Setelah Muswil, Semua Bahagia Kok; Percayalah Pengurus Bukan Robot


Setelah Muswil, Semua Bahagia Kok; Percayalah Pengurus Bukan Robot

M. Sadli Umasangaji
(Founder Celoteh Ide)






Kata Bahagia itu dikeluarkan berkali-kali oleh Surahman Manan. Saya bahagia begitu katanya. Kata bahagia itu mengindikasi bahwa kita telah selesai dalam sebuah tanggung jawab. Selain itu kata bahagia itu juga mengindikasi bahwa Surahman mulai menjadi seperti kakanda-kakanda KAMMI, alumni.

 

Secara pribadi saya ingin menuliskan ini sebatas sebagai refleksi atas apa yang dituliskan Zulfikar, bisa dibilang yang dituliskan Zulfikar adalah kritikan sekaligus tudingan, saya mengatakan bahwa kritikan itu bisa bersifat koreksi, tapi tudingan sifatnya indikasi penyudutan secara negatif. Dan penyudutan secara negatif ini tidak baik dalam koreksi organisasi. Toh karena surat itu pula Pengurus Wilayah dengan sindiran dituduh ‘kerasukan jin’ secara tidak etis di dalam grup Masyarakat KAMMI Maluku Utara.

 

Pertama, tudingan bahwa PW KAMMI Malut sengaja tidak memberikan rekomendasi pada salah seorang kader untuk ikut serta dalam DM III. Saya ingin katakan bahwa pertama, kader yang bersangkutan sudah melakukan mutasi daerah dari KAMMI Kota Ternate, kedua, yang bersangkutan belum pernah menjadi pengurus wilayah Maluku Utara, jabatan terakhir yang bersangkutan sebelum mutasi ke daerah lain dan kembali ke sini adalah pengurus daerah Kota Ternate. Bila demikian, pertama, harusnya yang bersangkutan mengurusi surat mutasi ke daerah dimana dia studi bila dia aktif lagi di KAMMI Daerah tempat dia studi. Kondisi yang bersangkutan sama dengan saya, yang saya lakukan untuk ikut DM III ketika sedang studi bukanlah meminta rekomendasi dari PW Malut padahal jabatan terakhir saya adalah pengurus di wilayah tapi saya minta adalah surat mutasi untuk aktif di KAMMI Daerah tempat studi, dari sanalah rekomendasi untuk DM III dikeluarkan. Memang ini sudah terlanjur tapi logika organisasi tidak boleh dangkal apalagi yang menulis surat sudah berbicara soal aturan organisasi.

 

Kedua, soal kevakuman organisasi. Bisa jadi demikian, harus diakui banyak agenda besar di kepengurusan sebelumnya yang tidak dilaksanakan. Tapi bila dilihat, kepengurusan ini berhasil membuat buku Kumpulan Opini yang hampir belum pernah dibuat oleh PW KAMMI dalam kepengurusan pertama hingga terakhir ini. Sayangnya memang karena self publishing dengan anggaran yang terbatas. Soal sekretariat, seingat saya semenjak awal PW KAMMI Malut dari kepengurusan pertama hingga saat itu memang hampir tidak ada pengadaan sekretariat, seingat saya sekretariat selalu cenderung diusul oleh PD Ternate, dari zaman Kak Sarni, Safrudin Beng, PD Ternate yang memiliki sekretariat, sayangnya PD Ternate sekarang ini lebih loyo lagi karena cenderung bergantung diri di PW Malut yang sudah terlanjut loyo pula soal sekretariat. Tapi apalah yang patut dibangga, toh sudah Muswil, semua tanggung jawab telah tuntas, kata Surahman, kita bahagia.

