Serpihan Catatan

Serial Novel Serpihan Identitas

M. Sadli Umasangaji
(Founder Celoteh Ide)


Serpihan Catatan
8








Kalau dikata, titik tengah antara idealis yang tidak realistis, dan realisme yang terlalu pragmatis adalah optimisme. Kiranya bila titik tengah dibawa dalam karakter, maka Usamah adalah orangnya.
            Usamah adalah titik tengah, tidak terlalu kanan, dan juga tidak terlalu kiri, dalam pemikiran. Atau mungkin menikmati keduanya dalam pemikiran. Usamah dalam kesukaan membaca novel mirip dengan Dawam. Dalam kesenangan membaca buku Ikhwan juga mirip dengan Said. Demikianlah ia, Usamah.
            Keaktifannya di salah satu organisasi kepemudaan Muslim dan kuliah di jurusan gizi, Fakultas Kesehatan Masyarakat, membuat Usamah di masa-masa masih kuliah, di semester akhir, memilih juga aktif di sebuah LSM yang bergerak di bidang kesehatan.
            Keaktifan di LSM ini mengharuskan Usamah untuk turun meninjau pemberian makanan tambahan, di beberapa desa, di beberapa kecamatan, di Kabupaten HT. Perjalanan yang kurang lebih selama 6 jam, untuk sampai di desa B. Usamah istirahat dan bermalam di desa B. Keesokkan ia akan desa Do, kecamatan MU. Disana alat transportasinya naik kapal kayu. Kurang lebih 8 jam. Dalam perjalanan menuju Desa Do, ada di beberapa kali berhenti menunggu penumpang dari desa, menuju ke kapal menggunakan perahu kecil. Dan dalam setengah perjalanan, jaringan handphone sudah tak ada jaringan. Kadang aku bertanya, dari mana mereka hingga bisa ke sini. Transportasi yang susah dan tak ada jaringan komunikasi. Dan pemerintah kadang memang tak peduli pada nasib yang demikian. Aku sholat di dalam kapal ini, aku menjamaak sholatku, sholat sambil duduk, di tempat tidur yang disediakan.
            Setiba disana, aku mencari dan bertanya puskesmas Do, aku menginap di salah satu petugas puskesmas disana. Keesokannya aku dan petugas disana memantau beberapa pemberian makanan tambahan.
Ku tanya-tanya pula padanya, “Betah kerja disini?Tak ada jaringan, transportasi yang sulit”
Dia hanya menjawab, “Ya, sudah tanggung jawab tugas, mau bagaimana lagi, suka tidak suka, sudah harus kerja”
            Sehari aku disini. Disini sebagian pencarian sebagai nelayan. Rata-rata anak gizi kurus yang ku temui, orang tuanya sebagai nelayan.
“Disini dulu banyak ikan julung, gampang sekali kalau dikail, bahkan mudah sekali didapat. Sekarang agak sulit”
            Aku agak heran juga, disini, mie instan dianggap makanan spesial untuk disajikan ke tamu, sekiranya begitu. Padahal ada ikan julung yang bisa disajikan. Ikan julung yang diasar (difufu).
            Setelah menginap sehari, aku langsung balik. Naik kapal yang akan tiba dari Kota T, Kabupaten HU. Menuju Desa B, Kabupaten HT, tempat awal aku tiba. Aku akan melanjutkan pemantauan tugasku di LSM, memantau pemberian makanan tambahan. Dalam perjalanan ku lihat lagi orang-orang naik ke perahu kecil untuk menuju ke kapal ini, mungkin karena ombaknya deras, dan dermaga belum dibangun. Ku lewati Desa L, bagian dari wilayah kecamatan MU, disini banyak turis, entah apa yang dilakukan para bule itu. Bahkan selama balik ku temui bule yang bisa berbahasa Tobelo dalam. Ah, aku tak terlalu mengerti.
            Aku naik ke kantin kapal. “Mas, berapa mie instan ini?” ku tanya pada penjual, dan hanya makanan itu yang ada. Ada beberapa orang yang duduk di belakang ini. Ada yang merokok, ada juga yang makan, ada yang minum kopi, atau ada yang sekedar duduk menikmati angin, sambil melihat latar kapal. Dan semua melihat orang-orang yang naik perahu kecil menuju ke kapal ini.
“Orang lain disana sudah naik pesawat, tong (kami) disini masih naik perahu baru menuju naik kapal”, kata seorang bapak berkumis, dengan tertawa.
Dilihat-lihat kapal menunggu, kadang perahu belum kesini, “Ini kalau ada jaringan tinggal telepon suruh kesini, ini jaringan me tarada (jaringan juga tidak. Orang lain sudah internet disini kita masih jaringan tidak ada”, seorang bapak lagi berkata.
Aku hanya melihat, terkadang, beberapa kali, aku mendengar mereka juga berbicara tentang proyek, proyek pembangunan gedung sekolah, dan lainnya. Aku lihat lagi orang-orang dari desa ke desa. Kadang-kadang mereka mungkin bahagia, hidup di tempat yang tak ada jaringan. Bahagia dengan keadaan. Mereka orang-orang introver, atau memang keadaan yang membuat demikian.
