Ideasi Gerakan
Menulis Opini Sebagai Citra dan Eksistensi Organisasi
Menulis Opini Sebagai Citra
dan Eksistensi Organisasi
M. Sadli Umasangaji
(Founder Celoteh Ide)
Dalam organisasi, menurut saya,
harus ada kader yang memasuki berbagai ruang dalam gerakan termasuk penulisan.
Saya termasuk orang yang berbahagia bila ada kader yang menjadi menulis sebagai
minat dalam gerakan. Menulis apa saja, opini, artikel, ulasan hingga karya
sastra. Menjadikan menulis sebagai ruang penyebaran gagasan, penyebaran
pemikiran berideologi.
Menulis pada dasar adalah tradisi untuk semua.
Demikian karena adanya tulisan sendi kehidupan akan terus berlangsung. Menulis
sesungguhnya adalah ungkapan hati, pikiran, gagasan dengan mengekspresikan
kepada orang atas apa yang dibaca, dilihat, diamati, diteliti serta dipikirkan.
Kita harus berani menempatkan bahwa menulis bukan sebatas soal bakat tapi
menulis lebih kepada soal minat, hasrat, dan keterampilan.
Menulis dan Pengkaderan
Apakah menulis adalah tugas
intelektual? Menurut Gramsci (2013), arti kaum intelektual sebagai sebuah kelas
independen yang terpisah dari kategori sosial adalah sebuah mitos. Semua
manusia mempunyai potensi untuk menjadi kaum intelektual, sesuai dengan
kecerdasan yang dimiliki dan dalam cara menggunakannya. Tetapi tidak semua
orang adalah intelektual dalam fungsi sosial. Kaum intelektual dalam makna
fungsional terbagi menjadi dua kelompok. Pada kelompok pertama terdapat kaum
intelektual profesional “tradisional”, ilmuwan dan sebagainya, yang mempunyai
posisi dalam celah masyarakat yang mempunyai aura antarkelas tertentu, tetapi
berasal dari hubungan kelas masa silam dan sekarang serta melingkupi
pembentukan berbagai kelas histori. Yang kedua, terdapat kaum intelektual
“organik”, unsur pemikir dan pengorganisasi dari sebuah kelas sosial
fundamental tertentu. Kaum intelektual organik ini dapat dengan mudah dibedakan
melalui profesi mereka, yang mungkin menjadi karakteristik pekerjaan kelas
mereka, bukan melalui fungsi mereka dalam mengarahkan gagasan aspiras kelas
organik mereka.
Tokoh-tokoh Umat Islam Indonesia
angkatan Natsir memberikan satu pelajaran penting. Dalam perjuangan
ideologisnya mereka perhatikan dua ranah secara bergandengan: pengaderan dan
kepenulisan. Pengaderan berbicara tentang melahirkan generasi pelanjut
berikutnya. Sementara kepenulisan adalah satu keterampilan dalam perjuangan itu
sendiri.
Maka, bersamaan dengan pembentukan
pelembagaan kaderisasi, biasanya akan dihadirkan media cetak. Sederhana
tampilannya tapi sarat perjuangan didalamnya. Baik semasa masih jadi kader
Ahmad Hasan di Persatuan Islam hingga di Masyumi dan DDII, aktivitas menulis
koheren dari perjuangan Natsir. Dari Pembela Islam, Al-Lisan, Hikmah, Abadi,
hingga Suara Masjid dan Media Dakwah, tidak dipisahkan sebagai kesatuan antara
mengkader dan menulis. Mengkader itu salah satu medianya dengan menulis.
(Maulana, 2016).
Sebagai Citra dan
Melangsungkan Eksistensi
Di Era yang semakin terbuka ini
perang gagasan semakin membuncah, sudah sepatutnya ruang menulis harusnya turut
dimasuki para kader. Sebagai citra, maka tugas kader dalam menulis adalah
menyebarkan gagasan. Sebagai eksistensi, menulis dijadikan sebagai tradisi dan
menjaga nafas gerakan.
