Sastra Gerakan
Tauhid
Serial Novel Serpihan Identitas
M. Sadli Umasangaji
(Founder Celoteh Ide)
Tauhid
4
Said
mencoba merenungi beberapa hal bagi dirinya. Perenungan tentang bacaannya.
Ma’alim Fi Ath-Thariq, buku yang ia pegang saat ini. “Hendaknya persoalan akidah menjadi fundamen dakwah Islam kepada
manusia karena akidah sedari awal memang menjadi fundamen dakwah Islam kepada
manusia. Dakwah inilah yang menjadi fokus al-Qur’an periode Mekkah selama tiga
belas tahun penuh. Jika konsep dasar agama Islam ini mendarah daging dalam diri
umat Islam maka pengkristalan inilah yang akan menjadi landasan bagi apa yang
disebut dengan “Masyarakat Islam”. Masyarakat ini sangat tepat dalam membangun
tatanan Islami dalam kehidupan sosial”. Ia sedang duduk sendiri dalam
sekretariat organisasi kepemudaan Muslim itu.
Proses
manusia menerapkan nilai-nilai agama di dalam ruang dan waktunya bukan proses
yang sekali jadi, melainkan membutuhkan waktu yang panjang. Pertama-tama
dibutuhkan waktu untuk memahami konten panduan tersebut secara benar dan
setelah memahaminya dibutuhkan pula waktu untuk memahami cara mengimplementasikannya
sesuai dengan ruang dan waktu. Selanjutnya, pada saat pengimplementasiannya,
dibutuhkan juga pemahaman tentang realitas ketika konten itu diterapkan dan
setelah dipahami realitas pada saat melaksanaanya, mungkin ditemui fakta baru
tentang keterbatasan-keterbatasan sebagai manusia. Di saat itulah disadari
bahwa mungkin ada pemahaman yang salah tentang konten panduan tersebut, atau
bisa juga benar cara memahaminya tetapi salah cara menerapkannya. Atau boleh
jadi benar cara memahaminya dan benar juga cara mengimplementasikannya, tetapi
konteks ruang dan waktunya tidak sesuai.
Tauhid
merupakan penerus sejarah suci kenabian. Sejak awal, Tuhan Yang Maha Esa
mengutus para Nabi dan Rasul dalam wujud manusia yang diamanahi wahyu untuk
mengingatkan kehadiran-Nya, perintah-Nya, cinta-Nya, dan harapan-Nya. Sejak
Nabi Adam hingga Nabi Muhammad, tradisi Islam mengakui seluruh mata rantai
kenabian, mulai dari para Rasul yang paling dikenal, seperti Ibrahim, Nuh,
Musa, dan Isa, hingga yang kurang dikenal, bahkan nabi yang tidak kita kenal
sama sekali. Tuhan selalu menyertai kita sejak awal penciptaaan hingga hari
akhir kelak. Inilah makna sejati tauhid dan rumusan al-Qur’an tentang muasal
dan muara hidup manusia: “Kami milik
Allah dan kepada-Nya kami kembali”.
Said membuka buku Ma’alim Fi
Ath-Thariq itu, di dalamnya ada beberapa lembar catatan. Said ingat ini catatan
dari ceramah dalam ramadhan kemarin. Said kembali mencerna ceramah yang ia
dengar beberapa waktu lalu saat bulan ramadhan. Dalam salah satu ceramah Ustad
Ridwan Husen, Lc, beliau mengungkapkan puasa seharusnya tidak membuat kita
melalaikan tugas berjihad di jalan Allah, membina masyarakat, memperbaiki
masyarakat. Dengan tetap membersamai itu semua dengan amalan-amalan kita dalam
ramadhan seperti tilawah, sholat sunnah, qiyamul lail, itikaf, dan lainnya.
Para sahabat ketika Ramadhan,
semangat berjihadnya meningkat. Kita terbalik karena kesibukan amalan kita lupa
berjihad. Merekut, dan liqo. Bahkan kadang liqo “diliburkan” karena “kesibukan”
dalam “amalan harian”.
“Dan sekiranya penduduk negeri
beriman dan bertakwa, pasti Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari
langit dan bumi” (Q.S al-A’raf : 7 : 96)
Takwa itu, pandangan dari Ridwan
Husen, Lc, dari perintah puasa maka takwa itu adalah perbaikan juga pada
masyarakat. Maka takwa itu bukan hanya pada diri sendiri. Pada Ramadhan itu,
Imam Hasan al-Banna, menargetkan bagaimana dampak takwa itu pada masyarakat.
