Perspektif
Sayyid Quthb dan Segala Kekagumannya
Sayyid Quthb dan Segala Kekagumannya
M. Sadli Umasangaji
(Founder Celoteh Ide)
Saya termasuk orang yang mengagumi Sayyid Quthb. Disini saya mencoba sekedar menulis serpihan dari biografi Sayyid Quthb. Kita bersama tahu bahwa Sayyid Quthb adalah ideolog dari gerakan Ikhwanul Muslimin. Saya mengutip dari buku Biografi Sayyid Quthb karya Dr. Shalah al-Khalidiy. Dalam pengantar dituliskan bahwa Sayyid Quthb adalah sosok yang unik sekaligus menawan; pemikir ulung, tetapi juga dikenal sebagai dai mujahid dan imam syahid. Sepanjang hidupnya ia habiskan untuk mengabdi. Setelah hampir 60 tahun berkecimpung di dunia sastra dan pemikiran, beliau akhirnya menempuh jalan berliku dalam dunia Islam pergerakan, bahkan menjadi tokoh gerakan Ikhwanul Muslimin (IM).
Biografi ini adalah bagian pertama dari tesis tentang Fi Zhilal al-Quran: Studi dan Tinjauan. Dalam biografi ini dibagi beberapa bagian. Buku biografi ini berjumlah 371 halaman. Bagian pertama bercerita tentang masa kecil Sayyid Quthb. Pada bagian ini bercerita tentang kampung, asal usul, latar belakang, keluarga; ayah, ibu, dan adik-adik beliau. Bagian kedua khusus mengulas tentang dunia intelektualitas yang sempat Sayyid kenyam. Pada bagian ini saya disajikan sepuluh episode penting kehidupan beliau; mulai dari hidup di desa, belajar ke Kairo, berdinas di Kementerian Pendidikan, menekuni dunia jurnalistik dengan menulis di majalah dan surat kabar, sampai memiliki relasi dari kalangan sastrawan dan pemikir. Juga mengisahkan sejauh mana kedekatan beliau dengan sastrawan Abbas Mahmud al-Aqqad, bagaimana beliau melakoni ‘pertarungan’ sastra dan kritik sastra, sampai beliau diutus ke Amerika, petualangan hidup dan juga wanita yang sempat singgah di hatinya. Bagian ketiga membahas tentang fase kehidupan Islami Sayyid Quthb. Bagian ini untuk menjelaskan perubahan besar yang terjadi dalam hidup beliau, tak lupa menyertakan tiga fase kehidupan yang beliau alami sepanjang periode tersebut.
Dalam buku biografi ini, dibagi tiga sub bab, pertama Masa Kecil dan Keluarga, kedua Sebagai Penulis, dan ketiga Kehidupan ‘Islami’. Dalam biografi ini juga tertulis tanggal-tanggal penting perjalanan hidup Sayyid Quthb. Dengan demikian saya mencoba menyesuaikan dengan alur biografi ini.
Masa Kecil: Menghafal Al-Qur’an, dan Suka Membaca
Saya tidak terlalu membahas pada bagian pertama buku biografi yang ditulis Dr. Shalah al-Khalidiy ini, bagian pertama ini lebih menjelaskan tentang keluarga Sayyid. Sementara masa kecilnya ini berada pada bagian kedua dari buku biografi ini. Sayyid menjalani masa kecilnya di Desa Musyah sampai menjelang remaja. Kampung kecil itu tak pernah ia tinggalkan hingga berangkat ke Kairo pada saat berusia lima belas tahun. Dalam biografi ini, dituliskan bahwa sebagai ketua kelompok pro sekolah, Sayyid yang masih kelas 2 SD. Dalam masa kecil Sayyid ada kelompok pro sekolah dan pro mengaji yang menjadi dinamika dalam masa sekolah dasarnya. Sayyid bertekad untuk tidak hanya mengajak para siswa lain menghafal beberapa surat tapi juga bertekad untuk menghafal al-Qur’an meski masih duduk di kelas dua SD dan berusia belum genap delapan tahun. Tiga tahun kemudian Sayyid sudah hafal seluruh al-Qur’an. Waktu itu usia beliau sekitar sepuluh tahun dan baru duduk di kelas 4 SD. Prestasi beliau ini merupakan tantangan terbuka kepada tempat mengaji, baik guru maupun siswanya, sekaligus menyangkal tuduhan mengada-ada dan menjadi bukti kemenangan serta promosi yang baik untuk sekolah. Semua orang takjub melihat tekad kuat dan keteguhan hati Sayyid di usianya yang masih belia.
Sayyid tumbuh bersama kegemarannya dalam membaca, mencintai dan selalu merasa haus terhadap ilmu pengetahuan. Semua warga desa, terutama yang berpendidikan, tahu akan hal ini. Kepala sekolah pun kagum melihat tingginya minat Sayyid Quthb sehingga meminjamkan dua buah buku miliknya: kumpulan sajak buah karya seorang penulis bernama Tsabit al-Jarjawiy dan buku sejarah yang dikarang oleh Muhammad beik al-Hubdhari.
Ada seorang penjual buku yang sering mampir ke desa itu. Namanya Paman Shalih. Sayyid adalah pelanggan setianya. Paman Shalih pun kenal baik dengannya. Dia selalu menyimpan buku-buku bagus dan memikat untuk ditawarkan kepada Sayyid yang tidak hitung-hitungan dalam membeli buku meskipun harganya mahal. Kalau tertarik pada sebuah buku yang tak mampu dibelinya, Sayyid Quthb akan meminjam dulu buku itu dari Paman Shalih. Buku yang telah selesai dibaca itu kemudian beliau kembalikan sambil mengingatkan Paman Shalih agar membawa buku itu kembali untuk dibeli. Diantara kalangan terpelajar di kampungnya, Sayyid memang dikenal mempunyai koleksi buku dan gemar sekali membaca. Kedua hal ini membuat mereka semakin menghargai Sayyid. Semua orang berpendapat Sayyid akan punya masa depan yang gemilang. Bukankah sejak kecil ia sudah memiliki koleksi buku yang demikian banyak, saking banyaknya koleksi buku itu dapat memenuhi satu almari buku.
Pada tahun 1922 beliau secara resmi mendaftar ke Sekolah Pendidikan Guru (SPG). Tingkat Pertama karena sekolah itu hanya menerima murid dengan batas usia minimal 15 tahun. Nama sekolah barunya Madrasah Abdul Aziz dengan masa belajar 3 tahun. Sayyid berhasil lulus dari sekolah itu pada tahun 1924 dengan mendapat sertifikat mengajar di Sekolah Dasar. Para siswa berprestasi di Sekolah Guru Tingkat Pertama diperbolehkan untuk melanjutkan pendidikan melalui Sekolah Persiapan Dar al-Ulum. Masa belajarnya adalah empat tahun, hampir sama dengan Sekolah Menengah Umum (SMU atau SMA) sekarang. Sayyid menyelesaikan studinya dari Sekolah Persiapan ini pada tahun 1929 dan pada akhir tahun yang sama beliau mendaftar dan diterima di Dar al-Ulum. Di kampus ini beliau belajar selama empat tahun. Lulus pada musim panas tahun 1933, dengan gelar ijazah sarjana Lisence dalam bidang bahasa dan sastra Arab.
Sebagai Penulis
Dalam biografi yang ditulis Dr. Shalah al-Khalidiy ini pada bagian dua adalah Sayyid Sebagai Penulis. Terkait bagian ini, bahasan cukup banyak. Isinya bagian dari masa belajar Sayyid dari Sekolah Dasar hingga masa kuliah, masa bekerja di kementerian pendidikan dan sebagainya.