Citra utama gerakan terbentuk dari
aksi yang ditujukan, sikap yang dinyatakan, pihak yang dilawannya, kasus yang
dilibatkan, referensi yang dibacanya, tokoh yang diidolakannya, atau apa yang
sebenarnya tujuan yang hendak dicapainya. “Cita rasa” inilah yang menjadi citra
gerakan (Segara, 2015). Melalui
penyebaran opini adalah salah satu sarana untuk membentuk citra.
Sedangkan karya-karya para kader
dalam gerakanlah yang akan menumbuhkan organisasi, baik menjadi gerakan sebagai
citra budaya intelektual. Dan menjadi karya sebagai ruang untuk menjaga
eksistensi gerakan dalam waktu yang panjang. Karya para kaderlah yang
mensejarahkan gerakan.
Sebagai citra, menulis ditempatkan
dalam gerakan, pertama, sebagai menyikapi isu, kedua, membentuk citra
organisasi melalui gagasan, ketiga, membiasakan budaya intelektual gerakan,
keempat, propaganda gerakan, pembentukan opini publik, kelima, menokohkan tokoh
gerakan, pemikiran gerakan dan menggambarkan karakter gerakan.
Sebagai eksistensi, menulis
ditempatkan dalam gerakan, pertama, sebagai tradisi gerakan, membiasakan untuk
mencatat, kedua, mensejarahkan gerakan, ketiga, menjadi ranah untuk eksistensi
gerakan.
Kita bisa lihat mungkin Masyumi
telah dibubarkan, atau PKI telah dilarang tapi gagasan-gagasan para tokoh dan
gerakan tetap tumbuh hingga kini. Pernahkan kita bayangkan bagaimana gagasan
ideolog Ikhwanul Muslimin bisa menyebar hingga kesini? Tentu buku adalah salah
satu ranah penyebarannya. Menulis adalah kerja-kerja intelektual, kerja-kerja
budaya, kerja-kerja untuk berperadaban. Karena sejati, “kalau kamu bukan anak
raja, dan bukan anak ulama besar”, kata Imam al-Ghazali, “maka jadilah
penulis”.
Memulai Dengan Sederhana
Kini
saya mencoba sedikit menjelaskan tentang memulai menulis. Kita dapat memulai
menulis dengan menulis apa saja, menulis dari apa yang dipikirkan, dilihat,
dirasakan, diamati, dibaca, direnungkan, semua itu kita tuliskan. Atau kita
memulai dengan menulis dengan membiasakan menulis catatan tentang organisasi,
tentang kegiatan organisasi, tentang ulasan diskusi, ulasan buku yang dibaca.
Atau pemikiran dan gagasan kita terhadap organisasi. Seperti kata Goethe, “Manusia pada
hakikatnya adalah penulis. Apa yang ia dengar, apa yang ia lihat dan alami, ia
jadikan pola. Ia percaya apa yang dapat dipikir, akan dapat pula ditulis,
lambat atau cepat. Dalam setiap perjalanan dan dalam setiap peristiwa ia
memperoleh bahan baru untuk ditulis atau dikarangnya”.
Kedua, memunculkan ide, mengemas
isu. Pikirkan tentang isu kekinian kemudian menggagas menjadi gagasan yang
sesuai ritme gerakan. Dalam menstimulus ide, memperbiasakan diri membaca buku.
Dalam gerakan ini, tentu kita punya manhaj tugas baca, kita dapat memulai dari
buku-buku itu.
Ketiga, membuat kerangka tulisan.
Ini bila perlu kalau tidak dapatlah menulis secara mengalir. Kerangka tulisan
dapat dijadikan catatan dalam menulis. Misalkan bila topik tulisannya Kudeta
Pada Gerakan Islam, maka buatlah kerangka tulisan, misalkan, bagaimana kudeta
terjadi, kudeta pada gerakan Islam yang mana, penyebab dan alasan kudeta,
pandangan gerakan Islam.
Keempat, carilah ide yang relevan. Ide yang relevan
tentu sebagai bahan penguat tulisan baik dari buku, tulisan online hingga
berita di koran. Menelusuri pemikiran para ideolog gerakan untuk kemudian
mewakili gagasan gerakan. Seperti Tan Malaka, “Selama toko buku ada, selama itu
pustaka bisa dibentuk kembali. Kalau perlu dan memang perlu, pakaian dan makanan
dikurangi”.