 

Soal Perilaku Interdependensi

Saya secara mendasar setuju dengan kritikan Zulfikar soal tidak adanya DM III, tapi memang DM III belum pernah dilakukan di PW Malut dari pertama ada hingga periode terakhir sebelum muswil. Tugas terbengkalai berat memang untuk Pengurus yang baru. Mengingat PW sebelumnya ada beberapa AB III dari Daerah lain yang berproses di Daerah lain juga, tapi juga belum sanggup melakukan DM III. Apalagi bila pengurus baru ini tidak ada stok AB IIInya. Ide memberangkatkan untuk ikut di daerah lain memang ide yang terlanjur bagus, tapi realisasi soal harga tiket pesawat yang melambung dan rencana-rencana fana soal agenda besar dengan budget besar memang akan menjadi benturan dalam setiap kepengurusan organisasi mahasiswa. Namanya juga kantong mahasiswa, kantong alumni, dan senior berkantong memang dibutuhkan. Solusinya saya melihat di KAMMI Malut cenderung menempatkan agenda-agenda besar termasuk Daurah lanjutan dengan tempat-tempat yang wah seperti hotel dan lainnya, padahal tidak harus juga demikian, sikap-sikap ‘borjouisme ala mahasiswa’ harus diminimalisir. Saya ikut DM III dengan kegiatan yang menurut saya tempatnya sederhana, hanya wisma tahfidz dengan tempat tidur bertingkat dan ruang materi yang sederhana, makanannya juga biasa, toh yang paling penting esensi daurahnya sesuai dengan manhaj ketimbang euforia ala borjuisme mahasiswa.

 

Saya ingin menuliskan soal perilaku interdependensi walaupun secara sadar saya juga mengakui bahwa aturan organisasi kepemudaan termasuk KAMMI adalah independen. Tapi mengapa saya menulis soal interdependensi? Saya ingin menulis ini sebagai realitas. Termasuk soal tempat muswil menurut saya itu kewajaran sebagai kemanfaatan interdependensi. Walaupun itu gedung realitasnya punya Yayasan atau RQN juga.

 

Interdependensi juga ini untuk menyudahi logika-logika yang mendangkal kepengurusan KAMMI itu sendiri, termasuk surat Zulfikar, menurut saya agak berbau tudingan terhadap pengurus. Bahwa setiap suksesi dalam kepengurusan KAMMI pasti disertai ‘titipan’, sebagai orang yang pernah membersamai organisasi kita sama-sama tahu dinamika itu, bisa jadi ia. Tapi kita juga patut percaya bahwa dinamika suksesi dalam KAMMI itu juga bukan berarti semua kader menjadi robot yang hanya digerakkan pakai alat kontrol. Logika ini harusnya dibuang oleh alumni-alumni KAMMI Maluku Utara, kita harus belajar percaya bahwa kader KAMMI bukanlah robot, orang boleh punya keberpihakan sebagai kewajaran interdependensi tapi menuding segala sesuatu itu dikontrol adalah kedangkalan dalam berpikir. Insan kader adalah insan berpikir, ia bisa jadi punya keberpihakan tapi kebebasan dalam bertindak adalah suatu kemutlakan yang bisa terus terpatri. Cuman saya terlanjut tahu Zulfikar dari dulu kader dengan tipekal ‘independen’, sayangnya kita tidak bisa paksakan semua kader berlaku demikian. Interdependensi adalah kewajaran gerakan, sadar atau tidak, dia menumbuhkan banyak hal, kaderisasi, jaringan dan finansial organisasi. Tak terpungkiri itu, termasuk juga soal suksesi.

 

Dengan demikian pada titik keberpihakan dimanapun alumni itu dia patut terus menyemai setiap kepengurusan di KAMMI (Maluku Utara), agar orang-orang yang pernah membersamai organisasi punya rasa ‘cinta’  terhadap organisasi, kalau bukan menggunakan kata ‘bangga’. Sayangnya saya sungguh menyesali ada senior yang berkata pengurus ini ‘kerasukan jin’, suatu kalimat kurang etis dari seorang senior kepada junior dalam kepengurusan organisasi. Suatu ketidaketisan yang bersifat naïf. Semoga kenaifan ini tidak dibuat-buat lagi pada kepengurusan lain hanya karena logika-logika dangkal kita, terlanjut kita tumbuhkan pada junior di kepengurusan.