Ada juga dituliskan tentang masa Sayyid memulai menulis, pergulatan sastranya, relasinya dengan berbagai sastrawan, termasuk gurunya dalam hal sastra dan pemikiran, Abbas Mahmud al-Aqqad, belajar ke Amerika dan ada yang disebut sebagai masa ‘kelam’ Sayyid.
Saya akan melompat langsung ke bagian Goresan Tinta (Di Surat Kabar dan Majalah), dituliskan bahwa Sayyid. Tulisan pertama Sayyid dimuat oleh harian Al-Balaqh waktu usianya masih 16 tahun dan masih berstatus sebagai pelajar di Sekolah Pendidikan guru Tingkat Pertama. Dr. Shalah menuliskan bahwa Sayyid sudah berkecimpung dalam berbagai bidang dalam dunia jurnalistik. Dr. Shalah menuliskan, ia membaca puisi-puisinya dalam surat kabar Al-Hayyah al-Jadidah sejak tiga belas tahun silam. Lalu ia juga membaca karya puisi dan tulisannya yang dimuat majalah al-Balagh. Dan karya-karyanya sebagai penyair dan penulis saat ini bisa ia dapatkan dalam surat kabar al-Ahram dan Al-Usbu.
Sayyid gemar sekali menulis di surat kabar dan majalah. Selain menulis di Koran harian, beliau juga menulis di majah dan jurnal mingguan. Diantara tulisan beliau ada yang berupa prosa, puisi, dan ada pula tulisan yang bergenre kritik, baik dalam bidang sastra, pendidikan, sosial, maupun politik. Di awal fase kehidupan pemikirannya, paling banyak tulisan Sayyid berupa kolom, terutama dalam bidang sastra.
Dalam hal motivasi menulis, Dr. Shalah al-Khalidiy, menuliskan bahwa tulisan-tulisan Sayyid yang beredar di surat kabar dan majalah, dibuat tidak hanya karena satu alasan. Tulisan-tulisan itu amat padat dan berisi. Sejumlah tulisan justru dibuat karena bekerja di surat kabar tersebut dan memperoleh gaji bulanan, imbalan dari artikel yang ia tulis atau halaman yang ia edit. Selain itu Sayyid juga menjadi pemimpin redaksi di beberapa media. Sekaligus sebagai lahan dalam kepenulisannya.
Dalam hal ragam tulisan atau jenis tulisan Sayyid, Dr. Shalah al-Khalidiy menuliskan, tulisan-tulisan Sayyid yang dimuat surat kabar bermacam-macam jenisnya. Mulai dari sajak, esai sastra, resensi buku substansi makalah yang dipresentasikan dalam seminar, analisis sastra dan fakta kehidupan, tanggapan terhadap suatu peristiwa politik, kritik terhadap fenomena sosial, karya seni dan musik, kecaman terhadap fenomena tidak baik yang berkembang di masyarakat, sindiran terhadap penjajah dan antek-anteknya, seruan revolusi, reformasi, atau perubahan, pembelaan terhadap norma dan kepantasan, studi pemikiran, juga lintasan batin beliau, dan lain sebagainya.
Secara umum, dapat dikatakan bahwa Sayyid menulis dalam segala bidang, tentu menyesuaikan dengan majalah tempatnya menulis. Apakah ini dari segi topik ataupun segmentasinya.
Dalam biografi yang ditulis Dr. Shalah al-Khalidiy ini, juga menjelaskan tentang Sayyid dalam menulis di berbagai majalah dan jenis tulisannya di majalah itu, diantaranya majalah Dar al-Ulum, Ar-Risalah, Al-Alam al-Arabiy, Al-Fikr al-Jadid, dan majalah al-Ikhwan al-Muslimin.
Sebagai Sastrawan
Disini ada beberapa bagian yang ditulis dengan masa-masa Sayyid memulai relasi dalam bidang sastra, kritiknya ke berbagai sastrawan, dan hubungan Sayyid dengan beberapa tokoh, tokoh-tokoh itu dominan adalah tokoh dengan karya sastra.
Hubungan Sayyid dengan kalangan sastrawan ataupun cendekiawan sudah terjalin lama. Sedari remaja, Quthb telah terbiasa menghadapi berbagai symposium dan workshop sastra, terlebih setelah ia menginjakkan kaki pertama kali di kota Kairo. Di hari-hari pertama di kota ini, ia tinggal bersama salah seorang pamannya yang merupakan seorang sastrawan dan berprofesi sebagai jurnalis.
Salah seorang sastrawan pertama yang dikenalnya adalah Abbas Mahmud al-Aqqad. Pustaka besar milik al-Aqqad yang luas dan lengkap kerap disambangi Quthb dalam banyak kesempatan. Selain itu, sejak awal tahun 1920-an, Sayyid juga rajin menghadiri workshop mingguan al-Aqqad yang digelar setiap Jumat pagi. Kehadiran Sayyid di tempat Al-Aqqad ini berlangsung lebih dari seperempat abad lamanya.
Dari relasi inilah, lahir benih-benih kesusastraan dalam jiwa Sayyid. Hal ini pula yang menumbuhkan kecintaannya pada bidang ini, dan Sayyid membuktikan bahwa dirinya benar-benar mumpuni di bidang tersebut sehingga menjadi salah satu fase dalam perjalanan hidupnya.
Sayangnya ketika saya mencoba mencari-cari model atau orientasi sastra apa yang menjadi alur Sayyid Quthb dalam buku ini tidak terlalu diuraikan. Dalam bagian Sayyid Quthb: Bersama Pujangga dan Cendekiawan, lebih banyak berisi soal hubungan Sayyid dengan berbagai tokoh sastrawan, dimana Sayyid menjalani proses semisal kritik sastra. Maksud dari sastra adalah sebagai pemahaman umum kita soal sajak, cerpen, puisi, dan mungkin juga novel. Sayyid lebih banyak dituliskan soal pemikirannya mengenai kritik sastra. Dituliskan adapun mengenai metodologi yang digunakan Quthb dalam menulis kritik tersebut, ia sendiri menuturkan, “Prinsip utama yang saya pegang adalah saya harus mengabaikan segala pemikiran orang lain terlebih dahulu dari pola pikir saya. Saya harus fokus hanya pada halaman-halaman buku yang ada di depan mata. Saya juga bertekad tidak akan menulis kritik satu kata pun sebelum saya selesai menelaah semuanya secara sempurna”.
Cukup lama rentang waktu yang dihabiskan Sayyid Quthb terhanyut dalam kecintaannya terhadap sastra. Dalam masa itulah ia mengenali banyak para sastrawan. Ia bertemu dan membangun relasi dengan mereka. Terkadang, ia sepaham dan tak jarang pula ia berselisih pandang dengan mereka. Adakalanya, ia menyokong pemikiran mereka, tapi sering pula ia membantah keras. Dari sinilah muncul pola diskusi dan perdebatan yang hidup di antara mereka. Mereka berseteru saling berkecamuk di padang sastra.
Sebagaimana ditulis Dr. Shalah al-Khalidiy di pengantar buku biografi ini, dituliskan, “Sayangnya para pengagum dan penggemar ide serta pemikiran Sayyid Quthb hanya tahu sekelumit dari kehidupan beliau, apalagi masa-masa muda beliau lebih banyak diisi dengan kegiatan-kegiatan di bidang sastra. Mereka lebih banyak tahu tentang kehidupan beliau dari tahun 1951 ke atas, yakni semenjak beliau bergabung dengan Ikhwanul Muslimin, pada saat usia sudah mencapai 45 tahun lebih. Bagaimanakah sebenarnya perjalanan hidup beliau sebelum sampai pada titik itu?”.
Satu hal lagi, mayoritas dari pengagum dan penggemar beliau hanya mengenal Sayyid Quthb lewat buku dan karya-karyanya. Fase-fase seperti apa yang sebenarnya terjadi ketika beliau berkecimpung di bidang sastra dan atau ketika masuk dalam lingkup pergerakan Islam tidak banyak mereka ketahui. Kejadian-kejadian penting apa sajakah yang beliau alami dan paling berpengaruh terhadap hidup beliau selama menjalani kedua fase tersebut.
