Dalam Sebuah Pencarian - Berbagai Cahaya
Novel Dalam Sebuah Pencarian
Berbagai Cahaya
Pernah Wahib tuliskan “aku ingin bekerja di tempat terpencil”, dengan alasan yang
abstrak, hanya ingin bisa produktif menulis. Berpikir di daerah terpencil bisa
banyak ide untuk menulis dan tulisan yang dihasilkan, sederhana. Impian yang
fana ternyata. Sekarang ia sudah di sebuah daerah walau tidak dapat disebut
daerah terpencil karena cukup ramai pula, tapi masih memakai nama desa, dan
pastinya cukup jauh. Kadang waktu telah berubah, semua berubah, dan kadang
semua tidak sesuai persepsi. Tapi begitulah itulah impian yang fana, ingin di
tempat terpencil tapi ternyata persepsinya berbeda. “Setidaknya aku menyadari kita bukanlah apa yang kita inginkan semata,
tapi kita adalah apa yang Allah tetapkan untuk kita”, pendam Wahib dalam
rasa yakinnya.
Wahib memang cukup banyak menulis
ketika disini dan beberapa tulisannya pun dimuat di media lokal, ya, yang Wahib
tulis opini dengan beberapa hal yang kontemporer dan sesuai ritme buku yang ia
baca. Walau harapnya yang ia tulis adalah tulisan lepas seperti biasanya dulu. Waktu dan lingkungan
yang Wahib lalui membuat ritme baru dalam dirinya, mungkin demikian, sehingga
Wahib lebih terbiasa menulis opini.
Tanpa terasa disini Wahib pun masih tetap menulis, dan
yang ia tulis opini dengan beberapa hal yang kontemporer dan sesuai ritme buku
yang ia baca. Beberapa diantaranya dimuat di media lokal. Dengan judul tulisan
seperti Native Democracy, Realitas Demokrasi Kekinian, Menuju Paradigma
Masyarakat Otentik, Nilai-Nilai Bawah Tanah dalam Birokrasi, Kerinduan Pada
Masyarakat Islami, Konsepsi Gerakan Mahasiswa Muslim dalam Masyarakat Otentik.
Terakhir Wahib pun menulis dengan judul “Tantangan
Islam Politik dan National Identy”, yang kebetulan juga dimuat di salah satu
media lokal. Mungkin ini efek dulu aktif di KAMMI. Tradisi menulis dan membaca
buku masih Wahib lakukan walau sudah paska KAMMI. KAMMI telah meneguhkan Wahib
untuk terus menulis, menulis apa saja secara bebas. Wahib kadang menulis
tentang demokrasi, masyarakat Islam, gerakan kepemudaan, fenomena sosial,
hal-hal kontemporer, hingga masalah-masalah politik. Sekali lagi ini mungkin
efek dulu bergulat di KAMMI. Begitulah pengkaderan KAMMI telah membuat Wahib
senang bergulat dengan opini terkait-terkait itu. Kini Wahib lebih sering
menulis dengan keterangan “Anggota Biasa KAMMI”.
#
Disini tak ada liqo, tak ada kegiatan organisasi, jauh
dari keluarga, kadang-kadang membosankan. “Ya
itulah yang ku sebut, kadang waktu telah berubah, perjalanan waktu hidup yang
merubah, dan semuanya menyebabkan ketidaksesuaian persepsi”, lirih Wahib
memandang kini.
Mungkin
hal lain yang mengusir kebosanan adalah bertemu dengan orang yang se-fikrah
atau lebih tepatnya bertemu dengan kader tarbiyah disini, bertemu sekedar
bersapa dan sedikit bercerita membuat merasa sedikit senang disini.
Kini Wahib kembali berkumpul dalam
lingkaran kecil itu bersama ‘orang-orang baik’ yang baru. Dulu ‘orang-orang
baik’ dalam lingkarang kecil itu kebanyakan mahasiswa. Kini ‘orang-orang baik’
itu ada guru, ada yang kerja di BPS, dan ada pula dokter PTT.
