Sastra, KAMMI dan Sastra Gerakan Islam


Sastra, KAMMI dan Sastra Gerakan Islam
M. Sadli Umasangaji



Ideasi Gerakan KAMMI








Saya mungkin semakin menyukai sastra atau bisa disebut kembali mencoba bergiat dengan sastra, menulis cerpen, puisi atau berangan-angan selesai menulis novel. Terutama ketika saya mulai mencoba membaca beberapa website dengan afiliasi pada sastra (cerpen dan puisi, atau juga kritik sastra atau esai tentang kebudayaan dan sastra) seperti basabasi dot co, bacapetra dot co, buruan dot co, nongkrong dot co, asyikasyik dot com dan sejenisnya atau membaca terbitan-terbitan cerpen di beberapa media besar di websitenya seperti Kompas, Jawa Pos, Tempo dan lain. Atau mungkin membaca website-website kumpulan terbitan cerpen media besar seperti ruangsastra dot com, lakonhidup dot com, klipingsastra dot com atau sejenisnya. Atau sekedar melihat perkembangan Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) khususnya bidang sastra dan coba-coba mengikuti sayembaranya.

Memang disadari bahwa KAMMI lebih memiliki kecenderungan pada gerakan kepemudaan atau gerakan mahasiswa. Dan kemungkinan terbesar memiliki keminatan soal-soal kritikan-kritikan terkait kebijakan politik, publik dan pemerintah. Kecenderungan-kecenderungan itu tentu membuat KAMMI dalam literasi lebih dekat dengan literasi-literasi bersifat opini, esai dan narasi-narasi sejenis.

Sebagaimana titah kelahiran KAMMI. KAMMI lahir dengan kesadaran dan keprihatinan yang mendalam karena adanya krisis nasional tahun 1998 yang telah dilanda Indonesia. Situasi dimana negara-negara berkembang atau di negara dunia ketiga dengan kondisi kepemimpinan yang penuh dengan tirani-otoriter, despotik, tidak adil, nepotisme bahkan pelan-pelan korupsi mulai menumpuk. Hal ini telah membangkitkan kepekaan para pimpinan aktivis (dakwah kampus) di seluruh Indonesia yang saat itu berkumpul di UMM - Malang.

Sekiranya bagaimana kader dan atau alumni KAMMI menyikapi soal Sastra KAMMI atau lebih-lebih soal Sastra yang dicetuskan oleh Gerakan Islam? Apakah kader atau alumni KAMMI juga memiliki pandangan bahwa sastra baik novel, cerpen atau puisi kecenderungan terjebak pada genre pop, atau roman atau teenlit? 

Atau sebagaimana dituliskan Umar dalam “Mengapa KAMMI Tidak Punya Sastrawan?”, menulis dengan tema-tema sastra adalah sesuatu yang 'sambil lalu' di KAMMI. Ini mungkin menjelaskan mengapa sampai sekarang sedikit sekali (atau mungkin tidak ada?) mungkin, banyak kader dan alumni KAMMI yang menyukai dan menikmati sastra, tetapi ketika berada di KAMMI, tidak ada tempat yang cukup untuk puisi, cerpen, atau novel yang mereka ciptakan.

Bisakah nanti KAMMI menelurkan sastra sebagai alat kritik, sebagai alat perjuangan atau mungkin sebagai alat kaderisasi? Dan bagaimana rupa Sastra KAMMI?



Jejak Marabumi dan Pojok Sastra (KAMMI)




Kalau dilihat sebenarnya KAMMI pernah menerbitkan Jurnal Puisi melalui LSO Marabumi didalamnya ada juga Pojok Sastra (KAMMI). Jurnal Puisi ini tentu terdiri dari sajak-sajak, ada juga esai sastra, esai kebudayaan bahkan juga cerpen.

