Celoteh Intelektual


Celoteh Intelektual
M. Sadli Umasangaji




pexels dot com




Asumsi Edward W Said dalam Peran Intelektual menempatkan bahwa hidup naluri intelektual pada hakikatnya adalah mengenai pengetahuan dan kebebasan. Pertanyaan dasar yang diajukannya adalah “Bagaimana orang mengatakan kebenaran? Kebenaran apa? Bagi siapa dan dimana? Maka ia tidak dapat menjadi milik siapa-siapa”. Said memberi batasan yang cukup ideal. Ia mendefinisikan intelektual adalah individu yang dikaruniai bakat merepresentasikan, mengekspresikan serta mengartikulasikan pesan, pandangan sikap dan filosofi. Ketika mengaktualisasikan bakat itu sang individu senantiasa termotivasi untuk menggugah rasa kritis orang lain. Dengan demikian orang akan berani menghadapi ortodoksi, dogma serta gampang lagi dikooptasi pemerintah atau korporasi. Bahwa intelektual adalah seseorang yang bertalenta mengkomunikasikan ide emansipatoris dan mencerahkan. Disini ketajaman nalar serta kemampuan merepresentasikan gagasan dan pemikiran kepada publik merupakan ciri utama namun ia selalu aktif bergerak dan berbuat. Dalam merepresentasikan sesuatu, tulis Said, intelektual sekaligus juga merepresentasikan dirinya. Maksudnya, gagasan dan buah pikiran lain yang disajikan kepada khalayak mencerminkan keyakinan serta nilai-nilai anutannya sendiri.

Menurut Chomsky, masih dalam buku Peran Intelektual (Edward W Said), intelektual merupakan formasi khusus dalam masyarakat industri modern. Dalam tradisi Marxis-Leninis, mereka menjadi ‘pengawal partai’ yang merekonstruksi masyarakat atas nama kepentingan kaum proletar, sedangkan dalam negara kapitalis, kaum intelegensia ini mengembangkan teori bahwa kekuasaan harus dialirkan ke tangan mereka yang berbakat atau terlatih khusus dalam mengorganisir dan mengontrol proses sosial dan ekonomi. Mereka ini disebut Chomsky sebagai ‘intelegensia ilmiah’. Realitas di dalam masyarakat industri modern ini sebenarnya, kata Chomsky, sudah diperkirakan Bakunin. Bakunin memperkirakan dalam negara sosialis ‘birokrasi merah’ dan ‘kelas baru’ akan menciptakan otoritarianisme paling depostik dan buas, sedangkan dalam kapitalisme negara, intelegensia akan ‘memukul orang dengan tongkat orang itu sendiri’.

Said juga mengemukakan tentang generalisasi ketimbang spesialisasi. Dengan penyikapan seperti ini lingkungan jelajah seorang cendekiawan menjadi tak terbatas. Ia senantiasa siap masuk ke wilayah dimana dehumanisasi serta penekukan akal sehat berlangsung. Tak ada ranah yang pantang ia masuki. Keterlibatan di pelbagai lapangan kemanusiaan sekaligus membuat dirinya sulit untuk tampil sebagai seorang spesialis. Realitas inilah yang membuat Said perlu membedakan seorang profesional dengan seorang amatir. Dengan menjadi generalis, sulitlah bagi seseorang untuk mengklaim diri sebagai profesional. Inilah argumen Said menyebutkan dirinya hanya seorang amatiran (generalis). Baginya, spesialisasi hanyalah formalistik yang tak selalu berbicara tentang kapabilitas. Sementara itu seorang amatiran tak punya rasa malu dan melakukan sesuatu karena mencinta dan ingin mengetahui. Bukan karena mempunyai. Disisi lain melengkapi ini, Said mengemukakan, kepaduan ucapan dengan tindakannya serta keselarasan berkata untuk menanggung resiko terpahit demi kebenaran yang diyakininya, adalah sikap intelektual. Sebagaimana asumsi Said, intelektual itu tidak netral atau bebas nilai sebaliknya mereka harus berpihak. Yakni terhadap kelompok lemah yang tak terwakili. Menurut Said, hidup naluri intelektual pada hakikatnya adalah mengenai pengetahuan dan kebebasan.