Guru itu bernama Pak Rasmin, dulu
sering ikut kajian di Wahdah katanya ketika kita bercerita setelah liqo, dan
sekarang menikah dengan seorang akhwat KAMMI (tarbiyah) dan sekarang mulai
aktif tarbiyah. Beliau orang asli Haltim, Maba. Pertemuan pertama kita di
rumahnya, buka puasa bersama dan menerima taujih dari Ustad Kuncoro mengenai yaumul akhir. Akh Ari adalah yang kerja
di BPS, dulu aktif tarbiyah di LDK, baru 2 bulan di Maba ini. Mungkin seumuran
dengan Wahib. Aslinya dari NTT. Dan dr. Ridho adalah Dokter PTT di RSUD Maba.
Asalnya dari Makassar. Baru kita berempat yang hadir pada
pertemuan pertama itu, dan Ustad Kuncoro sebagai murabbi. Dan 2 orang lagi yang
tergabung tapi belum sempat hadir.
Dan secara sederhana kembali
berkumpul dalam lingkaran kecil inilah alasan normatif yang membuat Wahib
senang disini. Sebelumnya Wahib awal ketika disini untuk liqo, ia hanya
menghubungi Ustad Kuncoro yang juga sebagai ‘Ketua Kaderisasi’ disini. Wahib
tak tahu termasuk dalam anggota ‘hisbi’
atau tidak, yang pasti Wahib hanya memberitahukan dulu ia aktif di KAMMI, dan
mau ikut tarbiyah disini (Haltim). Beliau hanya membalas “dulu murabbi antum siapa, alamatnya dimana, dan pekerjaannya apa”. Wahib pun menjawab adanya.
Tapi setelah pertemuan pertama itu,
Wahib pun berpikir. Ia berpikir bahwa tentang ‘bukan orang penting’, bisa saja
ia dibiarkan tidak usah liqo lagi, biarkan saja futur, bisa jadi. Tapi mengapa
ada orang mungkin ‘bukan penting’ mengurusi ‘orang tidak penting’ tanpa ada
kepentingan. Mungkin itulah seharusnya perasaan cinta, cinta kepada dakwah,
tanpa kepentingan dari ‘orang bukan penting’. Beliau harus setiap 2 pekan
mengurusi ‘orang bukan penting’, dengan perjalanan kurang lebih 1 jam,
mengeluarkan uang kurang lebih seratus ribu, dan bertemu kembali dengan ‘orang
bukan penting’. Untuk nanti berbuka puasa bersama, mengisi halaqoh, dan mabit
bersama. Itu rencana kegiatan rutin kita. Dan Wahib pun berpikir “Bisakah aku melakukan semua itu seperti
beliau lakukan tanpa ada kepentingan apa-apa”. Padahal kita sering-sering
mengatakan cinta dakwah. Bisakah kita keluar dari kemapanan dakwah menuju
membentuk kemapanan dakwah baru? Keluar dari daerah yang dakwahnya aktif menuju
ke daerah yang dakwahnya tidak aktif dan mengaktifkannya? Yang Wahib sadari dan
lihat orang-orang yang mengatakan cinta dan loyalitas terhadap dakwah masih
nyaman dengan kemapanan dakwah bukan menuju kemapanan dakwah baru.
Dan orang-orang seperti beliau kini
bukan prototipe ril yang diharapkan, karena beliau bukan politisi, mungkin. Ah,
bagi Wahib, ia menemukan jalan baru mengenai dakwah tentang beliau. Keindahan
harta karun dan orang-orangnya di dalam jamaah ini. Sebelumnya sudah Wahib
lewati jalan stapak, maka kini, kata Wahib, “Harusnya
menikmati jalan raya ini”. “Wajiha
(KAMMI) harusnya sebagai ruang untuk iron stock dakwah”, pikir Wahib. Jadi
kader-kader paska kampus, mungkin suatu saat nanti di tempat pada suatu daerah
untuk mengaktifkan kelompok-kelompok liqo, sekalipun tanpa kembali ke daerah
asalnya sebagai tuntutan dakwah, bukankah kita sering katakan cinta dan
loyalitas pada dakwah? Menjadi orang bukan penting tanpa kepentingan, mungkin
itulah cinta.