Dalam terbitan Edisi 1, Jurnal Puisi menuliskan Pidato Kebudayaan, “Jurnal Puisi ini patut kita sambut dengan gembira dan kita sambut layaknya menuntaskan dahaga setelah berjalan di tengah padang pasir yang gersang. Meskipun, sangat terlambat tapi setelah kumpulan puisi, Sajak Rumah Cikoko, Jurnal Puisi ini bisa menjadi awalan yang sangat baik sebagai bentuk lain dari perjuangan KAMMI melawan kebatilan dan sebagai teman perjuangan kader-kader KAMMI dalam menegakkan kalimat tauhid hingga dapat menguatkan tekad, lebih bergairah dan militan tidak seperti puisi-puisi yang melemahkan. Selanjutnya adalah Jurnal Puisi ini juga dapat menjadi wadah mengintegrasikan penyair-penyair KAMMI agar dapat menjadi kesatuan sehingga karya-karya yang dihasilkan bermuatan ideologis dan terdapat ruh perjuangan yang kental. Sehingga kemudian pelembagaan organisasi kebudayaan yang memayungi sastrawan dan penyair sangat diperlukan, atas inisiasi kader-kader KAMMI yang semula berkumpul berdasar hobi dan minat lalu melembagakan Pojok Sastra sebagai wadah sastrawan dan penyair KAMMI menjadi sub lembaga kebudayaan LSO Marabumi”.

Edisi 1 itu juga termaktub Dari Redaksi, “Pojok Sastra KAMMI berdiri sekitar tahun 2016. Puluhan kader KAMMI dari berbagai bidang ilmu berkumpul untuk mencintai dan memeluk puisi lebih dalam dan jauh lebih dalam. Di situlah sisi menariknya. Sajak-sajak ini dihasilkan oleh mereka yang tidak semuanya Jurusan Sastra”.

Dalam Pojok Sastra banyak yang didiskusikan, dari puisi, tentu yang paling banyak dibagikan, hingga 'anjuran' cerpen dan novel bacaan bahkan kritikus sastra. Ada satu konsepsi yang disebutkan, “Manifesto Sastra Gerakan”. Tujuan sederhananya menghasilkan, penyair dan sastrawan dalam KAMMI. Menulis puisi yang disebut sebagai “Puisi Islami”. Dalam sebuah diskusi, dikatakan, dulu Lekra itu, awalnya pribadi-pribadi berideologi sama yang sudah menulis secara pribadi. Mereka masuk Lekra bukan buat belajar menulis tapi mereka masuk langsung buat propaganda. Mereka belajarnya dari kehidupan dan pribadi secara mandiri. Sastra Gerakan murni buat berjuang. Manifesto Sastra Gerakan yang didiskusikan secara sederhana, melahirkan Sastra KAMMI. Menghasilkan sastrawan dalam KAMMI.

Dalam diskusi lain, Manifesto Sastra Gerakan dimaknai sebagai testimoni atas sikap dan ruang kerja baru berbasis karya. Gerakan menjadikan frame agar sastra mempunyai nuansa perjuangan dalam estetika dan nilai sesuai dengan ruang yang diyakini. Sastra gerakan adalah kerja kebudayaan. Gerakan sastra adalah gerakan kebudayaan dengan semangat profetisme jalanan dan tujuan sastra gerakan adalah menghimpun seni yang berkepribadian serta membebaskan. Sastra gerakan menjaga kebudayaan yang beradab.

Jurnal Puisi yang sempat tumbuh dalam literatur alternatif sastra di KAMMI, edisi 1 dengan tajuk Kisah yang Terdongeng dan edisi 2 dengan tajuk Merawat Kewarasan di tahun 2018. Sayangnya setelah itu, entah mengapa, langsung redup bahkan sebelum mekar dengan gembira lebih jauh.


Laut Bercerita, Sudut Pandang dan Sastra KAMMI (Gerakan Islam)

Mungkin beberapa definisi tentang Sastra Islami yakni sastra atau seni yang berlandaskan kepada akhlak Islam, sebagai media dakwah dengan mencakup karakteristik konsisten, pesan, universal, tegas, dan jelas, sesuai dengan realita, optimis dan menyempurnakan akhlak manusia. Sastra Islami juga berkaitan dengan menggambarkan ajaran Islam, menceritakan kebaikan-kebaikan tokoh-tokoh Islam, mengkritik realitas yang tidak sesuai dengan nilai-nilai Islam.

Sedangkan Abdurrahman Wahid memberikan asumsi bahwa sastra Islam merupakan bagian dari peradaban Islam yang dapat dilihat dari dua sisi pertama yaitu orang yang condong melihatnya secara legalitas formal dimana sastra Islam harus selalu bersandar pada al Qur’an dan Hadits sedangkan yang kedua orang yang condong melihat sastra Islam dari pengalaman religiusitas (keberagamaan) seorang muslim yang tidak bersifat formal legislatif, artinya sastra Islam tak harus bersumber dari al Qur’an dan Hadits (formal) dan bersifat adaptif terhadap pengaruh-pengaruh lain terutama dimensi sosiologis dan psikologis sastrawan muslim yang tercermin dari karyanya yang menggambarkan pengalaman keberagamaannya.

