Perspektif
Anomali Kenaikan BBM
Anomali Kenaikan
BBM
M. Sadli Umasangaji
(Founder Celoteh Ide)
Dengan adanya
penegasan bahwa bumi, langit, dan seisinya adalah milik Allah semata, maka
siapakah yang berani melakukan klaim kepemilikan atas itu? Demikian pula
siapakah yang berani mencegah seseorang dari mengusahakan sesuatu di muka bumi
ini?
(Fahri Hamzah)
Jika kita memperhatikan wacana yang
berkembang dari zaman ke zaman mengenai pasar dan perekonomian, kita akan
mendapati perdebatan yang tak pernah selesai antara pengutamaan pasar dan peran
negara. Sebuah perdebatan yang sejatinya lahir dari sebuah salah kaprah dan
kekhawatiran yang dilandasi oleh keserakahan akan kebebasan meraup untung.
Lambat laun, kesalahan pemahaman ini pun benar-benar merasuk baik ke dalam
pasar itu sendiri maupun ke dalam lembaga negara. Pasar di sini telah
kehilangan maknanya karena dikooptasi oleh segelintir kaum partikelir yang
mengklaim legitimasi atau institusi pasar. Sementara banyak negara juga telah
kehilangan keterkaitannya dengan rakyat karena pemerintahannya tidak lagi
memedulikan amanah para pemilih untuk mewakili mereka dalam urusan memajukan
kesejahteraan umum.
Pasar sebagai suatu sistem memiliki
berbagai wajah yang selama ini sering saling silap baik dalam pemahaman
konseptualnya maupun dalam konteks peletakannya sebagai suatu institusi. Secara
konseptual, sistem pasar mengacu pada mekanisme interaksi antara permintaan dan
penawaran yang mengarah kepada penentuan nilai tambah yang paling efisien.
Konsep ini lebih tepat ditujukan bagi istilah mekanisme pasar yang mendasarkan
asumsinya pada kesetaraan posisi tawar antara berbagai pihak yang terlibat
dalam proses tawar-menawar tersebut sehingga tidak ada pertimbangan lain di
luar nilai dan harga. Sebagai institusi, pasar merupakan suatu bangunan sosial
dari masyarakat yang menggabungkan lebih banyak variabel di luar permintaan dan
penawaran itu sendiri seperti ideologi, tujuan politik, ada istiadat, nilai-nilai
agama, dan lain sebagainya. (Hamzah, 2010).
Bapak Joko Widodo sebagai presiden Republik
Indonesia telah menyampaikan pengumumannya atas kenaikkan bahan bakar minyak
(BBM) yang berlaku pada tanggal 18 November 2014 pukul 00.00 WIB. Dengan
berbagai alasan. Diantaranya salah sasaran penggunaan BBM yang lebih
dimanfaatkan oleh kelompok borjuis (mapan), dan penimbunan BBM serta perlunya pemanfaatan
subsidi BBM pada sektor produktif seperti infrastruktur, agraria, dan
perikanan. Selain itu pula terkait dengan Kartu Sakti-nya, Kartu Indonesia
Sehat (KIS), Kartu Indonesia Pintar (KIP), dan Kartu Keluarga Sejahtera (KKS).
Menurut ekonom Kwik Kian Gie, kenaikan BBM
tidak berlandaskan hanya salah satu bentuk pemaksaan Joko Widodo terhadap
pencitraan kartu saktinya.
Di
satu sisi kenaikkan harga BBM dianggap sebagai bentuk liberalisasi dimana pemerintah
berpijak pada alasan adanya kenaikan harga minyak dunia. Alih-alih naik, harga
minyak dunia saat ini justru sedang turun. Menurut ekonom Ichsanuddin Noersy,
kenaikan harga BBM ini hanya untuk disamakan dengan harga minyak dunia, itu
yang diinginkan IMF, dan Bank Dunia. Inilah bentuk liberalisasinya. Membuka
ruang untuk pemanfaatan oleh partikelir (swasta). Ini juga bentuk
neo-imprealisme. Penjajahan gaya baru oleh asing yang berkepentingan.