Seperti kata Sayyid Qutbh, oleh
sebab itu, pergerakan Islam harus berangkat dari pengertiannya sebagai gerakan
untuk menghunjamkan kembali akidah Islam ke dalam hati dan pikiran setiap
individu Muslim, serta melakukan pembinaan kepada siapapun yang mau menerima
dakwah dan pemahaman yang benar, dengan pola-pola pendidikan Islam yang benar.
Tanpa harus membuang-buang waktu berdebat soal peristiwa politik yang tengah
menjadi pembicaraan hangat. Tanpa memaksakan berdirinya pemerintahan Islam
dengan cara merebut kekuasaan, padahal masyarakat Muslim di tingkat akar rumput
belum menuntut pemerintahan Islam dengan dasar pengetahuan yang benar mengenai
esensi Islam yang ingin mereka terapkan.
Lanjut Sayyid Qutbh dalam bukunya
Detik-Detik Terakhir, sub bab tentang “Harakah Islamiyah Bergerak dari Sini”,
“Pembicaraan mengenai betapa pentingnya pemahaman akidah Islam yang benar,
sebelum melangkah ke tahapan mengenai pemerintahan dan syariat Islam. Atau
pembicaraan tentang betapa tidak pentingnya berkontribusi dalam gerakan politik
lokal yang saat ini tumbuh di negara-negara Islam. Sebab, saat ini kebutuhannya
lebih kepada bagaimana melakukan tarbiyah Islam yang benar kepada
sebanyak-banyaknya orang”.
Loyalitas itu bukan kita
meninggalkan semuanya untuk dakwah. Tapi yang kita miliki dan kapasitas kita
yang kita bawa ke dalam dakwah. Kini, Wahib hanya sering menulis opini dengan
isu-isu kontemporer dan melabelkan diri sebagai “Anggota Biasa KAMMI”, mungkin
hanya itu.
Wahib hanya menulis, setidaknya
tulisan ini sebagai awal Wahib untuk betah disini. “Ah, aku rindu menulis bebas dan lepas seperti ini, mungkin begitu,
bukan orang penting”, lirih Wahib dalam pikirannya. Dan menikmati
“Detik-Detik Terakhir”-nya Sayyid Qutbh, mungkin harusnya makin betah, kata
Wahib dalam hatinya sambil memandang langit yang jauh disana, putih.
#
Mungkin sudah kurang lebih 8 bulan, Wahib di Maba ini.
Keseharian Wahib yang agak ‘aneh’ membuatnya bertemu dan berpikir tentang
berbagai “jamaah Islam”. Dan di waktu hari libur Wahib sering duduk di Masjid
di dekat sekolah SMA 5 Haltim, berlama-lama di sana. Kadang-kadang melihat
aktivitas Jamaah Tabliqh di Masjid itu. Kadang-kadang aku mengikuti ta’lim
fadhilah amal mereka bahkan pernah mengikuti jaulah 3 hari mereka. Aku senang
bisa belajar tentang adab-adab istinja dari mereka. Mereka kelihatan sangat
memperhatikan masalah-masalah ini. Tapi ada beberapa hal yang membuatku sedikit
kurang respek ketika mereka merasa yang paling benar dan yang paling sesuai
dengan dakwah Rasulullah. Dan terasa mereka seakan-akan mengabaikan
dakwah-dakwah yang lain. Wahib berpikir “Mengapa
makin kesini, di desa kecil ini, malah ketemu dengan para Jamaah Tabliqh yang
kelihatan ‘ngotot’ bahwa mereka yang sesuai dakwah Rasulullah. Padahal yang ku
lihat di Ternate, mereka terlihat biasa-biasa saja, sama dengan dakwah-dakwah
lain pada umumnya, bergerak sesuai porosnya. Mungkin karena mereka disini tidak
bersentuh atau tidak mengenal dakwah-dakwah yang lain, mungkin”.
