Perspektif
Politik Cinta
Politik Cinta
M. Sadli Umasangaji
(Pengurus Wilayah KAMMI Maluku Utara)
Dimuat di Malut Post Edisi 10 Desember 2015
Momentum pilkada serentak. Berbagai masyarakat yang partisipatif akan
keterlibatan didalamnya. Sementara para ‘calon pemimpin’ akan bergelut dalam
strateginya. Menang. Mungkin itulah kata taruhannya. Tak ada kata kalah. Itu
lirih mereka yang telah bertuai.
Begitulah pada masa-masa itu
perhatian dari sang calon pemenang adalah nilai utama yang digaungkan pada
calon pemilihnya. Tapi tentu kita berharap bahwa itu bukan sekedar perhatian.
Bukan sembarang perhatian. Perhatian adalah akar dari keinginan untuk memberi.
Begitulah seharusnya. Dan buah dari perhatian, harusnya adalah kebajikan. Perhatian,
memberi, dan kebajikan harus membuat orang yang mendapat perhatian terus
menumbuh, mengembangkan dirinya. Karena perhatian memiliki integrasi dengan
pesona kematangan. Itulah lakon yang dilakukan sang calon pemenang. Perhatian,
memberi, kebajikan, bertumbuh, dan penuh pesona. Itulah seharusnya Politik
Cinta. Sarana yang dipakai sang calon pemenang itu adalah kampanye, janji
politik, tim sukses, hingga yang paling usang sekalipun tapi yang paling
‘seksi’, mahar politik, di tingkat paling sederhana, money politic. Usang memang tapi paling laris. Apalagi di
detik-detik terakhir. Kadang-kadang ia bisa jadilah penentu sang calon
pemenang. Tapi itulah kekeringan politik cinta.
Politik cinta memang rumit. Yang
penonton memang penonton. Sukanya hanya menilai. Yang pelakon bermain
mati-matian. Hidup atau mati. Tapi pilihannya cuman satu; menang. Kalah adalah
penghabisan.
Ya, tapi politik cinta bukan sekedar
politik. Politik yang penuh dengan lumpur pekat. Bukan. Politik cinta adalah
cinta misi. Yang jikalau kau mengenangnya maka kerinduan ruhani yang timbul.
Jika kau merindunya, maka akal batin yang berbicara. Politik cinta bukan
sekedar politik karena ia terbalut dalam cinta penuh misi. Misi yang bertaut
dengan kerinduan pada kebaikan.
Politik cinta memang rumit. Seperti
lakon para PNS yang diminta utamakan netralitas tapi tetap harus memilih. Cinta
memang pilihan. Tapi kalau dalam ranah ‘intervensi’, maka cinta adalah
kerumitan. Kau memilih yang ini. Dan yang itu yang menjadi sang pemenang. Maka
cintamu dibuang. Dan kau jangan terlena karena cinta. Begitulah politik
kadang-kadang cinta menjadi usang karena pilihan yang salah.
Mungkin Politik Cinta adalah ilusi.
Sebab jangan kau bicara tentang kesejahteraan. Sementara kau lupa tentangnya.
Apalagi harus melihatnya. Apa harus menunaikannya nanti. Jangan kau bicara
tentang kesejahteraan. Sementara kau direlung nestapa. Atau tidak, nestapa itu
telah hilang. Hilang dari rasa ‘mereka’. Jangan kau janji tentang keadilan.
Tapi jauh disana tidak merata. Jauh disana bersusah payah. Terjerit dalam
kehidupan. Jangan kau bicara tentang keadilan. Kalau hanya untuk kesenangan.
Sementara jauh disana mereka bergelut dalam terik panasnya matahari siang.
Jangan kau bicara tentang kesejahteraan. Kalau jauh disana komunikasi saja sulit.
Transportasi saja rumit. Keseharian penuh kerinduaan pertapaan. Bisa jadi
keadilan dan kesejahteraan adalah ilusi. Percayalah, itu ilusi. Tak ada
pengecualian dewa sekalipun.
Tapi tidak politik cinta itu adalah
sejarah. Seperti Sang Khalifah yang termenung gundah. Sedih. Tampaknya belum
ada tanda-tanda kalau kelaparan yang melanda kota Madinah akan segera berakhir.
Puluhan orang meninggal sudah. Di tingkat teknis operasional rasanya semua
upaya sudah ia lakukan. Tapi masih adakah upaya lain yang mungkin ia lakukan?
Tidak jelas betul hubungannya. Tapi
sang Khalifah kemudian merasa kalau ia membutuhkan tekad yang lebih besar.