            Perjalanan 8 jam, aku tiba kembali di Desa B. Rencana besok aku ke Desa E, wilayah kerja puskesmas N. Perjalanan dari Desa B ke wilayah kerja puskesmas N, kurang lebih tiga jam dengan mobil sebagai transportasi. Aku kebanyakan tertidur dan berpikir selama perjalanan. Setiba di wilayah kerja puskesmas N, aku menyampaikan maksudku, untuk turun pemantauan. Ada petugas yang turut bersamaku, memantau beberapa balita.
            Ternyata sebagian besar balita gizi kurus, disini pekerja orang tuanya adalah tani. Mungkin mereka bukan petani modern yang dapat banyak keuntungan, hanya petani biasa. Ibunya hanya seorang ibu rumah tangga, sebagian yang ku temui demikian.
Ku coba tanya-tanya, “Apa ada dapat bantuan sosial begitu?”. Walaupun ini bukan bagian dari pertanyaan dalam pemantauan. Aku hanya ingin bertanya saja mengenai itu.
“Tak ada, tak ada”, sebagian kata dari mereka. Ku pikir bantuan sosial dari dinas terkait semisal Dinas Sosial ada, ternyata tidak.
            Ada satu balita yang ku temui orang tuanya masih muda, mungkin menikah karena kasus. Setelah menikah suaminya pergi, entah kemana, tak bertanggung jawab. Istrinya yang masih muda, memilih melanjutkan kuliah. Si bayi hanya dijaga neneknya. Kadang-kadang mereka tak membeli susu untuk si bayi. Sebenarnya si bayi masih butuh ASI sampai enam bulan, ASI Ekslusif. Tapi begitulah adanya. Sehari ternyata karena tak membeli susu, si bayi diberi teh, kalau tidak ya air gula. Tapi yang miris kadang pernah diberi air belimbing. Ah, malangnya rakyat kita. Aku hanya bisa iba pada mereka. Dan dalam hati ku tanya dimana peran pemerintah? Pada pemerintahnya dari partai berlambang Banteng, yang katanya nasionalis, serta bergerak pada wong cilik, masyarakat kecil.
            Sehari setelah itu, aku balik ke tempatku. Kembali ke Ternate. Ada beberapa hal ku ceritakan pada Dawam dan Said, yang ku temui di sekretariat tentang beberapa kejadian yang ku temui.
“Kadang-kadang ku pikir gerakan Islam harus melampaui gerakan moral, gerakan Islam juga harusnya mampu mengentaskan kemiskinan”, kata Dawam
Ku tatap pada Said, “Aku rasa semua harus dimulai dari perbaikan moral. Dimulai dari pemuda karena kita memang estafet segala kepemimpinan ke depan. Perbaikan moral-lah yang akan menyelesaikan masalah, membuat penganggaran sesuai prosedural hingga tersentuh pada masyarakat”, kata Said sambil menatap pada aku dan Dawam.
            Kadang-kadang aku sendiri berpikir, “Bahwa moral, keinginan, kepedulian, harus kita lampaui, kita juga butuh kemampuan, dan turut pula kemauan untuk memulai mengentaskan kemiskinan, minimal meminimalisirnya dengan segala program yang kita bisa. Dan janganlah kita bicara keadilan, bila masyarakat sendiri masih terkukung tanpa komunikasi dan sulitnya transportasi. Dan jangan kita bicara kesejahteraan kalau kita masih menyaksikan bayi yang meminum air belimbing. Walaupun gubernurnya seorang kiai sekalipun. Atau anggota dewannya dari partai yang mengatasnamakan dakwah sekalipun. Atau pemerintahnya dari partai berlambang Banteng, yang katanya nasionalis, serta bergerak pada wong cilik, masyarakat kecil”, aku hanya termenung.
Masih termenung aku berkata, “Partai nasionalis, partai islam, partai kiri, rasa-rasanya sama saja bung, sama-sama kepentingan pribadi, urusan yang penting uang”.
            “Atau di birokrasi masalahnya?” aku bertanya lagi. “Ah, bukannya yang menjadi pemimpin pemerintah itu dari partai? Yang mengatur segala ketentuan dan penganggaran kan dari pemerintah yang ujungnya dari partai!”
Dan Dawam dengan semangat berkata, “Aku dari dulu mencoba selalu menempatkan pada pola pandang, Islam, Islam yang bergerak. Islam Bergerak”.
            Setelah obrolan itu, aku kembali ke rumah. Aku kembali menikmati buku bacaanku. Kembali melihat novel-novelku. Aku mencoba membaca Pramoedya-Korupsi. Aku kembali membuat catatan-catatanku. Aku kembali mengetik catatanku. Selanjutnya adalah cerita tentang catatanku. Catatan-catatan Usamah. Aku adalah Usamah.        

Posting Komentar

0 Komentar