Setiap dakwah memiliki tantangannya
masing-masing. Mungkin mereka belum pernah melihat sekumpulan anak muda
laki-lakinya yang tidak merokok, tidak pacaran, dan perempuan-perempuan mudanya
yang berjilbab panjang. Anak-anak muda yang ketika syuro berusaha menjaga
hijab, dan ketika musyawarah tidak mengunakan cara-cara anarkis, menghargai
setiap pendapat, memulai dengan melafazkan basmallah dan tilawah. Yang
anak-anak muda liqo setiap pekan,
menjaga pandangannya, menjaga tilawah, berusaha shaum sunnah, berusaha
meningkatkan hafalannya. Itulah KAMMI.
Bagaimana anak-anak muda di kampus
yang direkrut oleh HTI, IM melalui wajiha-nya, dan Wahdah Islamiyah. Bukankah
ini juga dakwah. Mungkin bahkan anak muda di kampus jauh lebih banyak direkrut
oleh HTI, IM, dan Wahdah Islamiyah dibandingkan Jamaah Tabliqh. Anak-anak muda
yang berjenggot yang meramaikan masjid-masjid kampus, bahkan sebagian dari
mereka menjadi penjaga masjid di kampus dan perempuan-perempuan muda yang
berjilbab panjang.
Mengapa setiap dakwah tidak saling
menghargai dakwahnya masing-masing sesuai dengan porosnya, metode dakwahnya,
dan tantangan dakwahnya masing-masing tanpa merasa yang paling benar. Jamaah
Tabliqh dengan jaulah-jaulahnya, majelis-majelisnya, dan kebanyakan yang
direkrut dewasa muda dan orang-orang tua. Jamaah Tabliqh dengan ulamanya.
Seperti Maulana Yusuf Muhammad Al-Kandhalawi. Begitu juga dengan HTI dengan
dakwah Khilfahnya, dengan ulamanya, Syekh Taqiyudin An-Nabhani. Dengan
sekolah-sekolah Islam dan Universitas Islamnya. Begitu juga Ikhwanul Muslimin
dengan konsep sistem Pemerintahan Islamnya, Politik Islam, Partai Islam,
Masyarakat Islamnya, dan Khilafah. Dari Perbaikan Individu Islami, Keluarga
Islami, Masyarakat Islami, Pemerintahan Islam, Daulah Islam (Khilafah), Hingga
Bumi dalam Panji Allah.
Pemikiran-pemikiran Syahid Hasan al-Banna, Syahid Sayyid Qubth, Syekh
DR. Yusuf Qardhawi, Syekh Said Hawwa, dan tokoh Ikhwan lain. Di Indonesia
dengan sekolah-sekolah Islam terpadunya, universitasnya, pesantrennya, tarbiyah
dan liqonya. HTI dan IM dengan wajihanya, dan tanzhimnya melalui Dakwah Kampus,
banyak anak muda, kemudian menjadi dewasa muda, partai Islam, tokoh politik,
dan tokoh-tokoh dakwah. Begitu juga Salafi, Ustad-Ustadnya yang kebanyakan
kuliah Timur Tengah, universitas-universitas Islam.
Bukankah setiap dakwah memiliki
ulama-ulamanya. Jangan sampai kita membenarkan suatu jamaah dan menafikan ulama
dakwah yang lain. Rasanya tidak harus begitu. Saling menghargai dakwah-dakwah
masing-masing menunjukkan kita menghargai ulama dakwah masing-masing.
Jamaah Tabliqh yang menegaskan
sunnah melalui adab-adab seperti adab istinja, keluar masuk masjid, tidur,
makan minum, dan penggunaan siwak, dan lainnya. Jamaah Tabliqh dengan 6
sifatnya dan 28 usul-usul dakwah. Hizbut Tahrir dengan Konsep Khilafahnya,
majalah al-Islamnya, menantang pemikiran-pemikiran sekuler dan liberal.
