Titik Kritis Tentang Isu Ketimpangan di Tengah Pandemi


Titik Kritis Tentang Isu Ketimpangan di Tengah Pandemi
Tanwin Fataha
(Kabid Kehumasan PD KAMMI Kota Ternate Periode 2020-2022)


keterangan: mojok dot co






Tulisan ini mencoba menyajikan berbagai perspektif dalam menyoalkan tentang pandemi Covid-19 yang terus menjadi perbincangan dan kita tidak tahu kapan akan berakhir. Membahas dengan apa yang ingin saya uraikan dengan berkaca pada judul tulisan rasanya agak jenuh memang memperbincangkan covid secara terus menerus. Perasaan terkait dengan eksis pula (ikut serta) menjadi alasan dalam menjajal beragam isu saat ini. Memperbincangkan kembali covid 19 saat ini juga menjadi hal esensi ketimbang sebelum-sebelumnya.

Saat ini kita semacam disuguhi begitu banyak problematika. Rasanya agak memuakkan bagi kami para rebahaners (kaum rebahan). Isu-isu yang tersaji dan merebak saat ini, saya memandang kitalah yang kewalahan dalam memandang isu-isu itu. Hal inilah yang menjadi penyebab dari kontroversi. Kontroversi ini memberikan perasaan membuncah soal kegundahan. Pandangan dilematis menjadi pemicu dalam gubahan perspektif.

Semua isu-isu yang bermunculan pada akhirnya akan tersaji pada satu muara saja yakni permasalahan covid-19. Tentu sudah menjadi pandangan umum, bahwa persoalan pandemi covid-19 dengan begitu banyak argumentasi, tentu ada yang bersifat faktual, tapi tak sedikit pula yang bersifat spekulatif. Termasuk soal perasaan tentang eksistensi untuk sekedar memberikan celoteh soal pandemi dan covid adalah hal yang merebak subur dimana-mana terutama di media sosial. Kita ketahui secara kolektif bahwa kemunculan virus ini menuai banyak polemik dan pertanyaan yang tentu membutuhkan jawaban yang akurat demi mempertanggungjawabkan segala akibat yang ditimbulkan.

Misalnya pada awal kemunculan covid 19 terjadi polemik antara dua negara adidaya. Ya kutub sosialisme komunis dan kutub liberalisme, yakni China dan Amerika Serikat. Kehadiran virus corona yang diklaim (ditemukan) pertama kali muncul dari Wuhan, China. Isu yang merebak kemudian memberi aras pertanyaan apakah China menjadi pelaku utama dalam “membentuk” atau “melepas” virus ini atau sebaliknya rivalnya Amerika Serikat (AS)? Polemik dua negara ini di awal-awal kemunculan corona tersaji di berbagai media berita. China yang kemudian seakan meliberasi ekonominya menjadi pesaing besar dari Amerika Serikat. Pendulumnya menjadi masalah ekonomi.

Ataukah kita berselancar pada asumsi mungkin mereka sebenarnya berselingkuh dibalik saling menyerang dalam pembentukkan opini publik. Demi sebuah agenda besar dari kedua negara tersebut yang memberi keuntungan melalui pasar global. Tentu hal ini tergambar dalam kesimpangsiuran. Pada saatnya kedua negara adidaya ini masing saling tuding menuding tanpa henti.

Arus pertanyaan berikut adalah apakah pandemi ini erat kaitannya dengan konspirasi? Atau ada campur tangan invisible hand, tangan tersembunyi di semua peristiwa konspirasi? Pertanyaan ini mendendangkan satu jawaban karena sebagian besar memandang sebagai bagian dari spekulatif.

Kini kita mulai tersaji dengan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat Darurat. Dilansir dari covid.go.id menunjukkan Aturan Lengkap PPKM Darurat. PPKM Darurat diterapkan pada 3-20 Juli 2021 di Jawa dan Bali mencakup 45 kabupaten/kota di wilayah situasi level 4 pandemi covid-19 dan 76 kabupaten/kota di wilayah level 3. Langkah ini diambil menimbang lonjakan kasus covid-19 yang signifikan beberapa hari terakhir. PPKM Darurat ini akan membatasi kegiatan dan aktivitas masyarakat dengan lebih ketat. Beberapa poin penting adalah pelaksanaan kegiatan pada sektor non esensial diberlakukan 100% (seratus persen) Work From Home (WFH), Kegiatan Belajar Mengajar dilakukan melalui daring 100%, supermarket, pasar tradisional, toko kelontong, dan pasar swalayan buka hingga maksimal pukul 20.00 dan kapasitas maksimal 50%, apotik bisa buka penuh 24 jam, penutupan pusat perbelanjaan atau mall atau pusat perdagangan, tempat ibadah, fasilitas umum, sarana kegiatan seni budaya, olahraga dan sosial kemasyarakatan, restoran atau warung makan hanya delivery atau take away dan tidak menerima makan di tempat, transportasi umum kapasitas maksimal 70% dengan protokol kesehatan ketat.