Dalam buku Intelegensia Muslim dan Kuasa, Yudi Latif sedikit membedakan istilah intelektual dan intelegensia, walaupun secara mendasar memiliki pemaknaan yang sama. Dalam hal itu, Yudi Latif membahasakan istilah intelektual dengan mengutip terlebih kejadian “Kasus Dreyfus” sebagai mula-mula muncul istilah intelektual dengan kejadian di Prancis pada tahun 1898 sebagai resonansi dari ‘Manifesto Intelektual’. Yudi Latif kemudian menuliskan bahwa pada tahap-tahap awal kemunculannya, intelektual menunjuk pada sebuah kelompok dengan misi yang diproklamirkan sendiri, yaitu membela sebuah nurani bersama atas persoalan-persoalan politik yang mendasar. Namun, dalam perkembangan berikutnya, definisi-definisi dari intelektual menjadi berlimpah dan beragam.

Yudi Latif kemudian menempatkan dengan mengikuti pendapat Eyerman, beragam definisi tersebut bisa dikelompokkan menjadi dua kategori. Yang pertama, definisi yang menginterpretasikan intelektual dalam kerangka karakteristik-karakteristik personal, seperti ‘seorang yang menjadikan berpikir sebagai kerja sekaligus bermain’ atau mereka ‘yang tak pernah puas dengan hal-hal sebagaimana adanya’. Michael Walzer dan Paul Johnson (1988) juga mengikuti dan mengembangkan definisi semacam ini. Yang kedua, definisi yang mengaitkan istilah tersebut dengan suatu struktur dan fungsi sosial tertentu. Definisi seperti ini diajukan, misalnya, oleh Seymour Martin Lipset yang mendefinisikan para intelektual sebagai mereka ‘yang menciptakan, menyebarluaskan, dan menjalankan kebudayaan’. Termasuk soal penempatan dari pendefinisian intelektual dari Gramsci.

Edward W Said menggambarkan pertama, representasi intelektual dengan gambaran dari Julien Benda, yaitu semua orang yang kegiatan utamanya bukanlah mengejar tujuan-tujuan praktis, tetapi mencari kegembiraan dalam mengolah seni, ilmu, atau renungan metafisik. Mereka adalah para ilmuwan, filsuf, seniman dan ahli metafisika yang mendapat kepuasaan dalam penerapan ilmu pengetahuan bukan dalam penerapan hasil-hasilnya. Asumsi Benda menggambarkan para cendekiawan zaman dulu adalah moralis yang kegiatannya merupakan perlawanan terhadap realisme massa. Kedua, asumsi Gramsci pada intelektual organik. Bahwa semua manusia mempunyai potensi untuk menjadi kaum intelektual, sesuai dengan kecerdasan yang dimiliki dan dalam cara menggunakannya. Tetapi tidak semua orang adalah intelektual dalam fungsi sosial. Kemudian Gramsci mencenderungkan kepada kaum intelektual “organik”, unsur pemikir dan pengorganisasi dari sebuah kelas sosial fundamental tertentu. Kaum intelektual organik ini dapat dengan mudah dibedakan melalui profesi mereka, yang mungkin menjadi karakteristik pekerjaan kelas mereka, bukan melalui fungsi mereka dalam mengarahkan gagasan aspirasi kelas organik mereka.

Pilihan intelektual memang pada dua aras; menjadi intelektual organik dalam arti Gramsci yang menyuarakan kepentingan sebuah kelas atau gerakan ideologis di satu pihak dan di pihak lain menjadi filsuf moralis ala Julien Benda. Tapi semuanya tetap pada satu hulu; mereka terlibat langsung dalam soal-soal kemasyarakatan. Yakni berpihak terhadap kelompok lemah yang tak terwakili.

Posting Komentar

0 Komentar