Perspektif
Simbolik; Diantara Perang, Politik dan Agama
Simbolik;
Diantara Perang, Politik dan Agama
M. Sadli Umasangaji
(Founder Celoteh Ide)
Manusia bergerak dalam ruang dan
waktu secara dialektis, antara tantangan dan respon terhadap tantangan
tersebut. Ide atau gagasan yang memenuhi benak manusia merupakan manifestasi
dari dinamika dialektis itu. Hidup manusia bergerak dan terus bertumbuh karena
ia merespon tantangan di sekelilingnya. Hasil respon baru itu selanjutnya
melahirkan tantangan-tantangan baru yang menuntut respon-respon baru. (Matta,
2014).
Sebuah interaksi sosial yang sering
dijumpai dalam masyarakat dapat dilihat dengan menggunakan dua sudut pandang,
yaitu fungsionalis dan simbolik. Interaksi simbolik sendiri merupakan tentang
proses orang-orang menafsir dan memaknai obyek-obyek, kejadian, serta situasi
yang membentuk kehidupan sosial mereka.
Fenomena ISIS makin membesar. Entah
punya keterkaitan langsung atau tidak, akan tetapi akhir-akhir ini juga
diramaikan dengan berita tentang pembredelan media Islam seperti Hidayatullah,
Dakwatuna, Era Muslim, Daulah Islam, Gema Islam dan lainnya. Dengan alasan
pembredelan media Islam adalah menyebar paham radikalisme. Tentu ini alasan
yang absurd dan abstrak. Tentu pula ini dieratkan dengan ISIS. Padahal kita
tahu bahwa nyatanya media Islam yang dibredel hanyalah menyebarkan tentang
pemahaman Islam. Hidayatullah misalkan lebih identik dengan dakwah melalui
pendidikan bahkan masuk hingga ke desa-desa. Dan tak sedikitpun identik dengan
radikalisme. Bahkan disinyalir pula ISIS mulai merasuki daerah Maluku Utara, di
Halmahera Utara, yang belum tentu kebenarannya, atau lebih tepat disebut
terkesan simbolik.
Secara mendasar ISIS mempengaruhi
simbolik Islam. Bendera ISIS misalkan tentu bukanlah bendera ISIS tapi kalimat
tauhid dan ini juga turut digunakan sebagai bendera harakah Islam lain, misalnya Hizbut
Tahrir. Tapi apa kita akan menyebutkan Hizbut Tahrir sebagai gerakan radikalis
sejenis ISIS, tentu tidak. Simbolik lain juga pengaruh ISIS mempengaruhi
sesuatu yang dalam Islam wajib maupun sunnah, yang tentunya menjadi simbolik
dalam Islam pula, misalnya berjenggot, berjilbab, dan lainnya. Simbol merupakan gambar, bentuk, atau benda yang mewakili suatu gagasan,
benda, ataupun jumlah sesuatu. Meskipun simbol bukanlah nilai itu sendiri,
namun simbol sangatlah dibutuhkan untuk kepentingan penghayatan akan
nilai-nilai yang diwakilinya. ISIS disatu-sisi
bisa dikatakan sangatlah mempengaruhi simbolik dalam Islam.
Terkadang, radikalisme diidentikkan
dengan masalah terorisme. Sehingga, tuduhan pelaku teror kepada warga Negara
sering ditujukan kepada mereka yang dianggap radikal. Padahal, secara
konseptual hal tersebut masih berada dalam perdebatan (Umar, 2010).
Yang menarik dari artikel dalam
Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (JSP) yang dituliskan Umar (2010),
disimpulkan bahwa kemiskinan adalah sebuah implikasi dari salah pembacaan dan
tiruan kebijakan yang tidak disesuaikan dengan konteks dan kondisi objektif dari
negara tersebut. Persoalan kelahiran “Islam Radikal” takkan lepas pada
bagaimana negara mengentaskan kemiskinan. Tugas pemerintahlah untuk menjawab
hal itu semua.
Secara mendasar tantangan Gerakan Islam dan
Islam Poltik adalah bagaimana memayungi semua umat Islam dan disisi lain
menampilkan kemoderatan Islam serta menumbuhkan semangat keber-Islaman. Yang
tentunya mengantisipasi kita untuk tidak menghakimi masalah simbolik antara
gerakan Islam dengan ISIS. Dan kondisi kekinian yang semakin terkesan represif
terhadap Islam dan gerakan Islam. ISIS dapat kita sebut sebagai sesuatu yang
ada tapi terkesan simbolik dan bahkan sebuah bentuk yang dapat dikatakan
sebagai bentuk ‘rekayasa’ dan ‘konspirasi’ untuk alasan represif terhadap
Islam. Misalnya terakhir ISIS diberitakan mulai berperang dengan Hamas. Maka mengenal
berbagai gerakan Islam menjadi penentu agar orang tidak phobia dengan simbolik
Islam.