Bukankah menegaskan Khilafah adalah bagian dari pembuktian atas Hadist
Rasulullah, bahwa setelah kepemimpinan Rasulullah, ada kepemimpinan Khulafaur
Rasyidin, setelahnya kepemimpinan monarki (kerajaan), setelahnya kepemimpinan
tirani, setelahnya bangkitnya kepemimpinan Islam (Khilafah). Bukankah ini
bagian dari menegaskan sunnah. Bukankah sunnah itu perkataan Rasulullah
(hadist), diamnya Rasulullah, tingkah laku Rasulullah, semua yang Rasulullah
laksanakan. Begitu juga Ikhwanul Muslimin, yang melakukan Islam secara syumul,
intergral, dan komprehensif. Menegaskan
Amar Ma’ruf Nahi Mungkar. Berjuang dalam pemerintahan dan parlemen. Berusaha
menjaga sunnah yang juga dilakukan oleh Jamaah Tabliqh dan yang pula dilakukan
oleh Ikhwan. Begitu juga Ikhwan menginginkan Khilafah (seperti Hizbut Tahrir),
Pemerintahan Islami, Masyarakat Islami melalui Politik Islam. Bahkan sebagian
dari Ikhwan membentuk tanzhim (organisasi-organisasi) sebagai perekrutan. Liqo
yang seperti pertemuan pertama majelis Rasulullah di rumah Arqam bin Arqam.
Begitu juga Salafi dengan pemurnian Islamnya, menegaskan sunnah dan Al-Qur’an.
Jadi, jangan kita menegaskan kita menerapkan sunnah
ini dan yang lain tidak, sementara kita tidak menerapkan sunnah yang lain.
Seperti Jamaah Tabliqh yang ternyata tidak menyentuh masalah Khilafah yang
disentuh oleh Hizbut Tahrir. Di satu sisi Jamaah Tabliqh yang tidak menyentuh
masalah-masalah musuh-musuh Islam, seperti Zionis, Illuminate, Rotary Club,
Freemason. Sementara Ikhwan yang berjuang melalui pemerintahan, parlemen, dan
politik untuk melawan itu semua. Dan Salafi dengan keilmuan dan pemurniannya.
Mengapa kita tidak saling menyatu dan saling menghargai dakwah masing-masing sebagai
bentuk satu padunya dakwah. Bukankah tidak ada dalil yang menegaskan saling
mengkafirkan sesama Muslim? Bukankah yang merasa paling benar dibandingkan
dengan saudara lain adalah hal yang sama dengan Iblis yang merasa lebih baik
dari Adam? Bukankah itu tipekal Ibils, merasa yang paling benar! Bukankah, yang
ada hanyalah, “Tidak
sempurna iman seseorang kalau ia tidak mencintai saudaranya melebihi dari ia
mencintai dirinya sendiri”. Dan “Innamal
muminuna ikhwah” (Q.S Al-Hujurat [49]: 10), “Sesungguhnya orang-orang mu’min
adalah bersaudara”.
Mungkin saja Islam yang begitu luas cahayanya,
cahayanya terpasialkan dalam dakwah-dakwah masing-masing, Jamaah Tabliqh dengan
cahaya ini, Hizbut Tahrir dengan cahaya ini, Ikhwanul Muslimin dengan cahaya
ini, Salafi dengan cahaya ini, dan dakwah yang lainnya dengan cahaya-cahaya
yang lain. Setidaknya bila cahaya-cahaya dakwah yang berkumpul dan menyatu padu
tanpa merasa cahayanya yang paling baik, mungkin itulah cahaya Islam.
Bukankah dakwah itu mengajak orang pada kebaikan,
Jamaah Tabliqh membuat orang menjadi sholat, memakai gamis, berjenggot, itulah
kebaikan, itulah dakwah. Hizbut Tahrir dan Ikhwanul Muslimin, membuat anak-anak
muda menjaga sholatnya, melawan masa mudanya tanpa pacaran disaat anak-anak
muda lain bermaksiat, anak-anak muda yang berjenggot, perempuan-perempuan muda
yang berjilbab panjang, menjaga tilawahnya, itulah kebaikan, itulah dakwah.
Bukankah Allah-lah yang menentukan amalan-amalan kita atas ridho-Nya untuk
menuju Jannah-Nya?