Khairun nas an faahum lin nas (“Sebaik-baiknya manusia adalah
manusia yang bermanfaat bagi manusia lain”). Ramadhan adalah bagaimana
tantangan kita mentakwakan masyarakat. Puasa itu menurut DR. Yusuf Qardhawi, diperintahkan
ketika keimanan masyarakat Madinah telah kokoh. Perintah puasa itu hanya batu
loncatan. Karena mereka sudah beriman.
Orang-orang yang menang di
peperangan-peperangan akidah di belakang nabi-nabi mereka adalah mereka yang
memulai peperangan dengan permohonan ampun atas dosa, bertawakal kepada Allah,
dan berlindung ke perlindungan-Nya yang kokoh. Maka, membersihkan diri dari
dosa, bertawakal kepada Allah, dan kembali ke perlindungan-Nya adalah termasuk
modal kemenangan, bukan sesuatu yang terpisah dari medan”. Kembali Said
terkenang dengan kata-kata Sayyid Qutbh sembari mencerna dengan ceramah Ustad
Ridwan.
Maka
secara pribadi, apa kita sudah punya modal keimanan yang cukup. Untuk
menjadikan masyarakat yang takwa. Hingga keberkahan itu menyertai masyarakat
yang beriman dan bertakwa. Demikianlah Indonesia dengan penduduknya yang
mayoritas Muslim yang terjadi malah kemunduran setiap tahun. Maka tanyakanlah
puasa kita. Refleksi keimanan kita. Standar keimanan.
“Sesungguhnya
orang-orang beriman adalah mereka apabila disebut nama Allah, gemetar hatinya,
dan apabila dibacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, bertambah (kuat) imannya dan
hanya kepada Tuhan mereka bertawakal” (Q.S. al-Anfal : 6 : 2)
Ketika
membaca sejarah peradaban, kita akan menemukan satu kaidah bahwa pada saat
sebuah peradaban sedang naik, maka sesungguhnya peradaban tersebut sedang dikendalikan
oleh ruh. Sementara ketika peradaban berjalan mendatar maka yang
mengendalikannya adalah rasio atau akal. Dan ketika peradaban sedang menukik
turun, maka berarti ia sedang dikendalikan oleh syahwat atau hawa nafsu.
Fenomena sejarah yang menunjukkan peradaban dalam grafik naik berarti juga
memperlihatkan rasio perbandingan antara sumber daya dan produktivitas. Pada
saat kita dikendalikan oleh ruh maka produktivitas kitapun jauh lebih besar
dari sumber daya yang kita miliki. Sedangkan grafik mendatar menunjukkan bahwa
ketersediaan sumber daya berbanding lurus dengan produktivitas kita atau dengan
kata lain berimbang. Sementara grafik menurun, memperlihatkan gambaran bahwa
produktivitas kita jauh lebih rendah dari ketersediaan sumber daya yang ada.
“Allah ingin membangun komunitas, harakah dan
akidah dalam waktu bersamaan. Dan Allah menghendaki pembangunan masyarakat dan
harakah yang berakidah dan membangun akidah yang memiliki masyarakat dan
harakah. Allah menghendaki akidah menjadi realitas masyarakat yang berharakah
dan menghendaki realitas masyarakat berharakah yang sebenarnya menjadi entitas
riil dari akidah”.
“Orang Quraisy bukan
semata-mata menentang seorang manusia dan sebuah misi. Sesungguhnya, jika semua
utusan Tuhan mendapati pengalaman yang sama. Penentangan serupa dan kebencian
dari sebagian besar kaumnya. Hal itu terjadi karena kandungan pesan yang mereka
bawah merupakan revolusi radikal atas tatanan masyarakat”. Said masih terpendam dalam
lamunannya tentang Tauhid. Ya, revolusi radikal itu adalah revolusi tauhid.
#
Dalam ruangan yang biasa digunakan
untuk rapat itu, ada satu meja, dan dua kursi. Sekretariat yang berada di jalan
lorong kecil. Berada di sekitarnya ada penginapan, di jalan lorong ini, di
sebelah sananya juga ada sebuah mushalla kecil, di dekat mushalla itu, ada juga
sebuah gereja besar, terkadang kalau berjalan mau sholat entah sholat maghrib
atau sholat ashar, kadang disana gaung adzan berkumandang, dan berjalan
pelan-pelan menuju mushalah itu, sembari akan terdengar suara nyanian dari
gereja.