Mengenal berbagai tokoh dan gerakan
Islam menjadi penting. Ada nama Muhammad bin Abdul Wahab di Arab Saudi,
Jamaluddin al-Afghani, Muhammad Abduh, Rasyid Ridha, Hasan Al-Banna, Sayyid
Quthb di Mesir, Al-Maududi di Pakistan, Al-Kandahlawi di India, dan Taqqiyudin
An-Nabhani. Serta berbagai gerakan Islam seperti Hizbut Tahrir, Ikhwanul
Muslimin, Salafi, Jamaah Tabliqh. Dan organisasi Islam skala nasional
(Indonesia) yang umum dikenal seperti Muhammadiyah dan Nahdatul Ulama, dan
lainnya. Yang pastinya setiap organisasi Islam di Indonesia menempatkan diri
bukan sebagai gerakan radikal sejenis ISIS.
Proses manusia menerapkan nilai-nilai
agama di dalam ruang dan waktunya bukan proses yang sekali jadi, melainkan
membutuhkan waktu yang panjang. Pertama-tama dibutuhkan waktu untuk memahami
konten panduan tersebut secara benar dan setelah memahaminya dibutuhkan pula
waktu untuk memahami cara mengimplementasikannya sesuai dengan ruang dan waktu.
Selanjutnya, pada saat pengimplementasiannya, dibutuhkan juga pemahaman tentang
realitas ketika konten itu diterapkan dan setelah dipahami realitas pada saat
melaksanakannya, mungkin ditemui fakta baru tentang keterbatasan-keterbatasan
sebagai manusia. Di saat itulah disadari bahwa mungkin ada pemahaman yang salah
tentang konten panduan tersebut, atau bisa juga benar cara memahaminya tetapi
salah cara menerapkannya. Atau boleh jadi benar cara memahaminya dan benar juga
cara mengimplementasikannya, tetapi konteks ruang dan waktunya tidak sesuai
(Matta, 2014).
Syahid Hasan Al-Banna menuliskan bahwa
peringkat pertama kekuatan adalah kekuatan akidah dan iman, kemudian kesatuan
dan persaudaraan, lalu kekuatan fisik dan senjata. Sebuah jamaah tidak bisa
dikatakan kuat sebelum memiliki cakupan dari seluruh kekuatan tersebut.
Manakala sebuah jamaah mempergunakan kekuatan fisik dan senjata, padahal ikatannya
masih berserakan, sistemnya masih kacau, akidahnya masih lemah, dan cahayanya
imannya padam, maka kesudahan akhirnya adalah kehancuran dan kebinasaan.
Syekh Said Hawwa (2014) menuliskan oleh
karena itu ketika membicarakan tentang sarana, Hasan Al-Banna berkata, kekuatan
bukan satu-satunya sarana. Dakwah yang benar sesungguhnya berbicara kepada ruh,
berbisik kepada hati, dan mengetuk pintu jiwa yang terkunci. Adalah mustahil ia
tertanam dengan tongkat atau tercapai tujuannya dengan ketajaman kata-kata dan
tombak. Akan tetapi sarana yang dipergunakan untuk memantapkan setiap dakwah
dan mengokohkan diketahui oleh mereka yang cermat memahami sejarah. Ringkasnya
ada dalam dua kata: iman dan amal, kasih sayang dan persaudaraan.
Akhirnya salah satu sarananya adalah
tarbiyah, tarbiyah sebagai seni menciptakan manusia. Dan Anis Matta menuliskan
tarbiyah sebagaimana, dengan proses beragama, sehingga hanya dengan memahami
proses beragama itulah, kita akan bisa memahami pula rumitnya proses tarbiyah
dan proses pembinaan yang diterapkan kepada seseorang agar mampu berinteraksi
dengan ruang dan waktunya berdasarkan patokan nilai-nilai agamanya. Terlebih
lagi pelakunya adalah manusia dan objek pembinaannya pun manusia yang memiliki
perbedaan-perbedaan. Olehnya itu, output tarbiyah adalah manusia-manusia shalih
yang cerdas untuk tempat dan zamannya. Dan akhirnya menjadi manusia shalih yang
menguasai seni menciptakan peristiwa. Hal ini untuk mengantisipasi ‘rekayasa’
dan ‘konspirasi’ untuk bentuk represif terhadap Islam. Wallahu’alam.
Posting Komentar
0 Komentar