Sejenak membolak-balik dalam bahasan tentang Sayyid Quthb: Bersama Pujangga dan Cendekiawan, ternyata memang Sayyid lebih banyak menuangkan soal kritik sastra, meliputi kepada karya sastra berbagai tokoh. Sayyid cenderung menyebutkan karya sastra dengan aliran sastra artistik. Artistik ditempatkan sebagai sesuatu berupa seni. Kritik soal ini ditulis Sayyid kepada Mushtafa Shadiq ar-Rafi’i. Selain itu, Sayyid juga memberikan penilaian kepada Taufiq al-Hakim sebagai sastrawan yang memiliki aliran artistik. Sayyid sendiri mengistilahkannya sebagai aliran sistematik artistik.
Soal ‘karya sastra’ sendiri Sayyid dalam biografi ini dituliskan, Sayyid pernah membacakan atau menampilkan syairnya dalam acara dengan seorang sastrawan lain, Abbas Khidr. Di majalah Dar al-Ulum, Sayyid menulis sajak yang berjudul “Satu Hari Berlalu”, di majalah Ar-Risalah, Sayyid menulis soal tulisan tentang sastra, “Negara Mengangkangi Sastra”. Semasa kuliah juga Sayyid pernah membuat kuliah kritik sastra dengan topik “Peran Penyair dalam Kehidupan dan Puisi Generasi Terkini”. Dan Sayyid juga pernah menuliskan buku tentang ceritanya di kampung yang menarik, bukunya berjudul, “Bocah dari Kampung”.
Dalam biografi ini, Sayyid memang lebih banyak dituliskan soal kritik sastranya. Dituliskan di usia yang masih beliau, Sayyid berkecimpung dalam bidang sastra dan kritik sastra. Ia menjadi kritikus dengan menulis sejumlah artikel dan buku kritik sastra selama beberapa tahun. Tapi ia juga dituliskan mengarang beberapa puisi yang nuansa sastranya sangat kental, bahkan telah menerbitkan sebuah kumpulan puisi yang memuat sejumlah sajak beliau pada masa itu.
Dalam soal sastra, Sayyid juga tak terlepas dari gurunya mengenai sastra dan pemikiran, Abbas Mahmud Al-Aqqad. Sayyid begitu mengagumi sosok Al-Aqqad sebagai tokoh multitalenta: seorang sastrawan, pengamat sastra, dan juga penyair. Seperti dijelaskan, Al-Aqqad merupakan salah seorang tokoh sastrawan. Dia adalah pemuncak dari bangunan kebudayaan. Dialah yang telah meletakkan asas-asas aliran keilmuan yang beraneka ragam pada Sayyid, baik dalam sastra, pengetahuan, kebudayaan, maupun kehidupan.
Bahkan soal hubungan Sayyid dengan Al-Aqqad ini memiliki bagian tersendiri dalam biografi ini, dibahas dari kesamaan Sayyid dengan al-Aqqad, sebagai murid, kekaguman Sayyid terhadap al-Aqqad, perselisihan dan perpisahan pandangan serta pemikiran. Keterikatan ini juga termasuk soal sastra jugalah yang membuat Sayyid memasuki fase islami-nya.
Sekedar Tentang Persimpangan Jalan Sayyid
Dalam biografi ini turut menuliskan bagian dengan judul, Sayyid di Perjalanan Masa Kelam. Masa kelam Sayyid merupakan suatu perjalanan yang beliau lalui dalam hidupnya. Suatu periode ketika ia tak mengenal dirinya, tak mengenal tujuan hidup, tak mengenal risalah, dan tugas yang harus diemban selagi hayat. Masa ini adalah masa berkecamuknya dua idealisme dalam jiwanya: antara nilai-nilai Islam yang selama ini dikenyamnya dan nilai-nilai materialisme Barat yang ia dapatkan semasa muda. Masing-masing nilai itu merayunya untuk dipilih. Dalam biografi ini dituliskan mungkin banyak orang yang tak menduga hal ini. Sebab, yang mereka tahu tentang Sayyid hanyalah sosoknya sebagai pemikir Islam terkemuka saja. Mereka hanya mengenal Quthb melalui pemikiran-pemikirannya yang penghabisan, yang Allah jadikan sebagai penutup hayatnya. Ada pula sebagian orang yang hanya mengenalnya sebagai kritikus sastra yang mumpuni sebelum ia menemukan orientasi Islam dalam hidupnya.
Masa kelam Sayyid ini merupakan suatu fase yang tersembunyi dalam hidupnya yang menjadi misteri bagi banyak pengagum dan para muridnya sendiri. Masa kelam atau kita sebut saja sebagai persimpangan jalan adalah benturan-benturan dalam pemikiran dalam jiwa Sayyid. Dapat diketahui sebab utama dari semua itu adalah perkenalannya dengan budaya materialisme Barat. Dalam hal ini karena dituliskan bahwa nilai-nilai budaya materialisme Barat ini nyata-nyata amat berseberangan dan bertentangan dengan ajaran dan nilai Islam.
Dalam biografi ini, soal persimpangan pemikiran Sayyid ini banyak dituliskan terkait dengan dinikmatinya secara dalam tentang budaya dan ideologi barat, dan agak menjadi ‘asing’ pada nilai-nilai Islam. Dituliskan bahwa Sayyid hanya kelam dalam pemikiran tapi bukan dalam perbuatan, karena Sayyid juga pun tidak pernah terjebak pada perilaku menyimpang semisal meminum khamar, berbuat zina, melakukan perbuatan asusila, ataupun kecanduan narkotika. Sayyid juga dituliskan tak pernah menjadi seorang ‘ateis’ dalam hidupnya. Ia tak pernah kufur kepada Allah walau hanya sehari. Sebaitpun syairnya di masa kelam itu tidak ada yang menyiratkan pengingkarannya akan Tuhan. Sayyid dalam biografi ini bertutur, bahwa masa kecilnya di desa, ia tumbuh dalam tuntutan Islam yang kental. Kemudian, ketika pindah ke Kairo, ia mulai bergaul dengan sastra, kritik, analisis, kebudayaan dan ilmu pengetahuan. Dalam masa itulah ia mengalami kebudayaan materialisme dari Barat. Sejak itu, ia mulai dilanda kebimbangan yang sangat jauh dan mulai meragukan hakikat dari eksistensi agama.
Soal terkait ibadah, bagaimana dengan ibadah ritual, sholat misalnya. Dr. Shalah al-Khalidiy menuliskan terus terang ia tidak menemukan suatu literatur pun tentang hal ini dalam masa kelam Sayyid. Tidak ada saksi sejarah yang pernah bercerita apakah Sayyid menjaga dan konsisten melaksanakan ibadah sholat tepat waktu selama masa-masa kelam tersebut atau tidak.
Karena perjalanan dalam masa persimpangan ini termasuk soal sastra dan kritik sastra, soal kebudayaan dan sebagainya. Dimana ia adalah seseorang yang telah menghabiskan waktunya, selama kurang lebih 40 tahun, untuk membaca. Selama itu, ia lebih banyak meluangkan waktunya untuk menelaah dan meneliti hampir semua bidang ilmu pengetahuan manusia, beberapa ilmu memang menjadi spesialisasinya dan sebagian lainnya karena hobi (membaca). Kemudian ia kembali membaca sumber-sumber akidah dan ideologi Islam.
Dalam masa kelamnya, Sayyid mempelajari Al-Qur’an semata-mata karena dilatarbelakangi oleh motivasi-motivasi sastra. Namun, kitab suci inilah yang justru menghanyutkan jauh ke samudra keyakinan dan keimanan di kemudian hari.