Selain itu dapat mencoba, cara
menulis dalam pikiran. Mencoba menulis berarti mencoba berpikir seperti
penulis, berarti menggabungkan proses kreatif ke dalam beberapa alur pikiran
kita. Menulis dalam pikiran, berarti berpikir apa yang bisa kita tuliskan,
mengendapkan dalam pikiran, entah saat melakukan berbagai aktivitas. Apapun
yang sedang kita lakukan, entah, berjalan, atau melakukan pekerjaan lain, kita
tetap bisa menulis, menulis dalam pikiran. Setelah ada gagasan yang patut dituangkan,
maka mulailah menulis. Menulis adalah proses mengamati, berpikir, menciptakan,
merenungkan, lalu menuliskan itu semua. Karena imajinasi adalah awal
penciptaan, kita akan mengimajinasikan apa yang kita hasrati, kita menginginkan
apa yang kita imajinasikan. Dan akhirnya kita menciptakan apa yang kita
inginkan.
Berikutnya adalah mencoba dengan
cara menulis bebas, freewriting style, menuliskan apapun yang terlintas di
otak, proses menulis tanpa henti, tanpa proses editing, tanpa cemas tentang
penggunaan kosa kata atau tanda baca, tanpa berpikir serius dan dilakukan dalam
kondisi santai.
Kelima, menyediakan waktu untuk
membaca kembali. Membaca kembali dilakukan sebaiknya tidak setelah menulis,
tapi 2-3 hari atau seminggu setelah menulis. Ini bisa jadi adalah bagian
melihat kembali atau merevisi tulisan baik kesalahan penulisan atau perbaikan
ide untuk mematangkan tulisan. Tapi pada waktu-waktu tertentu ini sebaiknya
dilakukan saja pada kondisi tertentu atau bisa jadi hanya sebagai perenungan
kembali.
Keenam, mewadahi karya. Tentu dapat
dimulai dengan mengirim karya pada koran lokal, memulai lewat berbagai fitur di
media sosial, memasukan ke dalam blog individu, maupun blog organisasi.
Menyebarkan melalui mading organisasi. Membuat buletin organisasi.
Landasan Penulisan Kader
Tentu yang pertama, menulis adalah
tradisi intelektual, terutama memfungsikan sebagai fungsi sosial intelektual
seperti kata kutipan Gramsci diatas, “Semua manusia mempunyai potensi untuk
menjadi kaum intelektual, sesuai dengan kecerdasan yang dimiliki dan dalam cara
menggunakannya. Tetapi tidak semua orang adalah intelektual dalam fungsi
sosial”.
Kedua, apakah menulis sebagai
pemberontak? Pemberontak dalam arti suatu pengjungkirbalikan yang utuh. Ia
bertindak di bawah (ancaman) cambuk majikannya. Tiba-tiba ia berbalik dan
menghadapi majikannya. Ia menghadapi apa yang ia kehendaki atau senangi dan apa
yang tidak. Tidak setiap nilai memerlukan pemberontakkan, tetapi setiap
tindakan pemberontakan secara diam-diam meminta suatu nilai.
Ketiga, menulis adalah sarana
perjuangan. Sayyid Qutbh dalam Beberapa Studi Tentang Islam, dalam Sub Bab
Kekuatan Kata-Kata, menuliskan, “Saya baca kembali alinea-alinea yang telah saya
tulis lebih dan setahun yang lalu. Kemudian saya bertanya sekali lagi: Kekuatan
manakah selain dari kekuatan kata-kata, yang dalam waktu yang menakutkan dan
gelap itu telah dapat memecah dinding keghaiban melampaui batas dan rintangan,
dan tertulis dalam catatan abadi di kenyataan yang dapat disaksikan itu?”.
“Para
penulis sebenarnya bisä berbuat banyak. Tetapi ada satu syaratnya: mereka mati
agar pikirannya dapat hidup. Fikiran mereka itu harus diberi makan dengan
daging dan darah mereka sendiri. Mereka harus mengatakan apa yang mereka
percayai benar, dan mereka mau menyerahkan darah mereka sebagai tebusan dan
kebenaran itu. Pemikiran dan kata-kata kita tetap akan merupakan mayat yang
kaku, sampai kita mau mati untuk kepentingannya dan kita sirami ia dengan darah
kita. Lalu ia tumbuh menjadi hidup, dan hidup diantara orang-orang yang hidup”.