Mungkin komunitas yang paling banyak menyamai karya-karya Sastra Islami adalah Forum Lingkar Pena. Forum Lingkar Pena merupakan organisasi dengan visi memberikan pencerahan melalui tulisan. Forum Lingkar Pena sendiri merupakan lokomotif bagi ribuan penulis-penulis muda, pembaca karya anak bangsa, juga pecinta dunia literasi. Lahir tahun 1997, dan hingga kini FLP setia menemani dunia perbukuan Indonesia dengan karya-karya yang khas. Bahkan FLP sendiri mentitahkan diri bernapaskan Islam.

Tentu ada beberapa kritik soal FLP dan juga Sastra Islami. Misalkan dalam karya Okky Madasari, Kapitalisme, Islam dan Sastra Perlawanan. Sastra Islami dinilai cenderung tidak mengandung unsur perlawanan. Seperti ditulis Faris Fauzan dalam BasaBasi, “Tidak mengandung unsur politis untuk melawan kolonialisme Belanda serta sesuai dengan semangat modernisme yang dibawa oleh kolonialisme”. Sebagaimana juga dalam tulisan Ahmad Jilul tentang Mendamba Generasi Baru Sastrawan Muslim, “Gerakan masif sastrawan muslim ini tak luput dari kritik. Okky Madasari, seorang sastrawan juga kritikus sastra dalam tesisnya menyebut karya-karya FLP cenderung bersifat populer dan berorientasi pasar ketimbang berisi sastra yang mendalam. Ia juga tak banyak memunculkan kritik atas realitas sosial dan lebih banyak mengedepankan simbol dan atribusi keislaman saja, bukan dalam ranah substansinya menjawab persoalan yang dihadapi masyarakat. Kendati demikian, menurut penulis FLP punya kontribusi besar dalam membentuk kelas menengah muslim yang dominan hingga hari ini”.

Sastra Islami sendiri mulai menjamur dalam medium di atas tahun 2000-an. Akan tetapi Angkatan Sastra 2000 adalah yang disebut banyaknya sastrawan menulis karya sastra yang bertemakan tentang sosial-politik. Salah satu diantaranya adalah Saman oleh Ayu Utami yang juga menjadi Pemenang dalam Sayembara Novel Dewan Kesenian Jakarta. Saman sendiri dalam Pojok Sastra, pernah disebutkan sebagai “penjual sastra lendir". Memang setelah membacanya dapat bertuliskan, sastra perlawanan yang dibingkai dengan sastra lendir. Karya-karya seperti ini pun menjadi “kiri popular” termasuk mungkin Cantik Itu Luka. Tapi soal ini, sastra-sastra kiri populer dianggap lebih mewakili “perwajahan sastra” di Indonesia. Sayembara Novel DKJ misalkan berkali-kali (atau kebanyakan) dimenangkan oleh sastra dengan genre realisme baik sosialis atau magis.

Sampai disini, kita masih akan bertanya seperti apakah karya sastra yang mewakili KAMMI? Apakah karya sastra seperti yang dituliskan Habiburrahman El Shirazy, Tere Liye, Helvy Tiana Rosa, Asma Nadia atau juga mungkin Tasaro GK. Atau mungkin tidak melekatkan pada nama penulis tapi karyanya seperti Negeri di Ujung Tanduk, Negeri Para Bedebah, atau Lelaki Penggenggam Hujan?

Mungkin kita menginginkan kader-kader atau alumni yang menulis puisi seperti Wiji Thukul, kita menginginkan membaca karya sastra dari rahim KAMMI seperti gagasan novel Salju – Orhan Pamuk, seperti Ibunda – Maxim Gorky, atau Tetralogi Buru terutama Jejak Langkah – Pramoedya Ananta Toer, atau Kubah – Ahmad Tohari atau Hadji Murat – Leo Tolstoy, atau karya Najib Kailani – Meretas Kebebasan, Gadis Jakarta.