Memasuki Fase Kehidupan Islami
Pada bagian biografi ini, dituliskan dalam bagian Kehidupan ‘Islami’ Sayyid Quthb, bagian ini adalah bagian terpanjang dari biografi ini dari masa perubahan Sayyid, fase-fasenya, menumbuhkan rasa simpati terhadap gerakan Islam, menjadi simpatisan Ikhwanul Muslimin, bergabung bersama Ikhwan, ujian-ujian yang diterimanya, dan gagasan untuk Ikhwan baru.
Dituliskan Sayyid mengalami perubahan karena berawal dari Sayyid mengkhususkan diri untuk belajar al-Qur’an dengan motivasi sastra di perpustakaan al-Qur’an. Sayyid memikirkan beberapa alur berpikir yang disampaikan al-Qur’an lalu merekamnya dalam buku Keadilan Sosial dalam Islam. Kemudian dalam hal ini menjadikan pertentangan antara Sayyid dengan al-Aqqad. Terutama soal karya Sayyid, Pengantar Di Bawah Naungan al-Qur’an (Fi Zhilal al-Qur’an). Motivasinya yang mempelajari al-Qur’an dari sudut pandang sastra dan kritiknya.
Fase-fase kehidupan Islami Sayyid, dituliskan dalam beberapa pendapat, Abu al-Hasan Ali an-Nadwiy. Tapi yang menarik adalah fase yang dituliskan oleh Yusuf al-Azhm, terdiri dari tiga fase. Pertama, fase kehidupan islami sebagai Pengarang Islami, kedua kehidupan islam sebagai Pemikiran Islami, dan fase kehidupan islam sebagai Pergerakan Islam. Jadi pada tiga aras, pengarang, pemikir dan penggerak (ideolog).
Fase pertama, sebagai pengarang Islam, dalam hal ini sebagaimana beberapa penjelasan di atas bahwa Sayyid mengalami fase ini karena mempelajari al-Qur’an untuk perspektif sastra dan kritik sastra. Kemudian Sayyid menjadi bergelimang iman dengan beberapa karya, Fi Zhilal al-Qur’an. Sayyid dengan al-Aqqad juga mengalami masa perselisihan, keduanya memasuki fase kematangan pemikiran dalam hidup, keduanya sama-sama berubah haluan dan beralih orientasi ke pemikiran Islam. Hanya saja, orientasi Islam al-Aqqad lebih bersifat teoritis dan mengedepankan intelektual, sementara Sayyid sendiri memilih orientasi aplikatif dalam bingkai haraki. Dalam fase ini Sayyid juga menuliskan soal Representasi Artistik dalam Al-Qur’an. Dengan ini Sayyid menemukan teori keindahan dalam bahasa al-Qur’an yang disebut ‘Representasi Artistik’, yang fokus pada gaya ungkap al-Quran. Dalam hal ini, dituliskan, al-Quran justru menyeretnya menuju cakrawala iman. Maka ada satu gagasan yang dituliskan dalam biografi ini terkait aktivitas Sayyid ini, yakni Perpustakaan Baru al-Qur’an. Ini soal tulisan-tulisan Sayyid yang tersentuh dengan al-Qur’an.
Fase kedua, pemikiran Islam. Pada periode Sayyid mengalami perubahan untuk menuliskan rasa simpatinya pada Islam serta gerakan Islam. Pandangan-pandangan itu tertuang dalam berbagai buku, Keadilan Sosial dalam Islam, Perang Antara Islam dan Kapitalisme, Islam dan Perdamaian Dunia, Bunga Rampai Studi Islam, dan Di Bawah Naungan al-Quran. Dalam fase ini Sayyid menulis banyak sekali esai soal keberpihakan kepada Islam. Sayyid sempat membuat majalah Al Fikr al Jadid, sebuah majalah yang memuat pandangan ‘Sayyid Baru’, sebagai karakteristik Islam yang reformis, yang ditampilkan secara berani dan tajam oleh majalah ini serta tulisan-tulisan Sayyid yang mampu membuat pemerintah merasa terusik dan membredel majalah ini.
Dalam biografi ini, sepulang dari Amerika tahun 1950, Sayyid membawa semangat yang tinggi, tujuan yang mulia, dan misi reformasi Islam yang ingin diwujudkan. Sarana yang Sayyid gunakan dalam menyerukan reformasi ini: menulis di surat kabar dan majalah, menulis sejumlah buku dalam bidang tersebut, memberikan kuliah umum (dialog), dan mengikuti berbagai seminar, membangun interaksi dengan berbagai forum, dan menyiapkan perubahan dan reformasi, baik secara sembunyi-sembunyi maupun terbuka.
Fase ketiga, Pergerakan Islam. Ini perjalanan yang sangat banyak uraiannya padahal bisa dibilang masa yang cukup singkat. Fase ini adalah kulminasi dari dua fase sebelumnya, fase pengarang dan pemikiran Islam. Fase ini dianggap sebagai fase ketika pemikiran dan pergerakan Sayyid Quthb masuk ke dalam tahap kematangan. Semakin sampai periode ini ke ujung, semakin matang pula pemikiran beliau, semakin mengkristal pula wawasan beliau, serta semakin kental tingkat kesadaran dan aktivitas beliau. Sayyid sudah menjadi reformis Islam sejak tahun 1947. Ia menyerukan perbaikan kehidupan sosial, politik, dan budaya yang didasarkan kepada Islam.
Dalam fase ini dapat kita mulai dari interaksi anak muda IM yang tertarik pada buku Sayyid, Keadilan Sosial dalam Islam. Ada sebuah penggalan kalimat yang membuat anak muda IM merasa bahwa kalimat itu ditujukan kepada mereka, “Teruntuk para pemuda yang saya bayangkan dalam imajinasi saya, datang dan memperbaharui agama ini seperti semula. Mereka berjuang di jalan Allah dengan iman yang tertanam dalam lubuk sanubari mereka bahwa ketinggian itu hanya milik Allah, Rasul-Nya dan orang-orang mukmin. Kepada para pemuda itu, yang tak sedikitpun saya ragu bahwa kuatnya spirit keislaman akan mengantar mereka dari masa lalu ke masa datang, sebentar lagi, betul-betul sebentar”. Sepenggal kalimat ini membuat anak-anak muda Ikhwan merasa mereka-lah yang dimaksud Sayyid. Padahal bukan demikian yang sesungguhnya. Namun, mereka tetap mengoleksi buku itu dan beranggapan bahwa penulisnya sahabat mereka. Disinilah terjadi interaksi Sayyid dengan anak muda Ikhwan.
Selain itu, peristiwa selama di Amerika dan kematian Pimpinan Ikhwanul Muslimin, Imam Hasan al-Banna-lah termasuk pemicu rasa simpati Sayyid pada gerakan IM. Sewaktu Imam Hasan al-Banna wafat sebagai syahid karena dibunuh oleh pemerintah Mesir, dalam kejadian ini, Sayyid berada di Amerika, dia mencermati rasa senang, bahagia dan bahkan kemarahan pada orang-orang Amerika dengan terbunuhnya Hasan al-Banna. Ia juga melihat rasa senang para jurnalis dan pengamat seperti yang tampak pada analisis dan komentar mereka di berbagai surat kabar Eropa dan Amerika. Mereka menganggap Hasan al-Banna sebagai pria yang paling berbahaya paling berbahaya di Timur. Mereka juga menganggap kelompok IM merupakan kelompok paling berbahaya seantero negara Muslim karena berusaha menghalang-halangi agenda Barat, Timur, dan Yahudi terhadap Islam dan kaum Muslimin.
Berafiliasinya dengan IM dimulai dengan terlibatnya Sayyid berawal pada tahun 1953, ia bergabung dalam IM dan ‘mendapatkan amanah’ di bidang intelektual seperti menerbitkan majalah al-Ikhwan al-Muslimin dan pembicara di Kajian Selasa.