Setidaknya pergulatan ini, membuat Wahib tetap berada
pada jalur fikrah Islam, mencoba membaca kembali Sirah Nabawiyah yang pernah ia
beli karya Syekh Syairfurahman al-Mubarakhfuri dan buku-buku Ikhwan seperti
Detik-Detik Terakhirku, karya Sayyid Qutbh, dan Fi Afaqi Ath-Ta’lim karya Said
Hawwa. Wahib pun lebih menghargai gerakan dakwah lain. Setidaknya pula Wahib
memiliki bahan untuk dijadikan bahan tulisan.
Jamaah atau sebuah gerakan dakwah hanyalah sarana kita
untuk memperbaiki ke-Islam-an atau ke-muslim-an kita sesuai dengan kapasitas
kita, dan ranah kita untuk berjuang atas Islam. Sebuah gerakan dakwah adalah
bagian dari Islam bukan Islam itu sendiri. Karena sesungguhnya kita mengajak
seseorang untuk memperbaiki ke-Islam-annya bukan mengajak seseorang semata
untuk masuk dalam suatu jamaah. Dengan begitu maka suatu dakwah tidak boleh
menafikan dakwah lain. Dan semua gerakan dakwah berjuang untuk Islam. Maka
setidaknya seorang Muslim sebaiknya berjamaah.
#
Rasa-rasanya makna “mencintai sesama saudara Muslim”,
mungkin masih terjebak ke dalam sesama jamaah. Belum terlihat antara satu
jamaah dengan jamaah yang lain. Rasa-rasanya antara satu jamaah dengan jamaah
lain hanya saling membenarkan.
Padahal rasa-rasanya perasaan ini
hampir sama di semua jamaah, mungkin. Dengan metode dakwah mana saja. Perasaan
itu adalah pertama, hidayah itu indah, kedua, masuk di dalam jalan dakwah itu
'orang-orang' pilihan Allah, ketiga, kenikmatan berdakwah.
Beberapa hari yang lalu Wahib
memutuskan untuk mengikuti ‘Jaulah 3 Harinya’ Jamaah Tabliqh (setidaknya
begitulah mereka disebut, karena sering katanya mereka bukan organisasi dan
tidak memiliki nama).
Ada beberapa alasannya memutuskan mengikuti jaulah
mereka, pertama, saya setuju dengan metode jaulah ke rumah-rumah, dan kata
Ustad Sayyid Qutbh, “Pergerakan Islam harus berangkat dari pengertiannya
sebagai gerakan untuk menghunjamkan kembali akidah Islam ke dalam hati dan
pikiran setiap individu Muslim, serta melakukan pembinaan kepada siapapun yang
mau menerima dakwah dan pemahaman yang benar, dengan pola-pola pendidikan Islam
yang benar. Tanpa harus membuang-buang waktu berdebat soal peristiwa politik
yang tengah menjadi pembicaraan hangat”. Umat manusia secara umum sudah jauh
dari pemahaman dan pengertian tentang esensi dari nilai-nilai Islam itu
sendiri, tidak lagi sekedar jauh dari etika Islam, aturan Islam, dan syariat
Islam. Maka dari itu, gerakan Islam manapun wajib bertitik tolak dari dari
usahanya dalam memberikan pemahaman kepada umat tentang makna Islam dan esensi
akidah, yaitu mengabdi hanya kepada Allah semata, baik pada tataran keyakinan
(mengenai hak Allah sebagai satu-satunya tujuan ibadah) maupun pada tataran
praktis (menjalankan syiar-syiar peribadahan kepada-Nya, dan hanya tunduk dan
patuh terhadap hukum dan syariat-Nya). Pergerakan ini harus berangkat dengan
misi menyelamatkan masyarakat, rakyat, dan pemimpinnya secara bersama-sama,
dari pemahaman konvensional menuju pemahaman Islam yang benar, lalu membangun
sebuah fondasi (bila bagi masyarakat secara keseluruhan itu tidak mungkin, maka
setidaknya itu dapat dilakukan terhadap unsur-unsur dan sektor-sektor yang
memiliki kontrol dan pengaruh kuat di masyarakat). Dan jaulah seperti itu
adalah salah satu metode yang menyentuh kalangan grass root.