Cinta pada rakyat harus diekspresikan lebih nyata. Perasaan itulah yang
mengantarnya pada keputusan kecilnya, selama kelaparan ini masih berlangsung,
Umar bin Khatab tidak akan membiarkan seorang pun dari anggota keluarganya
untuk makan daging, dan tidak boleh menggauli satu dari ketiga istrinya. Tidak
ada korelasi teknis. Tapi sebagai pemimpin Sang Khalifah telah menyatakan tanggung
jawab dan kepeduliannya pada rakyatnya (Matta, 2012).
Begitulah politik cinta. Ia adalah
cinta misi. Cinta pada sebuah misi mendorong kita mencintai semua orang dan
pekerjaan yang ada di sepanjang jalan menuju misi itu. Disini cinta bekerja
seperti mesin kendaraan. Tidak penting betul siapa penumpangnya, dan jalan mana
yang harus dilalui. Sebab keluruhan misi mengusai jiwa sang pecinta. Politik
cinta adalah gerak yang lahir dari bentuk dari gerak manusia sebagai sebuah
masyarakat di alam raya. Maka cinta ini tertuju pada gerak bukan bentuk, maka
semua pekerjaan yang terkait dengan pencapaian misi, juga jadi niscaya (Matta,
2012).
Ia seperti ejawantahan pada
karya-karya ilmiah para ulama, pada darah dan air mata para syuhada, pada
keadilan para pemimpin, pada kasih sayang para pendakwah, pada kelembutan para
guru. Itulah seharusnya seperti Khalid bin Walid lebih menyukai berkecamuk
dalam perang walau malam yang dingin, Usman bin Affan yang dikenal dengan
kedermawanannya, senang berinfak, Umar bin Khatab yang mau mengantarkan gandum
di tengah malam pada rakyat miskin.
Atau seperti kata Imam Hasan al-Banna,
“kami ingin agar umat mengetahui bahwa mereka lebih kami cintai daripada diri
kami sendiri. Sungguh, jiwa-jiwa kami ini senang gugur sebagai penebus bagi
kehormatan mereka, jika memang tebusan itu yang diperlukan. Atau melayang untuk
membayar kejayaan, kemuliaan, agama, dan cita-cita mereka, jika memang
mencukupi. Tiada yang membawa kami pada sikap seperti ini kepada mereka,
kecuali karena rasa kasih sayang yang telah mencengkeram hati kami, menguasai
perasaan kami, menghilangkan kantuk kami, dan mengalir air mata kami. Sungguh,
kami benar-benar sedih melihat apa yang menimpa umat ini, sementara kita hanya
sanggup menyerah pada kehinaan, ridha pada kerendahan, dan pasrah pada
keputusasaan. Sungguh, kami berbuat di jalan Allah untuk kemaslahatan seluruh
manusia, lebih banyak dari apa yang kami lakukan untuk kepentingan diri kami.
Kami adalah milik kalian wahai saudara-saudara tercinta, bukan untuk orang lain.
Sesaat pun kami tak akan pernah menjadi musuh kalian”.
Adapun seorang pemimpin yang
dilahirkan oleh keadaan selalu ingin segera memperoleh hasil sebelum menyiapkan
sarana, serta tertipu oleh keangkuhan mereka sebagai pemimpin dan tertipu pula
oleh berbagai perangkap politik. Mereka menyangka, gurun pasir yang tandus dan
kering sebagai air, lantas mengejarnya. Akan tetapi, ketika ia mencapainya,
mereka tidak menemukan apa-apa, kecuali sekedar menghamburkan tenaga,
mengorbankan waktu, dan menghabiskan bekal. Mereka terpaksa mundur kembali ke
titik permulaan dan menelan kerugian, tidak maju dan tidak pula meraih
keuntungan. (Aziz, Jum’ah, 2007).
Pada akhirnya politik cinta haruslah
bersumber pada kehendak kuat serta niat yang tulus dari masyarakat itu sendiri
sambil didukung oleh kebijakan pemerintah yang adil, karena kita semua adalah
contoh bagi yang lainnya. Kuatnya pemerintahan pada gilirannya dibuktikan oleh
kuatnya masyarakat sebagai penompang pemerintahan itu sendiri. (Hamzah, 2010).
Politik cinta memang rumit. Apalagi
mereka sebagai pelakon. Akankah semuanya tetap terlihat sebagai lumpur pekat,
dan tetap ada yang lupa ‘mencuci diri’ dengan air yang bersih, oh tidak minimal
dengan air yang keruh. Tapi tetaplah, mungkin aku, kau, dan mereka, rindu pada
politik cinta, sebagai cinta misi, sementara dia sebagai pelakon?
Posting Komentar
0 Komentar