Afiliasi Sayyid dengan IM dikenal dengan dua relasi, pertama, hubungan emosional. Ini terjadi ketika fase pergerakan Islam Sayyid, dimana awalnya ia menjadi simpatisan IM, sependapat dengan dakwah mereka, dekat dengan mereka, dan simpati terhadap mereka. Kedua, bergabung secara resmi. Hal ini berdasarkan biografi ini, Sayyid bergabung pada awal tahun 1953. Masa ini juga Sayyid memiliki rasa kagum kepada Imam Hasan al-Banna. Ia mengungkapkan kekaguman itu dalam sebuah tulisan berjudul, “Hasan al-Banna dan Kejeniusannya dalam Membangun”.
Disebutkan dalam buku biografi ini, ada judul yang dituliskan “Masa Menjadi Aktivis Itu Hanya Sebentar”. Ini mengartikan aktivitas Sayyid di IM tidak begitu lama karena setelah itu Sayyid menemui ujian fisik dengan di penjara hingga di hukum mati.
Masa-masa ini termasuk masa ketika Sayyid di penjara adalah masa dimana Sayyid menghasilkan banyak buku juga semisal Tafsir Fi Zhilal al-Quran, Inilah Islam, Masa Depan Islam, Islam dan Persoalan Peradaban, Karakteristik Pandangan Islam, Pokok-Pokok Pandangan Islam, dan Maalim Fi Ath-Thariq.
Dalam masa represif pada IM oleh Gamal Abdul Nasser, ada friksi di internal IM pasca dibubarkan oleh pemerintah. Tapi IM secara kultural dan secara struktur tersembunyi tidaklah bubar. Disertai dengan peristiwa itu dan banyak penangkapan, tekanan, dan kekerasan kepada anggota IM, ada pula ide dari Abdul Fattah terkait re-organisasi IM. Dalam hal ini Sayyid dengan banyak peristiwa diminta oleh beberapa IM muda untuk semacam mengkoordinir IM. Sayyid berpendapat bahwa urgennya mewujudkan kembali pergerakan Islam semacam gerakan IM. Bagi Sayyid, gerakan semacam ini tidak boleh dihentikan. Ide-ide ini dapat dilihat dalam buku-nya Detik-Detik Terakhirku. Sayyid menuliskan “Pergerakan Islam harus berangkat dari pengertiannya sebagai gerakan untuk menghunjamkan kembali akidah Islam ke dalam hati dan pikiran setiap individu Muslim, serta melakukan pembinaan kepada siapapun yang mau menerima dakwah dan pemahaman yang benar, dengan pola-pola pendidikan Islam yang benar. Tanpa harus membuang-buang waktu berdebat soal peristiwa politik yang tengah menjadi pembicaraan hangat”.
Umat manusia secara umum sudah jauh dari pemahaman dan pengertian tentang esensi dari nilai-nilai Islam itu sendiri, tidak lagi sekedar jauh dari etika Islam, aturan Islam, dan syariat Islam. Maka dari itu, gerakan Islam manapun wajib bertitik tolak dari dari usahanya dalam memberikan pemahaman kepada umat tentang makna Islam dan esensi akidah, yaitu mengabdi hanya kepada Allah semata, baik pada tataran keyakinan (mengenai hak Allah sebagai satu-satunya tujuan ibadah) maupun pada tataran praktis (menjalankan syiar-syiar peribadahan kepada-Nya, dan hanya tunduk dan patuh terhadap hukum dan syariat-Nya). Pergerakan ini harus berangkat dengan misi menyelamatkan masyarakat, rakyat, dan pemimpinnya secara bersama-sama, dari pemahaman konvensional menuju pemahaman Islam yang benar, lalu membangun sebuah fondasi (bila bagi masyarakat secara keseluruhan itu tidak mungkin, maka setidaknya itu dapat dilakukan terhadap unsur-unsur dan sektor-sektor yang memiliki kontrol dan pengaruh kuat di masyarakat).
Hingga pada akhirnya Sayyid harus menemui kematian, sebagai telunjuk yang bersyahadat itu di tiang gantung. Dan dengan keyakinan yang teguh, “Selamat datang kematian di jalan Allah. Sungguh Allah Mahabesar”.
Dalam biografi ini tertuang berbagai cerita peristiwa soal interaksi Sayyid dengan IM, dan berbagai manuskrip persidangan. Termasuk karyanya Maalim Fi Ath-Thariq sebagai asas beliau ditangkap. Pada akhirnya Sayyid tampil di masyarakat yang melihat dan mengenalnya sebagai seorang pemikir pergerakan Islam yang otentik. Dan kini dimana-mana semua mengenal Sayyid sebagai ideolog IM.
Soal Karya dan Pendulum Pemikiran dari Aras Pemikiran Sayyid
Saya hanya sekedar ingin memasukan soal bahasan ini, tentang karya Sayyid dan beberapa tokoh atau gerakan yang ‘dipengaruhi’ pikiran Sayyid serta tanggapan umum terhadap pikiran Sayyid. Sayyid memiliki banyak sekali gagasan berupa buku sebagaimana diungkapkan di atas. Di satu sisi, Sayyid dikenal sebagai sastrawan, hanya saja sejauh ini saya belum pernah membaca karya sastra atau kritik sastra dari Sayyid. Buku terjemahan kebanyakan soal pemikiran Sayyid dalam pergerakan Islam. Sayyid dianggap memiliki tulisan dengan nafas sastrawi dalam berbagai tulisan pemikirannya.
Pemikiran Sayyid memberikan pengaruh terhadap berbagai tokoh ataupun beberapa gerakan. Pemikiran Sayyid dipandang memiliki aras pada tokoh semisal Osama bin Laden, Abdullah Azzam. Gerakan dua tokoh ini sebagai kita ketahui sebagai kelompok di Timur Tengah yang menggunakan gerakan jihadis. Selain itu, pemikiran Sayyid juga dibaca oleh aktivis Hizbut Tahrir secara umum. Dan tentunya dibaca oleh gerakan IM ataupun gerakan Tarbiyah. Sementara beberapa kelompok semisal Salafi (sebagai kelompok) memandang pemikiran Sayyid sebagai pemikiran hakimiyyah dan takfiri. Bahkan Hassan Hanafi menyebutkan dirinya sebagai murid Sayyid. Jadi aras pendulum pemikiran Sayyid begitu beragam dengan berbagai warna, dari kelompok yang disebut ‘garis keras’, moderat hingga gerakan Kiri Islam. Terliputi gerakan tarbiyah didalamnya.
Dan KAMMI tentu juga menjadi buku Maalim Fi Ath-Thariq sebagai salah satu karya Sayyid yang patut dibaca sebagai manhaj tugas baca. Dr. Shalah al-Khalidiy menuliskan bagaimanapun juga, sudah dalam garis Allah bahwa pemikiran tentang pergerakan Islam yang dicetuskan Sayyid, justru mendapat sambutan yang luar biasa setelah ia meninggal. Di mata para ulama, pendakwah, aktivis Islam, Sayyid memiliki tempat tersendiri dan mulia karena mewariskan 26 judul buku yang tersebar dalam bidang sastra, kritik sastra, dan pemikiran Islam. Sayyid memiliki magnum opus atau mahakarya-nya adalah Di Bawah Naungan Al-Qur’an (Fi Zhilal al-Qur’an). Dan Maalim Fi Ath-Thariq adalah buku yang paling banyak dibaca gerakan Islam. Begitulah Sayyid, ia adalah pelopor pemikiran pergerakan Islam yang otentik.