Dalam buku Menulis di Jalan Tuhan,
Yanuardi Syukur mengistilahkan, “Pidato, ceramah, taushiyah,
atau segala macam
dakwah lewat lisan
punya peranan yang penting,
akan tetapi bukan
berarti bahwa dakwah
bil lisan hanyalah satu-satunya
cara dalam berdakwah. Masih ada
dakwah bilhaal atau berdakwah
dengan perbuatan dan dakwah bilqalam,
atau berdakwah dengan menggunakan pena atau tulisan. Jika tidak bisa
dengan kalam (bicara), maka pakailah qalam (pena) untuk itu.” Karena pada
dasarnya kita selalu pada pandangan, “Nahnu
du’at qabla kulli syaiin”.
Al-Farabi juga dapat menjadi salah
satu patron kline, dalam menulis bagi para kader. Al-Farabi yang dituliskan
oleh Muhammad Natsir, “Hidup bersahaja di alam materi sebagai fakir, tapi memegang
kendali di alam ruhani sebagai raja”. Al-Farabi
adalah seorang tukang kebun dan bekerja siang hari untuk tuannya. Akan tetapi,
tapi kita juga melihat sosok Al-Farabi sebagai penguasa di jagad pemikiran dan
dirinya dalam hidupnya. Al-Farabi hanya tidak menulis saat dua hari –yaitu saat
malam pertama menikah dan saat Ayahnya meninggal. Diriwayatkan bahwa Al-Farabi,
adalah seorang yang amat bersahaja, yang mencari sesuap pagi - sesuap petang
sebagai tukang jaga kebun. Walaupun demikian kefakiran yang dideritanya, tapi
sedikitpun tidak menghalanginya bekerja terus dalam dunia falsafah. Siang hari
ia menyingsingkan lengan baju sebagai tukang kebun, malam memegang kalam,
memutar otak selaku filosof, diterangi oleh pelita kecil yang mengijap. Ia memberi
sejarah dan komentar atas falsafah Aristoteles dan Plato, serta
memperbandingkan paham kedua filosof itu dengan Agama Islam.
Pada
akhirnya seperti kata Pram
dalam Anak Semua Bangsa, “Jelas menulis
bukan hanya untuk memburu kepuasaan pribadi. Menulis harus juga mengisi hidup”.
Maka meminjam gagasan KAMMI Kultural, menulis adalah “sebagai upaya memenangkan
kekuasaan pada tingkat berpikir kader”.
Referensi
Camus, Albert, 2016. Pemberontak. Cetakan Kedua.
Penerbit Narasi. Yogyakarta.
Enterprise, Jubilee, 2011. Melejitkan Otak Lewat Gaya Menulis Bebas. Penerbit Elex Media
Komputindo. Jakarta.
Gramsci, Antonio, 2013. Prison Notebooks. Penerbit Pustaka Pelajar. Yogyakarta.
Goldberg, Caryn Mirriam, 2011. Write Where You Are. Penerbit Kaifa. Bandung.
Maulana, Yusuf, 2016. Hikayat Karya Gagal. Penerbit Pustaka Saga. Surabaya.
Prasetyo, Eko, 2012. Kekuatan Pena. Penerbit Indeks. Jakarta.
Qutbh, Sayyid, Beberapa
Studi Tentang Islam. (Versi PDF)
Segara, Edo, 2015. Humas
Gerakan. Penerbit Pustaka Saga. Surabaya.
Syukur, Yanuardi, 2017. Menulis di Jalan Tuhan. (Versi PDF)
Trim, Bambang, 2011. The Art Of Stimulating Idea. Penerbit Metagraf. Solo.
Posting Komentar
1 Komentar
"Selamat siang Bos 😃
BalasHapusMohon maaf mengganggu bos ,
apa kabar nih bos kami dari Agen365
buruan gabung bersama kami,aman dan terpercaya
ayuk... daftar, main dan menangkan
Silahkan di add contact kami ya bos :)
Line : agen365
WA : +85587781483
Wechat : agen365
terimakasih bos ditunggu loh bos kedatangannya di web kami kembali bos :)"