Perspektif
Jebakan Massa Kepahlawanan Sang Gubernur
Jebakan
Massa Kepahlawanan Sang Gubernur
M. Sadli Umasangaji
(Founder Celoteh Ide)
Dimuat di Malut Post Edisi 21
April 2015
Tidak ada orang
yang menyukai tekanan. Semua kita akan selalu berusaha menghindari segala
bentuk tekanan hidup. Tekanan mencabut kenyamanan hidup kita, dan dalam banyak
hal, membatasi ruang gerak kita, dan menyulitkan proses kreativitas kita.
Sebab
disini ada jebakan kepahlawanan yang sering tersipu banyak orang. Sahabat para
pahlawan belum tentu juga pahlawan. Inilah ilusinya. Para pahlawan mungkin tidak
tertipu, tetapi orang-orang yang bersahabat dengan para pahlawanlah yang lebih
sering tertipu. Dalam lingkaran pergaulan, para pahlawan adalah parfum. Apabila
berada di tengah kerumunan, maka semua orang akan kecipratan keharumannya.
Apabila ada orang lain yang mulai mendekat dan mencium keharuman itu, mungkin
ia sulit mengenali dari mana keharuman itu berasal. Situasi ini tentu saja
menguntungkan orang-orang yang mengerumuni sang pahlawan, peluang untuk diduga
sebagai pahlawan, begitulah tulis Anis Matta.
Akan
tetapi untuk mengetahui berapa besar pajak yang telah mereka bayar untuk
keharuman itu. Manusia pada umumnya selalu mempunyai dua sikap terhadap
keharuman itu. Pertama, mereka biasanya akan mengagumi para pahlawan itu.
Kedua, mereka akan kasihan kepada para pahlawan karena mereka tidak sempat
menikmati hidup secara wajar.
Keharuman,
mungkin merupakan sesuatu yang indah bagi banyak orang. Namun, para pahlawanlah
yang membayar harga keharuman itu. Dan, harga itu yang tidak diketahui orang
banyak. Orang mengagumi kedermawanan sang pahlawan, tetapi tidak merasakan
kemiskinan yang mungkin diciptakan oleh kedermawanan. Orang mengagumi
keberanian sang pahlawan, tetapi mereka tidak merasakan luka yang menghantarkan
menuju keperihan.
Didorong
oleh ketaatan, keluguan, ketulusan, serta kecintaan, ‘masyarakat para pahlawan’
biasanya menghargai para pahlawan dengan cara yang berlebihan. Itu merupakan
rintangan bagi para pahlawan, dimana mereka sering merasa memiliki hak
prerogratif untuk menikmati semua kemurahan ‘masyarakat para pahlawan’.
Dalam
kerangka itulah, salah satu jebakan itu adalah ilusi massa. Jebakan massa tidak
saja terletak pada sikap kagum yang berlebihan yang membuat seorang pahlawan
berhenti berkarya karena terlalu cepat merasa puas. Jebakan itu juga tidak saja
terletak pada sikap kritis mereka yang berlebihan yang membuat seorang pahlawan
berhenti berkarya karena merasa tertolak atau tidak diterima. Namun, jebakan
massa juga menyimpan godaan-godaan mereka kepada kita untuk bertindak lebih
jauh.
Mereka
semua adalah pahlawan. Pertama, mereka adalah ‘mereka’ yang mungkin lapar tetapi ‘mereka’ lebih banyak
merenungkan kemiskinan sebagai fenomena sosial yang harus diubah. ‘Mereka’
mungkin dari keluarga tidak terdidik, tetapi ‘mereka’ kemudian berpikir menjadi
otodidak dan bagaimana mengembangkan ‘pendidikan’. Kedua, mereka yang selalu
tampak santai dalam kesibukan, tersenyum dalam kesedihan, tenang di bawah
tekanan, bekerja dalam kesulitan, optimis di depan tantangan, dan gembira dalam
segala situasi. Kedua-duanya adalah pahlawan. Berjuang dan menikmati, berdarah
dan amanah, yaitu ‘mereka yang lapar dan peduli pada fenomena sosial’ dan
‘mereka yang tenang di bawah tekanan’, keduanya adalah pahlawan.
Para
pahlawan yang mendapat harta karun dan para pahlawan yang tidak mendapatkan
harta karun, tetaplah pahlawan. Kedua-dua pahlawan ini mendapatkan ujiannya
masing-masing. Pahlawan yang mendapatkan harta karun tidak berhak merasa bahwa
kepahlawanannya itu adalah atas usaha dan perjuangannya sendiri. Dan para
pahlawan yang tidak mendapatkan harta karun tidak perlu menjadi apatis.
Karena para
pahlawan itu seperti kata Hasan Al-Banna, “kami ingin agar umat mengetahui
bahwa mereka lebih kami cintai daripada diri kami sendiri. Sungguh, jiwa-jiwa
kami ini senang gugur sebagai penebus bagi kehormatan mereka, jika memang
tebusan itu yang diperlukan. Atau melayang untuk membayar kejayaan, kemuliaan,
agama, dan cita-cita mereka, jika memang mencukupi. Tiada yang membawa kami
pada sikap seperti ini kepada mereka, kecuali karena rasa kasih sayang yang
telah mencengkeram hati kami, menguasai perasaan kami, menghilangkan kantuk
kami, dan mengalir air mata kami. Sungguh, kami benar-benar sedih melihat apa
yang menimpa umat ini, sementara kita hanya sanggup menyerah pada kehinaan,
ridha pada kerendahan, dan pasrah pada keputusasaan. Sungguh, kami berbuat di
jalan Allah untuk kemaslahatan seluruh manusia, lebih banyak dari apa yang kami
lakukan untuk kepentingan diri kami. Kami adalah milik kalian wahai
saudara-saudara tercinta, bukan untuk orang lain. Sesaat pun kami tak akan
pernah menjadi musuh kalian”.
Dan
para pahlawan itu sebenarnya cinta pada ‘dunia kepahlawanan’. Karena ‘dunia
kepahlawanan’ ini adalah bertujuan untuk terus menghasilkan ‘para pahlawan
baru’. Dan menuju tujuan para pahlawan, ‘peradaban dunia pahlawan’. Tidak, kata
Khalid. Tidak akan ada pemberontakan, selama Umar masih hidup, tandas Khalid.
Karena para ‘pahlawan kecil’ menyukai ‘pahlawan besar’ dan karena ‘para
pahlawan’ itu mengajarkan bahwa uang muka itu berupa ketentraman hati, perasaan
bangga, konsepsi yang indah, lepas dari segala ikatan dan daya tarik, serta
kebebasan dari rasa takut dan gelisah dalam situasi apa pun.
Karena
para pahlawan itu, kata Hasan Al-Banna, bangga dengan kesatuan yang tulus ini,
sangat senang dengan ikatan rabbani yang kokoh ini, dan sangat optimis menatap
masa depan selama kalian tetap bersaudara karena Allah, saling mencintai, dan
saling tolong-menolong. Karena itu jagalah persatuan ini, sebab ia merupakan
senjata dan bekal utama kalian. Dan suatu nanti para pahlawan akan bertanya
dalam benaknya mampukah ia hidup dalam ‘dunia kepahlawanan’ dan menghidupinya
ketika posisinya seperti ini. Wallahu’alam.
Posting Komentar
1 Komentar
Manis.....
BalasHapus