Apa yang tersaji setelah aturan-aturan itu? Tentu yang paling menyakiti hati para rakyat yang rela menaati aturan adalah adanya semacam “kebebasan” atau mungkin “kelengahan” terhadap arus masuk warga negara asing. Berbagai media menyajikan warga India, warga China dan lainnya masuk dengan “bebas” walau disebut “mematuhi protokol kesehatan” tapi hal ini terlampau menyakiti masyarakat Indonesia. Kemudian kita mulai saling menyebut peningkatan kasus karena varian delta padahal varian delta terbanyak dari negara India.

Disisi lain di Maluku Utara misalnya memicu isu semisal adanya “keharusan” pendidikan di Halmahera Selatan untuk menjadikan bahasa China sebagai bagian dari kurikulum. Ini secara esensi sebenarnya baik dan dalam kondisional dan momentum terlihat bahwa kita sedang tidak berdaulat. Warga negara asing terutama China yang hadir di daerah-daerah pertambangan terutama Halmahera Selatan seakan memaksa anak negeri untuk mempelajari bahasa mereka. Bukan sebaliknya mereka yang diminta memperlancar bahasa kita. Mengapa bukan perusahaan yang memfasilitasi kursus bahasa Indonesia bagi pekerjanya?

Di lain sisi, Pandemi Covid-19 hingga saat ini memang telah memberikan dampak besar pada berbagai aspek kehidupan. Berbagai negara tentu memiliki dampak masing-masing dengan berbagai kondisi. Pelajaran berarti datang dari Italia yang memperketat arus keluar masuk wilayahnya, mensukseskan vaksinasi, dan warganya taat terhadap aturan pembatasan kegiatan masyarakat serta protokol kesehatan.

Di negeri ini, ketaatan menjadi spekulatif. Selain itu, ekonomi pada masyarakat kelas ekonomi menengah ke bawah dipenuhi dengan dilema. Berbagai kenyataan menyertai bahwa mereka masih “terpaksa” berjuang untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya. Bantuan sosial dikorupsi dan kita tak berdaya. Tak berdaya untuk sekedar melawan, mengontrol dan membantai. Tapi kita masih punya daya untuk berbicara, mengeraskan suara, bahkan berceloteh. Kita akan terus bersuara keras pada ketimpangan, ketidakadilan, dan berceloteh dengan pencitraan yang semu. Berhentilah soal citra-citra semu yang tidak memberi dampak signifikan terhadap keadaan masyarakat di tengah pandemi.

Aksi-aksi pembelaan dan suara lantang terhadap ketimpangan memang terhenti sejenak di tengah pandemi. Antara apresiasi atau peringatan yang diberikan kepada mereka yang masih mengeraskan suara di jalan di tengah pandemi. Hal ini menghadirkan perasaan kebingungan tersendiri di kalangan aktivis. Tapi berbagai sarana kritik lainnya harus digalakkan. Titik kritis di tengah pandemi harus dilawan.

Mengawasi perlakuan pemerintah terhadap masyarakat di tengah Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat Darurat adalah celoteh mutlak yang harus kita hadirkan. Perlakuan-perlakuan menindas, semenah-menah, tidak mendidik, perlakukan kasar dan diskriminasi negatif lainnya, harus tetap kita lawan.


Berbahagialah Indonesia sebagai negara agraris sekaligus negara maritim. Kondisional geografis seperti ini menjadi tumpuan penting di tengah pandemi sebagai ketahanan dan ketersediaan pangan. Perhatian dan apresiasi terhadap para kaum tani dan nelayan adalah nilai mutlak yang tak dapat ditawar lagi. Negara mesti memikirkan kehadiran, fasilitas, hingga jaminan kesejahteraan kaum tani dan nelayan. Dan pemaksimalan bantuan sosial pada semua rakyatnya.


Terakhir kepada semua kaum rebahan, kaum cemas, kaum waspada, kaum apatis, hanya ada satu hal, tetaplah bernafas. Ya, tetaplah bernafas. Sembari terus galakkan perlawanan kepada berbagai isu. Kita sebagai insan dengan kesadaran tak lupa menempatkan dahi di tanah kemudian melayangkan bisik-bisik doa, bahwa semoga pandemi ini segera berakhir. Dengan begitu, perlawanan terhadap isu-isu ketimpangan kembali terus bertumbuh.

Posting Komentar

0 Komentar