 

Selain itu, jujur secara pribadi saya cukup merasa jengah bila kader yang baru berKAMMI dan posisi terakhir hanya sebatas Pengurus Daerah, sekali lagi saya katakan “hanya sebatas Pengurus Daerah” dan tidak pernah menjadi Pengurus Wilayah di Maluku Utara, tapi sok bicara banyak seakan paham kondisi Pengurus Wilayah KAMMI Maluku Utara, padahal dia baru selesai di KAMMI beberapa tahun, dan bicara paling ‘sok paham’ kondisi KAMMI Maluku Utara, ini sikap yang agak naïf. Dan penuh dengan ‘sok ontalnisasi’ dan sikap ‘sok ontalnisasi’ adalah kebodohan dalam berkader. 

 

Bila dilihat orang-orang yang terlanjur jadi Pengurus Wilayah ini adalah orang-orang yang masih menetap di Ternate, dan bisa dibilang walaupun ada beberapa PD di daerah seperti Sula dan Halsel, tapi harus jujur seberapa banyak demisioner dari PD itu yang bersedia jadi Pengurus Wilayah? Inilah kevakuman yang nyata, yang akan terus menjadi tantangan di setiap kepengurusan. Saya sendiri menantang Tamsil,  Ketua PD Sula karena cukup kritis dengan kondisi PW untuk setelah demisioner dari PD Sula menetap di Ternate mengurusi PW Maluku Utara. Ini dilema tersendiri apalagi sudah punya istri, sudah punya anak, sudah bekerja, ya apatahlagi. Kondisi pengurus begini, tantangannya memang regenerasi dan akselerasi kader, sayangnya ini tugas semua level di KAMMI Maluku Utara. Ketidakmaksimalan ini terlalu ambigu bila hanya ditempatkan di pundak KAMMI Wilayah. Memang idealnya harusnya orang yang menjadi Pengurus di Wilayah bahkan Ketua KAMMI Wilayah alangkah idealnya kalau dia masih berstatus mahasiswa atau minimal baru selesai setahun dua tahun dari kampus, bukan yang sudah terlanjut berumur mendekati purna 30 tahun atau berpendidikan S2.

 

Saya percaya di waktu-waktu mendatang perilaku interdependensi lebih kita butuh sebagai kewajaran gerakan, dengan demikian alih-alih untuk sekedar mengikuti hujatan-hujatan fana soal independensi pantas disudahi. Dengan ini juga menumbuhkan keterikatan dengan alumni tapi setidaknya alumni sendiri membuang logika-logika kedangkalannya soal kepengurusan KAMMI (Maluku Utara) terlebih dahulu, bahwa dia memberi berarti mereka mengikuti. Bahwa pengurus ini berpihak, dan kata-kata sumbang yang naïf lainnya. Percayalah mereka bukan robot, mereka insan berpikir dengan inisiatifnya sendiri. Setidaknya interdependensi ini bukan soal menciptakan kader menjadi robot. Logika kedangkalan inilah yang perlu kita sudah bersama, dimanapun kita dan mereka berpihak. Dimanapun keberpihakan alumni dan ‘keberpihakan’ pengurus. Sudahi kedangkalan logika tudingan terhadap yang bukan bagian dari kita. Toh, kita dengan samar-samar dapat menyebutkan “KAMMI adalah KAMMI”. Walaupun kita adalah KAMMI dan ‘keberpihakan’ pengurus KAMMI.

 

Terakhir, kenapa kita berbicara interdependensi, saya ingin memberi lelucon, apa guna kritis soal independen, kalau ada teman-teman yang kritik itu masih pakai wifi di kantor partai X, menikmati beribu-beribu kilobyte kan enak. Semoga ketua terpilih sementara tidak lagi pakai wifi dan numpang mandi sekaligus bobo cantik di kamar belakang di kantor partai X. Kalau sudah begitu ya bagaimana lagi. Toh partai X itu partai baik kok, itu interdependensi kita dalam kaderisasi dan kelanjutan karir sebagai politisi, sayangnya saya yang menulis ini tidak berkarir sebagai politisi, hehehe. Dan jangan lupa ada partai Y juga loh. Sekian, jangan lupa senyum lebarnya, jangan lupa bahagia.

Posting Komentar

0 Komentar