Dr. Shalah al-Khalidiy menuliskan setiap orang mungkin punya persepsi sendiri-sendiri tentang seorang tokoh atau pesohor. Persepsi dibangun dari cerita teman-teman, buku yang dibaca, atau sumber lain itu kemudian dianggap sama persis dengan sosok yang dibayangkan. Orang seperti ini kerap terkaget-kaget saat melihat atau bertemu langsung dengan sang tokoh ketika tahu bahwa persepsinya selama ini tokoh tersebut sangat jauh berbeda dengan sosok yang sebenarnya. Begitulah kira-kira gambaran dari sosok tokoh kita Sayyid Quthb ini.
Siapapun yang belum pernah melihat wajah beliau dan hanya mengenalnya dari kritik-kritik yang ia tulis dalam esai, dari polemik sastra yang beliau lakoni atau dari gaya bahasanya dalam menulis, mungkin memiliki persepsi tertentu tentang Sayyid Quthb. Namun, pada akhirnya Sayyid tetaplah seorang ideolog, seorang intelektual dengan segala ketulusannya menumbuhkan pemikiran gerakan Islam, ia adalah pelopor otentik.
Tentang Maalim Fi Ath-Thariq; Sebuah Transformasi yang Luar Biasa
Saya memiliki beberapa buku Sayyid Quthb, buku-buku terjemahan seperti Detik-Detik Terakhirku, Maalim Fi Ath-Thariq, Manhaj Islam; Keselarasan Agama dengan Fitrah Manusia, Islam dan Masa Depan, Keajaiban al-Quran, Karakteristik Konsepsi Islam, dan Keadilan Sosial dalam Islam.
Buku Maalim Fi Ath-Thariq ini banyak dibaca oleh kader KAMMI. Karena ia adalah bagian dari Manhaj Tugas Baca. Kalau tidak salah untuk AB 1 yang mau ikut DM 2 dan untuk AB 2. Saya membaca Maalim Fi Ath-Thariq ketika mau ikut DM 2 dulu di PD Sulawesi Utara (Manado).
Saya hanya sekedar ingin mengulas secara singkat soal buku ini, dan mencoba menempatkan transformasinya dalam KAMMI, atau mencoba mengonsepkan dalam KAMMI, atau sebatas pemahaman saya sebagai kader KAMMI.
Dalam buku ini ada pengantar yang menggugah jiwa bagi siapapun yang membacanya, pengantar tentang Telunjuk yang Bersyahadat. Buku ini terdiri atas beberapa bagian; Generasi Qurani; Generasi yang Unik, Karateristik Manhaj Qur’ani, Perkembangan Masyarakat Islam dan Karateristiknya, Jihad Fi Sabilillah, La Ilaha Illallah adalah Manhaj Hidup, Hukum Kosmos, Islam adalah Peradaban, Islam dan Kebudayaan, Akidah; Identitas Seorang Muslim, Transformasi yang Luar Biasa, Berjiwa Besar Karena Memiliki Iman, serta Inilah Jalan yang Lurus: Sebuah Epilog.
Saya ingin memulai dari kutipan buku Sayyid yang lain, Manhaj Islam; Keselarasan Agama dengan Fitrah Manusia. Sayyid menuliskan kalau Islam merupakan metode dari Allah bagi kehidupan ummat manusia dan tidak mungkin berwujud di muka bumi ini melainkan dengan usaha manusia sendiri menurut batas-batas kemampuannya sebagai manusia serta sesuai dengan realitas materiil kehidupannya dalam situasi dan kondisi yang bagaimanapun, maka apalagi keistimewaannya dibanding dengan metode-metode yang dibuat oleh manusia sendiri bagi dirinya sendiri, yang tercapai juga bergantung kepada usahanya sendiri, dalam batas-batas kemampuan dan realitasnya? Dan mengapa kita harus berusaha mewujudkan juga sama dengan metode-metode buatan manusia, yakni membutuhkan usaha manusia sendiri, bukan dengan cara-cara seakan seperti mukjizat yang luar biasa.
Sayyid dalam Maalim Fi Ath-Thariq, mengkonsepkan “Membangun komunitas, harakah dan akidah dalam waktu bersamaan. Pembangunan masyarakat dan harakah yang berakidah dan membangun akidah yang memiliki masyarakat dan harakah. Akidah menjadi realitas masyarakat yang berharakah dan menghendaki realitas masyarakat berharakah yang sebenarnya menjadi entitas riil dari akidah”. (Halaman 80). Sayyid juga menuliskan, individu-individu yang telah steril hatinya dari penghambaan selain Allah, hendaklah bersatu dalam sebuah komunitas Islam.
Masyarakat Islami yang dalam pengertian kita mengusung peradaban tersendiri bukan semata-mata momentum bersejarah, yang dibicarakan dalam peringatan-peringatan atas masa silam, namun juga menjadi keniscayaan masa kini dan harapan masa depan. Sayyid Quthb menuliskan peradaban Islami bisa mengambil format yang beraneka ragam berkenaan dengan komposisi materi dan desainnya. Hanya saja, asas-asas yang melandasinya bersifat permanen, karena hal inilah yang menopang peradaban tersebut. Diantara asas dan nilai itu adalah pertama beribadah kepada Allah semata, kedua, berhimpun atas dasar ikatan akidah, ketiga, meninggikan sisi kemanusiaan manusia di atas kepentingan materi, keempat, membumikan nilai-nilai humanis yang mengembangkan sisi kemanusiaan manusia, bukan sisi kebinatangannya, kelima, menghormati ikatan keluarga, keenam, menjalankan peran khalifah di bumi sesuai dengan perintah dan ketentuan Allah, ketujuh, hanya berpedoman pada manhaj dan syariat Allah berkaitan dengan tugas-tugas khalifah.
Sayyid dalam bagian Epilog; Inilah Jalan yang Lurus, menuliskan, yang terpenting dalam hal ini, mereka harus menunaikan kewajiban mereka, kemudian mereka bertolak. Kewajiban mereka adalah 1) memprioritaskan Allah, 2) mengutamakan aqidah daripada kehidupan, 3) berjiwa besar dengan keimanan dalam menghadapi fitnah, 4) mendedikasikan niat dan perbuatan mereka kepada Allah.
Kemudian Sayyid menuliskan, sebagai balasan dari Allah, mereka akan menerima ‘uang muka’ berupa ketentraman hati, perasaan bangga, konsepsi yang indah, lepas dari segala ikatan dan daya tarik, serta kebebasan dari rasa takut dan gelisah, dalam situasi apapun. Kemudian, mereka akan menerima ‘pembayaran kedua’ yang berupa pujian, sanjungan dan penghormatan, dari alam malaikat, yakni setelah mereka diselubungi bumi yang sempit ini. Dan terakhir, mereka akan menerima ‘pelunasan-Nya’ di akhirat, yakni berupa hisab (perhitungan amal) yang ringan dan kenikmatan yang tiada tara. Satu hal lagi yang nilainya lebih besar, yang menyertai semua itu, yakni ridho Allah.
Saya ingin menutup dengan kalimat yang paling saya sukai dari buku Maalim Fi Ath-Thariq, isyarat tersebut sudah selayaknya menjadi renungan bagi aktivis dakwah di setiap tempat dan setiap generasi. Dengan merenungkannya, para aktivis akan bisa mengetahui rambu-rambu petunjuk jalan dengan sangat jelas. Rambu-rambu petunjuk itu akan memantapkan langkah orang-orang yang hendak menempuh perjalanan sampai ujung jalan, tak peduli bagaimana kesudahannya. Biarlah Allah yang menentukan nasib dakwah dan para dai sesuai kehendak-Nya. Yang penting, di tengah perjalanan yang keras, yang penuh onak dan duri serta keringat dan darah, jangan sampai mereka melenceng dari arah pertolongan dan kemenangan.