Di mushalla ini juga kita temui
seorang yang hanya berkaki satu, tapi tak lekang baginya untuk meninggalkan
sholat di masjid, bahkan ia kadang selalu datang di awal-awal waktu sholat.
Para kader selalu melihatnya, terinspirasi olehnya.
“Ah,
ia yang fisiknya terlihat tak sempurna tapi selalu berusaha sholat tepat
waktu”. Said menghela napasnya dalam perenungannya.
“Pria
berkaki satu yang berjalan dengan tongkat itu, ternyata lebih kuat dari banyak
orang yang fisiknya kelihatan kuat tapi lalai dengan sholatnya”
Said masih di ruangan di sekretariat
itu masih dalam perenungannya. Perenungan tentang tauhid. Di sekretariat ini ada tinggal beberapa
kader, akh Haris dan akh Misno. Entah hari ini mereka lagi keluar, entah
kemana. Said sendiri di sini.
Ia berjalan ke belakang, dapur
sekretariat. “Mengambil air segelas,
rasanya bisa menemani kembali aku dalam perenungan ini”, Said sambil
bergegas mengambil air segelas itu. Ia kembali dalam perenungannya.
“Ucapan
‘La Ilaha Illallah’ tidaklah asing di telinga orang-orang Arab. Mereka memahami
bahasa mereka dengan baik, dan memahami maksud hakiki seruan ini. Mereka
mengerti apa yang dituju oleh seruan ini berkenaan dengan aturan main,
kepemimpinan dan kekuasaan mereka. Karena itu, mereka menyambut seruan atau
revolusi ini dengan sambutan yang kejam, dan menabuh genderang perang demi
menantangnya. Perang yang tidak asing lagi bagi semua orang”
“Lantas, mengapa Sang Arsitek
Peradaban itu tak henti menegakkan ini? Pria yang wajahnya berseri-seri, bagus
perawakannya, tidak merasa berat karena gemuk, tidak bisa dicela karena
kepalanya kecil, elok dan tampan, di matanya ada warna hitam, bulu matanya
panjang, tidak mengobral bicara, lehernya panjang, matanya jelita, memakai
celak mata, alisnya tipis, memanjang dan bersambung, rambutnya hitam, jika diam
dia tampak berwibawa, jika berbicara dia tampak menarik, dia adalah orang yang
paling elok dan menawan dilihat dari kejauhan, bagus dan manis setelah
mendekat”
“Lantas mengapa dakwah harus dimulai
dari revolusi radikal itu? Mengapa Allah memutuskan bahwa dakwah harus dimulai
dari situasi yang sulit itu?”
Said
masih terus masuk semakin dalam, dalam perenungannya.
“Barangkali ada yang berpendapat,
Sang Arsitek Peradaban itu sebenarnya mampu membangkitkan semangat pan-Arabisme
yang mengarah pada usaha mempersatukan blok-blok Arab yang telah terkikis oleh
permusuhan dan disintegrasi. Usaha untuk menggiring kepada semangat
nasionalisme Arab. Upaya mengangkat panji-panji Arabisme dan menciptakan
kesatuan kebangsaan Arab di seluruh penjuru Jazirah Arab”
Dalam
ruangan itu ada sebuah kas kecil berisi buku-buku untuk perpustakaan
sekretariat. Dan sebuah kain besar menggantung seperti gorden, pas di
tengah-tengah ruangan yang akan digunakan sebagai tiras pembatas ketika rapat.
Said meminum air putih yang di depannya itu.
“Barangkali
ada yang berpendapat, andai saja Sang Arsitek Peradaban itu menyebarluaskan
dakwah seperti itu (kepada semua orang Arab), niscaya seluruh orang Arab pasti
meresponsnya dengan baik”
“Tapi
sekali lagi tidak, Sang Arsitek Peradaban itu, dakwahnya tidak terbatas pada
itu”
Rak-rak dalam kas itu dipenuhi oleh
beberapa buku, karya Imam Hasan al-Banna, Sayyid Qubth, Yusuf Qardhawi, dan
beberapa buku ideolog IM lain. Disini juga beberapa buku senior KAMMI, buku
Negara, Pasar dan Rakyat – Fahri Hamzah, dan beberapa buku tentang dakwah,
politik Islam, buku-buku kepemudaan, ada pula buku Kapita Selekta KAMMI,
Gerakan Perlawanan dari Masjid Kampus, dan lainnya.