Secara
sederhana, nilai keekonomian ini menimbulkan multitafsir tersendiri. Bagi
pemerintah, bisa saja harga keekonomian ini ditafsirkan sebagai harga yang
tidak memberatkan APBN. Sedangkan bagi masyarakat, utamanya rakyat miskin,
nilai keekonomian adalah harga yang sesuai dengan kemampuan mereka. Kita memahami bahwa
BBM adalah salah satu penggerak roda perekonomian. Olehnya itu ada saling
keterkaitan antara kebutuhan energi dengan proses produksi sebagai bentuk
pemenuhan kebutuhan sosial dan keseharian masyarakat. Maka secara pasti
kenaikan harga BBM relevan dengan dampak pada sendi-sendi sektor ekonomi
terutama harga kebutuhan bahan pokok dan memicu inflasi.
Menurut BPS (2013) jumlah rakyat miskin di Indonesia yang mencapai 28,28 juta
orang, atau sekira 11,25 persen merupakan tantangan besar bagi pemerintah untuk
melindungi mereka dari bencana ekonomi. Kenaikan harga BBM bukan saja
memberatkan rakyat dalam konsumsi BBM untuk kendaraan, peralatan pertanian,
ternak, dan sebagainya. Akan tetapi, jauh lebih besar adalah efek domino
ekonomi secara umum. Harga bahan pokok secara umum akan naik. Di sisi lain
pendapatan rakyat tidak meningkat atau hanya sedikit kenaikannya. Selisih
kerugian dari dampak dengan nilai keuntungan yang tidak sebanding inilah yang
merupakan bencana besar dalam konteks ekonomi yang akan dihadapi oleh rakyat
kelas menengah hingga miskin di Indonesia.
Maka perlu peran pemerintah
(terkhusus pemerintah daerah) untuk mengatur regulasi mengenai efek domino
kenaikan BBM ini baik masalah kenaikan harga bahan pokok, harga bensin enceran,
harga angkutan umum dan transportasi lainnya, meningkatkan harga komiditi
(pala, cengkeh, kopra) sebagai hasil pertanian umum masyarakat Maluku Utara
sebagai bentuk stabilitas.
Dan sudah umum bahwa pemerintah
pusat harus berani melakukan revitalisasi aset nasional. Hentikan liberalisasi sektor
perminyakan, politik luar negeri yang berpihak pada asing (kapitalisme),
memberantas penimbunan BBM dan penyalahgunaan BBM.
Kenaikan BBM juga berdampak pada
efek sosial. Dapat kita lihat dengan banyaknya gerakan mahasiswa melakukan aksi
di seluruh Indonesia. Aksi mahasiswa juga dilakukan oleh berbagai elemen
gerakan mahasiswa di Maluku Utara sebagai bentuk gerakan sosial dan gerakan
ekstraparlementer. Gerakan mahasiswa ini juga turut menjadi benturan dengan
pihak keamanan (kepolisian). Dimana tugas kepolisian yang mengayomi masyarakat
dalam keamanan tapi malah menjadi benturan dengan gerakan mahasiswa. Bahkan
aksi-aksi konfrotasi cukup ramai seperti di Makkasar, Sulawesi Selatan. Ini
salah satu efek sosialnya. Seharusnya pemerintah bertanggung jawab mengenai
ini.
Di sisi lain, padahal partai
pengusung Joko Widodo, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) adalah
partai yang paling ‘ngotot’ menolak kenaikan harga BBM ketika pada kepemimpinan
SBY. Joko Widodo juga bersikap sama. Tapi kini Joko Widodo ketika berkuasa
bahkan sebelum dilantik sebagai presiden sudah menyatakan keinginan menaikkan
harga BBM. Anomali.
Distorsi. Pasar yang bebas nilai ini
nyatanya memang terbukti efektif dalam mengakumulasi keuntungan, tetapi tidak
demikian halnya dalam meningkatkan kesejahteraan. Demikian pemerintahan
seharusnya lahir dari masyarakat, dan secara bersama-sama membangun suatu
lembaga yang bernama negara untuk membela kepentingan mereka bersama.
Posting Komentar
0 Komentar