Pandangan Sayyid Quthb dalam Buku Keadilan Sosial dalam Islam
Buku sebagaimana penjelasan di atas adalah buku yang menjadi fase awal Sayyid berinteraksi dengan IM. Bahkan buku ini pernah mendapat komentar dari Hasan al-Banna, bahwa seharusnya buku seperti ini ditulis oleh ‘orang kita’. Maksudnya buku Sayyid yang Keadilan Sosial dalam Islam harusnya ditulis oleh kader IM. Waktu penulisan buku ini Sayyid belum menjadi anggota IM.
Buku ini juga seakan menghadirkan ‘interaksi’ atau sekedar relevansi Sayyid dengan sosialisme. Sayyid dalam biografi yang ditulis Dr. Shalah itu, menuliskan esai Sayyid yang paling tajam adalah dimuat oleh majalah Sosialisme, media milik Partai Sosialis.
Karena bahasa yang tegas dan lugas ini, cara bertutur yang revolusioner dan vokal dalam majalah al-Fikr al-Jadid, sebagian orang mengira beliau adalah orang yang kekiri-kirian. Sebagian yang malah menganggapnya cenderung pada sosialisme, bahkan yang berlebihan sampai menuduh beliau pada waktu itu, sebagai seorang komunis. Akan tetapi kedekatan Sayyid dengan gurunya Al-Aqqad, dituliskan al-Aqqad adalah orang yang menjadi musuh komunisme. Karena dalam hidupnya, al-Aqqad berusaha memerangi ideologi komunisme dengan menuliskan kelemahan-kelemahannya. Di bagian lain, dituliskan karena kedekatan Sayyid dengan al-Aqqad, membuat tak ada ‘naluri’ atau gelagat sama sekali yang menyiratkan bahwa Sayyid adalah seorang komunis.
Tapi Sayyid ketika menjadi redaksi dalam majalah al-Fikr al-Jadid memang menuliskan dengan judul-judul yang revolusioner, atau agak kekiri-kirian, seperti “Hai Orang Kaya, Kalian Tanamkan Komunisme Dalam-Dalam”, “Anak Orang Kaya: Sampah Bumi dan Laknat Langit”, “Bebaskanlah Diri Kalian, Budak-Budak Amerika, Rusia dan Inggris!”, “Rakyat Tidak Keterlaluan, Kembalikan Haknya Karena Mereka Tidak Butuh Budi Baik Kalian”.
Dalam bagian buku ini, sub bagian yang menuliskan judul; “Buku al-Adalah al-Ijtimaiyyah Fi al-Islam (Keadilan Sosial dalam Islam). Dituliskan penderitaan yang turut dirasakan oleh Sayyid yang merasa gelisah melihat fenomena sosial yang buruk. Disisi lain, beliau mencoba berlama-lama dengan al-Qur’an dan merenungkan ayat-ayatnya hingga menemukan petunjuk-petunjuk perubahan dalam tataran sosial, politik dan ekonomi. Dari inilah lahir pemikiran dalam buku Keadilan Sosial dalam Islam. Akhirnya, ia sampai pada kesimpulan bahwa reformasi politik dan keadilan sosial tidak berada di tangan kelompok komunis atau kelompok Barat, tetapi tersimpan dalam ayat-ayat al-Qur’an dan hakikat Islam. Sayyid pun menggunakan frasa Keadilan Sosial, dengan demikian beliau menolak menggunakan dua istilah lain yang popular di tengah-tengah masyarakat pada waktu itu, yaitu komunisme dan sosialisme. Dalam buku inipun Sayyid lebih banyak mengkritik soal pemikiran Marxisme dan mengedepankan pemikiran Keadilan Sosial. Tapi sekaligus mengkritik soal Kapitalisme. Dalam mengutip Keadilan Sosial, Sayyid berdasarkan fakta historis dalam Islam.
Dalam bukunya Sayyid Qutbh – Keadilan Sosial dalam Islam pembahasannya terkait diawali dengan Pembahasan Agama dan Masyarakat perbandingan antara Kristen dan Islam, Bentuk Keadilan Sosial dalam Islam, Asas-Asas Keadilan Sosial dalam Islam, Sarana Keadilan Sosial dalam Islam, Politik Pemerintahan dalam Islam serta Politik Kepemilikan dalam Islam terkait Pemilikan Pribadi Kewajiban Zakat, Kewajiban-Kewajiban selain Zakat, Fakta Historis dalam Islam, dan beberapa pembahasan lain.
Qutbh melakukan kritikan kepada Marx, “Sepanjang belum tercipta keadilan kemanusiaan yang menyeluruh, maka tidak mungkin terwujud keadilan dalam bidang ekonomi yang terbatas itu. Sehingga dengan demikian, Islam mencakup semua fenomena kehidupan dan segala sesuatu yang ada di sekitar, sebagaimana halnya ia mencakup masalah ibadah dan amaliyah, jiwa dan hati nurani. Nilai-nilai yang mengandung keadilan ini bukanlah semata-mata nilai ekonomi belaka, dan juga bukan sekedar nilai-nilai material pada umumnya. Tetapi keadilan ini mencakup seluruh nilai-nilai maknawiyah dan ruhaniyah. Apabila komunisme memandang manusia dari segi kebutuhan materialnya belaka, dan bahkan memandang alam semesta ini dengan kacamata materialisme, maka Islam memandang manusia sebagai satu kesatuan yang tidak terpisah-pisah antara kebutuhan rohani dan dorongan jasmaniyahnya, antara kebutuhan spiritual dan kebutuhan materialnya. Islam memandang alam semesta dan kehidupan dengan kacamata integral yang tidak terpisah-pisah”. Menurut Qutbh, “Kita tidak akan dapat menghayati bentuk keadilan sosial dalam Islam sebelum kita memahami konsep keseluruhan Islam tentang alam, kehidupan dan manusia. Keadilan sosial tidak lain hanyalah sekedar cabang dari prinsip besar, dimana seluruh pembahasan Islam harus dirujukkan kepadanya”.
“Menyediakan ruang gerak yang cukup bagi kehidupan dan nilai-nilai ekonomi yang merata dalam semua segi yang menunjang kehidupan menurut pandangan Islam, merupakan cara yang paling ampuh untuk mewujudkan keseimbangan dan keadilan sosial, serta mewujudkan keadilan dalam setiap segi kemanusiaan dan menghilangkan adanya citra interpretasi yang sempit dalam masalah keadilan seperti yang ada dalam komunisme. Keadilan dalam komunisme adalah persamaan imbalan tanpa ada perbedaan sedikitpun dalam segi-segi ekonomis, sekalipun ia harus berbenturan dengan kemampuan kerja yang dimiliki individu. Sedangkan menurut pandangan Islam, keadilan adalah persamaan kemanusiaan yang memperhatikan pula keadilan pada semua nilai yang mencakup segi-segi ekonomi yang luas. Dalam pengertian yang lebih dalam berarti pemberian kesempatan sepenuhnya kepada individu, lalu membiarkan mereka melakukan pekerjaan dan memperoleh imbalan dalam batas-batas yang tidak bertentangan dengan tujuan hidup yang mulia”. (Qutbh, 1994).
Sayyid Qutbh kembali menuliskan, “Bahwasanya watak pandangan Islam terhadap kehidupan manusia, telah menjadikan keadilan sosial ini sebagai keadilan kemanusiaan yang tidak berhenti pada persoalan materi dan ekonomi semata. Bahwasanya nilai-nilai dalam kehidupan ini adalah nilai material dan sekaligus nilai-nilai immaterial, tidak mungkin dilakukan pemisahan antara kedua sifatnya yang merupakan satu kesatuan yang lengkapi-melengkapi satu sama lain serta serasi, dan bukan merupakan satu masyarakat yang penuh pertentangan dan perbedaan.
