (kepercayaan)
masyarakat terhadap legislatif bisa dinilai rendah sehingga merasa bukan bagian
keterwakilan suara mereka, bahkan dikatakan rentan pula money poltic antara calon kepala daerah dengan anggota legislatif.
Pada dasarnya ini hanya masalah demokrasi prosedural dan seharusnya lebih
penting adalah demokrasi substansial.
Demokrasi
Prosedural dan Substansial
Menurut Asghar Saleh dalam sebuah
diskusi menguraikan 5 aspek permasalahan demokrasi kini, pertama, pandangan
politik itu kotor. Dalam hal ini orang (umumnya masyarakat) berpandangan
politik dinilai hanya semata berpikir tentang kekuasaan. Sinisme politik.
Politik berbanding lurus dengan kemajuan demokratis. Hari-hari ini demokrasi
mengedepankan oligarki kekuasaan. Kedua, politik membutuhkan kekuasaan. Bentuk
perwakilan representatif terkadang tidak merasa terwakili. Representasi masih
berhenti pada cita-cita belum pada tataran realitas. Adanya dominasi kaum
pemilik modal, orang-orang seperti sangat dominan dalam pemilihan. Ketiga,
partisipasi langsung, ini yang membuat representasi masih dalam tataran
cita-cita. Keempat, ada upaya pembatasan berorganisasi atau berkelompok.
Kelima, munculnya aktor-aktor yang terintegrasi dalam sistem.
Ketika Abraham Lincoln
mengumandangkan hakikat demokrasi sebagai tatanan pemerintahan dari rakyat,
oleh rakyat, dan untuk rakyat, sebagian besar penduduk bumi menaruh harapan
besar pada gagasan tersebut. Di balik kilasan harapan yang besar, realitas
demokrasi seringkali mengandung paradoks pada dirinya sendiri. Terlepas dari
kenyataan bahwa proses demokrasi membutuhkan kerelaan yang tulus dan
pengorbanan tak sedikit, efek sosial, dan politik yang harus diemban dari
sebuah proses menuju demokrasi tidak sedikit memunculkan kejenuhan sebagai
bagian dari sejarah panjang otoritarianisme (Hamzah, 2010).
Salah satu nilai ideal demokrasi yang
mampu membius penganutnya adalah peran dan partisipasi rakyat yang sangat
dijunjung tinggi. Yang terkadang fana, demokrasi hanya pesta hura-hura rakyat.
Lihatlah ‘rakyat-rakyat yang lain’ merasa menang di atas ‘rakyat-rakyat yang
lain’ dan orang-orang saling mengatasnamakan atas nama ‘rakyat’. Hura-hura
rakyat dengan kemenangannya bahkan kini menanti pelantikan presiden dengan
kemenangan hura-hura tanpa dasar partisipatif kesadaran apalagi kesadaran
tauhid, tidak ada sama sekali.
Kenyataan itulah yang mengemuka saat
ini. Seringkali pertanyaan ironis menyapa, dimana demokrasi saat harga-harga
kebutuhan pokok yang terkait hajat dasar hidup, sulit terjangkau? Dimana
demokrasi, kalau banyak titipan asing dalam undang-undang kita? Bahkan bebas
dalam segala hal hingga kebebasan tak bertanggungjawab.
Paham demokrasi pada dasarnya bersumber
dan berpijak pada prinsip liberalisme dan individualisme, karena itu demokrasi
dipandang berwajah ramah. Bahkan demokrasi berstandar ganda. Dan konstalasi
demokrasi memang menjadi dominan negara-negara Eropa dan Amerika. Bahkan tanpa
kita sadari demokrasi berhimpitan dengan kapitalisme. Mereka bebas membuat
undang-undang dengan rayuan-rayuan investasi. Dalam negara berkembang, kondisi
transisi demokrasi cenderung rawan. Bahkan atas dasar nama demokrasi, tergambar
penghancuran besar-besaran, pembersihan massal, hingga pembunuhan besar-besaran
atas dari kolonialisasi atau perluasan kekuasaan, dan bahkan memporak-poranda
sistem negara dari dominan negara lain. Lihatlah yang dialami Ikhwanul Muslimin
ketika memimpin Mesir, lihatlah kondisi Hamas di Palestina dan gonjang-ganjing
perpolitikan negara-negara Timur Tengah, tentu tidak terlepas dari negara
dominan kapitalis dan liberal, Amerika dan negara-negara Eropa dengan dalangnya
Israel. Sudah saatnyakah demokrasi dicampakkan?
Sisi baiknya dan salah satu
substansialnya, menurut Fahri Hamzah, dalam demokrasi negarawan dihasil oleh
partai politik. Maka yang diperlukan adalah kaderisasi. Kaderisasi menjadi batu
loncatan ideologis dalam berpartai.
Pemilu secara langsung, media massa,
organisasi kemasyarakatan yang kritis hanya imbas dari berkah demokrasi dan
bagian dari demokrasi prosedural serta bukanlah hakikat demokrasi itu sendiri.