“Sang
Arsitek Peradaban itu berdakwah demi tegaknya agama ini. Masyarakat Arab adalah
masyarakat terburuk dalam hal pemerataan kekayaan dan keadilan. Hanya kelompok
minoritas yang memilki harta dan barang
perniagaan. Mereka menggelar praktik riba, sehingga harta dan perniagaan mereka
pun menjadi berlipat keuntungannya. Sebaliknya, khalayak mayoritas hanya
bersahabat dengan kerasnya kehidupan dan kelaparan”
“Barangkali ada yang berpendapat,
Sang Arsitek Peradaban itu, sebenarnya bisa mengangkat panji-panji sosialisme
dengan mengobarkan perang melawan kelas borjouis. Bisa juga mengusung dakwah
yang mengarah pada revolusi dan mengembalikan kekayaan orang-orang kaya kepada
orang-orang miskin”
“Tapi tidak, sekali lagi, dakwah
Sang Arsitek Peradaban ini, melebihi itu, karena keadilan sosial di dalam
masyarakat haruslah terpancar dari konsepsi teologis yang komprehensif”
Dalam sekretariat ini terdiri dari
tiga kamar, satu kamar digunakan untuk akhwat, tempat akhwat sholat dan mungkin
rapat diantara mereka, satu ruangan itu hanya khusus untuk mereka, para
perempuan. Ruangan itu ada sebuah kamar mandi. Dua kamar lagi ditempati oleh
para ikhwan, entah sebagai tempat istirahat atau kamar untuk yang menjaga
sekretariat ini. Di belakangnya dapur. Dan ada satu kamar mandi.
Said
masih merenung dalam lamunannya. Di depannya ada beberapa buku karya Sayyid
Qutbh, Ma’alim Fi Ath-Thariq, Keadilan Sosial dalam Islam, Detik-Detik
Terakhirku, dan Fikih Pergerakan, serta Biografi Sayyid Qutbh. Said mengagumi
Sayyid Qutbh. Tapi ia jauh lebih mengagumi, bukan hanya mengagumi tapi
mencintai dan menyayangi Sang Arsitek Peradaban ini dibanding Sayyid Qutbh. “Ah, Sayyid Qutbh, adalah pelanjut Sang
Arsitek Perabadan ini, karena keteguhan Sayyid Qutbh terhadap revolusi tauhid
Sang Peradaban ini, Sayyid rela mati di tiang gantung”. Sang Arsitek
Peradaban yang Sayyid Qutbh tuliskan dalam Ma’alim Fi Ath-Tariq, pada bagian
Karateristik Manhaj Qur’ani. Ya, revolusi tauhid. Dan Said saat ini sedang
merenunginya. Said berharap diakui sebagai umatnya Sang Arsitek Peradaban ini,
di depan Allah nanti di hari Perhitungan nanti. Mendapat pertolongan dari Sang
Arsitek Peradaban ini.
“Sang
Arsitek Peradaban diutus ketika level moralitas di Jazirah Arab sedang jatuh
pada titik nadir dalam berbagai dimensinya. Dan di sisi lain tabiat Badui yang
menonjol merebak di masyarakat”
“Tradisi minum khamr dan bermain
judi merebak di dalam masyarakat. Pernikahan dengan berbagai pola hadir pada
masa itu. Ada pernikahan seperti sekarang dimana seorang laki-laki melamar
kepada orang tua untuk mendapat anak gadisnya atau walinya. Kemudian menetapkan
mahar dan dilangsungkan pernikahan. Ada pernikahan dimana seorang laki-laki
berkata kepada istrinya, setelah ia suci dari haid, pergilah kepada si Fulan
dan bersenggamalah dengannya! Suaminya kemudian mengasingkannya dan tidak
menyentuhnya sama sekali sampai akhirnya istrinya benar-benar hamil. Dia
melakukan hal itu hanya karena senang kepada anak yang dikandung istrinya”.