Sayyid menuliskan asas-asas dimana Islam menegakkan keadilannya itu dengan; kebebasan jiwa yang mutlak, persamaan kemanusiaan yang sempurna, dan jaminan sosial yang kuat. Keadilan sosial yang sempurna tidak mungkin dapat terwujud dan terjamin pelaksanaan serta kelestariannya, sepanjang ia tidak dikaitkan dengan persoalan-persoalan jiwa yang batini, dengan memberikan hak setiap individu dan kebutuhan masyarakat kepadanya, disamping adanya keyakinan bahwa ia akan mengantarkan pada tujuan peri kemanusiaan yang luhur, dan sepanjang tidak pula dikaitkan dengan persoalan material yang menjadi tumpuan setiap individu dan menanggung semua kebutuhan dan memberikan apa yang diperlukannya.
Pandangan tentang Kebebasan Jiwa menjadi kritik Sayyid Qutbh kepada Komunisme juga tergambar dalam gagasannya, “Adapun komunisme, maka ia menyatakan bahwa kebebasan dalam bidang ekonomilah yang dapat dijadikan jaminan bagi kebebasan jiwa, dan bahwasanya tekanan-tekanan yang ada dalam individulah yang kadang-kadang menyebabkan hilangnya jaminan undang-undang tentang keadilan dan persamaan. Itupun benar namun belum seluruhnya. Kebebasan dari tekanan bidang ekonomi saja belum merupakan jaminan adanya kontinuitas kebebasan kecuali disertai dengan kebebasan jiwa yang berada di dalam hati. Ia merupakan tujuan dari tekanan-tekanan yang lain, yaitu tekanan kebutuhan pokok, bakat dan pembawaan yang tidak mungkin dapat dipenuhi”. Sayyid melanjutkan, “Akan tetapi apabila persamaan itu disandarkan atas kebebasan jiwa yang dalam, sebagaimana halnya penyandarannya atas syariat dan pelaksanaannya, maka segi ini akan menjadi penopang paling kuat baik dalam lapisan orang-orang yang memiliki kemampuan kuat maupun yang lemah. Ia berusaha meningkatkan yang lemah, dan membuat yang kuat bersikap tawadhu (tidak sombong). Persamaan itu akan bertemu dalam jiwa pada keyakinan terhadap Allah, dalam kesatuan ummat dan kerjasamanya, bahkan dalam kesatuan peri kemanusiaan dan jaminannya. Inilah yang menjadi tujuan Islam ketika ia memberikan kebebasan jiwa secara mutlak dan penuh”.
Dalam pembahasan lain, Sayyid menuliskan Politik Pemerintahan dalam Islam dibangun atas asas; keadilan penguasa, ketaatan rakyat, dan permusyawaratan antara penguasa dengan rakyat. Keadilan Penguasa. Ia merupakan keadilan yang mutlak yang tidak akan miring keputusannya karena terpengaruh oleh perasaan cinta maupun benci, yang tidak dapat berubah kaidahnya karena adanya suka dan tidak suka. Suatu keadilan yang tidak terpengaruh oleh hubungan kerabat antar berbagai individu dan tidak pula oleh perasaan benci antar suku. Disini setiap individu menikmati keadilan yang sama, tidak ada diskriminasi antara mereka yang muncul karena nasab dan kekayaan, karena uang dan pangkat sebagai yang ada pada ummat di luar Islam, walaupun antara kaum muslimin dan orang-orang non Islam itu terdapat permusuhan dan kebencian. Dan sebagai Hadits riwayat Bukhari, Muslim dan at-Turmudzi, “Sesungguhnya orang yang paling dicintai dan dekat kedudukannya di sisi Allah pada hari kiamat nanti adalah pemimpin yang adil dan sesungguhnya yang paling dibenci oleh Allah dan akan memperoleh siksaan yang amat pedih adalah pemimpin yang zhalim”.
Asas lain yang diuraikan Sayyid Qutbh (1994), Islam menolak menjadikan materi sebagai imbalan bagi nilai-nilai itu dan tidak mau mengubah kehidupan ini menjadi sekedar dinilai dengan sepotong roti, kepuasan jasmani, atau sejumlah uang namun dalam waktu yang bersamaan memberi beban kepada setiap orang yang tidak jarang pula melebihi kemampuan mereka, dengan tujuan melenyapkan tekanan kehendak mereka. Islam juga mengharamkan segala bentuk kemewahan yang mendorong manusia tertuju pada kehidupan materi, memperturutkan nafsu syahwatnya dan menciptakan kelas-kelas yang berbeda dalam masyarakat. Dalam masalah kekayaan ini, Islam mengatur pula hak-hak fakir miskin sesuai dengan kebutuhan mereka dan yang membawa kebaikan bagi masyarakat, serta menjamin terwujudnya keadilan, terpenuhinya kebutuhan dan pertumbuhan individu.
Kesan Pada Sosok Sayyid; Transformasi Kesadaran
1. Sayyid yang menggunakan menulis sebagai wadah dalam perjuangan adalah suatu orientasi gerakan yang seharusnya tumbuh dalam gerakan KAMMI.
2. Sebuah perenungan terhadap fase hidup dari Sayyid Qutbh hingga Allah memberikan keberkahan akan ketakdiran bahwa Sayyid dengan segala kemahsyuran sebagai pelopor pemikiran gerakan Islam. Segala fase hidupnya memberikan kesadaran untuk kita, dengan fase terakhir sebagai fase islami adalah harapan setiap Muslim dalam hidupnya, setiap Muslim ingin meninggal dalam keberkahan yang ditakdirkan oleh Allah.
3. Saya ingin kita sebagai kader KAMMI menempatkan imajinasi kita pada sepenggal kata-kata imajinasi Sayyid Quthb, “Teruntuk para pemuda yang saya bayangkan dalam imajinasi saya, datang dan memperbaharui agama ini seperti semula. Mereka berjuang di jalan Allah dengan iman yang tertanam dalam lubuk sanubari mereka bahwa ketinggian itu hanya milik Allah, Rasul-Nya dan orang-orang mukmin. Kepada para pemuda itu, yang tak sedikitpun saya ragu bahwa kuatnya spirit keislaman akan mengantar mereka dari masa lalu ke masa datang, sebentar lagi, betul-betul sebentar”. Bahwa itulah imajinasi tentang kita. Kita sebagai KAMMI dalam harakah.
4. Bahwa Sayyid memang pemikir gerakan Islam, sebagaimana kata Dr. Shalah, siapapun yang belum pernah melihat wajah beliau dan hanya mengenalnya dari kritik-kritik yang ia tulis dalam esai, dari polemik sastra yang beliau lakoni atau dari gaya bahasanya dalam menulis, mungkin memiliki persepsi tertentu tentang Sayyid Quthb. Namun, pada akhirnya Sayyid tetaplah seorang ideolog, seorang intelektual dengan segala ketulusannya menumbuhkan pemikiran gerakan Islam, ia adalah pelopor otentik.
5. Sayyid adalah sosok unik sekaligus menawan, pemikir ulung, sekaligus mujahid, sastrawan yang piawai dengan untaian-untaian dengan gaya bahasa seorang aktivis Muslim, dengan semangat dan keterusterangan.
6. Sayyid memang dalam hal tertentu kelihatan lebih menulis soal pemikiran Islam, karena kultur sosialnya yang berbeda, agak berbeda dengan tokoh IM semisal Yusuf Qardhawi, Sayyid Sabiq, atau Mustafa Masyhur. Hanya saja Sayyid memang memiliki penulisan tentang tafsiran Al-Qur’an yang bahkan jadi magnum opus-nya. Tapi dalam biografi ini lebih banyak menyebutkan ini lebih kepada semangat Sayyid dalam menemukan jalan ‘hidup’-nya kembali, tentang rasa ‘keberislaman’ yang kembali menghidupkan.
Pemaparan Materi dalam Diskusi Online Bersama PK KAMMI Stikes Nani Makassar
Posting Komentar
0 Komentar