Selama nilai-nilai kebebasan (liberte),
persamaan (egalite), dan persaudaraan
(fraternate), belum berimbas pada
kesejahteraan rakyat, selama itu pula demokrasi pemanis bibir. Demokrasi
prosedural dan substansial harus berjalan beriringan, karena demokrasi bukan
sekedar nilai ideal yang berlangsung dalam relung filosofis dan berkutat pada
aras kesadaran, namun juga praktik sosial, politik, ekonomi, dan budaya yang
menjanjikan kehidupan yang lebih baik. Fahri Hamzah berpandangan demokrasi
adalah seni mengelola perbedaan dengan kata-kata dan agama adalah kata-kata
yang baik (nasihat).
Kedemokrasian
Islam
Salah satu sumber yang mengurai
sejarah pertautan agama dan negara adalah riwayat kehidupan Nabi Muhammad SAW
di Madinah. Risalah kenabian Nabi Muhammad dengan cerita hidupnya pasca hijrah
dari Mekkah tersimpul dalam klaim bahwa Islam tidak menganut pemisahan antara
agama dengan negara. Nabi Muhammad SAW membangun negara-kota (city-state) di Madinah yang bersifat
ketuhanan. Persoalan-persoalan sosial dan masyarakat tidak jarang diselesaikan
dari proses dialog yang intens antara Nabi Muhammad SAW dengan para sahabat dan
pengikutnya. Proses inilah yang disebut syura
hingga melahirkan sebuah konsep piagam madinah.
Menurut Robert N Bellah, masyarakat
Muslim klasik (dibawah kepemimpinan Nabi Muhammad SAW dan Khulafaur Rasyidin)
itu modern (terbuka, demokratis, dan partisipatif). Kontekstualisasi masyarakat
Madinah di bawah pimpinan Nabi Muhammad merupakan penerapan demokrasi di alam
modern. Seperti adanya nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan universal yang
terwujud dalam kehidupan sosial dan masyarakat yang tidak hanya dihuni umat
Islam. Tidak lagi dapat dipersoalkan bahwa di bawah (Nabi) Muhammad, masyarakat
Arab telah membuat lompatan jauh ke depan dalam kecanggihan sosial dan
kapasitas politik. Ketika struktur yang telah terbentuk di bawah Nabi
dikembangkan oleh para khalifah pertama untuk menyediakan prinsip penyusunan
suatu imperium dunia, hasilnya ialah sesuatu yang untuk masa dan tempatnya
sangat modern. Ia modern dalam hal tingginya tingkat komitmen, keterlibatan dan
partisipasi yang diharapkan dari kalangan rakyat sebagai anggota masyarakat.
Dalam sejarah, Islam lebih identik
dengan perwakilan. Yang paling penting masyarakat partisipatif itu adalah atas
dasar kesadaran tauhid. Itulah demokratisnya di bawah kepemimpinan Rasulullah
dan Khulafaur Rasyidin. Jadi kesadaran masyarakat dengan kesadaran tauhid
menghasilkan senator yang demikian (sadar akan ketauhidan) dan bekerja untuk
umat, dengan konsep perwakilan itu menghasilkan pemimpin yang bekerja untuk
umat atas dasar kesadaran tauhid.
Motif dari rakyat, untuk rakyat, oleh
rakyat, itu ternyata fana. Bagaimana kalau rakyatnya buruk? Tentu
kemungkinannya adalah implikasi yang buruk, menghasilkan demokrasi prosedural bukan
demokrasi substansial. Seutuhnya yang kita harapkan kuatnya demokrasi
prosedural dan implikasi baiknya pada demokrasi substansial. Seperti halnya
kata Robert N Bellah terhadap demokratisnya kepemimpinan Rasulullah dan
Khulafaur Rasyidin. Itulah demokrasi substansial dengan partisipatif atas dasar
ketauhidan (demokrasi prosedural).
Dalam hal ini meliputi elemen-elemen
dengan prinsip-prinsip tertentu seperti syura (musyawarah), musawah (kesejajaran), adalah
(keadilan), amanah, masuliyah
(tanggung jawab), dan hurriyah
(kebebasan). Islam
sebagai cita-cita adalah pemerintahan yang accountable.
Dalam hal ini menjadi hal yang wajar secara esensial bagi sistem
partisipatoris. Kepemimpinan dan pemegang otoritas bertanggung jawab pada
rakyat dalam kerangka Islam. Kerangka Islam disini bermakna bahwa semua umat
Islam secara teologis bertanggung jawab pada Allah dan wahyu-Nya. Sementara
dalam tataran praksis akuntabilitas berkaitan dengan rakyat. Oleh karena itu,
khalifah sebagai kepala negara bertanggung jawab pada dan berfungsi sebagai
representasif pemimpin dan representasi umat Islam sekaligus.
Menurut Fahri Hamzah, dengan dasar itu
kita meyakinkan orang yang meragukan maksud baik agama karena tidak mungkin
Tuhan bermaksud buruk. Dan dengan itu kita meyakinkan bangsa Indonesia bahwa
agama adalah berkah bagi demokrasi. Terbentuknya negara madani (negara sipil
keummatan). Kuatnya
negara pada gilirannya dibuktikan oleh kuatnya masyarakat sebagai penopang
negara itu sendiri. Masyarakat yang partisipatif ketauhidan. Wallahu’alam.
Posting Komentar
0 Komentar