“Ada pernikahan dimana sekelompok
laki-laki yang tak mempunya hubungan keluarga dengan si wanita, berkumpul dan
bersenggama dengan wanita itu, semuanya menyenggamainya. Wanita itu hamil lalu
melahirkan. Dan setelah wanita itu melahirkan, ia mengundang mereka dan tak
seorang menolaknya. Wanita itu berkata, kalian semua telah mengetahui apa yang
telah kalian lakukan. Kini, aku telah mempunyai anak. Ini adalah anakmu, wahai
Fulan! Kamu boleh menamainya dengan nama yang kamu suka. Kemudian laki-laki
yang ditunjuki harus membawa anak itu, dan ia tidak boleh menolak”
“Ada pernikahan dimana banyak
laki-laki berkumpul, kemudian mereka menyenggamai wanita, dan wanita ini tidak
dapat menolak siapa pun yang datang. Jika salah seorang wanita itu hamil dan
melahirkan anak, para lelaki itu pun mendatangi si wanita dan memanggill
beberapa orang pinta. Orang pintar ini kemudian mengaitkan ciri fisik si anak
dengan ciri fisik para lelaki itu. Yang dianggap sesuai maka harus mengakui dan
menganggapnya sebagai anaknya. Lalu dipanggilah si anak dan di serahkan
kepadanya, dan lelaki itu tak boleh mengelak”
“Dekandensi moral dengan segala
bentuknya menjadi cerminan dari masyarakat masa itu. Barangkali ada yang
berpendapat Sang Arsitek Peradaban dapat menggemakan dakwahnya sebagai dakwah
pembaharuan demi menegakkan moralitas, membersihkan masyarakat, dan menyucikan
jiwa-jiwa mereka”
“Tapi sekali lagi tidak, apa yang
dibawa Sang Arsitek Peradaban, yang dirisalah Allah, bukan terbatas pada itu
saja. Bahwa moralitas haruslah berlandaskan akidah. Akidahlah yang menyusun
konsiderans dan menetapkan nilai-nilai moralitas”
Said meminum air putihnya lagi. Airnya
tinggal seperempat dari gelas. Sekali lagi ia meminum airnya lagi. Dan kembali ke
dapur untuk menambah air segelas lagi. Para kader organisasi ini setelah
terbina, tidaklah terbiasa merokok, sebagaimana
para aktivis lainnya yang kadang menganggap rokok sebagai sumber inspirasi.
Mereka menjauhi rokok. Sebagaimana penjelasan Imam Hasan al-Banna dalam Majmuatur
Rasail, Kewajiban Aktivitis. “Wahai
al-akh yang tulus keimananmu pada baiat ini mengharuskanmu untuk menunaikan
kewajiban-kewajiban, sehingga engkau menjadi batu yang kuat bagi bangunan
Islam”.
Pada
poin keempat tertulis, “Hendaklah engkau
tidak merokok sama sekali”.
Said
kembali menyeduh air putihnya. Kembali pada perenungannya tentang revolusi
tauhid.
“Allah
yang Maha Mengetahui dan Maha Bijaksana, tidak mengarahkan Rasulullah SAW untuk
hanya pada semangat kesatuan Arab atau panji-panji keadilan sosial atau
pembaharuan moralitas. Tidak hanya terbatas pada itu. Allah hanya mengarahkan
Sang Nabi supaya menegakkan kalimah la ilaha illallah”
Said
menghabiskan airnya untuk gelas keduannya ini. “Semuanya bermula dari ini. Kandungan pesan yang dibawah Sang Arsitek
Peradaban merupakan revolusi radikal atas tatanan masyarakat. Semua bermula
dari revolusi tauhid”.
Said
tersenyum dan dalam pikirnya, “Iman bukan
sekedar ucapan atau pengakuan belaka. Iman merupakan kebenaran yang jika masuk
ke dalam akal akan memberikan kepuasaan akli, jika masuk ke dalam perasaan akan
memperkuatnya, jika masuk ke dalam keinginan akan membuatnya dinamin dan mampu
menggerakankan”, lirihnya seperti pandangan Syaikh DR. Yusuf Qardhawi dalam
catatan buku kecil Sistem Pendidikan Ikhwanul Muslimin.
Ia
terhenti dalam lamunannya itu, “Bahwa
semua bermula dari itu. Bermula dari tauhid. Makna La Ilaha illallah adalah
menolak ketundukkan dan penghambaan kepada kekuasaan selain Allah, menolak
perintah selain perintah-Nya, menolak segala bentuk loyalitas kecuali loyalitas
kepada-Nya, dan menolak segala cinta, kecuali cinta kepada dan karena-Nya”.
“Dan segala nikmat
yang ada padamu, maka dari Allah-lah (datangnya). Dan bila kamu ditimpa
kemudaratan, maka hanya kepada-Nyalah kamu meminta pertolongan. (Q.S. An-Nahl :
53).
Akh
Haris datang. Penghuni sekretariat ini datang. Ia membawa tahu isi. Tahu isi
menjadi makanan yang pas bagi mereka. Bagi mahasiswa yang uangnya pas-pasan.
Tahu isi pun terasa nikmat. Ya, semoga tahu isi itu tak membuat mereka lupa
pada masa-masa itu nanti.
Posting Komentar
0 Komentar