Atau Sastra KAMMI bisa seperti Novel Laut Bercerita, yang menulis soal memoar (fiksi) tentang reformasi. Sejauh ini memang karya-karya fiksi tentang perjalanan reformasi seakan dikooptasi sendiri oleh sastrawan-sastrawan yang mendaku “kiri”. Laut Bercerita sendiri tentang aktivis-aktivis (kiri) Winatra. Sebuah novel yang saya buru-buru membeli dan membaca. Bercerita tentang penindasan, aktivis, reformasi hingga orang-orang yang diculik dan hilang. Dengan tokoh utama Laut. Novel yang juga ditopang dari gagasan dalam Memoar Anak-Anak Revolusi. Seharusnya sastra dengan latar reformasi seperti ini dapat diisi pula oleh kader atau alumni KAMMI. Toh, KAMMI juga anak kandung murni Reformasi. Yang juga mengandung makna dari sajak, “Matilah engkau mati. Kau akan lahir berkali-kali”.

Dalam sebuah diskusi, Tere Liye menyebutkan dalam penulisan sastra (novel atau cerpen) yang paling dasar adalah tentang sudut pandang. Kemudian Tere Liye melanjutkan bahwa topik sastra dari dulu hingga saat ini sebenarnya sama saja yang membedakan adalah sudut pandang. Misalkan karya roman dari Hamka – Tenggelamnya Kapal van der Wijck, atau karya Laila dan Majnun hingga tiba-tiba di tahun 2000an ketika orang-orang tidak menduga bahwa ada lagi novel roman dengan latar belakang islami di tengah-tengah pandangan orang soal roman itu lebih kepada latar Japan, Eropa, Korea. Muncullah latar Mesir dalam Ayat-Ayat Cinta. Itulah sudut pandang.

Bisakah sastra KAMMI berakar pada Realisme Sosialis atau bisakah sastra Gerakan Islam lebih mengandung unsur perlawanan? Atau bisakah para aktivis Muslim memiliki sudut pandang berbeda dalam mencetuskan Sastra Perlawanan? Harusnya memang sastra KAMMI adalah sastra perlawanan dalam bingkai yang islami misalnya. Atau tulisan Dharma Setyawan, dalam Sastra dan Kudeta, “Sastra akan mengusik kekuasaan yang tuli terhadap kebenaran—fungsi penting sastra adalah ‘menunjukkan kebenaran’ di kala katup-katup kebebasan sudah tertutup. Sebagaimana Pramoedya Ananta Toer pernah menyebut bahwa sastra memang tidak memiliki kemampuan bersenjata, membangun gerakan kudeta sebagaimana dimiliki oleh aparatus negara. Akan tetapi, sastra akan mampu untuk mengkudeta cara berpikir ‘kerdil’ para penguasa yang tidak segera sadar untuk berpikir secara benar”.

Atau sebagaimana tulis Hamdi Ibrahim dalam Jurnal Puisi Edisi 1, tentang Menjadi Manusia dengan Sastra, “Sastra adalah jalan alternatif untuk kembali menjadi manusia. Ketika dunia semakin ribut dan gaduh, maka sastra berfungsi untuk menjaga kewarasan dan menjaga kemanusiaan. Karena sastra berangkat dari realitas kehidupan sehari-hari. Apa yang dituangkan dalam karya sastra adalah suatu bentuk keresahan dan kegelisahan yang ada dalam diri penulis. Berangkat dari keresahan sastra bergerak untuk menjaga keseimbangan dan lebih memanusiakan manusia. Sastra menjadi alat perjuangan, sastra menjadi jawaban dari kegelisahan, dan sastra pula yang menjadikan penulisnya mendekap berpuluh-puluh tahun dalam penjara bahkan karena sastra seorang penulis hilang tak tau rimbanya”.

Ketika Pojok Sastra memungkinkan adanya Manifesto Sastra Gerakan, sebenarnya dari itu, sastra dalam KAMMI dapat mencetuskan sastra sebagai alat perjuangan, alat kritik hingga memungkinkan sebagai alat pengkaderan. Sayangnya Jurnal Puisi itu ia redup. Harusnya kita memulai lagi menumbuhkan sastra dalam KAMMI. Biar ia berjalan dan tumbuh hingga lama-lama menjadi citra, menjadi genre, menjadi budaya. Lama-lama mengendap sebagai sastra perlawanan, sebagai sastra gerakan Islam.







Jurnal Puisi Edisi 1 dan 2








Posting Komentar

0 Komentar