Kedua, Wahib ingin melihat lebih jauh bagaimana dakwah
Jamaah Tabliqh, dengan alasan kondisi Wahib kini maka metode jaulah adalah cara
merekrut kader untuk terwarnai dengan fikrah Ikhwan. Bukan lagi lewat tanzhim dan ataupun wajiha.
Ketiga, siapapun dia ketika dia mengemban akidah
sekalipun tidak terlibat dalam 'Islam Politik', “Saya yakin dia akan bersedia dengan sistem pemerintahan Islam.
Termasuk orang-orang yang sering menggunakan kata 'usaha dakwah' itu ke depan
malah memilih 'Islam Politik' untuk terwujudnya pemerintahan Islami dan khilafah”,
alasan pandangan Wahib.
Keempat, alasan yang paling kuat adalah ukhuwah
harakiyah, menyatukan berbagai harakah Islam.
Hari itu kita jaulah di Desa Waci, Halmahera Timur.
Setelah tiba di tempat. Ada beberapa program (begitulah mereka menyebutnya).
Diantaranya, dimulai dengan bayan hidayah, ta’lim, muzdakarah, dan hari itu
mereka juga bermusyawarah, bayan juga, kalqozari, dan ditutup dengan bayan
wabsi.
“Aku baru
tahu ternyata orang-orang yang menggunakan kata 'usaha dakwah' itu, sebenarnya
punya sistem, termasuk doktrin pengkaderannya dan juga sistem
keorganisasiannya, hanya saja mereka saja yang tidak menyebut itu sebagai kata
pengkaderan dan mekanisme organisasi,
hasil mengikuti Jaulah 3 Hari, olehnya itu dipastikan mereka tidak
fleksibel karena punya sistem organisasi dan doktrin”, pikir Wahib
Sebut saja sistem pengkaderan mereka dengan doktrin 6
sifat dan 28 usul-usul dakwah. 6 sifat terdiri dari, pertama, yakin dengan
kalimat thoyibah (la ilaha illallah),
kedua, sholat khusyu wa khudu, ketiga, ilmu ma’ dzikiri, keempat, ikramul
muslimin, lima, perbaharui niat, keenam, dakwah wa ta’lim, khuruj fi’
shabilillah. Dan waktu itu kita hanya disampaikan 8 usul-usul dakwah, empat hal
yang utama, pertama, dakwah illallah, kedua,
ta’lim wa ta’lum (menyampaikan dan belajar (disampaikan)), ketiga, perbanyak
tilawah dan dzikir, keempat, khidmat. Dan empat hal yang dikurangi, pertama,
kurangi massa makan, kedua, kurangi waktu tidur, ketiga, kurangi pembicaraan
sia-sia, keempat, kurangi keluar masjid.
Sedangkan muzhakarah kita hari itu mengenai adab-adab
istinja dan doktrin pengkaderannya itu (6 sifat dan usul-usul dakwah). Selain
itu mereka juga punya struktur, yaitu ada amir, ada khidmat, ada
petugas-petugas lain (yang mereka sebut juga amir untuk tugas tertentu). Maka
ini bisa disebut struktur atau kepanitian. Dan mereka juga punya mekanisme
organisasi, seperti musyawarah, bahkan dalam musyawarah mereka itu ada laporan
dari masing-masing halaqoh. Mereka juga punya koordinator di masing-masing
daerah, dan bahkan melakukan musyawarah daerah (musda), musyarawah nasional
(munas), dan musyawarah dunia yang katanya akan diselenggarakan di Madinah
nanti.
Apa bedanya halaqoh dan sub halaqoh dengan bahasa DPD,
DPW atau DPC dan DPAC. Jadi itu struktur organisasi, tidak ada bedanya. Dan
saya sebut dakwah illallah itu sama dengan dakwah tauhid KAMMI. Dan mengenai
doktrin apa bedanya dengan bahasa doktrin NDP HMI. Dan ta’lim wa ta’lum sama
dengan dakwah IM, tarbiyah dan mentarbiyah. Berarti bisa disimpulkan itu sistem
pengkaderan dan mekanisme organisasi. Mereka memiliki itu dan sama saja dengan
dakwah lain. Mereka tidak fleksibel, ternyata.
Dan yang cukup mengurangi kesan saya ternyata 'mereka'
juga merasa yang paling benar dibandingkan dakwah-dakwah yang lain, dan hanya
berpandangan pada ulamanya, maka mereka juga mengedepankan golongan, tidak
fleksibel. Rindu Ukhuwah Harakiyah, rasa-rasanya begitu.
Mereka menyebut dakwah mengetuk pintu itu atau bahasa
mereka dengan usaha dakwah dan jaulah itulah satu-satunya dakwah Rasulullah, wallahua’lam.
Tapi apakah mereka paling benar? Rasanya tidak, apakah dakwah yang dilakukan
oleh Salafi, Hizbut Tahrir, Ikhwanul Muslimin itu salah? Apakah fikrah yang
dituliskan oleh Syekh Taqqiyudin An-Nabhani, dan Syahid Hasan Al-Banna dan
Ustad Sayyid Qutbh serta Syekh Yusuf Qardhawi mengenai Islam Politik, Khilafah,
Pemerintahan Islam, itu salah? Rasanya tidak. Apakah ta’lim selain ta’lim
fadillah amal, adalah ta’lim-ta’lim yang tidak bernilai pahala? Rasanya tidak.
Majelis Salafi, Majelis HT, Majelis IM juga berpahala, insya Allah, Allah yang
menentukkan pahala hamba-Nya.
Apakah Shalahuddin Al-Ayubbi dan Sultan Muhammad
Al-Fatih, serta Imam Al-Ghazali yang mungkin tidak melakukan dakwah ketuk pintu
(usaha dakwah, bahasa mereka) tidak akan masuk surga? Rasanya tidak.
Shalahuddin Al-Ayubi dan Sultan Muhammad Al-Fatih dengan jihad qitalnya dan
Imam Al-Ghazali dengan ilmunya. Dan Allah-lah yang mengetahui kadar amal kita.
Tapi Wahib juga senang paska jaulah, teman-teman dari
JT kelihatan lebih respek kepadaku, entah karena Wahib ‘dianggap’ sebagai
bagian dari JT setelah jaulah atau memang mereka respek kepada sesama muslim,
semoga begitu, Wahib mencoba berbaik sangka.
“Ini hanya
sekedar perasaan rinduku kepada Ukhuwah Harakiyah, bahwa kita semua berdakwah,
punya Tuhan dan akidah yang satu, Allah, dan ingin menegakkan syariat-Nya,” lirih Wahib dalam
batinnya. Lantas kepada kita saling ‘mengkafirkan’, merasa yang paling benar,
yang lain salah, dan seterusnya. Bukankah, “Tidak sempurna iman seseorang kalau ia tidak mencintai saudaranya
melebihi dari ia mencintai dirinya sendiri”.
Dan “Innamal muminuna ikhwah” (Q.S
Al-Hujurat [49]: 10), “Sesungguhnya orang-orang mu’min adalah bersaudara”.
Semoga kita semua apapun metode dakwahnya, saling menghargai dakwah masing-masing,
biarlah Allah yang menentukkan amalan-amalan kita. Kita hanya berusaha dan fasthabikul khairat, berlomba-lomba
dalam kebaikan. Karena kita semua hanya mengharapkan ridho Allah. “Dan aku rasa setiap-setiap harakah Islam
memiliki tantangan dakwahnya sendiri”, kata Wahib dalam pandangan
diskusinya sendiri.
Posting Komentar
1 Komentar
The Bonus Wheel provides gamers the chance to spin for selection of|quite so much of|a wide range of} prizes, together with loyalty points and bonus credits, and is out there at chosen times. As for the themed promotions, these occur a daily basis|regularly|frequently}, offering gamers who partake, the chance to attain match provides, credits and more. The web site is on the record of recommended casinos because it has an excellent tracking report of working for greater than 20 years. Being one of many first casinos launched SM카지노 on Microgaming, it still provides extensive range|a variety} of slots and reside video games from Evolution.
BalasHapus